BLOGSPOT atas

Tuesday, March 31, 2009

[Kompas 100]: Barito Pacific: "An Aspiring Petrochemical-based Conglomerate"

Bagian 48 dari 100

Selasa, 31 Maret 2009 | 07:13 WIB

Para capres atau calon perdana menteri manapun di dunia layak iri pada Deng Xiaoping.

Betapa tidak, meski tidak pernah menyandang jabatan Presiden atau Perdana Menteri, tapi tanpa keputusan yang dibuatnya, China yang seperti kita ketahui hari ini tidak akan terjadi. Di bawah kepemimpinannya, sekalipun tidak menjabat Presiden atau Perdana menteri atau bahkan Sekretaris Jendral Partai Komunis China, China secara resmi mulai melakukan modernisasi di tahun 1978 dan membuka diri kepada investor asing sebagai penjabaran dari apa yang disebutnya sebagai ”socialism with Chinese characteristics”. Keputusannya itu sebetulnya adalah perwujudan dari visinya yang diciptakan ketika ia belum memiliki posisi yang kuat, dan mesti dibayar mahal di masa Revolusi Kebudayaan.

Meski sebelumnya memiliki posisi yang cukup tinggi di jaman berkuasanya Mao Zedong, ia bukan hanya kehilangan kekuasaan tapi dipaksa pergi ke sebuah pabrik di Xinjian oleh rezim Mao di jaman Revolusi Kebudayaan menjadi warga biasa sebagai bentuk penebusan atas ide membuat komunis yang produktif. Dalam sebuah konferensi di Guangzho tahun 1961, ia menyatakan tidak peduli apakah seekor kucing berwarna hitam atau putih, sepanjang bisa menangkap tikus, kucing tersebut adalah kucing yang baik. Respon yang baik atas idenya itu di seluruh negeri dan di kalangan partai membuat Mao, yang khawatir nasibnya terancam oleh Deng, meluncurkan Revolusi Kebudayaan di tahun 1966.

Di masa itu, puteranya menjadi lumpuh setelah dilempar dari lantai empat oleh Red Guards. Setelah menjalani masa pengucilan yang cukup lama, Perdana Menteri Zhou Enlai yang sedang sakit-sakitan berhasil meyakinkan Mao untuk menarik kembali Deng di tahun 1974 dan menjadikannya sebagai Wakil Perdana Menteri yang menjalankan pemerintahan sehari-hari. Meskipun sempat dibuang kembali tak lama setelah meninggalnya Zhou Enlai di awal tahun 1976, Deng pelan tapi pasti akhirnya berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya 2 tahun setelah kematian Mao di tahun 1976.

Keputusan Deng untuk keluar dari pakem dunia komunis, menjadikannya sebagai figur tersukses di abad moderen dalam proses revolusi sosial. China yang tadinya adalah negeri agraris diubahnya menjadi sebuah negara industri dan pelan tapi pasti menjadi superpower dunia. Langkah Deng mengubah wajah partai komunis China bukan hanya menginspirasi partai komunis lain di dunia, tapi juga dunia bisnis.

Ini terutama terkait dengan perusahaan yang mengubah core business-nya baik di tingkat dunia maupun di tingkat nasional. Nokia adalah salah satu contoh perusahaan yang tadinya adalah perusahaan pengolahan kayu yang kemudian masuk ke pembangkit listrik dan akhirnya masuk dan mengubah wajah industri telekomunikasi dunia. Sebagaimana yang terjadi pada China di jaman moderen, apa yang dilakukan Nokia mengundang rasa penasaran banyak perusahaan lain apakah bisa mengikuti jejaknya atau tidak.

Tapi apa yang terjadi pada Nokia tidak muncul tiba-tiba. Awalnya Nokia adalah sebuah perusahaan yang sukses di bidang pengolahan kayu dan kemudian merambah kemana-mana. Dalam proses ekspansi tersebut akhirnya terlihat di bisnis mana ia bisa sukses dan sekaligus jadi andalan masa depan perusahaan.

Inilah yang tampaknya menjadi pertimbangan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) saat mengubah bisnis intinya dari bisnis perkayuan ke petrokimia. Langkah awal yang dilakukan adalah mengubah nama dari PT Barito Pacific Timber menjadi PT Barito Pacific, untuk semakin meyakinkan orang bahwa bisnis intinya telah berubah. Dan BRPT tidak sekedar mengubah nama tapi langsung tancap gas dengan mengakuisisi perusahaan petrokimia PT Chandra Asri beserta anak perusahaannya PT Styrindo Mono Indonesia dan kemudian PT Tri Polyta Indonesia Tbk, yang kebetulan salah satu key founders-nya juga merupakan founder BRPT.

Kebetulan bisnis perkayuan, yang dulu melambungkan founder BRPT ke jajaran papan atas perusahaan Indonesia, kini sedang menghadapi tantangan yang berat. Di dalam negeri, sebagai dampak penertiban illegal logging, perusahaan-perusahaan yang berbahan baku kayu mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku. Sementara di luar negeri, isu lingkungan juga menghadang perkembangan perusahaan-perusahaan berbahan baku kayu.

Ini tentu semakin merepotkan BRPT yang sebetulnya sudah kehilangan 2 unit usaha utama di bisnis perkayuan dengan luas area pengelolaan hutan yang sangat besar sebagai dampak dari krisis 1997-1998. Sehingga kalau terus bertumpu pada bisnis perkayuan, bukan tidak mungkin eksistensi BRPT di masa depan –yang di masa silam dikenal sebagai sebuah perusahaan raksasa Indonesia– akan terancam. Untunglah, ketika melakukan ekspansi di masa lalu, founder BRPT memutuskan untuk masuk ke industri petrokimia yang produk turunannya banyak merupakan barang yang dibutuhkan sehari-hari.

PT Chandra Asri merupakan produsen petrokimia utama Indonesia dan memiliki banyak produk turunan yang merupakan pemain dominan di industri. Variasi produknya juga lengkap karena perusahaan ini punya olein center dan fasilitas produksi yang mendukung rencana mengukuhkan posisi pasar yang kuat di masa depan. Kalau kelebihan tersebut ditambah dengan kelebihan PT Styrindo Mono Indonesia dan PT Tri Polyta Indonesia, maka posisi Chandra Asri di bisnis petrokimia sulit ditandingi para pesaing.

Beberapa produknya bahkan sudah punya brand equity yang cukup bagus. Hanya saja, posisi semacam itu tidak menjadi jaminan bahwa PT Chandra Asri akan selalu mencatat penjualan dan laba yang tinggi. Perusahaan ini dan perusahaan petrokimia miliknya sangat sensitif dengan volatilitas harga minyak sebagai sumber bahan baku tidak langsung yang menjelang pertengahan tahun 2008 sempat mencatat harga tertinggi.

Karena itu, BRPT tidak mau hanya menggantungkan diri pada bisnis petrokimia, tapi mulai menjajaki peluang di sejumlah industri yang mencatat angka pertumbuhan tinggi, mulai dari sektor energi hingga properti. Dengan harga minyak yang bergerak turun dan resesi dunia yang diperkirakan akan bisa teratasi di akhir tahun 2009, sepertinya waktu akan berpihak pada BRPT. Apabila ini yang memang terjadi, bukan tak mungkin jalan BRPT menjadi an aspiring petrochemical based conglomerate akan terbentang lebar.

"Philip Kotler's Executive Class: 57 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Monday, March 30, 2009

[Kompas 100]: Budi Acid Jaya: A Leading Tapioca Starch Company in the World

Senin, 30 Maret 2009 | 08:58 WIB

Oleh Hermawan Kartajaya dan Taufik

Di dunia, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara ketela. Ini bukan kalimat ejekan tapi penggambaran fakta. Sebagai salah satu negeri tropis, Indonesia adalah tempat yang bagus bagi tumbuhnya ketela. Dan tanaman ini merupakan sumber karbohidrat terbesar ketiga.

Hanya saja, ketela sering dianggap sebagai simbol second class. Maklum, ketela seringkali menjadi staple food di kala susah. Padahal di sejumlah negara lain yang juga merupakan penghasil ketela, ada banyak ragam hidangan lezat dari ketela.

Singkat kata, di tangan orang yang mau melihat jernih, ketela punya posisi yang bagus. Dan banyak yang paham dengan kelebihan yang ada di ketela, mencintai dan mengeksplorasi kelebihan ketela yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Di mana ketela yang diolah bisa menghasilkan berbagai macam bahan baku untuk makanan olahan.

Yang menarik, ternyata di negeri yang banyak menghasilkan ketela ini rupanya tak banyak perusahaan yang mencintai ketela dan mengembangkan produk olahan ketela. Salah satu dari sedikit perusahaan tersebut adalah Sungai Budi Group yaitu sebuah perusahaan agribisnis yang berbasis di Lampung.

Di tahun 1979, perusahaan ini mendirikan anak usaha yang bergerak di bidang ekstraksi produk ketela, PT Budi Acid Jaya Tbk (BUDI). Awal mula bisnis BUDI adalah sebagai pabrik asam sitrat. Selanjutnya, sebagai hasil dari reorganisasi SBG, BUDI difokuskan sebagai perusahaan penghasil produk berbasis tapioka, dengan produk utama berupa tepung tapioka dan asam sitrat.

Kini, dengan 13 pabrik tepung tapioka, 3 pabrik asam sitrat, dan 10 pabrik pengolahan bahan turunan tepung tapioka lainnya, BUDI adalah produsen tepung tapioka terbesar di Indonesia dengan menguasai sekitar 20 persen pangsa pasar.

Di dunia, BUDI dikenal sebagai salah satu pemain terbesar di tapioca starch, yang merupakan kontributor hingga 70 persen dari pendapatan perusahaan. Ini jelas suatu hal yang menarik, karena yang sebetulnya menjadi penghasil ketela terbesar di dunia adalah benua Afrika.

BUDI bisa mencapai posisi tersebut, karena bukan hanya paham bagaimana membuat tapioka menjadi bahan baku makanan olahan, tapi juga dalam budidaya ketela yang bisa menghasilkan produk ketela berkualitas.

BUDI sendiri tidak hanya berhenti pada upaya menjadi salah satu pemain terbesar di ketela, tapi juga ingin menjadi pemain yang bisa memberi inspirasi bagi perusahaan lain di industri yang sama atau industri berbeda.

Upaya tersebut ditempuh BUDI dengan mencoba menjadi green company, melalui Clean Development Mechanism dengan wujud pengolahan limbah tapioka hingga menjadi sumber tenaga listrik. Pencapaian ini membuat perusahaan mendapatkan Certified Emission Reduction dari United Nations Framework Convention on Climate Change dan sekaligus berhak mendapatkan carbon credit yang bisa dijual kepada perusahaan lain yang belum bisa memenuhi standard atas emisi karbon.

Tidak berhenti di situ, BUDI juga melakukan pengolahan terhadap limbah padat dari produksi tepung tapioka dan asam sitrat. Pengolahan ini menghasilkan pupuk organik yang pada tahun 2007 berhasil mendatangkan penjualan sebesar Rp 9 Miliar bagi perusahaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa upaya BUDI untuk mengurangi limbah perusahaan justru menghasilkan peningkatan penjualan perusahaan.

Target BUDI kedepan adalah melaksanakan produksi bioethanol yang menurut rencana akan dimulai tahun 2009. Dengan upaya ini, BUDI dapat semakin berkontribusi kepada pelestarian lingkungan dengan menjadi pemasok bahan bakar yang tidak berasal dari fossil. Langkah ini juga didukung oleh suatu institusi di Jepang yang memastikan akan menyerap produksi bioethanol dari BUDI serta juga turut membantu dalam pendanaan pembangunan pabrik.

Jika BUDI berhasil mencapai misinya untuk menjadi “the world’s largest and integrated cassava-based producer implementing green environment concept” seperti disebutkan dalam profil perusahaannya, tanpa mengorbankan kinerja finansial, atau bahkan dapat meningkatkannya, maka BUDI bisa menjadi model dan benchmark bagi perusahaan lain di Indonesia tentang bagaimana menjadi a profitable environmentally friendly company.


"Philip Kotler's Executive Class: 59 Days To Go"

Kompas

Sunday, March 29, 2009

[Kompas 100]: Indosat: An Agile Telecommunications Company

Minggu, 29 Maret 2009 | 07:47 WIB

Nama Chris Evert tidak mudah dilupakan oleh para penggila tenis dunia.

Ia adalah ratu tenis dunia di tahun 70-an, dilihat dari ranking dunia yang berhasil diraih dan banyaknya gelar Grand Slam yang dimenangkan. Sebetulnya, sampai dengan awal tahun 80-an Chris Evert masih menang di sejumlah turnamen Grand Slam, tapi di dekade 80-an itu ratu tenis dunia adalah Martina Navratilova, petenis yang bukan hanya meraih banyak gelar Grand Slam tapi juga punya masa bakti panjang. Chris dan Martina sebetulnya berkawan baik di luar lapangan, tapi demi menyemarakkan dunia tenis, keduanya bersaing untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.

Tapi Chris Evert bukan hanya sekedar petenis jagoan, ia juga bisa dikatakan sebagai generasi pertama petenis wanita yang indah dipandang di lapangan. Ia bisa dibilang ”pembuka jalan” bagi Maria Sharapova yang rupawan tapi pernah meraih rangkin satu dunia dan memenangi Grand Slam, dan juga Anna Kournikova yang rupawan dan seperti model tapi belum pernah menang di tunggal puteri Grand Slam –meski sudah pernah di ganda puteri– atau di dekade 90-an dengan Steffi Graf atau Gabriela Sabatini di akhir 80-an dan awal 90-an. Bukan hanya itu saja, kehidupan romantisnya bahkan ikut menyemarakkan dunia tenis di tahun 70-an dan 80-an walau tidak menjadi suatu distraction.

Pendek kata, Chris Evert tak ubahnya duta dunia tenis yang ampuh, yang rupawan tapi punya masa prestasi yang panjang. Dimana sekalipun tidak terus menerus di posisi nomor satu, bahkan tenggelam dalam bayang-bayang Martina Navratilova yang begitu perkasa, ia tetap efektif menjadi magnet dunia tenis. Dengan kata lain, bukan menjadi nomer satu pun bisa tetap efektif menjadi magnet.

Kalau dunia tenis pernah punya Chris Evert, maka dunia bisnis Indonesia punya PT Indosat Tbk (ISAT). Inilah perusahaan yang pada suatu masa merupakan creme de la creme bukan hanya di antara BUMN Indonesia tapi juga dalam dunia bisnis Indonesia secara keseluruhan. Hanya saja, karena ada pemain lain di industri ini yang ukurannya lebih besar dan punya posisi pasar yang begitu kuat, sinar ISAT —sebuah full network service provider yang tiga perempat pendapatannya ditopang oleh bisnis selular dan memang merupakan pemain nomor dua di industri seluler GSM— kalah mencorong.

Meskipun demikian, ISAT tetap bisa menunjukkan diri sebagai pemain yang gerak langkahnya begitu diwaspadai oleh para pesaingnya. Selain memang punya track record yang bagus dalam memperbaiki merek seluler hingga menjadi mencorong, ISAT juga terbukti bisa responsif dalam menghadapi manuver pesaingnya di era perang harga. Dengan cara seperti ini, ISAT terus berusaha membesarkan diri untuk mengejar pemain nomor satu, dan pada saat yang bersamaan gesit menghindar dari kejaran pemain nomor tiga.

Begitu perang harga dimulai oleh pemain yang lebih kecil, ISAT merespon dengan bersaing pada komunikasi harga dan kapasitas jaringan. Ini semua ditujukan untuk mengakuisisi pelanggan baru di industri yang prospek pertumbuhannya cukup tinggi ini. Maklum, para pemain yang lebih kecil, baik yang lama maupun yang baru, baik di kategori GSM maupun CDMA, agresif melancarkan program akuisisi pelanggan dan berpotensi menggerogoti posisi ISAT sebagai pemain terbesar kedua. Tapi ISAT tidak mau terlena dengan keberhasilannya dalam merespon era perang harga. Seiring dengan jenuhnya perang harga dan kapasitas jaringan yang sudah hampir penuh di seluler, ISAT juga menggarap dua pilar bisnis lainnya, fixed data dan fixed voice. Dan sebagaimana dilakukannya di seluler, di dua pilar bisnis tersebut, ISAT juga tidak ragu menunjukkan diri sebagai petarung yang tangguh.

Ini jelas bukan suatu hal yang mudah. Industri telekomunikasi seluler adalah industri yang resources hungry dimana size does matter. Tapi itu semua tidak menghalangi ISAT untuk tidak hanya pasrah di balik bayang-bayang pesaing yang lebih besar.

Dan yang membuat ISAT lebih pede adalah warisan sistem pengembangan SDM yang terbukti mampu adaptif menghadapi tantangan baru di industri telekomunikasi dan bisa melewati berbagai tantangan baru tersebut secara elegan. Bisa jadi, sistem SDM yang seperti itulah yang menjadi daya tarik para investor di industri telekomunikasi Indonesia.

"Philip Kotler's Executive Class: 58 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Investasi & Keuangan: Beli Saham ketika Bursa Bergerak?

Minggu, 29 Maret 2009 | 03:52 WIB

Adler Haymans Manurung Praktisi keuangan

Hampir seminggu lebih bursa mengalami kenaikan dan berbagai pihak mulai menganalisis lebih dalam. Bursa mulai naik sejak awal Maret. IHSG awal bulan berada pada level 1.256 dan pada Selasa (24/3) pada level 1.436 atau terjadi kenaikan 180 poin atau terjadi pertumbuhan (capital gain) 14,33 persen.

Pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dari investasi di deposito dan obligasi, tetapi risikonya memang lebih tinggi. Apa sebenarnya yang terjadi hingga bursa tumbuh cukup bagus dalam waktu kurang dari satu bulan? Apakah dapat kembali mencapai nilai tertinggi seperti pada Januari 2008? Bagaimana cara memilih saham-saham itu? Apakah tidak selayaknya melakukan profit taking agar memperoleh capital gain?

Bila dipelajari mendetail, kenaikan atau penurunan bursa dipengaruhi informasi di pasar dan yang diterima investor. Informasi paling kuat saat ini adalah mengenai pasar regional dan pasar negara maju, terutama situasi di Amerika Serikat.

Informasi tersebut sangat penting karena kapitalisasi pasar bursa di Amerika Serikat merupakan yang terbesar di dunia sehingga persoalan di bursa Amerika Serikat juga menjadi persoalan dunia.

Informasi yang memberi angin segar adalah Pemerintah Amerika Serikat akan membeli aset-aset beracun di lembaga keuangan, persis seperti yang dilakukan Indonesia ketika krisis tahun 1998.

Pemerintah Amerika Serikat akan membeli semua aset beracun sehingga lembaga keuangan tersebut bersih dari semua persoalan dan bisa bangkit kembali menggerakkan perekonomian. Tindakan ini menjadi perdebatan di masyarakat Amerika Serikat, termasuk para ekonom di sana.

Informasi ini memberi ekspektasi pertumbuhan ekonomi di negara tersebut melalui pertumbuhan perusahaan sehingga harga saham diharapkan akan bertumbuh pula. Ekspektasi ekonomi ini berdampak ke negara-negara lain, termasuk Indonesia, sehingga beberapa bursa mengalami kenaikan. Bila informasi yang baik tersebut terus mengalir ke bursa, bursa terus akan naik.

Jika diperhatikan saksama, sebenarnya bursa kita harus naik karena tidak ada persoalan mendasar yang membuat perusahaan kita tidak tumbuh. Bila pertumbuhan ingin ditingkatkan, pemerintah seharusnya memperbesar pengeluaran untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama untuk membangun jalan baru dan perbaikan yang rusak.

Gerbong kereta

Ekspektasi kenaikan bursa yang berlanjut dapat dianalogikan seperti kereta api yang menaiki perbukitan kecil yang terdiri dari lokomotif dan beberapa gerbong. Urutan gerbong ini dapat dianalogikan sebagai urutan saham, dimulai dari saham yang berkapitalisasi besar sampai dengan saham berkapitalisasi kecil.

Lokomotif dan gerbong pertama bisa dianggap sebagai saham-saham berkapitalisasi besar. Gerbong selanjutnya adalah saham berkapitalisasi menengah atau perusahaan berukuran medium. Selanjutnya, berakhir dengan saham berkapitalisasi kecil atau sering disebut perusahaan kecil. Untuk naik ke perbukitan tersebut, kereta paling depan yang pertama naik, yaitu gerbong dengan saham perusahaan besar dan di dalamnya ada saham blue chips.

Ketika saham berkapitalisasi besar sudah di puncak bukit, sebaiknya dijual dan kemudian membeli saham berkapitalisasi medium saat saham berkapitalisasi besar sudah mulai turun menuju ke arah nilai wajarnya. Ketika saham berkapitalisasi medium sampai di puncak bukit dijual dan kemudian membeli saham berkapitalisasi kecil. Dan seterusnya.

Pertanyaannya, berapa besar kenaikan agar bisa langsung keluar dan menukar saham yang dimiliki. Besarannya bergantung pada kekuatan hati para investor. Tetapi, investor jangan selalu rakus dan harus rasional. Bila investor sudah memandang cukup dan harus keluar, sahamnya harus segera dijual. Bila investor menentukan besarannya 10 persen, nilai 10 persen ini harus dibandingkan dengan hasil investasi pada bidang lain dan risiko yang dapat ditoleransi.

Selanjutnya, transaksi saham dapat juga dianalogikan seperti ibu atau wanita makan di pesta perkawinan dengan makanan sangat beragam, ingin mencicipi semua makanan tersebut, yang di meja sajian utama maupun yang ada di gubuk-gubuk makanan. Ibu tersebut akan mengambil makanan sedikit-sedikit untuk setiap makanan sehingga semua makanan dapat dicicipi.

Bertransaksi saham dapat dilakukan seperti ibu tersebut. Saham dibeli dan bila dirasakan sudah cukup capital gain-nya dijual, baru membeli saham lain. Artinya, semua caham dicoba, tetapi dengan keuntungan kecil sehingga hasilnya juga besar. Investor membeli lima saham sekaligus dan menunggu naik sekitar 5 persen sampai 10 persen dan keluar, kemudian membeli saham lain. Artinya, keuntungan investor juga sangat besar dan juga telah melakukan diversifikasi risiko. Saham-saham yang akan dibeli sebaiknya dianalisis dan dengan mengajak para analis berdiskusi. Selamat berinvestasi.

Kompas

- Muhammad Idham Azhari

Soros: Inggris "Kritis" (Minta Bantuan dari IMF Bukan Hal Mustahil)

Minggu, 29 Maret 2009 | 03:27 WIB

London, Sabtu - Keadaan sektor keuangan Inggris cukup ”kritis”. Negara ini bisa saja dipaksa meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendapatkan dana talangan. Jika kekuatan perbankan lebih besar dari perekonomian Inggris, jelas ini menjadi sumber masalah.

Demikian dikatakan eks spekulan kelas kakap dunia, George Soros, kepada harian Inggris, The Times, Sabtu (28/3).

Produk domestik bruto (PDB) Inggris berdasarkan nilai nominal pada 2007 sekitar 2,78 triliun dollar AS. Omzet perputaran keuangan di Inggris jauh lebih besar dari PDB itu.

”Anda mempunyai masalah karena kekuatan perbankan lebih besar dari kekuatan ekonomi,” kata Soros.

Inggris memiliki sejumlah bank bangkrut, seperti Northern Rock, dan bank besar yang menghadapi masalah keuangan, termasuk kerugian karena pengucuran kredit ke sektor perumahan di AS, antara lain HSBC, Barclays, HBO, dan Royal Bank of Scotland (RBS).

Inggris pernah mengalami kebangkrutan bank besar pada dekade 1990-an, yakni Barings Bank, karena tindakan spekulatif karyawannya yang berbasis di Singapura, Nick Leeson.

”Jika Inggris harus menanggung semua masalah itu (masalah perbankan), artinya negara memerlukan utang baru,” kata Soros.

Berapa kerugian perbankan Inggris? Menteri Keuangan Inggris Alistair Darling mengatakan, persoalan keuangan perbankan global amat sulit diketahui karena sepak terjang perbankan global, termasuk Inggris, tidak diketahui.

The Times bertanya kepada Soros, ”Apakah mungkin Inggris terpaksa meminta bantuan IMF?”

”Jika sistem perbankan terus bermasalah dan ambruk, hal itu dimungkinkan. Pada tahap sekarang ini, tampaknya belum perlu,” kata Soros yang pernah meraih untung 1 miliar dollar AS tahun 1992 saat ”Black Wednesday”. Saat itu Soros berhasil membobol Bank of England (bank sentral Inggris) dengan berspekulasi atas mata uang Inggris, poundsterling.

Soros menambahkan, Inggris berada dalam keadaan rapuh pada masa krisis sekarang ini.

Gagal jual obligasi

Soros mengatakan semua itu sehari setelah Pemerintah Inggris gagal menjual obligasi di pasar untuk pertama kali dalam 14 tahun terakhir. Penjualan surat utang ini bertujuan meraih uang tunai dari pasar demi kepentingan ekonomi negara.

Pada Januari lalu, Pemerintah Jerman juga gagal menjual surat utang.

Menteri Keuangan Inggris membantah kegagalan itu. Namun, pasar pada Jumat lalu tidak mau membeli semua surat utang Pemerintah Inggris senilai 1,75 miliar poundsterling.

Ekonomi Inggris terkontraksi 1,6 persen sepanjang kuartal IV-2008, keadaan terburuk sejak kontraksi yang pernah terjadi pada kuartal II-1980 akibat kenaikan harga minyak dunia. (AFP/REUTERS/MON)

Kompas

Saturday, March 28, 2009

[Kompas 100]: Duta Graha Indah: A Compact Construction Company

Sabtu, 28 Maret 2009 | 07:48 WIB

Meski tentara Swiss relatif tidak dikenal kiprahnya, Swiss Army knife sangat populer.

Pisau ini adalah pisau serba bisa yang gampang diperoleh dimana-mana. Maklum pisau ini memang beda dengan pisau komando para tentara dimanapun di dunia. Kalau pisau komando para tentara bisa merupakan survival tool dalam menghadapi hidup dan mati, maka Swiss Army knife bisa menjadi penyelamat bagi banyak orang yang tidak memiliki tool set tapi ingin memperbaiki sendiri berbagai masalah kecil di rumahnya.

Swiss Army knife tak ubahnya micro tool set, karena dilengkapi dengan peralatan perkakas yang paling banyak digunakan di rumah tangga. Mulai dari obeng hingga alat pengungkit untuk makanan kaleng. Jadi tak heran kalau banyak rumah tangga di dunia yang merasa wajib memilikinya.

Swiss Army knife yang fenomenal ini seperti melengkapi kejayaan Swiss sebagai negara penghasil produk rekayasa teknik serba mini. Dari negeri itu telah lahir berbagai produk arloji mekanik –simbol rekayasa teknik serba mini- yang banyak diantaranya merupakan merek-merek yang sudah terkenal di dunia berabad-abad. Jadi sebuah pisau serba bisa yang compact dan gampang dioperasikan siapapun terasa wajar kalau berasal dari Swiss.

Keunikan karakteristik Swiss Army knife itu bisa menjadi inspirasi banyak perusahaan yang kebetulan dari segi ukuran bukan terbesar di industrinya. Di industri konstruksi Indonesia, PT Duta Graha Indah Tbk (DGIK) adalah contoh perusahaan yang bukan pemain terbesar tapi terbukti sebagai sebuah perusahaan yang compact. Dimana ukuran tersebut diimbangi dengan kesiapan untuk masuk ke berbagai pasar baru.

Bermula sebagai perusahaan konstruksi yang mengerjakan berbagai proyek di Jakarta dan pulau Jawa di empat tahun pertama keberadaannya, mulai tahun 1986 DGIK menggarap proyek-proyek infrastruktur di luar pulau Jawa, yaitu Lampung dan Sumatera Selatan, seperti stadiun, jalan dan proyek irigasi selama tiga tahun. Bagi DGIK, periode ini seolah merupakan periode membangun kompetensi menangani proyek infrastruktur di area dengan akses transportasi yang relatif terbatas. Berbekal pengalaman semacam itu, mulai tahun 1990 sampai tahun 1997 DGIK kemudian memperluas aktivitasnya di proyek infrastruktur ke wilayah luar pulau Jawa lainnya, seperti di Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan.

Periode 7 tahun tersebut bisa dibilang tahapan kedua membangun brand equity, karena dalam tahap ini DGIK bukan hanya sekadar mengerjakan proyek konstruksi dan infrastuktur tapi juga mencoba membangun perceived quality. Ini misalnya dilihat dari kemampuannya menyelesaikan proyek seperti jalan raya sepanjang 204 km di medan yang sulit di Nusa Tenggara Timur dan juga sebagai perusahaan konstruksi swasta pertama yang membangun bendungan, yaitu Bendungan Sermo, serta gedung-gedung tinggi di Jakarta yang salah satu adalah gedung yang kini merupakan kantor Bursa Efek Indonesia. Dengan portfolio semacam ini, DGIK bukan hanya punya pengalaman yang luas tapi juga berkualitas.

Meskipun demikian, DGIK tidak bisa mengelakkan diri dari dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia di tahun 1997-1998. Krisis tersebut bahkan memaksa DGIK sampai dengan tahun 2002 lebih memilih proyek infrastruktur yang didanai Asian Development Bank dan World Bank, dan proyek konstruksi lain yang aman dari segi pendanaan. Boleh dikata, dalam kurun waktu 1997-2002 DGIK memilih berhati-hati sambil memanfaatkan brand equity yang berhasil dibangun selama kurun waktu 1990 – 1997.

Setelah yakin bahwa mulai tahun 2003 business landscape di industri konstruksi Indonesia kembali terlihat cerah, terutama setelah Otonomi Daerah, yang mulai diberlakukan di tahun 2001, mendorong percepatan proyek insfrastruktur di daerah, DGIK kembali tancap gas.

Berbekal pengalaman panjang membangun proyek insfrastruktur yang berkualitas di wilayah dengan akses transportasi yang terbatas, DGIK bergerak aktif menggarap berbagai proyek infrastrukur di luar Jawa, mulai dari proyek konstruksi dan infrastruktur dengan akses transportasi yang menantang seperti di kepulauan Natuna hingga ke salah satu landmark di pulau Sulawasi, bandara Sultan Hasanuddin di Makasar Sulawesi Selatan. Portfolio proyek semacam itu masih ditambah dengan pembangunan kompleks Grand Indonesia yang merupakan salah satu commercial development besar di Indonesia dan kompleks ini mencakup mall terbesar di Asia Tenggara, gedung perkantoran, hotel dan apartemen yang terletak di jantung kota Jakarta.

Pencapaian semacam itu menunjukkan bahwa sekalipun DGIK bukan merupakan yang terbesar tapi memiliki porfolio proyek yang impresif. Dengan kata lain, DGIK tak ubahnya seperti a compact construction company.

"Philip Kotler's Executive Class: 60 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Krisis Permudah Pencucian "Uang Panas"

Sabtu, 28 Maret 2009 | 07:13 WIB

LIMA, KOMPAS.comKrisis ekonomi dan kurangnya pembiayaan untuk kegiatan bisnis yang sesuai dengan kaidah hukum membuka peluang bagi para penyelundup uang untuk mencuci uang hasil kejahatannya. Secara teoretis, kesempatan tersebut hanya sedikit karena adanya regulasi yang semakin ketat soal praktik pencucian uang.

Pemerintah di sejumlah negara memberlakukan berbagai persyaratan dan memperketat aturan untuk mencegah peredaran uang panas lebih luas.

Namun, Antonio Costa, Direktur Eksekutif Kantor PBB yang menangani Narkotik dan Kriminal (UNODC), meningkatkan tanda bahaya.

Dia memperingatkan bahwa sulitnya perusahaan mendapatkan kredit dan permodalan membuat para pedagang narkotik mudah mencuci uang hasil keuntungan dari transaksi barang haram.

Pencucian uang adalah kegiatan menyamarkan uang hasil kejahatan agar terlihat seolah-olah menjadi hasil transaksi legal. ”Perdagangan ilegal narkotik belum terkena dampak krisis,” ujar Costa.

Ironisnya, sistem finansial di beberapa negara dapat digunakan sebagai tempat yang aman untuk menyimpan uang hasil kejahatan itu

300 miliar dollar AS

Menurut UNODC, perdagangan narkotik ilegal global memiliki omzet sekitar 300 miliar dollar AS. Satu dekade lalu, omzet hanya sekitar 40 miliar dollar AS.

Para penyedia uang panas yang berasal dari perdagangan narkotik memanfaatkan celah pencucian uang di negara-negara dengan sistem keuangan yang sangat ketat, seperti Swiss dan Luksemburg.

Negara lain, seperti Liechtenstein, Cayman Islands, dan Panama, telah sepakat mempererat kerja sama pertukaran informasi. Akan tetapi, kontrol yang memadai atas aliran dana haram ini belum juga dilaksanakan dengan baik.

Seorang pejabat pada Kedutaan Besar Amerika Serikat di Bogota mengatakan, krisis global tidak memiliki dampak banyak terhadap perdagangan narkotik. ”Sebaliknya, krisis telah membuka peluang bagi para pedagang narkotik untuk mempermudah proses pencucian uang mereka,” katanya. Dia menolak disebutkan namanya.

Godaan mendapatkan uang dengan cepat di zaman susah seperti ini, bahkan uang haram yang berasal dari penjualan narkotik, juga membuat mereka lebih mudah mencuci uangnya. Menurut pejabat itu, sikap semacam ini berada di berbagai level dari orang biasa hingga eksekutif perbankan. Dikhawatirkan, di beberapa negara, uang panas akan memasuki sistem perbankan jika tidak ada aturan ketat yang mencegahnya. (AFP/JOE)

Kompas

Akhiri Pekan Ini, Harga Minyak Terjun Bebas

Sabtu, 28 Maret 2009 | 06:13 WIB

NEW YORK, KOMPAS.com - Harga minyak mentah merosot tajam mengakhiri transaksi pekan ini. Sementara harga gas alam terjun ke angka terendah dalam 7 tahun terakhir, Jumat (28/3), sebagai dampak dari kemerosotan tajam konsumsi energi di kalangan industri.

Kontrak pengiriman minyak mentah light, sweet untuk Mei turun 1,96 dollar AS serta ditutup pada 52,38 dollar AS per barrel di bursa komoditas New York Mercantile Exchange. Sementara di bursa komoditas ICE Futures, London, kontrak pengiriman minyak mentah Brent merosot 1,48 dollar AS serta ditutup pada 51,98 dollar AS per barrel.

Menguatnya nilai dollar AS mengalihkan investor dari transaksi komoditas. Harga minyak mentah yang diperdagangkan di dalam dollar AS cenderung bergerak berlawanan arah dari nilai mata uang tersebut.

Harga minyak mencetak rekor kenaikan baru 2009 pada Selasa (24/3) dan Kamis (26/3). Berkembang konsesus di kalangan pakar bahwa dunia akan mengalami masa kekurangan bahan bakar saat sejumlah produsen minyak memangkas produksi serta eksplorasi. Namun, sebagian besar analis sepakat bahwa masa itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat mengingat permintaan pasar akan bahan bakar telah merosot tajam.

JIM
Sumber : AP
Kompas

- Muhammad Idham Azhari

Friday, March 27, 2009

[Kompas 100]: Global Mediacom: "An Integrated ICT Company"

Jumat, 27 Maret 2009 | 07:46 WIB

Apa beda Restoran Padang di Indonesia dan di negara tetangga kita?

Jawabannya bisa ditemukan pada pengalaman orang Indonesia yang memang suka makan di Restoran Padang di Indonesia dan juga di Malaysia. Di Indonesia, sudah jamak rasanya kalau tamu dilayani oleh pelayan yang mendatanginya dengan membawa banyak piring sekaligus dengan beraneka ragam makanan di atasnya. Sedangkan di Kuala Lumpur, banyak orang Indonesia yang masuk di Restoran Padang di sana kaget ketika tidak menemukan ritual seperti itu, tapi malah di tanya dulu mau pesan apa dan baru dilayani.

Ini sungguh sesuatu yang menarik, karena operasional Restoran Padang menjadi sedikit lebih ramping dengan tidak lagi ada pelayan yang membawa deretan piring kecil di atas tangannya. Perubahan semacam itu memaksa Restoran Padang di negara tetangga untuk bersaing dalam the same level of playing field dengan restoran-restoran lain: makanan yang enak dan lezat serta standard process, from order to delivery. Apabila mampu bersaing di Kuala Lumpur, bukan tak mungkin Restoran Padang akan menjadi fenomena internasional seperti Restoran Thailand.

Banyak perusahaan besar yang sebetulnya melakukan proses seperti yang dilakukan Restoran Padang di negeri tetangga. Ini mereka lakukan karena tuntutan persaingan sangat ketat, termasuk dalam menghadapi para spesialis. Dalam kondisi semacam itu, perusahaan besar biasanya akan bersaing dengan menawarkan integrated offerings.

Inilah yang dilakukan oleh PT Global Mediacom Tbk (BMTR). BMTR, yang bergerak di bisnis media berbasis konten & iklan, telekomunikasi & TI, serta media berbasis pelanggan, ingin mengikuti jejak sejumlah perusahaan media besar global yang berambisi menjadi perusahaan ICT. BMTR memang sudah mengalami banyak perubahaan sejak didirikan pada tanggal 30 Juni 1981 dengan nama PT Bimantara Citra.

Pada awalnya, BMTR bergerak di bisnis perdagangan umum dengan enam bidang usaha, yaitu: media dan penyiaran, telekomunikasi dan teknologi informasi, hotel dan properti, kimia, infrastruktur, serta transportasi. Namun dalam perkembangannya, BMTR lalu melepas beberapa bidang usaha dalam upaya untuk meningkatkan fokus perusahaan. Restrukturisasi ini sepertinya didorong oleh hadirnya Bhakti Investama, yang terlibat dalam BMTR sejak tahun 2002 dengan pembelian sebagian saham perseroan, dan pada awal 2007 menjadi pemilik mayoritas dengan memegang 51 persen kepemilikan.

Dengan melepas beberapa aset serta melakukan perubahan nama dan logo perusahaan pada tahun 2007, tampaknya BMTR ingin menunjukkan keseriusannya dalam memfokuskan diri sebagai perusahaan media dan telekomunikasi.

Beberapa brand yang pada saat konsolidasi dimiliki oleh BMTR adalah MNC –termasuk stasiun televisi RCTI, Global TV, dan TPI–, perusahaan telekomunikasi Mobile-8, dan televisi berlangganan Indovision. Namun dalam perkembangannya, BMTR akhirnya melepas Mobile-8 yang memang tidak menunjukkan kinerja yang memuaskan. Dimulai pada akhir 2008, kepemilikan BMTR pada perusahaan telekomunikasi tersebut mulai di lepas ke berbagai pihak, terutama ke Jerash Investment Ltd, sebuah perusahaan yang berbasis di Dubai. Kini kepemilikan BMTR di Mobile-8 hanya tersisa 19 persen saja.

Setelah melakukan seluruh upaya restrukturisasi ini untuk menunjukkan komitmen perusahaan dalam industri media, tantangan BMTR ke depan adalah bagaimana dia dapat me-leverage kekuatan yang terbentuk untuk tidak saja berhasil menjadi media giant di Indonesia, tapi juga bersaing di tingkat global.

Beberapa langkah awal untuk memasuki pasar Asia memang sudah dilakukan oleh BMTR, seperti membentuk kerjasama dengan StarHub untuk menyiarkan The Indonesian Channel di Singapore, dan juga melakukan akuisisi terhadap sebagian besar saham Linktone Ltd., penyedia layanan hiburan interaktif wireless ternama di China. Jika BMTR sukses merambah pasar regional dan me-leverage-nya untuk memperkuat bisnisnya di pasar domestik, maka posisi sebagai an integrated ICT company di Indonesia akan menjadi kuat.

"Philip Kotler's Executive Class: 61 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

"Hedge Fund" Akan Diatur: Indonesia Termasuk yang Diuntungkan jika Terlibat Serius

Jumat, 27 Maret 2009 | 05:26 WIB

WASHINGTON, KOMPAS.com - Hedge fund, yang dituduh menjadi pemicu utama krisis keuangan global, segera diatur. Semua transaksi hedge fund yang selama ini spekulatif, gelap, dan liar segera ditertibkan.

Demikian salah satu isi rancangan yang sudah mulai dibicarakan Menkeu AS Timothy Geithner di hadapan Kongres AS, Kamis (26/3), Washington.

RUU itu juga akan mengatur perusahaan sekuritas, termasuk jenis-jenis transaksi yang amat rumit, kompleks, tidak transparan, dan berdaya eksplosif seperti yang terbukti dengan meletusnya krisis ekonomi global terparah sejak Malaise 1929 di AS, julukan bagi depresi besar ekonomi.

Hampir semua dari 8.000 perusahaan hedge fund, julukan kumpulan dana-dana investasi, yang dikelola para manajer (fund manager), bermarkas di Inggris dan AS. Selama kepemimpinan George W Bush di AS dan Tony Blair di Inggris, seruan penertiban hedge fund itu ditepis.

AS di bawah Presiden Barack Obama dan Inggris di bawah kepemimpinan PM Gordon Brown membuat semua upaya pemberantasan itu kini menjadi mungkin. Upaya penertiban segala transaksi keuangan itu akan dibahas dalam pertemuan G-20 di London, 2 April. Indonesia juga terlibat sebagai anggota G-20.

”Pengaturan diperlukan untuk memperbaiki kekacauan yang bermuara dari sektor keuangan. Tujuannya adalah memperbaiki sistem yang terbukti rapuh dan tak memberikan stabilitas. Dalam 18 bulan terakhir, kita telah menghadapi krisis keuangan parah. Karena itu, kita memerlukan peraturan baru,” kata Geithner.

Salah satu penyebab kekacauan sektor keuangan adalah taruhan-taruhan spekulatif di pasar uang dan pasar modal dengan karakter para pelakunya tidak diketahui. Hal ini dimungkinkan karena ada negara-negara seperti Singapura, Hongkong, Swiss, Austria, dan negara-negara lain yang dijuluki off-shore centers, atau safe haven, memberi perlindungan. Hal ini telah menjadi sorotan utama PM Brown.

Salah satu contohnya adalah tindakan spekulatif para hedge fund yang mendorong naik atau turunnya harga-harga komoditas. Contoh lainnya adalah transaksi hedge fund yang tidak saja ingin meraih untung, tetapi juga bermaksud menelan dana investor dengan berbagai tipu muslihat.

Demi kepentingan negara

Hal ini sering diingatkan George Soros, juga pemilik hedge fund. Indonesia juga termasuk menjadi sasaran dari para pemangsa, yang membuat sejumlah pihak sering tidak bisa menjelaskan mengapa harga saham atau kurs rupiah mendadak naik atau anjlok.

Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Freddy Rickson Saragih mengatakan, keseriusan global soal pengaturan sektor keuangan itu jelas sangat menguntungkan Indonesia.
Risiko instabilitas akibat gejolak di sektor keuangan akan berkurang. Freddy menambahkan, Indonesia sebagai anggota G-20 bisa menimba ilmu soal peraturan sektor keuangan global. Aspek lain yang membuat Indonesia untung adalah posisi sebagai anggota G-20 yang membuat Indonesia masuk dalam kelompok pemilik modal besar di dunia. G-20, terdiri dari 20 negara, pemilik aktivitas ekonomi dunia sebesar 80 persen.

Di sisi lain, kata Freddy, sebagai anggota G-20 Indonesia memang harus terpanggil dan terlibat untuk menata sektor keuangannya. ”Jika tidak, kita berisiko untuk dikeluarkan dari G-20. Namun, jangan melihat risiko itu. Lihatlah manfaat dari penataan sektor keuangan yang memberi jaminan kestabilan,” kata Freddy.
Dia menambahkan, penataan dan kestabilan sektor keuangan akan membuat Indonesia diminati para investor.

”Negara butuh pembiayaan pembangunan dengan dana-dana investasi berjangka panjang. Bagaimana hal ini bisa kita raih jika sektor keuangan tidak ditata? Untuk itu, kita membutuhkan sistem yang memberi jaminan dan rasa aman bagi para pemilik modal,” kata Freddy. (REUTERS/AP/AFP/MON)

Kompas

- Muhammad Idham Azhari

Wednesday, March 25, 2009

[Kompas 100]: Tunas Baru Lampung: "A Fast Growing Integrated Palm Oil Company"

Rabu, 25 Maret 2009 | 07:29 WIB

KOMPAS.com — Di olahraga tinju, Kuba sering dijadikan benchmark.

Maklum negara ini dikenal sebagai negara yang memiliki banyak petinju yang berhasil meraih medali emas olimpiade. Yang menarik ternyata negara ini tidak ragu-ragu untuk mengirimkan para pelatih ke berbagai negara di dunia untuk melatih para petinju lokal di sana. Tapi hal tersebut ternyata tidak mengganggu kedudukan Kuba sebagai negara tinju dunia.

Istilah dunia bisnis untuk Kuba adalah negara yang bisa mengintegrasikan olahraga tinju sebagai sebuah proses produksi terintegrasi. Selain punya para petinju berbakat, Kuba juga punya banyak pelatih yang bagus. Karena itu, membuat sebuah pabrik penghasil petinju bukan merupakan suatu masalah bagi Kuba.

Inilah yang kelihatannya akan terjadi di industri kelapa sawit dan minyak goreng. Keberhasilan Indonesia menjadi negara pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia, meng-encourage banyak pemain baru masuk di industri ini. Pada saat yang bersamaan, beberapa pemain yang sudah lebih dulu masuk, tapi namanya tidak dikenal di luar industri, pelan tapi pasti bahkan mulai mengembangkan sebuah bisnis minyak sawit terintegrasi.

Langkah semacam itu didasari pesatnya pertumbuhan yang dicapai banyak perusahaan di industri ini. Perusahaan produsen minyak goreng nabati, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, serta derivatif-nya juga mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun belakangan. Salah satu perusahaan tersebut adalah PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA). Sebagai ilustrasi, pada kuartal ketiga 2008, TBLA mencatatkan penjualan sebesar Rp 3,132 triliun yang berarti pertumbuhan sebesar 138,4 persen yang juga mendorong peningkatan laba bersih sebesar 419,6 persen. TBLA memang cukup agresif dalam melakukan ekspansi.

Pertengahan 2008, TBLA melakukan perluasan lahan kelapa sawit di Banyuasin, Sumatera Selatan, seluas 29.500 hektar. Sebelum itu, perusahaan juga melakukan ekspansi di Pontianak seluas 30.000 hektar. Ini menjadikan total luas tanah yang dikendalikan TBLA sebesar sekitar 100.000 hektar, di mana sekitar 50 persen darinya sudah tertanam. Pada akhir tahun 2008, TBLA juga melakukan pembangunan dermaga CPO di Lampung untuk menunjang proses ekspor CPO. Pasar ekspor memberikan kontribusi sekitar 75 persen dari total penjualan TBLA.

Tahun 2009, perusahaan juga terus melakukan perkembangan usaha dengan mengakuisisi lahan seluas 50 hektar di Palembang yang akan digunakan untuk pembangunan pabrik. Memang perlu diketahui bahwa investasi di kelapa sawit, dan juga di kebanyakan sektor agribisnis, adalah investasi jangka panjang. Butuh waktu sekitar 4 tahun hingga suatu perkebunan bisa menghasilkan panen. Dengan demikian, ekspansi lahan tidak akan secara langsung memberikan kontribusi bagi pertumbuhan perusahaan.

TBLA memang bukan pemain baru di industri ini. Perusahaan berdiri sejak tahun 1973 sebagai bagian dari Sungai Budi Group, yang merupakan pionir di industri agrikultur Indonesia sejak tahun 1947. Afiliasi dengan salah satu produsen dan distributor produk agrikultur terbesar di Indonesia ini membawa nilai lebih tersendiri bagi TBLA. Selain mendapatkan pengalaman dan industry knowledge dari Sungai Budi Group, TBLA juga mengandalkan jaringan distribusi mereka, yang sudah tersebar di seluruh Indonesia, untuk distribusi produk yang ditujukan untuk pasar domestik.

Dengan terus meningkatnya permintaan akan produk minyak kelapa sawit dan produk turunannya seiring dengan pertumbuhan penduduk, TBLA mungkin tidak perlu khawatir dengan penjualan perusahaan ke depan. Dengan demikian, fokus perusahaan adalah lebih dalam hal memastikan suplai bahan baku, dengan akuisisi dan penggarapan lahan baru, serta menurunkan cost produksi untuk meningkatkan laba. Namun, ada satu hal tambahan yang perlu menjadi perhatian TBLA ke depan, yaitu persoalan lingkungan hidup.

Seiring dengan meningkatnya perhatian publik terhadap masalah global warming dan isu environmental, industri kelapa sawit mendapatkan sorotan yang tajam dari dunia internasional mengenai sustainability dari bisnis ini. Dan sebagai produsen terbesar minyak kelapa sawit, tentunya banyak perhatian tersebut ditujukan ke Indonesia, termasuk ke perusahaan yang bergerak dalam industri kelapa sawit, seperti TBLA.

Dengan demikian, kami melihat tantangan ke depan bagi TBLA adalah bagaimana perusahaan dapat mengantisipasi tuntutan perubahan ini. Bukan saja perubahan dalam hal minimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan, seperti sudah dilakukan TBLA antara lain dengan efisiensi penggunaan sumber daya alam serta menurunkan produksi limbah, tapi juga dalam menjadi pionir dalam pengembangan model bisnis baru kelapa sawit yang sustainable.

Jika TBLA mampu mempersiapkan diri dalam menghadapi tuntutan perubahan industri kelapa sawit global, dan menjadi pelopor dalam pengembangan konsep sustainable palm oil di Indonesia, perusahaan akan dapat menjaga tingkat pertumbuhannya yang tinggi dan benar-benar menjadi a fast growing integrated palm oil producer.

"Philip Kotler's Executive Class: 63 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Tuesday, March 24, 2009

[Kompas 100]: Apexindo Pratama Duta: "A Challenger in One of the World's Risky Businesses"

Selasa, 24 Maret 2009 | 07:02 WIB

Apa inspirasi yang bisa didapat dari Prof Padmosantjojo?
Keterbatasan teknologi dan fasilitas semestinya tidak menjadi penghalang untuk menjadi pemain yang disegani di dunia internasional. Dengan teknologi dan fasilitas terbatas, Prof Padmosantjojo bisa memimpin proses pemisahan kembar siam dempet kepala dengan sukses dan pasiennya kini hidup dengan normal di Tanjung Pinang, Riau. Prinsip seperti itu dipahami benar oleh PT Apexindo Pratama Duta, Tbk (APEX).

Sebagai perusahaan nasional penyedia jasa pengeboran oil and gas yang terbesar di Indonesia, tidak berarti APEX dapat dengan mudah bergerak dalam industri ini. Selain bersaing dengan PT Elnusa Tbk, APEX, dengan kompetensi utama di bidang jasa kontrak rig pengeboran minyak lepas pantai, bersaingan langsung dengan Global Santa Fe Corporation dan juga Transocean, raksasa internasional yang sudah bergerak di bidang ini sejak tahun 1970-an , bahkan keduanya baru saja melakukan merger di akhir 2007. Belum lagi persaingan dari penyedia jasa oilfield services seperti Halliburton dan Schlumberger, yang oleh majalah BusinessWeek sempat disebut sebagai The Stealth Oil Giant yang bahkan ditakuti perusahaan-perusahaan minyak besar dunia.

APEX didirikan pada tahun 1984 sebagai anak perusahaan dari PT Medco Energi Internasional Tbk yang bergerak dalam jasa layanan pengeboran lepas pantai. Selanjutnya, setelah merger dengan PT Medco Antareja, kontraktor pengeboran darat yang juga dimiliki oleh Medco, pada tahun 2001, APEX memperluas lingkup kerjanya untuk menawarkan pula onshore services. Untuk itu, semenjak membangun offshore rig pertamanya pada tahun 1992, APEX terus berkembang hingga kini perusahaan memiliki 8 rig darat, 6 rig lepas pantai plus 1 rig super premium yang baru. Namun hingga kini bisnis APEX terbesar tetap berada dalam penyewaan dan operasional offshore rig.

Pada akhir 2008, PT Mitra Rajasa, Tbk melakukan akuisisi mayoritas saham APEX, yang sebagian besar beli dari pihak Medco. Sehingga, kini Mitra Rajasa memiliki sekitar 98% dari APEX. Inilah yang akhirnya mengharuskan perusahaan untuk memulai proses de-listing dari Bursa Efek Indonesia, karena adanya aturan chain listing yang melarang perusahaan terbuka untuk memberikan kontribusi lebih dari 50 persen pendapatan perusahaan induknya. Perlu dicatat bahwa pelepasan APEX oleh Medco lebih disebabkan karena keinginan Medco untuk fokus pada industri produksi minyak, bukan karena permasalahan kinerja APEX.

Dalam bersaing dengan raksasa internasional, tentunya APEX pertama-tama harus dapat memenuhi tuntutan persyaratan dari perusahaan klien – yang sebagian besar juga merupakan perusahaan manca negara – yang sangat ketat. Sebagaimana diketahui, perusahaan minyak multinasional pada umumnya sangat concern terhadap kesehatan dan keselamatan (Health and Safety) kerja dari pegawainya. Ini sebagian tentunya karena mereka juga terikat aturan hukum negara di mana mereka didirikan.

Dengan beberapa kali mendapatkan pengakuan dari beberapa kliennya akan tingginya tingkat keselamatan dan kesehatan kerja yang mampu dipertahankan oleh APEX, tampaknya mereka memang memberikan perhatian tinggi terhadap masalah Health and Safety ini. Sehingga tidak heran jika APEX berhasil mendapatkan kontrak kerja dari berberapa perusahaan multinasional ternama dunia, antara lain Chevron, Total E&P Indonesie, Santos dan Crescent Petroleum. Bahkan kontrak APEX dengan Crescent Petroleum adalah untuk penggarapan sumur minyak di luar Indonesia, tepatnya di UAE dan Oman.

Kemampuan menjaga standarisasi kerja, dan tentunya juga disertai harga yang lebih kompetitif dibandingkan pesaing internasional-nya inilah yang menjadi kekuatan APEX. Jika APEX bisa menjaga kinerja ini ke depan, dan menjadi salah satu kontraktor andalan perusahaan perusahaan minyak raksasa dunia, termasuk –seperti sudah mulai dilakukannya— melakukan ekspansi ke luar Indonesia, tidak mustahil APEX dapat menjadi salah satu oil services company yang di segani di Asia.

"Philip Kotler's Executive Class: 64 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Google Chrome Paling Tahan Serangan Hacker

Selasa, 24 Maret 2009 | 01:49 WIB

VANCOUVER, KOMPAS.com - Chrome menjadi browser yang paling tahan dari serangan hacker tahun ini. Setidaknya itulah hasil Pwn2Own, sebuah kompetisi yang menguji pakar keamanan jaringan untuk dapat menembus sistem keamanan pada tanggal 16-20 Maret dalam kegiatan CanSecWest Security Conference di Vancouver, Kanada.

Pada kompetisi tahun ini, Charlie Miller yang juga pemenang perlombaan tahun lalu berhasil membobol sistem keamanan Safari hanya dalam waktu 10 detik saja. Diakui oleh analis keamanan di Independent Security Evaluators ini, bahwa sebenarnya ia sudah menemukan celah pada sistem Safari sejak tahun lalu.

Walau melalui proses yang cukup sulit, si penyerang dapat langsung menyerang keamanan hanya dengan menunggu saat si pengguna komputer meng-klik suatu link pada url jahat. Pada kompetisi itu juga, IE8 dan Safari dapat ditembus sistem keamanannya. Firefox dan IE8 juga tembus dalam waktu 12 jam.

Sedangkan untuk Chrome, para peserta sebenarnya sudah mampu menemukan sebuah bug pada sistem keamanannya. Namun, bug tersebut tidak dapat dieksploitasi lebih lanjut karena browser tersebut memiliki feature Sandbox. Ditambah pula adanya kerjasama dengan sistem operasi untuk memberikan perlindungan terbaik.

Kemenangan Chrome cukup mengejutkan karena browser tersebut baru diluncurkan pada paruh terakhir tahun lalu. Portofolio Google Chrome juga bertambah setelah mendapatkan animo besar sehingga tercatat sebagai software paling banyak didownload dalam 24 jam dan langsung merebut pangsa pasar 1 persen.

Pwn2Own tahun ini, kompetisi dibagi menjadi dua kelas teknologi, yaitu web browser dan mobile phone. Kompetisi ini disponsori oleh TippingPoint, sebuah perusahaan keamanan jaringan. Web browser yang diperlombakan pada kompetisi tahun ini adalah Internet Explorer 8, Firefox, Chrome, dan Safari. Sedangkan untuk mobile phone yang dipertandingkan adalah Blackberry, Android, iPhone, Nokia/Symbian, dan Windows Mobile.

Hadiah yang ditawarkan cukup menggiurkan, yaitu 5000 dollar AS per bug pada web browser, dan 10.000 dollar AS per bug pada mobile phone. Peserta juga dapat membawa pulang laptop yang digunakan untuk menjebol sistem keamanan secara gratis, yakni Sony Vaio atau Macbook asalkan peserta tersebut menjadi orang pertama yang dapat menunjukkan bug.

Para peserta juga diharuskan untuk menandatangani perjanjian, yang menyatakan bahwa mereka tidak boleh menyebarluaskan bug yang mereka temukan. Dengan perlombaan ini, diharapkan para developer web mampu mengetahui bug apa saya yang ada pada web browser mereka dan segera menambah celah yang ada.

Kompas

Monday, March 23, 2009

[Kompas 100]: Matahari Putra Prima: "A Multi Specialist Retailer"

Bagian 41 dari 100

Senin, 23 Maret 2009 | 07:31 WIB

TAK banyak artis yang bisa seperti Jennifer Lopez atau J.Lo. Ia adalah salah satu dari sedikit artis yang bisa melakoni berbagai profesi, mulai dari penyanyi, produser rekaman dan televisi, penari, sampai desainer busana. Artis Hollywood keturunan Latin American terkaya menurut Forbes ini memang dikenal sebagai artis multi-talenta. Yang lebih menarik lagi adalah Ben Stiller yang main di film komedi Tropic Thunder. Di sana, Stiller berperan sebagai produser, penulis naskah, sutradara, dan bahkan menjadi pemain utama. Tampil dengan berbagai wajah, Stiller seakan-akan bekerja sendirian untuk melahirkan film ini.

Jika di Hollywood, tampil dengan berbagai wajah itu biasa, tidak demikian halnya di industri ritel Indonesia. Boleh dibilang jarang ada pemain yang berani masuk di area bisnis yang beragam seperti yang dilakukan PT Matahari Putra Prima Tbk (MPAA). MPPA memang memiliki Matahari Department Store, Matahari New Genaration, Hypermart, Foodmart, Boston Pharmacy, Timezone dan unit usaha penunjang bisnis retail.

Menyadari bahwa pasar sandang dan pangan selalu besar, terutama di pasar menengah, baik di saat kondisi ekonomi baik maupun krisis, MPPA mengembangkan bisnisnya di area tersebut. Meski beberapa format ritelnya menyasar segmen yang lebih tinggi, MPPA harus diakui merupakan spesialis pasar menengah. Makanya pengembangan bisnisnya bisa begitu massal dan flagship brand Matahari untuk ritel sandang bisa mudah diterima masyarakat luas. Model bisnisnya di segmen ini juga boleh dibilang mapan. Karena itu, perluasan ke area ritel atau format lain di segmen yang sama atau sedikit lebih tinggi tidak menjadi masalah buat MPPA.

MPPA bahkan berhasil mengintegrasikan berbagai multi-format retail menjadi satu penawaran dalam Matahari Club Card (MCC). Sangat jarang ada pemain ritel di Indonesia yang mampu memberikan penawaran komplit seperti ini di bawah satu bendera perusahaan dan kartu keanggotaan pelanggan. Sekitar 4 juta orang sudah bergabung ke dalam program loyalitas ini. Hebatnya, kartu keanggotaan ini tidak diberikan secara gratis. Karena itu, hanya penawaran yang multi-benefit yang bisa menarik jumlah anggota sebanyak itu.

Tantangan MPPA ke depan adalah bagaimana menata merek-merek format ritel yang dimilikinya sekarang dengan menyeimbangkan antara fleksibilitas setiap format untuk berkembang dan integrasi dari berbagai format tersebut. Kompleksitas mulai muncul karena segmen yang dituju mulai berbeda jauh secara vertikal. MPPA sempat beberapa kali mengganti merek untuk menyasar segmen yang lebih tinggi. MPPA, misalnya, mempunyai Galeria, lalu diubah menjadi Parisian untuk menyasar segmen yang jauh lebih tinggi, dan kemudian dikembalikan menjadi Matahari New Generation untuk segmen yang mirip dengan segmen Galeria. Penggantian merek secara strategis seperti ini seharusnya dapat diminimalkan frekuensinya sehingga tidak menimbulkan kebingungan di pasar.

Selain mengembangkan bisnisnya ke berbagai format lain, MPPA juga harus terus mempertahankan posisinya di segmen menengah yang menjadi primary market bagi flagship brand Matahari. Dengan demikian, MPPA akan mempunyai fondasi yang lebih kokoh untuk bermain di area-area baru dan menjadi semakin bersinar sebagai a multi-format retailer.

"Philip Kotler's Executive Class: 65 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Sunday, March 22, 2009

[Kompas 100]: Cowell Development: A Pioneer of Satellite City Development

Bagian 40 dari 100

Minggu, 22 Maret 2009 | 12:04 WIB

TIDAK ada kota besar tanpa kota satelit. Dan kota besar seperti Jakarta jelas punya. Kota satelit itu sendiri punya fungsi bermacam-macam, mulai dari penopang kegiatan kota besar hingga enabler penantaan kota Jakarta. Tapi tidak berarti kota satelit selalu bergantung penuh pada kota besar, karena ada yang bisa berkembang menjadi sebuah kota mandiri dengan berbagai pusat bisnis maupun belanja.

Salah satu kota satelit Jakarta ini adalah Serpong, sebuah kawasan sebelah barat kota Jakarta. Wilayah ini, yang secara administratif masuk propinsi Banten, tepatnya kabupaten Tangerang, memang berkembang sangat pesat beberapa tahun belakangan. Digarap oleh beberapa pengembang properti ternama, Serpong kini sudah memiliki pusat kota yang cukup ramai dengan beberapa kawasan kantor dan niaga yang mulai berkembang.

Salah satu pionir pengembangan Serpong adalah PT Internusa Artacipta yang berdiri tahun 1981. Tiga tahun setelah pendiriannya, pengembang properti ini kemudian membangun perumahan yang kini dikenal luas sebagai Villa Melati Mas atau Melati Mas Residence. Dalam evolusinya, dengan terjadinya perpindahan kepemilikan, pengembang ini kini bernama PT Cowell Development Tbk (COWL).

COWL mungkin sedikit kalah tenar dibandingkan perusahaan properti tenama lainnya yang juga mengembangkan Serpong, seperti BSD City yang memiliki lahan seluas 6000 hektar, ataupun Summarecon Serpong yang memegang 1500 hektar tanah di wilayah tersebut. Namun sebagai pemain lama, COWL tentunya memiliki keunggulan dalam hal pengetahuan yang dalam mengenai wilayah Serpong termasuk profil pembelinya.

Melihat potensi yang besar di segmen menengah ke bawah, sejak tahun 2004 COWL mulai membangun perumahan dengan harga yang lebih terjangkau, yaitu Serpong Park dengan luas lahan sekitar 40 hektar. Mulai tahun 2008, COWL lalu mengembangkan proyek Serpong Terrace dengan luas lahan 10 hektar yang juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan permintaan pasar dari pembeli kelas menengah.

Setelah sukses mengembangkan perumahan di wilayah Serpong untuk kelas menengah, COWL kini mengambil langkah yang kami lihat sebagai sesuatu yang ”berani”. Dengan akuisisi PT Sandi Mitra Selaras pada Maret 2008, COWL memperoleh lahan di daerah Tanjung Duren yang bisa dikatakan sebagai lokasi yang premium karena terletak di dekat jantung kota Jakarta, tepatnya di depan Mall Taman Anggrek. Di lokasi ini, COWL mencoba melakukan sesuatu yang tergolong baru bagi mereka, yaitu membangun high-rise apartemen dengan target market kalangan atas.

Di sinilah kami melihat COWL harus berhati hati. Perusahaan mencoba memasuki wilayah yang masih sangat ”asing” jika dibandingkan tipikal pembangunan properti yang dilakukan COWL sebelumnya, yaitu landed house di pinggiran kota Jakarta. Jika perusahaan tidak bisa membangun kompetensi baru dengan cepat, baik dengan cara mendatangkannya dari luar ataupun membangun sendiri dari dalam, COWL akan sulit berkompetisi dengan pemain-pemain lain yang sudah lama berkecimpung di kategori ini.

Namun, di lain pihak, jika berhasil meraih sukses dalam pembangunan di kategori baru ini, maka COWL akan on-track dalam upayanya untuk meningkatkan sustainability perusahaan dengan melakukan diversifikasi usaha. Dan COWL dapat terus berkembang dari sekedar developer perumahan pinggiran kota yang low-profile, menjadi a prominent multi-product property developer.

"Philip Kotler's Executive Class: 66 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Parodi: "Copy Paste"

Minggu, 22 Maret 2009 | 03:00 WIB

Samuel Mulia

Saya membaca bukunya Warren Buffett. Tahukah Anda siapa dia? Capcai ah… cari aja ndiri. He-he-he … saya bercanda, jangan naik pitam dulu. Cepat marah itu tak sehat. Katanya. Saya membuktikan itu benar adanya. Yang sehat saya, yang tidak sehat orang lain, maksudnya.

Warren Buffett adalah nama seorang pria, sampun sepuh, pemilik perusahaan investasi terkemuka di Amrik, bukan di Indonesia.

Mengapa saya membeli buku salah satu orang terkaya yang sempat menggeser posisi Bill Gates sebagai juara satu itu? Hanya satu alasan saja. Saya ingin kaya seperti Pak Buffett. Sama seperti keinginan manusia umumnya. Maksud saya, manusia yang umumnya memang senang uang. Mau itu dasarnya rakus, setengah rakus, atau baru mau jadi rakus.

Bercita-cita menjadi Buffet

Padahal, di sebuah majalah yang pernah saya baca, Pak Buffett tak pernah bercita-cita jadi kaya meski ia pandai mencari uang sejak kecil saat teman-temannya belum punya niat mendapatkan uang seperti dia. Saya justru selalu bercita-cita jadi kaya sejak kecil, tetapi tak punya naluri seperti Pak Buffett.

Makanya sampai sekarang cita-cita saya itu masih menyala-nyala karena waktu kecil bisanya cuma mainan, setelah remaja dan setengah dewasa masih minta uang ke Ayah. Sekolah di dalam dan luar negeri juga atas biaya ortu karena Tuhan menganugerahi saya otak yang tidak memungkinkan mendapat beasiswa. Maka. kalau saya berdoa untuk Ayah, doanya semoga ia diberi panjang umur. Alasannya bukan karena saya anak berhati mulia, tetapi agar Ayah tetap hidup dan punya uang. Selama ia masih hidup dan punya uang, selama itu saya bisa mendapatkan ”beasiswa”.

Kalau melihat keadaan saya dan membandingkan dengan Pak Buffett, weleh, weleh, saya kok cuma punya apartemen di daerah bintang tujuh. Pusing maksudnya. Karena bus, kopaja, dan teman-temannya sering kali membuat taksi atau kalau kebetulan diantar mobil teman, kesulitan menyeberang jalan masuk.

Sampai hari ini saya tak punya pulau pribadi atau pesawat pribadi. Sementara teman saya dan temannya teman saya itu malah sudah bolak-balik terbang dengan ”kendaraan” pribadinya itu dan mengundang saya sesekali ke pulau. Sesekali lho karena mereka tidak menganggap saya teman dekat.

Seperti pesta jetset yang saya hadiri dua minggu lalu, yang telah membuat beberapa kalangan jetset yang tak diundang mengajukan aksi protes. Tak sampai demo, tentunya, tetapi sudah cukup membuat pihak pengundang kewalahan menjawab pertanyaan, mengapa saya tak diundang. Saya sampai geleng kepala, sebegitu pentingnyakah atau perlunya sampai mereka harus protes?

Saya teringat dahulu, kala saya masih seperti itu. Harus diakui ada rasa tersisihkan karena tak diundang dan merasa tidak dianggap. Tak bisa sama seperti yang diundang. Jadi, dulu saya ini tukang minta-minta. Minta diundang, maksudnya. Selalu bekerja keras, agar bisa hadir di mana-mana.

Menjadi ”Buffet”

Nah, saat saya berlibur di pulau teman itu saya menengadahkan kepala ke atas dan berkata. ”Tuhan di manakah letak keadilan yang beradab itu?” Kok orang sampai bisa beli pulau, sementara tanah 200 meter persegi yang ditawarkan teman saya saja tak mampu saya beli. Teman saya mengajarkan untuk copy paste gaya para koruptor.

Sempat saya pikirkan ide itu. Tetapi, di buku yang saya baca, Pak Buffett tak korupsi. Namanya juga lagi getol mau seperti Pak Buffett, yaaa … saya pikir nurut apa kata dia saja.

Kalau Pak Buffett bermain saham, saya juga bermain saham. Pasar lagi ambruk, saya juga ikut ambruk. Tetapi, pesan seorang penulis mengenai Pak Buffett, yang saya baca di sebuah majalah keuangan buatan Indonesia, begini, ”Ingat strategi Buffett, ia membeli saham ketika pasar sedang jatuh. Ia berani masuk ketika orang lain takut. Dan, hasilnya, ia rasakan dalam jangka panjang.” Makanya, saya masuk ke pasar saham di tengah pasar yang gitu deh itu.

Kemudian saya tertawa. Maksud saya, menertawakan diri sendiri. Saya tak membaca dengan hati-hati kalimat si penulis tadi. Ia berani masuk ketika orang takut. Der… saya terdiam, tertunduk tanda tak mampu. Saya hanya ingin seperti dia, saya lupa instrumen lain yang dia miliki tak saya miliki.

Saya pengecut, tak berani seperti Buffett. Saya tak punya nyali seperti Buffett. Jadi, mau kaya ternyata bukan cuma baca bukunya, tetapi nyali dan luck juga menentukan. Itu kemudian yang membuat saya mundur teratur untuk tidak melakukan copy paste.

Buffett dan saya dua sosok berbeda. Yang tak memiliki kekuatan mental sama. Setelah saya kehilangan lebih dari 50 persen investasi, saya seperti dihujam pisau. Dengan mental macam tempe, saya kapok. Itu yang membedakan saya dari orang terkaya itu. Dia tidak takut, saya takut.

Dan, justru yang lebih penting dari semua itu adalah sensitivitas. Tingkat kepekaan yang berbeda. Saya tak memiliki kepekaan yang sama. Bahkan, saya tak peka kapan harus menarik dan kapan harus mengulur. Nalar saya tak secanggih milik pria sepuh itu saat bermain ”layangan”. Saya canggih main tarik-ulur di tempat lain.

Maka, setelah saya membaca buku Pak Buffett, saya salut dengan dia. Saya memutuskan berhenti menjadi kaya seperti dirinya. Karena kemampuan saya menjadi kaya bukan hanya bermodalkan membaca bukunya dan mendengar teori bermain layangan. Saya perlu banyak hal dan ada instrumen lain yang diperlukan untuk itu. Instrumen itu tak ada pada saya.

Nurani saya nyeletuk, ”Mas, lo enggak bakal jadi seperti Buffett. Jadi, seperti buffet, ya.”

Samuel Mulia Penulis Mode dan Gaya Hidup

Kompas

Investasi & Keuangan: Belajar dari Orang Kaya

Minggu, 22 Maret 2009 | 02:26 WIB

Elvyn G MasassyaPraktisi Keuangan

Arti kaya bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Ada yang mendefinisikan sebagai banyaknya aset, tidak peduli apakah utang sejibun. Ada yang lebih realistis, mengartikan kaya sebagai banyaknya nilai aset bersih, yakni harta dikurangi utang. Bagi yang lain, kaya adalah kondisi di mana aset dapat memberi manfaat kepada pemilik, bukan dilihat dari besar kecilnya aset.

Lalu, kenapa ada yang menjadi sangat kaya, ada pula yang merasa asetnya tidak pernah bertambah? Bagaimana menumbuhkembangkan kekayaan? Benarkah karena nasib baik atau karena kerja keras? Atau apa?

Bagi yang skeptis mungkin akan mengatakan banyak orang menjadi kaya karena korupsi atau karena diberi kesempatan berbisnis melalui jalar nepotisme.

Padahal, cukup banyak orang menjadi kaya karena kepiawaian melakukan investasi dan atau berbisnis dengan cara baik dan benar.

Namun, lepas dari itu, tidak ada salahnya kita cermati bagaimana orang-orang tersebut menjadi kaya. Apakah ada hal berbeda yang mereka lakukan dibandingkan dengan orang kebanyakan? Paling tidak, layak dicermati sikap, tindakan, dan atau perilaku mereka dari sisi positif sebagai referensi. Lantas apa saja perilaku tersebut?

Keinginan kuat

Pertama, cara berpikir. Orang kaya pada dasarnya memiliki pemikiran mencari uang dan harta adalah suatu kemestian. Tujuannya bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Secara prinsip mereka memiliki keinginan kuat mendapatkan uang dan kekayaan. Jadi, mereka tidak pernah beranggapan uang adalah hal jelek atau kurang baik. Mencari uang sebanyak-banyaknya merupakan hal lazim. Niat dan keinginan mendapatkan uang dan melipatgandakannya sangatlah kuat.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda memiliki niat kuat? Katakanlah Anda bekerja sebagai karyawan dan mendapatkan gaji, apakah Anda memiliki niat agar gaji Anda bisa meningkat? Atau Anda nrimo saja menunggu penyesuaian gaji sehubungan dengan laju inflasi?

Kedua, memahami makna kekayaan dan memiliki target. Orang kaya umumnya mengetahui dengan pasti jumlah kekayaan dan peruntukannya, termasuk ketika menggunakan kekayaan tersebut.

Mereka memiliki banyak uang dan kemudian sebagian disumbangkan, misalnya ke panti asuhan. Tujuan menyumbang macam-macam, termasuk, misalnya, agar mereka merasa lebih bahagia. Dengan kata lain, kekayaan yang dicari memiliki kejelasan makna.

Dus, kalau Anda ingin menjadi lebih kaya ada baiknya juga memahami dengan pasti apa tujuan kekayaan yang hendak Anda raih. Ini seperti ketika Anda mengendarai kendaraan. Mesti jelas tujuannya ke mana, Anda juga memilih jalan yang Anda rasa paling sesuai untuk mencapainya, serta memahami konsekuensinya. Misalnya, terjebak macet atau membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tujuan jika jalan yang Anda pilih berputar-putar.

Simpan rahasia

Ketiga, memahami kapan kekayaan akan dicapai. Kita kerap mendengar kisah para konglomerat yang awalnya hidup sangat sederhana. Mereka bahkan rela tidak membeli pakaian bagus dan tidak makan enak dalam kurun waktu cukup panjang. Hasil keuntungan kegiatan bisnis dia kumpulkan untuk kemudian menjadi tambahan modal usaha.

Dengan kata lain, orang-orang yang kaya berdasarkan hasil bisnis tidak mencapainya dalam jangka pendek, tetapi mereka yakin dengan kerja keras dan disiplin kekayaan itu akan dicapai. Bisa dalam kurun waktu 10 tahun atau bahkan lebih.

Dengan latar belakang ini bisa dipahami, menjadi kaya sebenarnya bukan upaya yang dicapai dalam waktu singkat. Jika Anda berinvestasi, hasil investasi yang besar hanya bisa dicapai dalam waktu panjang, tidak serakah, sabar, dan konsisten dalam melakukan investasi.

Analogi untuk menggambarkan konsep ini sama seperti ketika Anda mengemudikan kendaraan. Harus jelas tujuannya, jam berapa Anda harapkan tiba di tujuan, dan jalan mana yang dipilih. Ada sistematika di sini.

Keempat, menyimpan rahasia untuk diri sendiri. Coba tanyakan kepada orang-orang kaya, apa resep hingga mereka menjadi kaya. Pasti sebagian besar akan menjawab, kerja keras. Itu memang benar.

Namun, kerja keras seperti apa yang dimaksud? Belum tentu sama pengertian kerja keras versi orang kaya dengan kalangan kebanyakan. Artinya apa? Artinya, orang-orang kaya memiliki strategi rahasia yang belum tentu dibagikan kepada orang lain.

Makna tulisan ini, jika Anda sudah memiliki keyakinan mengenai langkah yang akan Anda tempuh, cukup simpan untuk diri sendiri. Tidak perlu terlalu banyak bertanya atau bercerita kepada orang lain mengenai strategi di benak Anda. Sebab, semakin banyak pendapat yang Anda terima, akan semakin goyahlah pendirian Anda. Kecuali Anda tergolong orang yang keukeuh dalam menjalani pendirian.

Selanjutnya, juga tidak perlu menyombongkan diri jika langkah yang Anda lakukan, misalnya berinvestasi di pasar modal, menuai keuntungan besar. Biarkan keuntungan menghampiri diri Anda, tetapi tetap bersikap rendah hati. Tidak perlu orang tahu Anda menjadi lebih kaya.

Selain hal-hal di atas, tentu saja masih banyak sikap, perilaku dan tindakan positif yang bisa dipelajari dari orang-orang kaya sebagai referensi dan pembelajaran bagaimana cara menjadi kaya. Ini disebut sebagai perilaku keuangan orang kaya. Hal-hal tersebut akan diulas dalam tulisan-tulisan mendatang.

Kompas

Saturday, March 21, 2009

[Kompas 100]: Yanaprima Hastapersada: A Promising Polypropylene Bag Player

Bagian 39 dari 100

Sabtu, 21 Maret 2009 | 22:47 WIB

SIDOARJO memang sekarang lebih terkenal karena lumpurnya. Mungkin itulah sebabnya tidak banyak yang pernah dengar perusahaan bernama PT Yanaprima Hastapersada Tbk (YPAS). Padahal, dengan memiliki pabrik di lahan seluas sekitar 4 hektar di Sidoarjo, perusahaan ini adalah salah satu perusahaan produsen polypropylene bag –atau karung plastik– terbesar di Indonesia, yang menjadi market leader di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

YPAS, yang berdiri sejak tahun 1995 dan mulai berproduksi sejak 1997, diawali dari kejelian para pendirinya dalam melihat adanya kecenderungan transisi dari penggunaan karung goni yang waktu itu masih banyak dipakai untuk produk gula, menuju karung plastik. Perubahan ini didorong juga oleh terus meningkatnya harga bahan baku karung goni. Ini didukung pula oleh berkembangnya tuntutan pasar akan jenis karung yang lebih tahan terhadap berbagai kondisi alam, sehingga lebih mampu menjaga ketahanan bahan pangan yang disimpan.

Langkah ini terbukti tepat. Diawali dengan memenangkan kontrak menyuplai karung untuk Bulog, kini YPAS sudah menjadi produsen karung plastik terbesar ketiga di Indonesia, dengan berhasil mendapatkan berbagai pelanggan loyal dari seperti BUMN, pabrik penggilingan, petani pedalaman, dan industri kecil. Dimulai dengan hanya 3 lini produksi saat pendiriannya, kini YPAS memiliki 8 lini produksi dengan kapasitas sekitar 1.300 ton per tahun.

Salah satu pemicu pertumbuhan YPAS adalah langkah strategisnya pada tahun 1998, tidak lama setelah mulai beroperasi, untuk merambah pasar ekspor. Dengan menjual produknya hampir ke setiap benua, terutama ke negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand, kini YPAS mengekspor sekitar 30% dari total produksinya. Di sini YPAS cukup fleksibel dalam mengatur tujuan pasar ekspornya, ini terlihat pada langkahnya baru-baru ini saat mengalihkan ekspornya dari negara-negara Asia Tenggara, yang kini ekonominya sedikit melemah, ke Timur Tengah.

Tahun 2005, YPAS mencoba memasuki pasar baru, yaitu karung semen. Namun ini tidak berarti meninggalkan kompetensi utama mereka, karena karung yang diproduksi adalah tipe PP sandwich bags, yang terdiri atas lapisan kertas kraft yang diperkuat dengan lapisan polypropylen. Produk ini cukup unik, karena meskipun lebih mahal dari kantong semen biasa, namun sandwich bags ini lebih kuat. Sehingga tipe ini kebanyakan digunakan untuk transportasi semen antar pulau. Walaupun pasarnya relatif masih kecil, namun YPAS mampu melihat peluang yang masih terbuka di kategori ini. Divisi kantong semen kini menyumbang sekitar 15% dari penjualan total perusahaan, dengan pembeli utama Semen Gresik, Semen Tonasa, dan Indocement.

Sebagai pemain ketiga dalam hal kapasitas produksi, tentunya YPAS tidak bisa berkompetisi hanya dengan cara jor-jor-an modal. YPAS harus mencari differensiasi yang kuat untuk bersaing. Dalam hal ini, YPAS mengandalkan kemampuannya untuk melakukan inovasi dan bertindak sebagai pionir dalam produksi produk-produk baru. Walau sebenarnya ”inovasi” bisa dikatakan generic di kebanyakan kategori industri, dalam bisnis karung plastik, yang cenderung tidak banyak berubah, hal ini bisa menjadi keunggulan yang cukup signifikan.

Setelah tahun 2005 menjadi pionir dalam produksi karung BOPP (Biaxially Orientated Polypropylene), tahun 2008 YPAS kembali menjadi yang pertama di Indonesia dalam mengembangkan teknologi kantong semen yang hanya menggunakan 1-lapis (1-ply) polypropylen. Walaupun harganya lebih mahal, tipe ini adalah jenis yang dominan digunakan di luar negeri. Sehingga YPAS melihat bahwa kedepannya mayoritas pabrik-pabrik semen Indonesia akan beralih menggunakan produk ini.

Jika YPAS kembali tepat dalam melihat trend perubahan tipe karung semen, sama seperti pada tahun 1990-an mereka berhasil memprediksi peralihan dari karung goni ke karung plastik, maka tidak mustahil YPAS bisa berkembang menjadi salah satu produsen karung semen dan karung plastik yang dominan di Indonesia.

"Philip Kotler's Executive Class: 68 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Friday, March 20, 2009

Iklan di Media Online Lebih Efektif

Jumat, 20 Maret 2009 | 13:25 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com Indonesia mengalami perkembangan media digital yang sangat cepat. Hampir 18 juta penduduk Indonesia melek internet. Ini merupakan peluang bagi para perusahaan untuk memasarkan produk mereka melalui media online. Dari studi yang dilakukan oleh Yahoo! ditemukan, sekitar satu dari tiga orang penduduk perkotaan di Indonesia mengakses internet dalam satu bulan terakhir.

"Ini adalah kesempatan bagi para pembuat iklan untuk memasarkan produk mereka lewat internet," kata Pontus Sonnerstedt, Senior Lead Yahoo! Southeast Asia di Jakarta, Jumat (20/3).

Pontus memberikan alasan, iklan online lebih efisien dan tidak ada satu sen pun yang terbuang percuma. "Dengan iklan online akan langsung terlihat sudah berapa banyak diklik," kata Pontus.

Yang kedua adalah para pemasang iklan dapat mengetahui secara langsung reaksi konsumen terhadap iklan mereka. Jika terlihat respons konsumen tidak terlalu bagus, pemasang iklan dapat segera mengubah tampilan iklan mereka, dan itu sulit untuk dilakukan di media lain.

Pontus juga menambahkan, dengan adanya krisis global seperti saat ini, orang akan lebih memilih internet sebagai hiburan. "Kami mencatat paling tidak 12 menit dihabiskan setiap orang untuk online di Yahoo!, itu merupakan potensi bagus untuk para pemasang iklan," tandas Pontus.

C5-09

Kompas

[Kompas 100]: Gajah Tunggal: "A Leading Tire Manufacturer in South East Asia"

Jumat, 20 Maret 2009 | 07:20 WIB

Kenya dan Ethopia dikenal sebagai penghasil jagoan lari jarak menengah dan jauh dunia.

Kemampuan Kenya dan Ethopia yang semacam itu sempat mengilhami salah satu negeri kaya di Timur Tengah untuk merekrut pelari dari negara tersebut dan kemudian melakukan naturalisasi. Ini menggambarkan betapa desperate-nya mereka untuk mendapatkan pelari berprestasi di tingkat internasional. Padahal mereka sudah melakukan berbagai cara agar bisa menghasilkan pelari berkelas dunia dari negeri sendiri.

Memang banyak yang penasaran dengan kemampuan dua negara tersebut dalam menjadi pelari kelas dunia di jarak menengah dan jauh selama bertahun-tahun. Terlepas dari adanya faktor bakat, tentu negara tersebut memang punya sistem untuk mengenali bakat-bakat baru dan bisa mengasahnya, sekalipun negera tersebut bukan negara yang kaya. Singkat kata, kedua negara itu memang jeli menekuni sesuatu yang mungkin jauh dari glamour tapi kemudian bisa mengembangkannya sehingga disegani dunia selama bertahun-tahun.

Di dunia bisnis Indonesia ada perusahaan yang muncul sebagai pemain internasional karena bisa me-leverage keunikan sebagai perusahaan asal Indonesia. Di dunia, Indonesia dikenal sebagai salah negeri penghasil karet terkemuka dunia. Tentu posisi semacam ini semestinya bisa memungkinkan munculnya perusahaan kelas dunia produk olahan karet.

Inilah yang misalnya dilakukan PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), salah satu pionir industri ban Indonesia. Dimulai sebagai produsen ban sepeda pada tahun 1951, GJTL kini telah berkembang menjadi salah satu pabrik ban terbesar di Asia Tenggara. Sejak memulai produksi ban sepeda motor pada tahun 1971, disusul oleh kontrak kerja sama dengan Inoue Rubber Company pada tahun 1973, kini GJTL adalah pemimpin pasar replacement tire bagi sepeda motor dengan merk IRC, dimana mereka memegang sekitar 62 persen pangsa pasar.

Langkah GJTL di tahun 1981 saat mulai melakukan produksi ban “bias”, yaitu ban untuk kendaraan berpenumpang dan kendaraan niaga, merupakan langkah strategis yang berhasil menjadikan GJTL market leader pula untuk replacement tire kategori ini, dengan pangsa pasar sekitar 46 persen. Sekitar tahun 1990an GJTL lalu mulai memasuki pasar passenger car dengan produksi ban radial yang dipasarkan dengan merk GT Radial.

GJTL memang sudah menjadi perusahaan taraf Internasional, bukan saja karena jumlah ekspor perusahaan yang mencapai 46 persen dari total penjualan perusahaan pada tahun 2007, tapi juga karena berbagai standarisasi dan sertifikasi internasional yang berhasil diperolehnya, antara lain: E-Mark (Eropa), TUV CERT (Jerman), BPS (Filipina), Inmetro (Brazil), PAI (Kuwait), SASO (Arab Saudi), dan BVQI (Kolumbia). Ini tentunya mempermudah GJTL untuk menembus pasar internasional, terutama Eropa, yang sangat ketat dalam hal standarisasi produk.

Karena itu, kalau kita melakukan search di google.com (bukan yang versi Indonesia) dengan keyword “GT Radial”, kebanyakan hasil di halaman utama adalah mengenai penggunaan ban merek ini di negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Inggris. Memang produk ini cukup dikenal sebagai sebagai ban pilihan untuk pembeli yang value oriented di berbagai negara. Beberapa masyarakat Indonesia pun mungkin awalnya juga tidak menyangka kalau merek ini berasal dari Indonesia, sebelum menyadari bahwa GT adalah singkatan dari Gajah Tunggal.

Dengan kemampuan menghasilkan produk yang sesuai dengan standar internasional, GJTL berhasil mendapatkan kepercayaan dari merek-merek luar negeri yang ingin melakukan produksi ban di Indonesia. Dua perusahaan yang dulu pernah bekerja sama adalah Pirelli (hingga 2001) dan Yokohama (hingga 1995). Sedangkan perusahaan dunia yang kini masih mempercayai GJTL untuk produksi merek ban mereka adalah Nokian sejak 2001 dan Michelin sejak 2004. Kepercayaan Michelin yang tinggi terhadap GJTL mungkin dapat dilihat dari volume produksi yang dilakukan. Tahun 2007, GJTL memproduksi sekitar 2,1 juta ban untuk mereka, dengan target kedepan sebesar 5 juta ban per tahun pada tahun 2010.

Demi untuk mendukung berbagai kerjasama external ini mungkin alasan mengapa GJTL mulai melakukan langkah ekspansi pada tahun 2005. Target perusahaan adalah meningkatkan kapasitas produksi ban radial menjadi 45.000 ban per hari dari 30.000 perhari saat ini, dan kapasitas produksi ban sepeda motor menjadi 105.000 ban per hari dari sekitar 40.000 per hari saat ini.

Dengan kekuatan ini, ditambah pengalaman selama 30 tahun di industri ban, serta didukung lebih dari 10 ribu karyawan, GJTL memang bisa dikatakan sebagai salah satu raksasa industri ban di Indonesia. Tapi tentunya perusahaan tetap ingin memperkuat posisinya, terutama di pasar dimana mereka masih belum menjadi pemain yang kuat. Salah satunya adalah pasar replacement tire ban radial, dimana GJTL baru memegang sekitar 20 persen pangsa pasar.

Upaya GJTL untuk meningkatkan pasar ban radial domestik adalah dengan mengembangkan Tirezone. Gerai retail ban yang juga menawarkan pelayanan modern ini berfungsi sebagai outlet produk GT Radial, Michelin, dan juga BF Goodrich. Tirezone kini memiliki 30 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Tirezone adalah buah kerjasama dengan Michelin yang notabene memiliki 10 persen dari saham GJTL.

Dengan mampu terus berkembang memasuki pasar yang potensial ke depan, seperti pasar replacement tire ban radial dan juga pasar OEM, didukung dengan kerjasama yang kuat dengan berbagai perusahaan kelas dunia, GJTL akan berkembang menjadi salah satu produsen ban yang diperhitungkan tidak hanya di Indonesia, ataupun Asia, tapi juga di dunia.

"Philip Kotler's Executive Class: 68 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas