BLOGSPOT atas

Thursday, March 12, 2009

[Kompas 100]: Astra International: "A Beautiful Conglomerate"

Kamis, 12 Maret 2009 | 07:15 WIB

“What’s in a name?” begitu pertanyaan Juliet kepada Romeo.

Pertanyaan yang muncul dalam drama klasik William Shakespeare yang berjudul “Romeo and Juliet” ini sering dikutip di dunia marketing waktu orang bicara mengenai brand. Apalagi kalimat Juliet berikutnya memang cukup menohok, “That which we call a rose, by any other name would smell as sweet.” Kedua kalimat tersebut muncul ketika Juliet –yang keluarganya berseteru dengan keluarga Romeo– meminta agar Romeo tidak lagi menggunakan nama bapaknya, kalau memang benar-benar mencintai dia.

Kebetulan pula ada suku bangsa di dunia yang punya tradisi memberi nama anak yang bisa dibilang sekenanya. Masih ingat kan dengan Dances With Wolves dan Stands With A Fist? Keduanya adalah contoh nama-nama suku Indian Sioux di film Dances With Wolves. Dan kalau tidak salah, di negara kita ada juga sementara orang yang memberikan nama –dan bukan sekedar julukan– yang tergolong sebagai nama yang “sekenanya”.

Tentu orang-orang yang sepertinya tidak peduli dengan pemilihan nama ini memang percaya bahwa nama itu netral adanya. Ia tidak bisa dibilang positif atau negatif hanya berdasarkan kata yang ada di nama tersebut. Nama tersebut baru punya asosiasi positif atau negatif berdasarkan aktivitasnya.

Di dunia bisnis, meski orang sudah terbiasa melihat asosiasi positif dan negatif dari sebuah nama merek berdasarkan aktivitas yang dilakukan, tapi sejauh ini prinsip itu belum berlaku manakala berbicara mengenai konglomerat. Publik Indonesia bisa jadi sudah mulai familiar dengan kata konglomerat di awal tahun 90-an ketika mendiang Soeharto mengundang sejumlah pengusaha papan atas Indonesia ke Tapos. Repotnya, kata konglomerat itu kemudian banyak digunakan secara salah, karena lebih menunjuk ke orang dan bukan perusahaan.

Padahal definisi konglomerat itu adalah perusahaan yang punya bisnis beragam dan bisa-bisa tidak ada kaitan antara satu sama lain. Bisa jadi salah kaprah itu muncul karena pada saat itu masih banyak orang, termasuk media, yang tidak paham soal struktur hukum dan bisnis dari perusahaan-perusahaan besar di Indonesia serta bidang bisnis yang digelutinya. Memang ada perusahaan yang punya bisnis yang beragam dan kaitan antara satu dengan lainnya tidak tinggi, dan ini bisa disebut sebagai konglomerat, tapi ada pengusaha yang memang punya bermacam-macam perusahaan tapi masing-masing bergerak terpisah di bisnis tertentu.

Dari segi aktivitas bisnis, entitas berbentuk konglomerat selalu mendapat sorotan dalam kaitan dengan kemampuan melakukan value creation. Maklum, dengan bergerak di berbagai bidang, apalagi yang kaitan antara satu dengan yang lain sangat jauh, sulit bagi manajemen perusahaan untuk punya fokus dalam aktivitasnya, yang pada akhirnya berimbas ke core competence yang bisa dibangun. Masalah lain, seperti disebut bapak positioning, Al Ries, yang namanya konglomerat tidak punya positioning yang clear.

Tapi di dunia ini ternyata ada banyak konglomerat yang bahkan mengundang kekaguman orang atas keberhasilannya menjawab pertanyaan soal fokus bisnis, core competence dan positioning seperti yang dilakukan General Electric (GE), Berkhsire Hathaway-nya Warren Buffet di Amerika, Jardine Matheson di Hong Kong dan PT Astra International Tbk (ASII) di Indonesia. ASII itu kini bahkan dalam posisi yang unik, karena mayoritas sahamnya dikendalikan Jardine Matheson yang merupakan konglomerat yang terus berkembang dari generasi ke generasi. Tapi yang paling menarik dari ASII ini adalah perjalanan menjadi a beautiful conglomerate.

Didirikan William Soerjadjaja di tahun 1957 sebagai sebuah perusahaan dagang, ASII mulai menarik perhatian orang dalam kurun waktu 1969 – 1973, ketika mulai menjadi agen tunggal dari sejumlah produk terkemuka Jepang, satu per satu setiap tahun, seperti mobil Toyota, peralatan kantor Fuji-Xerox, sepeda motor Honda, alat-alat berat Komatsu, dan mobil Daihatsu. Langkah ASII kemudian berhasil mengundang kekaguman, ketika berhasil mentransformasikan diri menjadi bukan hanya sekedar penjual tapi memberikan service bagi produk yang diageninya. Kemampuan tersebut membuat ASII bisa menetapkan harga premium dan bahkan menjadi market leader.

Proses perubahan dari sekedar penjual biasa itu juga diikuti proses perubahan lain, seperti mengembangkan kemampuan manufacturing yang terkait dengan produk yang diageninya. Dan ASII bisa melakukannya dengan baik karena serangkaian kepercayaan yang datang dari berbagai perusahaan terkemuka Jepang dari tahun 1969 – 1973 segera diikuti dengan penyiapan SDM yang mampu men-create dan men-deliver value added services yang terkait dengan produk-produk yang dijualnya itu. Dalam perjalanan waktu, ASII, yang menjadikan model penyiapan SDM sebagai andalan utama competing for the future, bahkan membentuk Astra Management Development Institute (AMDI), yang diinspirasi oleh GE yang punya fasilitas serupa di Crotonville.

Bukti terbaik dari keberhasilan menjadikan SDM-nya sebagai andalan bersaing terlihat ketika perusahaan-perusahaan global yang menjadi pemasok berbagai produk yang dijual ASII punya kesempatan untuk membangun jaringan bisnisnya sendiri, seiring dengan liberalisasi perekonomian Indonesia di tahun 1998. Dengan sistem dan SDM yang dimilikinya, ASII menjadi sebuah adaptive enterprise, yang mampu berubah dari sekedar partner yang eksistensinya antara lain didukung oleh adanya aturan pemerintah, menjadi partner yang memang punya competency yang sulit ditandingi siapapun dalam waktu singkat. SDM-nya juga tetap mampu berprestasi dimanapun mereka ditugaskan, di berbagai bisnis ASII (automotive, financial services, heavy equipment, agribusiness, IT dan infrastruture) sekalipun di bidang yang baru.

Keberhasilan membangun SDM, yang mampu membuat ASII menjadi sebuah adaptive enterprise, benar-benar menjadi diferensiasinya, bukan hanya dibandingkan dengan konglomerat lain, tapi bahkan juga dengan perusahaan besar lain di Indonesia yang sebetulnya punya bisnis yang relatif fokus. Tidaklah berlebihan kalau ASII disebut sebagai a beautiful conglomerate di Indonesia dan dijadikan benchmark oleh banyak perusahaan di Indonesia.

"Philip Kotler's Executive Class: 76 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

No comments: