BLOGSPOT atas

Tuesday, October 27, 2009

Matinya RATER?

Selasa, 27 Oktober 2009 | 20:11 WIB

KOMPAS.com - Tidak mungkin berbicara mengenai teori service tanpa berbicara mengenai ServQual. Framework analisis kualitas service ini adalah pegangan utama yang sering menjadi rujukan saat melakukan perancangan atau perubahan service dalam suatu perusahaan. Dalam ServQual – yang dikembangkan oleh Zeithaml, Parasuraman, dan Berry – ada lima aspek service quality yang perlu diperhatikan, yaitu Reliability, Assurance, Tangibles, Empathy, dan Responsiveness. Model ini lalu lebih dikenal dengan nama RATER.

RATER juga sering kali digunakan untuk pengukuran tingkat kualitas layanan yang diberikan dalam upaya memenuhi layanan yang diharapkan oleh konsumen. Dimana selanjutnya ditemukan, melalui penelitian, bahwa elemen-elemen tersebut dapat diurutkan dari yang paling berpengaruh pada kepuasan pelanggan, yaitu pertama Reliability, Responsiveness, Assurance, Empathy, dan terakhir baru Tangibles. Model yang sederhana ini banyak mempermudah analisa kualitatif dari kualitas pelayanan, sehingga sangat populer digunakan di berbagai industri untuk mencapai service excellence.

Tapi konsep service ini sebenarnya dikembangkan dua dekade yang lalu, di pertengahan tahun 80-an. Dan, seperti kita ketahui, sudah banyak terjadi perubahan di dunia sejak itu, termasuk dunia bisnis. Perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi telah mendorong dunia menjadi semakin horizontal. Komunikasi antar konsumen tidak lagi dapat dibatasi dan berlangsung secara real-time. Sudah saatnya kita merevisi cara pandang terhadap service. Mungkin service excellence sudah tidak cukup lagi.

Pemberian layanan konvensional terfokus bagaimana perusahaan bisa meningkatkan kinerja dari tiap elemen RATER yang diberikan kepada konsumen. Dalam konsep ini, service bersifat vertikal, dengan perusahaan sebagai pemberi layanan, dan konsumen sebagai penerima layanan. Dengan pemikiran seperti ini, konsumen akan selalu dilihat sebagai obyek layanan.

Dalam dunia yang semakin horizontal ini, tidak cukup konsumen dijadikan obyek service. Tiap individu harus diperlakukan sebagai subyek yang turut menentukan jenis layanan yang diperlukannya. Di sini, suatu layanan yang menurut model RATER adalah yang terbaik, belum tentu sepenuhnya sesuai dengan keperluan konsumen. Sehingga elemen customer involvement menjadi salah satu komponen pelayanan yang sangat penting.

Sebagai contoh, Mayo Clinic, salah satu institusi medis paling dihargai di dunia, selalu fokus pada pemberian perawatan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan pasien. Dengan sistem remunerasi yang tidak memberikan insentif lebih untuk dokter yang lebih banyak melakukan tindakan medis, maka pasien terhindar dari pemberian obat atau perawatan yang tidak diperlukan. Dalam institusi ini, dokter juga tidak ragu untuk menyerahkan pasiennya kepada dokter lain jika hal itu adalah yang terbaik bagi pasiennya.

Tentunya, dalam hal ini, untuk dapat mengerti betul kebutuhan pasien, selain melalui diagnosa, komunikasi yang intens antara dokter dan pasien adalah syarat mutlak. Itulah sebabnya tiap pasien diberi alokasi waktu konsultasi dengan dokter yang lebih lama. Dan tiap dokter tidak akan ragu menjawab semua pertanyaan pasien. Di sini, pasien diperlakukan setara, tidak diremehkan oleh dokter, seperti sering terjadi di banyak institusi kesehatan.

The needs of he patient come first” itulah motto dari Mayo Clinic. Yang menarik di sini adalah penggunaan kata “need” bukannya “want”. Karena yang penting adalah apa yang dibutuhkan oleh pasien, bukan apa yang diminta. Dalam hal ini, konsumen tidak selalu adalah ”raja” seperti yang sering didengungkan perusahaan-perusahaan yang fokus pada pelanggan.

Inilah yang dalam new wave marketing disebut sebagai Caring. Ini bukan sekedar service dengan nama yang berbeda, tapi ada perbedaan fundamental antara keduanya. Yang pertama, seperti disebutkan sebelumnya, adalah fokusnya pada “kebutuhan” konsumen, bukan “permintaan” mereka.

Perbedaan kedua adalah mengenai bagaimana pelaksanaannya. Kalau dalam service, perusahaan diharapkan untuk melebihi ekspektasi pelanggan, dalam care fokusnya adalah memberikan layanan yang paling relevan dengan kebutuhan dan hasrat konsumen. Ini akan menciptakan efek “Wow”, yang menjadikan konsumen benar benar merasa terbantu oleh perusahaan.

Terakhir adalah mengenai pengukuran keberhasilan. Service sering kali dikaitkan dengan tingkat re-purchase. Sejauh mana konsumen akan tetap menjadi pelanggan, dan membeli lebih sering atau lebih banyak dari perusahaan. Caring lebih fokus pada memberikan yang terbaik bagi konsumen sehingga mereka menjadi konsumen yang antusias sehingga dengan sukarela merekomendasikan perusahaan tersebut ke orang lain. Di sini, rekomendasi jauh lebih penting dari repeat buying.

Ini tentunya tidak berarti bahwa RATER tidak lagi berguna. Model ini masih sangat baik digunakan untuk analisa umum terhadap kualitas layanan. Namun di era new wave, konsep ini tidaklah cukup. Perusahaan harus mulai menerapkan konsep caring, yang kami percayai sebagai salah satu faktor kunci dalam persaingan di lanskap bisnis yang semakin horizontal.

Apakah perusahaan anda siap?


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

No comments: