Juninho bukanlah sekedar jagoan tendangan bola mati biasa. Memang ia tidak setenar Ronaldino ataupun David Beckham. Bahkan, ia bukan langganan tim inti kesebelasan nasional Brazil. Tapi kalau untuk urusan dibicarakan oleh sesama pemain, dan bukan penonton, wartawan atau komentator bola, Juninho-lah orangnya.
Seperti yang minggu lalu dikupas di Kompas, ia punya jenis tendangan yang berbeda. Di mana bola yang ditendangnya seolah mati di udara, sehingga sangat sulit ditebak arahnya. Kalau dalam urusan tendangan bola mati ada Juninho, maka di dunia konstruksi Indonesia ada PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL).
Dunia konstruksi identik dengan thin margins. Sehingga yang namanya men-set harga yang jauh lebih tinggi daripada para pesaing, jarang-jarang terjadi. Apalagi kalau itu dilakukan pada repeat customers.
TOTL bisa melakukan berbagai hal yang tidak biasa itu. Rahasianya? Strateginya tidak ada yang berbeda dengan yang dilakukan oleh para pesaingnya, karena perusahaan ingin quality focused dan customer oriented.
Tapi eksekusinya di tangan TOTL jadi berbeda. Dan disinilah menariknya, karena kebanyakan orang tertarik pada aspek strategi tapi lupa pada soal eksekusi. Dalam kasus TOTL, kemampuan eksekusinya diasah berdasarkan pada keyakinan bahwa pelanggan masih menghargai kualitas, karena hasil yang berkualitas pasti akan lebih menguntungkan pada jangka panjang. Selain itu, pelanggan masih menghargai kemampuan perusahaan konstruksi untuk mengakomodasi permintaan ekstra mereka. Yang tersebut terakhir ini menyangkut keunikan gedung yang dibangun dan tepat waktunya proses konstruksi yang dilakukan.
Kebetulan sejak dahulu TOTL punya keyakinan seperti itu. Pada saat didirikan pada tahun 1970 dengan nama PT Tjahja Rimba Kentjana, perusahaan melayani semua jenis pekerjaan konstruksi. Mulai dari perumahan hingga infrastruktur. Sehingga fokus utamanya adalah meningkatkan keuntungan. Namun pada awal 1980-an, perusahaan melakukan restrukturisasi besar-besar-an yang selain melahirkan manajemen baru, juga menghasilkan keputusan untuk mengkhususkan diri pada pembangunan gedung dengan fokus pada excellence. Mulai saat itulah dimulai prinsip baru TOTL.
Dibawah arahan Ir. Komajaya, yang sebelumnya sempat bekerja dibawah Ciputra selama 17 tahun, TOTL mulai membangun kompetensi yang spesifik pada gedung, khususnya pembangunan commercial dan high rise, salah satunya adalah apartemen tertinggi di Jakarta pada saat ini, The Peak di jalan Sudirman. Perlahan-lahan TOTL memperkuat differensiasi mereka dan sekaligus meningkatkan brand image perusahaan yang akan menjadi andalan utamanya sampai saat ini.
Komitmen Komajaya terhadap kualitas dan pelanggan inipun secara konsisten terus dipertahankan hingga kini. Manajemen, yang sekarang dipimpin oleh Ir. Reyno St. A, telah mengimplementasikan sistem manajemen SDM yang memastikan bahwa semangat dan values perusahaan dimengerti dan dijiwai oleh seluruh karyawan TOTL, yang kini telah mencapai lebih dari 1.100 orang.
Hingga saat ini, sekitar 75 persen dari pelanggan TOTL adalah repeat customers. Padahal margin yang dipatok oleh TOTL sekitar 5-8 persen, cukup tinggi mengingat rata-rata industri yang hanya sekitar 3 persen. Namun pelanggan lama sudah menyadari betul value dari kualitas dan orientasi pelanggan yang ditawarkan oleh TOTL. Mereka tidak keberatan membayar lebih untuk peace of mind dan tentunya juga, total lifetime cost yang sebenarnya bersaing, bahkan lebih rendah. Semua ini didukung oleh konsistensi menepati waktu delivery dan after sales service yang kuat.
Namun disinilah letak tantangan bagi TOTL. Dengan sebagian besar pelanggan adalah repeat customers, walau di satu sisi menunjukkan stabilitas bisnis mereka, juga dapat menjadi indikasi bahwa pengguna jasa konstruksi baru belum sepenuhnya menghargai keunggulan yang ditawarkan TOTL. Ini tentu mengurangi potensi TOTL untuk terus berkembang.
Ancaman lain adalah kenyataan bahwa competitive advantage yang ditawarkan TOTL, meskipun sekarang merupakan sesuatu yang unik di industri jasa konstruksi, tapi sebenarnya sesuatu yang generic, dan dapat ditiru oleh pemain yang lain dengan relatif gampang. Apabila TOTL tidak terus berupaya mencari dan mengembangkan competitive advantage yang baru, yang tidak bisa — atau setidaknya sulit — untuk ditiru, bukan mustahil bahwa pesaing akan menawarkan keunggulan yang sama dalam waktu beberapa tahun kedepan. Jika terjadi demikian, kualitas pengerjaan dan orientasi pelanggan akan menjadi hygiene factor yang dimiliki semua pemain.
Akan tetapi, jika TOTL dapat terus berada di depan para pesaingnya, dengan terus melakukan edukasi pelanggan maupun inovasi yang berkesinambungan, bukan hanya dalam hal teknis konstruksi, tapi juga dalam hal strategi bisnis, maka TOTL dapat terus bertahan dan tumbuh, bukan hanya sebagai perusahaan konstruksi swasta terbesar di Indonesia, dan tapi juga salah satu dari sedikit perusahaan yang bisa menjadi a price setter in the thin margins industry."Philip Kotler's Executive Class: 85 Days To Go"
Hermawan Kartajaya,Taufik
Kompas
No comments:
Post a Comment