BLOGSPOT atas

Sunday, January 16, 2011

Sisi Gelap Investasi

Minggu, 16 Januari 2011 | 03:40 WIB

Elvyn G Masassya/praktisi keuangan

Investasi memang salah satu cara paling efektif untuk meraih kesejahteraan finansial. Bahkan, melalui investasi, seseorang bisa menyuruh uangnya ”bekerja”. Jadi, uang mencari uang. Bukan Anda yang mencari uang, baik itu sebagai pekerja maupun wirausaha.

Itu sebabnya seseorang yang berpenghasilan tetap sebaiknya menyisihkan sebagian penghasilan tetapnya untuk diinvestasikan agar di masa depan, ketika yang bersangkutan tidak bekerja lagi, tetap memiliki penghasilan melalui hasil investasi. Itu adalah situasi ideal berinvestasi.

Namun, dalam realitasnya, investasi juga bisa membuat seseorang kehilangan kesejahteraan yang telah dimiliki. Kok bisa? Bisa, karena investasi juga memiliki sisi gelap yang terkait dengan kepribadian (personality) seseorang. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas beberapa sisi gelap tersebut agar Anda terhindar dari permasalahan dalam berinvestasi.

Pertama, jebakan imbal hasil besar. Ada seribu satu pilihan investasi, baik di pasar keuangan maupun sektor riel. Dari yang masuk akal hingga yang tidak waras. Tetapi, bagi sebagian kalangan, yang dijadikan indikator adalah imbal hasil yang besar. Artinya, kalau investasi tersebut menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, banyak pihak yang akan tertarik. Padahal, imbal hasil besar pasti dibarengi dengan risiko yang juga besar.

Oleh karena itu, dalam berinvestasi, yang semestinya dilihat bukanlah tawaran imbal hasil investasi, melainkan berapa target keuntungan investasi yang ingin Anda peroleh. Secara kelaziman, jika Anda bisa memperoleh hasil investasi dua kali lipat laju inflasi, itu sudah tergolong bagus. Konkretnya, jika laju inflasi sebesar 7 persen per tahun, imbal hasil investasi sebesar 14-15 persen per tahun sudah sangat memadai.

Kedua, ”keserakahan” investasi. Anda tentu pernah mendengar seseorang yang tiba-tiba menjadi kaya raya melalui investasi saham, tetapi kemudian tiba-tiba pula menjadi miskin kembali. Kenapa? Hanya satu jawaban, yakni serakah. Ketika seseorang berinvestasi saham dan saham yang dipilihnya sudah menuai capital gain, berkemungkinan untuk mulai tertarik pada saham-saham lain, yang belum tentu memiliki kinerja fundamental bagus. Saham-saham lain itu bergerak harganya karena dipicu oleh sentimen pasar atau ”digoreng’” oleh bandar saham.

Nah, jika Anda ikut-ikutan dalam ”permainan” saham seperti itu dan berharap memperoleh keuntungan, yang kerap terjadi adalah ”buntung”. Sebab, ketika saham Anda beli, harganya sudah di atas. Selanjutnya, para bandar meninggalkan Anda tanpa bisa keluar dari saham tersebut hingga suatu ketika nasib baik menghampiri Anda jika harga saham tersebut kembali meningkat.

Ketiga, ”ketidaksabaran” berinvestasi. Anda tentu pernah mendengar istilah timing dalam investasi. Artinya, kapan Anda mulai berinvestasi dan kapan keluar. Istilah ini kerap dilekatkan dalam transaksi saham di pasar modal. Sebagian besar investor sangat paham bahwa kalau membeli saham, beli di saat harga rendah dan jual di harga atas. Masalahnya, kapan satu saham dianggap harganya murah dan kapan saat menjualnya? Berapa persen kenaikan dari satu saham sehingga layak disebut sudah tinggi? Jawabannya sangat relatif. Namun, yang sering terjadi adalah seorang investor telanjur menjual sahamnya pada saat harga baru saja mulai meningkat. Investor semacam ini tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk menunggu capital gain yang lebih besar sehingga keuntungan investasinya menjadi sangat terbatas.

Keempat, investasi berdasarkan gosip. Masih ingat kisah Qisar ataupun arisan berantai yang memakan banyak korban? Peristiwa semacam ini bisa terjadi sebenarnya bukan saja karena sang korban memang memiliki perilaku ”serakah”, ingin mendapatkan imbal hasil besar, tanpa memahami risikonya, melainkan karena tawaran investasi itu sendiri datang dari ”mulut ke mulut”. Jadi, banyak kalangan ikut- ikutan karena tetangga dan ataupun saudaranya ikut serta lebih dahulu. Jadi, mereka terjebak ramai-ramai dan akhirnya menyesal ramai-ramai pula. Apa yang bisa dicermati dari fenomena tersebut? Jangan pernah berinvestasi karena tawaran ”mulut ke mulut”. Sebab, selain ”mulut” setiap orang berbeda, yang paling mendasar adalah investasi tidak pernah menawarkan diri. Investasi mesti dicari. Dan kebutuhan tiap orang dalam berinvestasi berbeda.

Kelima, investasi berdasarkan utang. Benar, jika utang yang dilakukan diperuntukkan bagi kegiatan produktif yang terukur risikonya, maka utang untuk berinvestasi bukanlah hal haram. Yang menjadi masalah adalah seberapa besar utang itu dilakukan. Banyak kalangan terjebak pada utang karena ingin melakukan ekspansi secara terus-menerus sehingga beban bunga dan angsuran semakin besar, sementara hasil investasi tidak memadai untuk membayar kembali utang tersebut. Akibatnya, untuk menutupi utang yang satu dilakukan utang baru alias gali lubang tutup lubang. Pola ini dalam jangka panjang bukan saja memberatkan, tetapi juga bisa menggerus harta yang telah dimiliki. Oleh karena itu, hindari utang yang berlebihan dalam membiayai investasi.

Selain hal-hal yang dipaparkan di atas, tentu masih sangat banyak hal-hal negatif yang terkait dengan kegagalan investasi. Namun, yang mesti diingat, semua sisi gelap tersebut sebenarnya bergantung pada kepribadian setiap investor. Hal-hal tersebut bisa berlaku pada satu investor, tetapi tidak terjadi pada investor lain. Oleh karena itu, sebelum berinvestasi, ada baiknya direnungi kembali profil kepribadian Anda, apakah tergolong investor yang mudah terpengaruh atau memiliki pendirian. Keberhasilan berinvestasi sangat bergantung pada karakter Anda.

Quoted by Idham Azhari from KOMPAS

No comments: