BLOGSPOT atas

Wednesday, March 18, 2009

[Kompas 100]: Summarecon Agung: "A Benchmark of City Developers"

Rabu, 18 Maret 2009 | 07:14 WIB

Rome was not built in a day!

Kota Roma di jaman dulu merupakan benchmark sebuah pembangunan. Banyak kota atau negara yang ingin meniru Roma yang punya berbagai gedung yang indah dan fasilitas yang lengkap sebagai sebuah kota moderen, apalagi di jaman dulu. Dan sebetulnya Roma pada saat itu bukan hanya sekedar membangun kota tapi sekaligus juga peradaban.

Bagi yang pernah berkunjung ke Roma, mereka ingin segera menirunya di tempat asalnya. Tapi bukan hanya sekedar duit yang membuat sebuah kota baru mampu meniru keberhasilan Roma, melainkan keberadaan orang yang akan mengisi dan kemudian mengembangkan kota baru tersebut. Dan apa yang terjadi dengan kasus Roma di jaman dulu, dan juga dengan Singapora dan Dubai di jaman moderen, tetap berlaku.

Prinsipnya, orang jangan hanya melihat hasil akhir dari sebuah kota yang sukses, tapi lebih bagaimana proses sistematis yang dilakukan hingga akhirnya bisa membentuk kota tersebut. Di Jakarta, ini bisa terlihat di Kelapa Gading yang kini sudah berkembang menjadi sebuah kota di dalam kota dan sebagai pusat kota yang hidup. Padahal sampai dengan tahun 1970-an, daerah tersebut masihlah rawa rawa yang sangat sepi.

Kelapa Gading adalah buah keberhasilan pengembangan kawasan oleh PT Summarecon Agung Tbk (SMRA). SMRA mulai berdiri tahun 1975 dan mulai mengembangkan Kelapa Gading satu tahun setelahnya. Kini, kawasan seluas 500 hektar itu berhasil menjadi salah satu wilayah paling ramai di Jabodetabek dengan sekitar 30.000 rumah dan 2000 ruko. Bahkan hingga kini, apa yang dilakukan oleh SMRA menjadi salah satu acuan dalam pengembangan kawasan baru oleh developer lain.

SMRA, yang didirikan oleh Sutjipto Nagaria dan sejak 2006 dipimpin oleh Johanes Mardjuki, memang sudah menjadi nama yang terpercaya diantara pengembang properti lainnya. Namun, perlu diketahui bahwa tidak hanya dari penjualan properti saja sumber pendapatan utama SMRA. Sekitar 35 persen dari revenue perusahaan datang dari manajemen properti, yang antara lain berasal dari pengelolaan Mall Kelapa Gading 1, 2, 3, dan 5.

Dengan wilayah Kelapa Gading yang sudah mature, SMRA memang tidak dapat banyak mengandalkan penjualan rumah baru di wilayah ini sebagai sumber revenue kedepannya. Oleh sebab itulah, sejak 1992, perusahaan membuka lahan baru di Serpong, yang hingga tahun 2004 dikelola bersama dengan Group Keris. Di lahan seluas 375 itupun kini sudah berdiri sekitar 7000 rumah dan 450 ruko. SMRA memang menggunakan konsep pembangunan yang mirip dengan Kelapa Gading. Mungkin karena alasan itulah, kawasan ini juga disebut sebagai Gading Serpong.

Selain itu, perusahaan juga telah mengakuisisi wilayah di Bekasi Barat yang menurut rencananya akan dikembangkan menjadi Summarecon Bekasi. Namun sayangnya rencana ini ditunda, mengingat krisis global yang tampaknya cukup mempengaruhi industri properti Indonesia.

Namun tampaknya SMRA masih berniat untuk tidak jauh-jauh dari wilayah yang membesarkan namanya. Tahun lalu perusahaan mengakuisisi lahan seluas sekitar 40 hektar di wilayah sekitar Kelapa Gading. Walaupun daerah tersebut tidak bersebelahan langsung dengan wilayah SMRA sebelumnya, pembelian ini menunjukkan komitmen SMRA untuk terus mengembangkan Kelapa Gading.

Selain karena keberhasilannya mengembangkan wilayah yang dulunya sangat sepi, SMRA juga terkenal karena mampu menjaga kualitas dari kawasannya, sehingga harga tanah mereka selalu menunjukkan peningkatan yang positif dari tahun ke tahun. Beberapa kali, SMRA bahkan berhasil menjual habis seluruh tahapan pembangunan baru hanya dalam waktu beberapa hari saja. Padahal sistem penjualan yang mereka terapkan tidak memungkinkan para spekulan untuk banyak bermain disini. SMRA hanya mengijinkan satu nama membeli maksimal 2 unit, dan mengenakan penalti jika dilakukan balik nama sebelum serah terima,.

Kami melihat bahwa salah satu kunci keberhasilan SMRA adalah perhatian perusahaan yang tinggi terhadap pembangunan secara bertahap yang disesuaikan dengan kemampuan pasar menyerap apa yang ditawarkan. Ini tentunya menunjukkan kelihaian SMRA dalam memahami market needs. SMRA tidak akan melakukan pembangunan baru, meskipun lahannya sudah tersedia sejak lama, jikalau mereka merasa bahwa pasar belum siap menerima produk tersebut. Salah satu contohnya adalah pembangunan Mall Kelapa Gading yang dilakukan secara bertahap, sesuai dengan perkembangan kawasan residensialnya, meskipun sebenarnya dari awal SMRA sudah menyiapkan lahan untuk semua tahapan pusat belanja tersebut.

Kunci keberhasilan lainnya adalah estate management yang masih ketat mengatur warganya. Walaupun suatu perumahan sudah terjual sepenuhnya, SMRA merasa masih berkepentingan untuk tetap menjaga look and feel dari kawasan tersebut. Salah satu policy estate management yang mungkin cukup kontroversial adalah tidak diperkenankannya wilayah rumah dijadikan tempat bisnis. Ini karena SMRA merasa bahwa menjadikan rumah sebagai tempat bisnis akan mengurangi kenyamanan penghuni sekitarnya. Aturan lainnya adalah keharusan warga untuk menjaga tampilan luar rumah agar tetap seperti aslinya. Walaupun sempat mengundang reaksi negatif dari warga, namun langkah-langkah ini terbukti berhasil meningkatkan harga properti, dan pada akhirnya didukung juga oleh pemilik.

Tantangan bagi SMRA kedepan adalah bagaimana dapat tetap menjaga nama baik kawasan yang dibangunnya, meskipun wilayah tersebut sebenarnya dibangun dan dikelola oleh lebih dari satu pengembang. Contohnya adalah Kelapa Gading. Saat ada fasilitas yang kurang baik di manapun di wilayah itu, orang akan langsung melihatnya sebagai tanggung jawab SMRA. Meskipun daerah tersebut bukanlah wilayah pembangunan SMRA.

Jika SMRA bisa berhasil menjaga kerjasama yang baik dengan pengembang lain di Kelapa Gading, Serpong, maupun kelak nanti di Bekasi, dan bersama sama terus menjaga dan membangun nama baik kawasan tersebut, maka SMRA akan terus menjadi acuan, tidak hanya dalam mengembangkan kawasan baru, tapi juga dalam kemampuan membangun kerjasama dengan pengembang lain dalam mempertahankan nama baik dan kekuatan suatu kawasan unggulan.

"Philip Kotler's Executive Class: 70 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

No comments: