BLOGSPOT atas

Thursday, January 29, 2009

Suku Bunga: KPR Melonjak Lagi

Kamis, 29 Januari 2009 | 01:47 WIB

M Fajar Marta

Fadly (32), pegawai swasta, yang mengurungkan niatnya mengajukan kredit pemilikan rumah tahun lalu karena kenaikan suku bunga, kini mulai mengambil ancang-ancang lagi untuk mengajukan KPR. Tren suku bunga yang menurun membuatnya kembali bersemangat membeli rumah idaman.

Fadly tidak sendirian. Sebagian besar masyarakat yang ingin mengajukan KPR memang menjadikan suku bunga sebagai pertimbangan utama. Sebab, perbedaan suku bunga 1-2 persen saja sungguh amat terasa bagi masyarakat berpenghasilan Rp 5 juta ke bawah. Dengan perhitungan kasar untuk rumah seharga Rp 250 juta, misalnya, setiap penurunan bunga satu persen akan ada pengurangan pembayaran bunga berkisar Rp 2 juta-Rp 3 juta per tahun atau sekitar Rp 200.000 per bulan.

Tanggal 20 Januari lalu merupakan awal dimulainya penurunan suku bunga KPR khususnya dan suku bunga kredit pada umumnya. Bank-bank berstatus badan usaha milik negara yang memelopori penurunan dengan memangkas 50-100 basis poin tingkat bunga kreditnya dari posisi semula. Bank-bank lain diperkirakan juga akan memotong suku bunga kreditnya pada awal Februari 2009.

Penurunan suku bunga kredit tersebut merupakan respons dari tren turunnya suku bunga acuan atau BI Rate yang telah berlangsung sejak dua bulan sebelumnya, tepatnya pada awal November 2008. Sebelum suku bunga kredit diturunkan, bank-bank telah terlebih dahulu menurunkan suku bunga dana, seperti deposito dan tabungan.

Kredit pemilikan rumah, seperti jenis kredit konsumsi lainnya, memang merupakan kredit yang paling sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Begitu suku bunga KPR naik bisa dipastikan laju pertumbuhan KPR langsung menurun. Sebaliknya, begitu suku bunga mulai menurun, permintaan akan cenderung meningkat.

Respons permintaan KPR terhadap pergerakan suku bunga umumnya bersifat langsung. Saat suku bunga KPR menunjukkan tren menurun sepanjang Januari 2007-Mei 2008, misalnya, pertumbuhan KPR cenderung meningkat.

Pada Mei 2008, suku bunga KPR perbankan nasional menyentuh titik terendahnya dengan rata-rata 15,74 persen per tahun. Pada saat bersamaan, permintaan KPR mencatat pertumbuhan tertinggi mencapai 3,7 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Rata-rata bunga kredit merupakan perhitungan kumulatif antara bunga KPR lama yang umumnya berbunga tinggi dan KPR produksi baru yang bunganya lebih rendah. Untuk KPR produksi baru, tercatat pada bulan tersebut, bank-bank besar menawarkan bunga KPR hingga di bawah 10 persen per tahun.

Namun, saat suku bunga KPR mulai naik pada Juni 2008, permintaan KPR langsung drop. Seiring tren kenaikan bunga hingga November 2008 (data terakhir yang dapat dikutip), laju permintaan terus melambat. Bahkan, pada bulan November 2008, pertumbuhan KPR telah negatif, yang berarti selama bulan tersebut, nilai pembayaran cicilan atau pelunasan yang diterima bank lebih besar ketimbang nilai kredit baru yang disalurkan.

Jika merujuk pada data historis tersebut, bisa diperkirakan pertumbuhan KPR pada Februari 2009 akan mulai meningkat kembali.

Data dari Kementerian Negara Perumahan Rakyat menunjukkan, pertumbuhan kebutuhan rumah mencapai 800.000 unit per tahun. Adapun pasokannya hanya sekitar 300.000 per tahun. Ini membuat secara akumulatif kebutuhan rumah terus meningkat, mencapai 5,8 juta unit.

Seberapa jauh bunga KPR akan turun, itu sangat tergantung, terutama pada sejauh mana BI Rate dan suku bunga dana akan turun. Selain suku bunga acuan, perbankan juga biasanya akan mempertimbangkan risiko yang tecermin pada angka kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Jika risiko dianggap tinggi, bank cederung akan memasang suku bunga tinggi sebagai upaya untuk mengerem permintaan. Risiko KPR sebenarnya belum begitu mengkhawatirkan.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman Hadad menjelaskan, hingga November 2008, rasio NPL kotor (gross) kredit properti secara umum sebesar 3 persen, turun dibandingkan per Desember 2007 yang sebesar 3,6 persen. Sektor tertentu dikatakan cukup berisiko jika rasio NPL-nya sudah melebihi 5 persen.

Jika dirinci lebih jauh, rasio NPL gross kredit real estat turun 2,6 persen menjadi 3,3 persen pada November 2008. Rasio kredit bermasalah KPR bahkan lebih rendah, hanya 2,4 persen.

Menurut Muliaman, risiko kredit memang cenderung meningkat pada tahun 2009, tetapi secara umum risiko tersebut masih tergolong moderat, dalam artian masih bisa dikelola bank. BI memperkirakan rasio NPL gross perbankan nasional akan naik dari 4,0 persen pada akhir tahun 2008 menjadi 5 persen pada akhir tahun 2009. Namun, penyumbang terbesar kenaikan NPL bukanlah KPR.

Ekonom Dradjad Wibowo memperkirakan, dengan inflasi yang diperkirakan menurun signifikan ke level 6 persen pada akhir tahun 2009, BI Rate berpotensi turun 150 basis poin pada paruh pertama 2009. Artinya, suku bunga acuan BI akan menuju level 7,5 persen-8 persen pada akhir semester I-2009. Saat ini BI Rate berada di posisi 8,75 persen.

Sebelum penurunan bunga kredit pada 20 November 2009, suku bunga KPR produksi baru bank-bank besar berkisar 14 persen per tahun. Jika perbankan menurunkan suku bunga kredit sebanyak penurunan suku bunga acuan BI, pada bulan Agustus 2009 masyarakat sudah bisa menikmati suku bunga KPR di kisaran 12,5 persen.

Sejauh ini, perbankan tampaknya cukup yakin dengan prospek perekonomian ke depan. Terbukti kredit secara umum diperkirakan masih bisa tumbuh 20 persen, sebuah angka pertumbuhan yang bisa dibilang normal sejak krisis tahun 1998.

Bank terbesar dalam pembiayaan KPR, BTN, juga memasang target KPR yang tidak pesimistis. Direktur Utama BTN Iqbal Latanro mengatakan, BTN akan menyalurkan kredit gross sebesar 12,25 triliun pada tahun 2009, meningkat 22,5 persen dibandingkan target tahun 2008. Kredit bermasalah BTN diproyeksikan naik sedikit dari 3,13 persen pada tahun 2008 menjadi 3,35 pada tahun 2009.

Ketua Umum Real Estat Indonesia F Teguh Satria juga optimistis dengan prospek industri properti tahun ini. Ia memprediksi industri properti Indonesia tahun 2009 akan tumbuh cukup signifikan, terutama sektor perumahan, lebih khusus subsektor perumahan bersubsidi.

Kompas

No comments: