BLOGSPOT atas

Friday, February 6, 2009

KRISIS EKONOMI GLOBAL: Pelajaran dari Depresi Besar

Jumat, 6 Februari 2009 | 13:28 WIB

Banyak yang membandingkan derajat kedalaman dan magnitude krisis ekonomi global yang dianggap sebagai krisis terburuk dalam 60 tahun terakhir sekarang ini dengan Depresi Besar (Great Depression) tahun 1930-an.

Pengalaman keberhasilan dan kegagalan dalam mengatasi depresi ekonomi tahun 1930-an seharusnya juga bisa menjadi acuan untuk bisa keluar dengan cepat dari krisis ekonomi dunia sekarang ini atau krisis serupa.

Sayangnya, para akademisi dan ekonom terkemuka dunia sendiri sampai sekarang ini belum sepenuhnya sepakat mengenai kebijakan apa sebenarnya yang paling berperan dalam membuat dunia keluar dari krisis ekonomi terburuk abad ke-20 waktu itu.

Pandangan tradisional selama ini meyakini kebijakan New Deal yang digulirkan Presiden Franklin D Roosevelt (FDR) sebagai kunci keluar dari krisis dan tak sedikit yang mengaitkan pulihnya kembali ekonomi AS waktu itu dengan meletusnya Perang Dunia.

Banyak studi yang menunjukkan peran PD II dan kebijakan fiskal terkait PD II sebagai faktor terpenting pemulihan ekonomi yang terjadi pada kurun 1941-1942.

Namun, tak sedikit pula studi lain yang membantah temuan ini dengan mengungkapkan bahwa sebagian besar pemulihan ekonomi sudah terjadi sejak sebelum perang meletus. Christina Romer, yang sebelumnya sempat disebut-sebut sebagai kandidat Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Barack Obama, adalah salah satu yang menyebutkan bahwa kebijakan fiskal nyaris sama sekali tak menyumbang pada pemulihan ekonomi AS yang terjadi sebelum tahun 1942.

Beberapa ekonom lain melihat peran belanja fiskal yang dilakukan FDR waktu itu lebih sebagai melapangkan jalan untuk terjadinya pemulihan ekonomi secara alamiah ketimbang sebagai motor pemulihan itu sendiri.

Pandangan lain lagi yang muncul belakangan menyebutkan, pemulihan ekonomi AS dari Depresi Besar lebih didorong oleh pergeseran ekspektasi yang ditimbulkan oleh langkah kebijakan yang ditempuh FDR.

Peningkatan belanja pemerintahan federal dan peningkatan defisit federal (bukan negara bagian) pada tahun 1930-an berperan besar dalam mengubah ekspektasi masyarakat mengenai arah ekonomi, dari yang semula bias deflasioner menjadi inflasioner. Ekspektasi ini yang kemudian menuntun pada turunnya suku bunga riil dan melonjaknya permintaan agregat dalam perekonomian.

Sekelompok ekonom lain, termasuk Bruce Bartlett dari Forbes.com, mengatakan, Depresi Besar 1930-an baru benar-benar berakhir setelah ditempuhnya kebijakan moneter dan fiskal yang sama-sama ekspansif menjelang PD II.

Fiskal ekspansif

Dari studi IMF sendiri (”Fiscal Policy for the Crisis”, Desember 2008) terhadap beberapa kasus krisis besar, mulai dari Depresi Besar 1930-an, krisis perbankan Jepang 1997, krisis finansial Asia 1997, krisis bank simpan pinjam (saving and loan) di AS tahun 1980- 1990, serta krisis perbankan dan ekonomi negara-negara Nordik awal 1990-an, lembaga itu tak bisa menyebutkan secara konklusif seberapa besar efek multiplier dari langkah fiskal yang diambil.

Anehnya, berkebalikan dengan resep kebijakan pengetatan yang diterapkannya dalam penyelesaian krisis finansial Asia 1997, IMF dalam studi itu sependapat dengan kelompok ekonom pengikut aliran Keynesian yang menyatakan diperlukan suatu kebijakan fiskal yang sangat ekspansif untuk bisa keluar dari krisis sekarang.

Paket kebijakan yang diambil, menurut IMF, harus mampu mengatasi dua hal, yakni problem sistem finansial dan masalah penurunan permintaan agregat dalam perekonomian. Artinya, harus mengandung dua komponen, yakni menyehatkan kembali sistem finansial dan mendongkrak permintaan agregat.

Untuk bisa berhasil, menurut IMF, paket stimulus fiskal itu harus tepat waktu (timely), masif, berkelanjutan (lasting), terdiversifikasi, kebersamaan (contingent), kolektif, dan sustainable.

Alasan harus tepat waktu karena yang diperlukan adalah langkah sesegera mungkin untuk mengatasi krisis. Skalanya harus besar karena penurunan permintaan swasta yang terjadi atau akan terjadi juga luar biasa besar. Berkelanjutan karena penurunan ekonomi diyakini akan berlangsung cukup lama. Terdiversifikasi karena ada ketidakpastian yang sangat besar menyangkut efektivitasnya, apa pun langkah yang ditempuh.

Kebersamaan karena upaya menekan probabilitas terulangnya kembali Depresi Besar juga menuntut adanya komitmen untuk menempuh langkah lebih jauh dari semua pihak dan secara kolektif jika diperlukan karena krisis hanya bisa diatasi jika semua negara yang masih memiliki kapasitas atau ruang fiskal juga ikut berkontribusi.

Aspek sustainabilitas juga harus diperhatikan agar langkah stimulus dalam skala masif ini tak menuntun pada ledakan utang dan reaksi yang tak dikehendaki dari pasar finansial.

Salah satu yang mengkhawatirkan stimulus sekarang ini kemungkinan tak cukup memadai (not big enough) adalah ekonom peraih Nobel Ekonomi Paul Krugman. Menurut Krugman, persoalan sekarang ini adalah seberapa radikal langkah yang diambil Obama untuk menjaga agar sistem finansial tetap berfungsi di tengah krisis yang semakin memburuk dan semakin sulit diatasi dengan semakin berlalunya waktu.

Yang diperlukan sekarang ini, menurut dia, adalah langkah drastis segera agar AS tak terperangkap dalam kemelut ekonomi seperti sekarang ini secara berkepanjangan.

Dari formula dan komposisi paket stimulus yang diluncurkan banyak negara sekarang ini, IMF melihat komponen stimulus yang memiliki efek multiplier terbesar tampaknya adalah dengan menggenjot belanja pemerintah dan pengurangan pajak serta transfer yang bersifat terarah. Sementara penurunan pajak yang bersifat umum atau subsidi, baik yang ditujukan pada konsumen maupun sektor dunia usaha, dinilai tak besar efek multiplier-nya.

Kalkulasi sejumlah kalangan yang dikutip IMF dan Krugman menyebutkan, biaya yang dikeluarkan AS untuk mengamankan satu lapangan pekerjaan di suatu sektor jauh lebih besar daripada rata-rata upah tahunan di sektor tersebut.

Perhitungan yang dikeluarkan Federal Reserve Dallas tahun 2002 menyebutkan, diperlukan 230.000 dollar AS lebih hanya untuk mempertahankan satu lapangan kerja di 20 sektor dalam perekonomian sebagai konsekuensi dari kebijakan proteksi yang ditempuh pemerintah di sektor tersebut.

Suatu ongkos yang sangat mahal hanya untuk satu lapangan kerja. Namun, para ekonom dan politisi mengingatkan bahayanya jika tak ditempuh stimulus. Tanpa ada stimulus, krisis akan semakin memburuk dan berkepanjangan, serta angka pengangguran di AS diperkirakan juga membengkak menjadi 16 juta tahun 2010.

Sementara itu, jika ditempuh stimulus, angka pengangguran berdasarkan konsensus sejumlah lembaga, bisa ditekan menjadi 13 juta pada tahun 2010. Dalam tiga bulan terakhir 2008, angka pengangguran di AS bertambah 500.000 per bulan dengan jumlah penganggur tahun lalu mencapai 6 juta orang, sementara output ekonomi anjlok 6 persen dibandingkan periode sama tahun 2007.

Sektor yang paling terpukul adalah sektor konstruksi yang dalam tahun 2008 saja mengurangi 1,3 juta tenaga kerja.

Ekonom Moody’s Economy.com, Mark M Zandi, memproyeksikan paket stimulus senilai 750 miliar dollar AS (terakhir membengkak menjadi 900 miliar dollar AS lebih) yang diusulkan pemerintahan Obama akan menumbuhkan PDB sebesar 2,9 triliun dollar AS dalam empat tahun ke depan atau sekitar empat kali lipat dari biaya stimulus.

Ia memproyeksikan PDB AS akan meningkat masing-masing 1 triliun dollar AS lebih pada tahun 2011 dan 2012. Sementara itu, Christina Romer dan Jared Bernstein memperkirakan, paket stimulus akan menciptakan 3,7 juta lapangan kerja pada akhir tahun 2010.

Paket stimulus Obama itu sendiri sukses mengombinasikan dua pendekatan ideologis (kelompok pengikut aliran Keynes dan penentang) yang saling bertentangan sekaligus merupakan semacam bentuk kompromi yang ditempuh Obama dalam upaya mendapatkan dukungan dua kubu partai (Demokrat dan Republik/bipartisan) terhadap paket yang akan digulirkan.

Di antara langkah itu adalah pemotongan pajak temporer senilai 300 miliar dollar AS sebagaimana dikehendaki kubu Republik dan perluasan program jaring pengaman sosial, seperti asuransi pengangguran, yang dinilai kubu Demokrat bermanfaat, baik secara ekonomi maupun sosial.

Ekonom yang yakin paket stimulus Obama ini akan berhasil atau gagal sama-sama kuat. Ada beberapa alasan yang membuat sebagian ekonom percaya stimulus dalam bentuk proyek infrastruktur akan berjalan di lapangan. Salah satunya, pemerintah negara bagian dan pemerintah daerah sudah memiliki proyek infrastruktur yang siap (ready to go) untuk segera direalisasikan dan selama ini tertunda karena keterbatasan anggaran daerah. AS mungkin juga tak mengalami kendala institusional seperti yang kita alami di Indonesia.


Sri Hartati Samhadi
Sumber : Kompas Cetak

Kompas

No comments: