BLOGSPOT atas

Sunday, February 8, 2009

Perilaku Investasi

Minggu, 8 Februari 2009 | 01:13 WIB

Elvyn G Masassya Praktisi keuangan

Apakah benar, ketika seseorang berinvestasi tujuannya memupuk kekayaan sebagaimana kerap dipromosikan lembaga atau institusi yang menjual produk keuangan?

Jawabannya tidak. Pemupukan kekayaan hanyalah salah satu dari banyak tujuan investasi. Jadi, ketika tujuan investasi sudah tidak jelas, jangan heran jika banyak investor menuai kegagalan dalam investasinya. Dus, sebelum melakukan dan memilih alat investasi, pastikan dulu tujuan investasi Anda dan kemudian sesuaikan dengan perilaku investasi ketika memilih alat berinvestasi.

Secara konsep, paling tidak ada empat tujuan investasi. Pertama, melindungi modal dan aset dari inflasi. Kedua, memperoleh pendapatan rutin untuk membiayai keseharian. Ketiga, membangun kekayaan dan meningkatkan aset yang telah dimiliki. Keempat, spekulasi dalam rangka mendapatkan keuntungan besar.

Jika dilihat sepintas, tampaknya keempat tujuan investasi tersebut sama saja. Atau sering kali semuanya menjadi tujuan bagi seorang investor. Apakah memang demikian? Jelas tidak.

Lihat tujuan pertama: memproteksi aset dan modal dari jeratan inflasi. Tujuan ini biasanya hanya dimiliki kalangan yang telah mencapai kemapanan finansial. Artinya, investasi bukan lagi untuk memupuk kekayaan. Pilihan investasinya lebih yang berisiko rendah. Misalnya, dana hanya ditempatkan di deposito berjangka atau surat berharga pasar uang berjangka pendek. Sepanjang hasilnya di atas tingkat inflasi, pemilik dana merasa cukup puas. Aset absolutnya bertambah, namun nilai bersih sebenarnya tetap. Yang lebih penting adalah asetnya likuid, jika diperlukan setiap saat dana tersedia.

Beda dengan kalangan yang berinvestasi untuk memperoleh pendapatan rutin dalam rangka membiayai belanja harian. Menempatkan dana dalam bentuk deposito berjangka saja jelas tidak mencukupi. Karena itu, pilihan investasinya pun mesti lebih beragam. Sebutlah menempatkan dana dalam obligasi pemerintah, BUMN, atau swasta yang imbal hasilnya lebih tinggi daripada deposito berjangka.

Bisa juga menempatkan sebagian dana dalam bentuk saham yang fundamentalnya bagus sehingga mampu rutin membayar dividen rutin. Atau menempatkan dana langsung ke sektor riil, misalnya membeli rumah toko yang kemudian disewakan. Jadi, intinya, investasi yang dilakukan diharapkan bisa memberi pendapatan rutin cukup besar dibandingkan deposito berjangka.

Tujuan ketiga: memupuk kekayaan, di mana hasil investasi diharapkan bisa lebih besar ketimbang tujuan kedua. Dalam model ini, dana yang diinvestasikan belum akan dinikmati dalam jangka pendek. Misalnya, dana ditempatkan di deposito berjangka, maka bunganya akan ditambahkan ke dalam pokok pinjaman untuk didepositokan kembali. Lalu, ketika membeli saham dan mendapat dividen dan gain, akan diinvestasikan lagi untuk membeli saham lain bersama pokoknya.

Jika pola semacam ini dilakukan dalam kurun waktu cukup lama, katakanlah 10 tahun, maka jumlah aset dan modal Anda akan berlipat ganda. Namun, pola investasi seperti ini hanya bisa dilakukan oleh kalangan yang untuk biaya sehari-harinya sudah memiliki dari sumber lain.

Yang terakhir, investasi sudah bersifat spekulatif. Mereka dalam golongan selalu mencari jenis investasi yang berani memberi imbal hasil sangat tinggi dan terkadang tidak masuk akal. Kita pernah mendengar kisah Qisar dan Maddoff di mana pihak penggalang dana menggunakan skema ponzi alias piramida uang.

Jika Anda termasuk pihak yang masuk pada awal dan segera keluar, maka Anda beruntung. Tetapi, jika Anda masuk belakangan, maka besar kemungkinan dana Anda sudah raib diberikan kepada pihak yang lebih dulu masuk sebelum Anda.

Investasi bersifat spekulatif juga kerap terjadi di pasar modal. Saham-saham tertentu yang tidak memiliki fundamental bagus ”digoreng” sedemikian rupa sehingga harganya meningkat. Jika Anda tergiur, Anda akan ikut membeli. Pada saat yang sama, pihak ”penggoreng” telah mengambil keuntungan dengan menjual kembali saham tadi.

Sesuaikan dengan tujuan

Ringkasnya, investasi bersifat spekulatif lazimnya tindakan investasi yang tidak didasari analisis, masuk ke jenis investasi ”abu-abu” dan menempatkan dana dalam jumlah cukup besar karena ingin mendapat keuntungan besar dalam jangka pendek.

Berangkat dari tujuan investasi di atas, korelasikan dengan perilaku investasi Anda. Contoh sederhana, sangat tidak mungkin Anda memiliki tujuan investasi spekulatif jika Anda tergolong penakut atau tidak berani mengambil risiko. Investasi ini hanya bisa dilakukan mereka yang ”berani mati” dan ”berani kehilangan uang”.

Dalam realitasnya kita melihat begitu banyak investor yang kemudian melapor pada polisi, menangis tersedu-sedu, atau malah menjadi gila ketika kehilangan dana investasinya. Sebenarnya ini aneh. Karena ketika berani berspekulasi, mestinya berani pula menanggung akibatnya.

Dalam praktiknya, kebanyakan yang berinvestasi spekulatif sebenarnya memiliki tujuan mempunyai pendapatan rutin dalam rangka membiayai kebutuhan sehari-hari. Kalau memang seperti itu faktanya, mestinya pilihan investasinya adalah yang berisiko moderat, bahkan rendah.

Kesimpulannya, perilaku investasi mesti sejalan dengan tujuan investasi. Jika kedua hal ini tidak sinkron, maka besar kemungkinan investasi akan gagal.

Kompas

No comments: