BLOGSPOT atas

Tuesday, February 10, 2009

[Kompas 100]: "From Market Perception to Marketing Fundamental"

Selasa, 10 Februari 2009 | 07:48 WIB

by Hermawan Kartajaya and Taufik

Apa kabar pembaca Kompas.com sekalian?
Setelah tahun lalu menikmati serial New Wave Marketing selama 100 hari, mulai 10 Februari hingga 26 Mei 2009 kami akan membahas Strategy dan Marketing Fundamental dari perusahaan publik dalam daftar Kompas100.

Serial ini sekaligus countdown kedatangan Philip Kotler, the father of modern marketing, ke Indonesia. Selain merayakan ulang tahunnya ke-78 pada tanggal 27 Mei, Kotler akan membawakan seminar Marketing in Turbulent Times: Discovering Opportunities in a Recession with Chaotic Management System.

Mengapa Marketing Fundamental?

Dari 2004 hingga 2007, Bursa Efek Indonesia mengalami pertumbuhan yang spektakuler. Pertumbuhan ini tercatat sebagai yang terbaik di Asia Tenggara, dan sejajar dengan kinerja bursa saham Shanghai dan Bombay. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah bursa pada Januari 2008. Namun, resesi ekonomi global pada tahun 2008 mendorong indeks untuk jatuh hingga 50 persen di akhir tahun. Walaupun volatilitas bukanlah sesuatu yang asing di dunia pasar modal, penurunan tajam seperti ini patut dicermati lebih dalam. Apakah fenomena ini cerminan dari lemahnya fundamental perusahaan publik di Indonesia?

Mungkin tidak adil jika kita terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan itu hanya berdasarkan harga saham. Ekonom seperti John Burr Williams melihat Market Value sebagai nilai dari suatu perusahaan atau aset, berdasarkan persepsi pasar terhadap nilai fundamentalnya. Karena penilaian ini lebih banyak tergantung kepada persepsi pasar, terkadang investor dapat menentukan nilai suatu perusahaan terlalu tinggi (overvalue) atau terlalu rendah (undervalue). Dalam masa turbulen seperti sekarang ini kecenderungan overvalue dan undervalue menjadi lebih besar.

Penilaian dari suatu perusahaan yang juga populer adalah Book Value. Perhitungan Book Value melibatkan analisis mendalam dari income statement dan balance sheet – suatu konsep klasik yang diperkenalkan oleh Luca Pacioli pada abad ke 15. Book Value mempertimbangkan profitability dari suatu perusahaan dan juga kondisi finansial saat ini. Namun Book Value hanyalah cerminan dari kinerja masa lampau perusahaan. Adanya beberapa kelemahan, seperti praktik tax shield dan tidak diperhitungkannya cost of capital serta non-interest working capital mengurangi tingkat akurasi dari Book Value sebagai indikator kemampuan nyata dari perusahaan untuk menciptakan value bagi pemegang saham.

Selanjutnya, Stern Stewart & Company mengembangkan konsep Economic Value Added (EVA). Konsep ini melakukan revisi terhadap analisis tradisional dari income statement dan balance sheet untuk menghitung Economic Value suatu perusahaan. Dalam EVA income statement, praktik tax shield dihindari, dan cost of capital diperhitungkan. Dalam EVA balance sheet, non-interest working capital disertakan dalam perhitungan. Dengan ini, EVA memperhitungkan secara lebih mendalam jumlah kekayaan atau economic profit yang diciptakan suatu perusahaan untuk pemegang sahamnya. Namun, semenjak awal perkembangannya, EVA lebih banyak diterapkan terhadap bagian operasional dan sumber daya manusia. EVA digunakan untuk menemukan titik titik yang masih bisa diperbaiki dan juga menghitung jumlah insentif yang tepat untuk pegawai.

David Besanko, profesor Kellog School of Management, melakukan analisa yang lebih dalam terhadap EVA dan menemukan empat hal utama yang berhubungan dengan strategi suatu perusahaan. Besanko menyatakan bahwa untuk mendapatkan EVA yang lebih tinggi, suatu perusahaan harus meningkatkan gross margin, menurunkan rasio antara Sales, General, Administration (SG&A) Expense dan Sales, menurunkan rasio antara capital dan sales, dan meningkatkan Market Share. Ini adalah empat faktor fundamental yang menentukan Strategy Value suatu perusahaan.

Lebih dalam lagi, bisa dikatakan bahwa fundamental suatu perusahaan ditentukan oleh Marketing Value yang dimilikinya. Suatu perusahaan dapat meningkatkan gross margin, menurunkan rasio SG&A terhadap sales, menurunkan rasio capital terhadap sales, dan mendapatkan market share yang lebih tinggi melalui positioning, differentiation, dan brand (PDB) yang solid. PDB suatu perusahaan bisa menjadi dasar penentuan target segmennya, marketing mix, dan service process yang mereka tawarkan. PDB itu sendiri dibentuk berdasarkan analisa mendalam terhadap perubahan, kompetitor, pelanggan, dan perusahaan (change, competitor, customer, company).

Marketing dan Strategy akan menunjukkan apakah suatu perusahaan memiliki fundamental yang kuat untuk tetap bertahan melalui krisis dan menciptakan value bagi pemegang saham. Oleh sebab itu, saatnya kita beralih cara pandang: from market perception to marketing fundamental!

Philip Kotler's Executive Class: 102 Days To Go

Kompas

No comments: