BLOGSPOT atas

Friday, April 24, 2009

[Kompas 100]: Astra Agro: "A Leading Palm Oil Producer"

Bagian 72 dari 100

Jumat, 24 April 2009 | 07:39 WIB

Tidak mudah melihat pembeda antara Salma Hayek dibandingkan aktris berdarah Latin lainnya.

Maklum, di Hollywood ada beberapa aktris berdarah Latin yang jelita yang juga dikenal luas seperti Eva Mendez, Jennifer Lopez dan Penelope Cruz. Dan mereka juga main di film yang laris atau menarik perhatian banyak orang seperti Eva Mendez di film Training Day, Jennifer Lopez di film Selena dan Shall We Dance, dan Penelope Cruz di film Vicky Christina Barcelona. Yang punya kekasih atau suami yang ganteng juga banyak seperti Eva Mendez dengan kekasih George Gargurevich, Jennifer Lopez dengan suami Marc Anthony, Penelope Cruz dengan kekasih Javier Bardem

Selain itu, mereka juga bukan hanya dikenal luas karena menjadi bintang film. Eva Mendez menjadi salah satu spokesperson Revlon, bintang iklan P.E.T.A dan salah satu juru kampanye Barack Obama; Penelope Cruz menjadi bintang iklan L’Oreal dan pernah kerja sukarela dua bulan di Uganda dan Jennifer Lopez yang juga penyanyi dan produsen pakaian, parfum dan pemilik production house. Singkat kata, mereka juga melakukan apa yang dilakukan Salma Hayek.

Salma Hayek memang adalah salah satu aktris berdarah Latin yang sukses, seperti terlihat dari film Desperado hingga Frida. Selain itu juga merupakan produser film, penyanyi dan bintang, serta menjadi aktivis untuk melawan kekerasan pada wanita dan perlindungan bagi para imigran. Tapi, tidak berarti ia tidak punya pembeda sama sekali.

Hayek kebetulan lebih tua dibandingkan dengan aktris berdarah Latin lain di atas. Dan di posisi ini ia bisa menunjukkan bahwa ia bisa tetap awet muda dan masih sexy. Bisa jadi, faktor inilah yang membuat ia akhirnya bisa mempunyai suami yang bukan berprofesi sebagai artis dan bukan keturunan Latin melainkan orang Perancis, yaitu Francois Henri Pinault yang dikenal sebagai CEO Pinault Printemps Redoute atau kini lebih dikenal sebagai PPR, yaitu perusahaan retail shop dan luxury brands.

Kalau Salma Hayek menghadapi tantangan untuk memperbanyak faktor pembeda dibandingkan dengan aktris berdarah Latin lainnya, maka PT Astra Agro Lestari (AALI) juga menghadapi tantangan yang sama di industri perkebunan Indonesia. Didirikan di tahun 1981 oleh keluarga pendiri dan sejumlah eksekutif puncak PT Astra International Tbk (ASII) serta individu lainnya, AALI telah berkembang pesat dan pada saat ini dikenal sebagai salah satu perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia. Sekalipun sudah memiliki areal perkebunan dan bank tanah yang tercatat sebagai salah satu yang terbesar di Indonesia, perusahaan ini terus berusaha menambah areal perkebunannya.

Pada mulanya, produk tanaman yang dikembangkan adalah ketela dan kemudian karet. Tapi di tahun 1984, AALI mulai masuk bisnis perkebunan kelapa sawit dengan mengakuisisi sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Setelah itu, AALI kemudian membuka sendiri perkebunan kelapa sawitnya dengan skema PIR Trans.

Di tahun 2004, AALI yang go public tahun 1997, melakukan divestasi unit-unit usaha non kelapa sawit agar bisa fokus pada bisnis kelapa sawit. Aktivitas bisnis kelapa sawitnya meliputi penanaman, pemanenan dan pemrosesan kelapa sawit menjadi minyak sawit mentah untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor dan juga mengolah minyak sawit mentah menjadi olein dan minyak goreng. Sekalipun luas lahannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan luas kebun kelapa sawitnya, AALI hingga kini masih memiliki kebun karet.

Seiring dengan potensi bisnis kelapa sawit yang sangat menjanjikan, AALI bukan hanya menambah luas lahan dan pabrik pengolahan kelapa sawit, tapi juga memperkuat fasilitas risetnya agar bisa meningkatkan produktivitas perkebunannnya. Sehingga di masa depan, besarnya volume penjualan kelapa sawit bukan hanya bergantung pada luas lahan yang dimiliki tapi juga produktivitasnya. Kebetulan, perkebunan kelapa sawit di Indonesia rata-rata punya produktivitas per lahan yang lebih rendah dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit di Malaysia.

AALI yang kini punya produk unggulan Golden CPO, terus berusaha mengembangkan unit pemrosesan benih dan budidaya pohon induk agar bisa meningkatkan kualitas produk CPO-nya. Sehingga AALI di masa depan bukan hanya sekedar punya volume produksi yang tinggi tapi juga berkualitas. Adanya produk berkualitas dalam jumlah besar bukan hanya memungkinkan dibentuknya branding untuk jenis-jenis CPO-nya tapi juga akan mengangkat brand equity AALI.

Kami melihat bahwa membangun brand equity, baik untuk berbagai jenis minyak sawit mentah maupun minyak goreng, akan menjadi prioritas AALI di masa depan. Apalagi memang ada arahan dari ASII untuk memperkuat merek-merek yang dimiliki unit-unit usahanya. Dengan cara ini, bukan tak mungkin AALI tidak hanya sekedar dikenal sebagai sebuah unit agribisnis ASII tapi bisa menjadi a leading palm oil producer di Indonesia.


"Philip Kotler's Executive Class: 33 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

No comments: