BLOGSPOT atas

Sunday, March 29, 2009

[Kompas 100]: Indosat: An Agile Telecommunications Company

Minggu, 29 Maret 2009 | 07:47 WIB

Nama Chris Evert tidak mudah dilupakan oleh para penggila tenis dunia.

Ia adalah ratu tenis dunia di tahun 70-an, dilihat dari ranking dunia yang berhasil diraih dan banyaknya gelar Grand Slam yang dimenangkan. Sebetulnya, sampai dengan awal tahun 80-an Chris Evert masih menang di sejumlah turnamen Grand Slam, tapi di dekade 80-an itu ratu tenis dunia adalah Martina Navratilova, petenis yang bukan hanya meraih banyak gelar Grand Slam tapi juga punya masa bakti panjang. Chris dan Martina sebetulnya berkawan baik di luar lapangan, tapi demi menyemarakkan dunia tenis, keduanya bersaing untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.

Tapi Chris Evert bukan hanya sekedar petenis jagoan, ia juga bisa dikatakan sebagai generasi pertama petenis wanita yang indah dipandang di lapangan. Ia bisa dibilang ”pembuka jalan” bagi Maria Sharapova yang rupawan tapi pernah meraih rangkin satu dunia dan memenangi Grand Slam, dan juga Anna Kournikova yang rupawan dan seperti model tapi belum pernah menang di tunggal puteri Grand Slam –meski sudah pernah di ganda puteri– atau di dekade 90-an dengan Steffi Graf atau Gabriela Sabatini di akhir 80-an dan awal 90-an. Bukan hanya itu saja, kehidupan romantisnya bahkan ikut menyemarakkan dunia tenis di tahun 70-an dan 80-an walau tidak menjadi suatu distraction.

Pendek kata, Chris Evert tak ubahnya duta dunia tenis yang ampuh, yang rupawan tapi punya masa prestasi yang panjang. Dimana sekalipun tidak terus menerus di posisi nomor satu, bahkan tenggelam dalam bayang-bayang Martina Navratilova yang begitu perkasa, ia tetap efektif menjadi magnet dunia tenis. Dengan kata lain, bukan menjadi nomer satu pun bisa tetap efektif menjadi magnet.

Kalau dunia tenis pernah punya Chris Evert, maka dunia bisnis Indonesia punya PT Indosat Tbk (ISAT). Inilah perusahaan yang pada suatu masa merupakan creme de la creme bukan hanya di antara BUMN Indonesia tapi juga dalam dunia bisnis Indonesia secara keseluruhan. Hanya saja, karena ada pemain lain di industri ini yang ukurannya lebih besar dan punya posisi pasar yang begitu kuat, sinar ISAT —sebuah full network service provider yang tiga perempat pendapatannya ditopang oleh bisnis selular dan memang merupakan pemain nomor dua di industri seluler GSM— kalah mencorong.

Meskipun demikian, ISAT tetap bisa menunjukkan diri sebagai pemain yang gerak langkahnya begitu diwaspadai oleh para pesaingnya. Selain memang punya track record yang bagus dalam memperbaiki merek seluler hingga menjadi mencorong, ISAT juga terbukti bisa responsif dalam menghadapi manuver pesaingnya di era perang harga. Dengan cara seperti ini, ISAT terus berusaha membesarkan diri untuk mengejar pemain nomor satu, dan pada saat yang bersamaan gesit menghindar dari kejaran pemain nomor tiga.

Begitu perang harga dimulai oleh pemain yang lebih kecil, ISAT merespon dengan bersaing pada komunikasi harga dan kapasitas jaringan. Ini semua ditujukan untuk mengakuisisi pelanggan baru di industri yang prospek pertumbuhannya cukup tinggi ini. Maklum, para pemain yang lebih kecil, baik yang lama maupun yang baru, baik di kategori GSM maupun CDMA, agresif melancarkan program akuisisi pelanggan dan berpotensi menggerogoti posisi ISAT sebagai pemain terbesar kedua. Tapi ISAT tidak mau terlena dengan keberhasilannya dalam merespon era perang harga. Seiring dengan jenuhnya perang harga dan kapasitas jaringan yang sudah hampir penuh di seluler, ISAT juga menggarap dua pilar bisnis lainnya, fixed data dan fixed voice. Dan sebagaimana dilakukannya di seluler, di dua pilar bisnis tersebut, ISAT juga tidak ragu menunjukkan diri sebagai petarung yang tangguh.

Ini jelas bukan suatu hal yang mudah. Industri telekomunikasi seluler adalah industri yang resources hungry dimana size does matter. Tapi itu semua tidak menghalangi ISAT untuk tidak hanya pasrah di balik bayang-bayang pesaing yang lebih besar.

Dan yang membuat ISAT lebih pede adalah warisan sistem pengembangan SDM yang terbukti mampu adaptif menghadapi tantangan baru di industri telekomunikasi dan bisa melewati berbagai tantangan baru tersebut secara elegan. Bisa jadi, sistem SDM yang seperti itulah yang menjadi daya tarik para investor di industri telekomunikasi Indonesia.

"Philip Kotler's Executive Class: 58 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

No comments: