BLOGSPOT atas

Sunday, May 24, 2009

[Kompas 100]: Sumalindo Lestari Jaya: "A Sustainability Focused Wood-Based Company"

Minggu, 24 Mei 2009 | 08:07 WIB

Dari British Petroleum ke Beyond Petroleum.

Sepintas itu perubahan yang simple, karena singkatannya masih sama sekalipun ada perubahan kata. Tapi begitu memahami apa yang dirubah dan kenapa berubah, sulit untuk tidak mengapresiasi langkah perusahaan ini. Meski sampai sekarang, migas masih merupakan bisnis utamanya, tapi perusahaan tersebut paham akan semakin sensitifnya isu pemanfaatan energi yang berasal dari fosil seperti migas.

Dengan merubah kepanjangan namanya, maka perusahaan menjadi lebih leluasa mewadahi aktivitas eksplorasi dan pemanfaatan energi dari berbagai macam sumber yang ramah lingkungan, terutama yang non-fosil, seperti pembangkit listrik berbasis kincir angin. Untuk menunjukkan keseriusannya dalam inisiatif tersebut, selain mengalokasikan tenaga, dana dan keahlian untuk mengembangkan sumber energi alternatif, perusahaan juga melaporkan dan mengkampanyekan apa yang dilakukannya. Sebetulnya, bukan hanya perusahaan energi yang aktif melakukan inisiatif semacam itu untuk menjawab isu tentang praktek bisnis yang ramah lingkungan, tapi juga perusahaan yang mendapat sorotan tajam karena bisnisnya membuka hutan, seperti yang dilakukan perusahaan pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Salah satu pemegang HPH terbesar Indonesia adalah Group Sumalindo yang memiliki PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SULI). Namun SULI membedakan diri dengan para kompetitornya dengan berani menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk melaksanakan sustainable forest management (SFM). Dan komitemen ini didukung pula oleh tindakan nyata SULI yang terus berupaya mendapatkan berbagai pengakuan dari berbagai otoritas lokal maupun internasional mengenai pelaksanaan SFM ini.

SULI sendiri berdiri sejak 1980 sebagai pengelola pabrik kayu lapis yang memegang Hak Pengusahaan Hutan Alam di Kalimantan Timur. Dimulai dengan luas areal 132.000 ha dan pabrik kayu lapis dengan kapasitas produksi 66.000 m3 per tahun, dalam tahun-tahun berikutnya SULI terus melakukan ekspansi hingga kini perusahaan mengelola beberapa areal hutan alam dan hutan tanaman, pabrik kayu lapis, MDF, secondary process, serta industri penunjang lainnya seperti pabrik pelekat dan power plant.

Proses ekspansi ini antara lain dilakukan dengan penggabungan dan akuisisi perusahaan perkayuan lainnya, membentuk usaha patungan dengan PT Inhutani I di tahun 1992, dan tentunya melakukan perkembangan lini produksi secara kontinu. Hingga kini SULI menjadi salah satu perusahaan perkayuan utama di Indonesia yang didukung oleh sekitar 3.700 karyawan.

Namun yang membedakan SULI adalah komitmennya pada sustainable forest management yang dinilai dapat menjaga kelangsungan bisnis dalam industri tersebut dengan memastikan pasokan kayu dari hutan alam maupun hutan tanaman. Sejak tahun 1991, SULI sudah melaksanakan berbagai sistem antara lain untuk perencanaan hutan, serta regenerasi dan perawatan hutan. Dan dimulai tahun itu, manajemen SULI memutuskan bahwa salah satu unit konsesi hutan yang dikelolanya --yaitu SLJ-II-- akan dijadikan sebagai pilot project untuk memperoleh sertifikasi SFM.

Upaya persiapan ini --yang meliputi aspek sosial, ekologi, dan produksi-- pada akhirnya membuahkan hasil tiga tahun kemudian. Proses penilaian yang berlangsung selama 32 bulan, menghasilkan sertifikasi bagi SLJ-II yang meliputi: Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dari Kementerian Kehutanan, Sustainable Forest Management (SFM) dan Chain of Custody (CoC) Certificate dari SmartWood, serta sertifikat PHAPL-LEI dari Lembaga Ekolabel Indonesia.

Keberhasilan SULI memperoleh berbagai pengakuan tersebut -- yang akan diterapkan pula untuk unit lain seperti SLJ-IV, SLJ-V dan SLJ-I -- membuktikan bahwa komitmen perusahaan ini pada lingkungan hidup bukan sekedar upaya ikut-ikutan trend ”go green” yang sedang populer. Komitmen ini juga terlihat pada upaya-upaya sustainable development lainnya seperti turut serta dalam penelitian untuk menjaga kelangsungan species pohon yang terancam punah, serta turut serta dalam pengembangan komunitas penduduk di sekitar wilayah konsesi tersebut.

Bahkan perusahaan tidak ragu untuk melakukan kerja sama dengan berbagai organisasi dan LSM yang gencar mengupayakan penerapan sustainable forest management. Organisasi ini antara lain program Nusa Hijau dari WWF-Indonesia dan The Nature Conservancy dari Amerika Serikat. Ini diluar berbagai lembaga sertifikasi yang melakukan penilaian terhadap unit-unit pengelolaan SULI.

Kami melihat bahwa praktek industri ramah lingkungan seperti ini menjadi syarat mutlak untuk dapat berkompetisi di dunia internasional. Dengan tuntutan yang semakin kuat dari negara maju terhadap praktek bisnis yang berbasis sustainable development, dan mulai meningkatnya tekanan masyarakat di negara berkembang untuk menerapkan standar yang serupa dengan negara maju, maka langkah SULI ini sungguh tepat. Apalagi melihat bahwa sekitar setengah dari penjualan perusahaan ini didapatkan dari pasar ekspor.

Namun, harus diakui, menjadi pionir sustainable forest management tidak selamanya menjanjikan kinerja keuangan yang bagus. Ini terlihat saat di tahun 2008, SULI mencatatkan kerugian bersih Rp 262,5 Miliar, dibandingkan laba bersih di tahun 2007 yang sebesar Rp 27,6 Miliar. Hal ini tentunya juga disebabkan ketergantungan perusahaan yang cukup tinggi terhadap pasar ekspor, dan sifat produk kayu yang erat kaitannya dengan industri properti yang mengalami perlambatan signifikan di berbagai negara.

Akan tetapi, kami percaya bahwa praktek bisnis yang sustainable harus memperhatikan triple bottom line seperti yang dilakukan SULI. Tentunya dengan catatan bahwa hal ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah sehingga praktek sustainable forest management tidak menjadikan perusahaan yang menerapkannya menjadi kehilangan kemampuan bersaing. Dalam kondisi ideal seperti itu, SULI akan menjadi salah satu model dan benchmark dari a sustainability focused wood-based company di Indonesia.


"Philip Kotler's Executive Class: 3 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas


No comments: