BLOGSPOT atas

Saturday, April 25, 2009

[Kompas 100]: Bank Negara Indonesia: A Reviving Big Four Bank

Sabtu, 25 April 2009 | 20:24 WIB

Di film, umumnya kita menyaksikan pasangan muda usia yang jatuh cinta dan kadang-kadang mereka, seperti yang terjadi dengan Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet, bisa tampak begitu pas dan kemudian melegenda. Kemudian ada pasangan beda usia, dimana salah satunya lebih berumur namun tampil sebagai pasangan yang pas, seperti terlihat pada Sean Connery dan Catherine Zeta-Jones (yang dalam kehidupan nyata menikah dengan aktor Michael Douglas yang beda usianya juga cukup jauh) atau Richard Gere dan Julia Roberts di Pretty Woman. Tapi antara pasangan yang sama-sama senior seperti Jack Nicholson dan Diane Keaton sungguh tidak terbayangkan sebelumnya.

Untuk pasangan yang sama-sama muda usianya, itu memang dibuat untuk menampilkan kegairahan, vitalitas dan tidak banyak pertimbangan dalam bertindak. Untuk pasangan yang beda usia biasanya untuk menggambarkan kombinasi antara kegairahan dan vitalitas dari yang muda dengan pengalaman dan kematangan dari yang tua. Dan untuk yang sama-sama sudah berumur, maka bisa ditebak lebih banyak ke pengalaman dan kematangan di samping kegairahan.

Jack Nicholson dan Diane Keaton bukan hanya tua dari segi usia tapi juga punya pengalaman panjang dan telah mendapatkan pengakuan sebagai bintang film yang berprestasi. Tapi, meski sudah berumur mereka seolah bisa menghindarkan diri dari stereotype orang-orang seumuran mereka karena terlihat masih enak dan nyaman untuk bergerak ke sana kemari dan relatif tidak mengalami banyak perubahan fisik. Sehingga kalaupun mereka dipasangkan dengan yang jauh lebih muda, sekalipun wajah tidak bisa menipu, mereka tetap terlihat masih pas.

Inilah yang terjadi pada film Something’s Gotta Give yang dibintangi keduanya bersama dengan aktris dan aktor yang jauh lebih muda usianya, Amanda Peet dan Keanu Reeves. Film ini awalnya adalah kisah percintaan antara pasangan yang beda usianya jauh, yaitu antara Nicholson dan Peet, dan kemudian diikuti Reeves yang jatuh cinta pada Keaton. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya menjadi antara pasangan yang sudah sama-sama berumur tapi punya kegairahan dan vitalitas, dan ternyata sungguh menarik.

Kasus yang terjadi di Something’s Gotta Give juga bisa dijumpai di dunia bisnis, terutama di industri dengan persaingan yang begitu ketat dan masing-masing pemain seperti tiada henti menunjukkan kegairahan dan vitalitas untuk bersaing. Industri perbankan Indonesia adalah salah satu industri yang memenuhi kriteria tersebut. Dimana sejumlah pemain yang punya pengalaman begitu panjang, seperti punya kegairahan dan vitalitas yang tiada habisnya.

Inilah yang antara lain ditunjukkan oleh PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Meski ada beberapa bank yang jauh lebih tua usianya dibandingkan dengan BBNI, tapi bank ini punya tempat khusus di Indonesia terutama dikaitkan dengan kelahirannya. Inilah satu-satunya bank yang pada saat ini mencantumkan tahun kelahiran –1946– sebagai bagian tak terpisahkan dari corporate identity-nya.

Dan BBNI memutuskan untuk tetap mencantumkan tahun kelahirannya, karena bukan hanya sekedar menggambarkan bagian penting dalam perjalanan bisnisnya tapi juga karena terkait dengan perjalanan Republik Indonesia. BBNI adalah bank pertama yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah Indonesia yang masih muda sekali usianya pada 5 Juli 1946, dimana tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Bank Nasional. Faktor inilah yang membedakan BBNI dengan bank pemerintah lainnya seperti Bank Dagang Negara (BDN) dan Bank Bumi Daya (BBD) yang kini telah dimerger dengan Bank Pembangunan Indonesia menjadi Bank Mandiri, yang jauh lebih tua usianya tapi baru belakangan dimiliki pemerintah Indonesia.

Selain faktor penciptaannya, BBNI memang punya peranan dalam mewarnai perjalanan Republik Indonesia di bidang keuangan dan perbankan. Inilah bank pertama yang mengedarkan alat pembayaran yang pertama kali diciptakan oleh pemerintah Indonesia, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 30 Oktober 1946, dimana tanggal ini kini diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional. Setelah peranannya sebagai de facto bank sentral dialihkan ke De Javasche Bank –kini menjadi Bank Indonesia– di tahun 1949, pelan tapi pasti BBNI menjelma menjadi sebuah bank umum terkemuka di Indonesia dan menjadi bagian dari The Big Four Bank of Indonesia.

Tapi harus diakui, BBNI kini kalah mencorong sinarnya dibandingkan bank-bank Big Four lainnya. Bank yang pada suatu masa dikenal sebagai bank terbesar di Indonesia ini, sekarang berada di urutan keempat. Bukan hanya ukuran asetnya yang kalah berkembang dibandingkan The Big Four lainnya, tapi bank ini juga seperti tidak terlibat dalam perlombaan untuk mencatatkan laba terbesar.

Penyebab kurang bersinarnya BBNI adalah krisis 1997-1998 dan kemudian kerugian besar di tahun 2004 sebagai akibat dari kasus kredit ekspor fiktif. Kalau krisis 1997-1998 seolah seperti menempatkan kembali semua The Big Four dalam urutan start yang sama, maka kerugian besar yang terjadi di tahun 2004 seolah-olah membuat BBNI berhenti lama di salah satu pit stop karena mesti mencari dulu ban yang cocok, pada saat The Big Four lainnya sudah menemukan ban yang cocok dan melakukan pengisian bahan bakar yang memadai untuk terus melaju dalam balapan. Tapi, pelan tapi pasti BBNI bisa melakukan stabilisasi, kemudian restrukturisasi dan kini transformasi.

Dua proses tersebut terakhir sebetulnya mulai terlihat hasilnya dan akhirnya –seperti pada Nicholson dan Keaton– mendorong kembali kegairahan dan vitalitas untuk bersaing ketat dengan para pesaingnya, mulai dari consumer banking, commercial banking, corporate banking, international banking and treasury –dimana BBNI adalah satu-satunya bank nasional yang beroperasi penuh di luar negeri– dan Islamic banking. Pelan tapi pasti a reviving big four bank ini mulai kembali menarik perhatian orang seperti antara lain ditunjukkan dengan ketertarikan investor institusi internasional untuk ikut memiliki unit Islamic banking-nya. Kalau ini didukung dengan munculnya kembali unit-unit perbankan lainnya yang dulu sering dijadikan acuan para pesaingnya, maka a reviving big four bank ini akan kembali berada di jalur perebutan podium.

"Philip Kotler's Executive Class: 31 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

No comments: