BLOGSPOT atas

Monday, March 2, 2009

[Kompas 100]: Indocement: "The Aspiring Solutions-Provider in Indonesia's Cement Industry"

Bagian 21 dari 100

Senin, 2 Maret 2009 | 07:19 WIB

Mengajari bayi makan merupakan tantangan yang mengasyikkan.

Bagi banyak orang tua yang punya bayi, itu seperti dipaksa untuk melakukan eksplorasi habis-habisan. Bisa dalam hal mencari kandungan makanan yang bagus, pilihan rasa yang tersedia, gampang tidaknya mendapatkan suatu merek, cara menyajikan makanan dan cara menyuapi. Proses eksplorasi semacam itu muncul karena para bayi yang menjadi end user itu tidak pernah bisa mengungkapkan apa maunya dan apa yang sebetulnya bagus untuk mereka.

Kalau orang tua dipaksa melakukan eksplorasi bermacam-macam, bisa dibayangkan tantangan yang dihadapi produsen makanan bayi. Mereka mesti bisa mempengaruhi para orang tua, yang merupakan influencer (dan sekaligus decision maker) agar memilih produknya, terutama yang dilengkapi dengan kandungan yang khas dari mereka. Dan biasanya proses edukasi tersebut dilakukan melalui dokter anak.

Perusahaan makanan bayi bukanlah satu-satunya perusahaan yang mengalami tantangan dalam menjual produknya. Produsen semen adalah contoh lain yang juga mengalami tantangan dalam menjual produknya. Maklum, pemilik rumah, meski merupakan orang yang sebenarnya merupakan pembeli semen, begitu bergantung pada kontraktor atau tukang bangunan dalam mengambil keputusan.

Dan, pada suatu masa, bisnis semen ini hampir mirip dengan bisnis kecap. Jarang sekali ada merek nasional, karena terkait dengan karakteristik khasnya dalam hal ketergantungan pada kedekatan lokasi pabrik dengan pasar. Karena 35 persen komponen biaya di industri semen terletak pada biaya distribusi maka semen yang bersifat bulky tidak mudah dijual lintas geografi jika ingin tetap kompetitif secara harga.

Tapi seiring dengan ketatnya persaingan, yang namanya penjualan lintas geografi sudah mulai terlihat. Apalagi persaingan antar produsen yang sebetulnya berada di area yang sama. Tentu akan repot kalau perang harga cuma satu-satunya cara memenangkan persaingan.

Inilah yang sedang dihadapi PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk (INTP) yang kebetulan bukanlah pemain terbesar di industri ini. Hampir selusin pabriknya terkonsentasi hanya di pulau Jawa. INTP perlu differentiation lain sebagai celah untuk bersaing. Ini boleh jadi disadari betul oleh INTP. Berbekal merek Semen Tiga Roda yang mempunyai tingkat awareness yang tinggi, INTP mulai membangun jaringan kemitraan dengan para retailer sejak awal tahun 2007.

INTP memang punya tiga customer penting, yaitu end-user, retailer, dan industry. Seringkali retailer bisa menjadi senjata INTP untuk berperan sebagai influencer dan mempengaruhi end-user. Inilah yang menginspirasi terbentuknya Mitra Semen Tiga Roda (MSTR), program yang dibentuk untuk meningkatkan loyalitas para penjual semen terhadap INTP.

Program loyalitas ini unik karena memiliki kartu keanggotaan yang bisa digunakan untuk melakukan pembayaran di beberapa merchant. Program ini juga menganut sistem poin. Program seperti ini mungkin biasa-biasa saja jika ditemui di industri business-to-customer (B2C) dimana program ditujukan langsung kepada end-user. Bedanya, anggota program ini adalah para pedagang semen, sehingga bisa dibilang ini adalah program loyalitas business-to-business (B2B). Program ini sangat emosional, bahkan kami sempat menjumpai MSTR di facebook. Padahal, banyak orang yang menyangka industri semen adalah industri komoditas.

Langkah membangun kemitraan ini bukanlah langkah instan. Proses edukasi para mitra merupakan langkah jangka panjang. Semua ini mungkin sebuah investasi bagi INTP mengingat jaringan kemitraan dengan pedagang ini bisa menjadi modal kuat untuk bisa memberikan solusi kepada end-user.

Selama ini, aspirasi produsen semen untuk menjadi solutions-provider bagi end-user seringkali terbentur kendala struktur distribusinya. Produsen tidak mempunyai akses langsung ke end-user. Retailer-lah yang bisa menjembatani hubungan tersebut. Jika berhasil membangun jaringan kemitraan ini tidak hanya di pulau Jawa, bukan mustahil INTP menjadi the first solutions-provider in Indonesia’s cement industry.

"Philip Kotler's Executive Class: 86 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

No comments: