JAKARTA, KOMPAS.com - Suatu hari, Laurentius Laba,
chief executive officer sebuah perusahaan multinasional di Jakarta
menghadapi persoalan pelik. Komisaris utama dari perusahaan meminta ia
ikut pameran produk di Jakarta. Ia kaget karena sepengetahuan dia, ada
aturan tidak tertulis yakni pameran seperti itu hanya untuk kalangan
tertentu. Tidak bisa ”diintervensi” perusahaan dari genre berbeda. Bisa
dianggap tidak beradab.
Di dalam rapat, Laurentius mengatakan
kepada komisaris utama itu bahwa perusahaan ”tidak bisa ikut pameran
itu” karena ada aturan mengikat. Namun pemegang saham terbesar itu tidak
mau tahu. Pokoknya perusahaan harus ikut serta. Laurentius pun
terpojok. Sebagai CEO, ia tidak ingin perusahaan yang ia pimpin
melakukan ketidakpantasan.
Dalam galau dan geram, ia terbang ke
tempat wisata Raja Ampat di Papua. Ia tidak hirau pameran itu akan
digelar lima hari lagi. Di Raja Ampat, ia melakukan pelbagai olahraga
yang memacu adrenalin. Namun ia hanya bisa mereduksi ketegangannya. Ia
pun kembali ke Jakarta. Begitu tiba, ia meminta para stafnya ikut
pameran itu. Bayangan risiko ia abaikan.
Pameran akhirnya dibuka.
Para peserta pameran protes mendesak penyelenggara pameran ”mengusir”
perusahaan yang dipimpin Laurentius. Laurentius tanpa basa basi, ia
meminta para stafnya segera mundur dari pameran. Kemudian memberi
laporan singkat kepada komisaris utama. Komisaris utama hanya berkata,”
Baiklah tidak masalah.”
Dari kasus ini Laurentius menarik
pelajaran besar. Di satu sisi ia boleh bertahan dengan prinsip kebenaran
yang ia anut. Namun pada sisi lain, ia mesti mendengar perintah pemilik
perusahaan yang menurut aturan perusahaan, berwenang mengeluarkan
perintah kepadanya.
Pengungkapan peristiwa ini menarik disimak.
Umumnya CEO cenderung bertahan pada kebenaran yang sejalan dengan hukum,
dan karena itu berani menyatakan ”tidak” kepada pemilik. Bukan apa-apa,
ia tidak ingin perusahaan terjerat hukum. Kalau pemilik perusahaan
tetap bersikeras, para CEO ideal ini umumnya akan meminta keluar dari
perusahaan.
Namun ada juga CEO yang memilih melepas prinsip
kebenaran yang ia anut, saat pemilik bersikeras dan memaksa. Namun CEO
cerdas tersebut biasanya meminta perintah tertulis agar jika timbul
masalah hukum, ia tidak perlu bertanggung jawab. Menjadi tanggung jawab
pemilik.
Beberapa pemilik perusahaan besar di Indonesia cenderung
seperti itu. Ada kasus di mana komisaris utama tidak berkenan mendengar
advis eksekutifnya. Perusahaan pun terjerembap. Ada pula perusahaan,
terutama di perbankan, eksekutifnya malah yang melampaui batas sehingga
perusahaan terjerembap.
Kita mesti selalu memetik hikmah dari
peristiwa-peristiwa besar yang membuat perusahaan besar dan raksasa
tersungkur karena keliru mengambil putusan.
Quoted by Muhammad Idham Azhari from Kompas.com