BLOGSPOT atas

Friday, May 8, 2009

[Kompas 100]: Telkom Indonesia: "The Largest, Most Diverse and Profitable Telco"

Bagian 86 dari 100

Jumat, 8 Mei 2009 | 07:44 WIB

Alexander Graham Bell adalah a visonary inventor.

Hasilnya terlihat sekarang dimana orang menggunakan istilah nge-bell dan bukan nge-gray untuk menelepon. Padahal, sebenarnya ada dua orang yang pada saat bersamaan berhasil menemukan telepon: Alexander Graham Bell dan Elisha Gray. Bedanya, Bell lebih jeli dan ngotot melihat commercial value dibandingkan Gray.

Hanya karena lebih dahulu beberapa jam ke kantor paten, Bell memenangkan pertempuran legal untuk berhak mengaku sebagai pencipta telepon pertama kali. Kata-kata legendarisnya, “Mr Watson, come here. I want to see you,” adalah kata-kata pertama yang mengalir melalui sebuah telekomunikasi telepon. Ketika itu, Bell memanggil asistennya yang ada di ruangan sebelah. Mereka terhubung hanya melalui sebuah kabel dalam sebuah demo produk. Penemuan itu mengawali terbentuknya perusahaan-perusahaan telekomunikasi atau dikenal dengan istilah “Bell” di seluruh dunia. Dan yang paling terkenal ketika AT&T dipecah, yang hasil pecahannya dikenal dengan nama Ma-Bell (yang paling besar dan pemain nasional) dan Baby Bells yang kecil-kecil dan merupakan pemain regional.

Namun, kemunculan telepon nir kabel—yang membuat The Economist mendeklarasikan apa yang disebut sebagai The Death of Distancemembuat hasil temuan Bell seolah-olah seperti kehilangan relevansinya. Dan hal tersebut terakhir ditunjukkan bukan hanya terhadap begitu tingginya tingkat penetrasinya, tetapi juga sebagai driver pengembangan layanan baru yang mobile. Yang menarik, seiring dengan popularitas seluler, baik dalam usage, maupun usership, ternyata produk temuan Bell justru kembali terlihat relevansinya, terutama setelah infrastruktur seluler tidak mampu menampung lonjakan lalu lintas komunikasi seluler.

Kini, telepon kabel bukan lagi menjadi “target” yang akan “dihapus dari muka bumi” oleh telepon seluler, tetapi malah menjadi pasangan yang saling menunjang, dan ternyata masing-masing memang punya kelebihan yang kalau disinergikan bisa membuat perusahaan telekomunikasi menjadi efektif me-lock pelanggan. Karena itu, sungguh beruntung perusahaan yang punya posisi kuat di telepon kabel dan seluler seperti PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM).

Di telepon kabel, sebagai pionir, TLKM punya posisi pasar yang sangat dominan, dan di telepon seluler, yang kini menjadi kontributor utama pendapatan, TLKM selain punya anak usaha yang menjadi pemain GSM terbesar Indonesia dan dikenal sebagai pemain paling menguntungkan, juga punya divisi yang merupakan pemain terbesar CDMA. Di seluler ini, TLKM bukan hanya terbesar, melainkan punya pangsa pasar yang berbeda cukup jauh dengan pemain terbesar kedua di masing-masing kategori. Ini jelas merupakan suatu prestasi tersendiri karena Indonesia adalah salah satu pasar yang dengan jumlah pemain terbanyak di dunia, yaitu 11 pemain.

Mungkin, banyak yang beranggapan bahwa pencapaian TLKM tersebut di atas dianggap sebagai sesuatu yang biasa, mengingat TLKM awalnya adalah pemain yang mendapatkan lisensi tunggal di bisnis telekomunikasi kabel. Namun, posisi yang seolah enak, tetapi bisa meninabobokkan—dan tentu bisa mengancam kelangsungan usahaternyata diwaspadai benar oleh sejumlah CEO terdahulu TLKM. Salah satunya adalah almarhum Cacuk Sudarijantoyang menjadi CEO di akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-anyang meletakkan landasan TLKM menjadi service oriented company dan sekaligus menyiapkan SDM sebagai diferentiator TLKM di masa depan

Sebagai salah satu perusahaan tertua dan perusahaan publik terbesar di Indonesia, TLKM tentu saja tidak boleh berpuas diri dengan mengandalkan bisnis selulernya. Tren terbaru di dunia telekomunikasi mengisyaratkan kembali terjadi pergerakan perilaku konsumen. Karena telekomunikasi dengan voice baik dengan telepon rumah atau ponsel menjadi biasa seiring dengan perkembangan zaman, konsep ini mulai dilengkapi dengan telekomunikasi visual. Karena itu, konsep “three screens” berkembang. Saat ini tiga layar, yaitu internet, ponsel, dan televisi menjadi sarana berkomunikasi yang paling pesat perkembangannya. Integrasi di antara tiga layar ini, ditambah PSTN, dikenal dengan istilah konvergensi telekomunikasi.

Mengapa terjadi konvergensi telekomunikasi? Alasannya sederhana: orientasi kepada pelanggan. Pelanggan merasa tidak praktis menggunakan berbagai penyedia jasa untuk berbagai keperluan telekomunikasi. Alangkah baiknya jika satu perusahaan bisa menyediakan semuanya dalam satu atap. Di Indonesia, hanya TLKM yang paling mampu mewujudkan mimpi tersebut. TLKM mempunyai jaringan kabel PSTN yang bisa dimanfaatkan sebagai gateway untuk mengakses 2 layar, yaitu internet secara broadband dan televisi secara berlangganan. Inilah kegunaan lain jaringan kabel PSTN. Untuk layar ponsel, TLKM sudah punya Telkomsel.

Karena itu, model pengembangan bisnis TLKM mulai dijalankan dengan menggunakan dua track: legacy dan new wave. Legacy ini adalah untuk melayani pelanggan yang menggunakan layanan basic communication dan punya value add yang rendah, seperti dalam bisnis telepon kabel dan seluler. Adapun new wave ini adalah layanan dengan advanced communication dan sekaligus juga solusi, seperti di broadband, enterprise solution, dan IT services. Jika TLKM dengan basis wireline dan wireless mampu memanfaatkan tren ini lebih cepat dan lebih baik dari operator-operator lainnya yang hanya berbasis wireless, maka TLKM akan bisa me-leverage posisi sebagai a fully integrated telco solutions provider untuk mempertahankan posisi sebagai the largest, most diverse and most profitable telco.


"Philip Kotler's Executive Class: 19 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

No comments: