BLOGSPOT atas

Sunday, June 27, 2010

Membuat Keputusan Finansial

Minggu, 27 Juni 2010 | 04:13 WIB

Elvyn G Masassya - praktisi keuangan

Ketika Anda hendak membuat suatu keputusan finansial, misalnya membeli rumah, mobil, atau berinvestasi dalam saham, lazimnya ada pertimbangan yang mendasari. Berapa persen keputusan itu didasari pertimbangan rasional ketimbang pertimbangan emosional?

Tatkala Anda hendak membeli rumah, ada pertimbangan lokasi yang dekat dengan kantor atau berdekatan dengan keluarga. Pendeknya, ada berbagai latar dari keputusan tersebut. Tentu saja ada pertimbangan mengenai harga rumah. Pertanyaannya, berapa persen pertimbangan harga dibandingkan dengan pertimbangan lain, yang mendorong Anda untuk membeli rumah?

Namun, coba jujur, pernahkah Anda membeli suatu barang sebenarnya lebih didominasi oleh pertimbangan emosional. Artinya, tidak peduli berapa pun harga rumah tersebut, tetap Anda beli karena Anda menyukainya. Dan boleh jadi, Anda membayar terlalu mahal untuk membeli fungsi dari sebuah barang.

Itulah yang disebut dengan keputusan finansial, yang tidak berbasis argumentasi finansial. Nah, agar tidak terjebak dalam pengambilan keputusan seperti itu, ada baiknya direnungkan kembali, bagaimana baiknya pembuatan keputusan finansial itu dilakukan.

Tujuan dan budget

Pertama, pastikan dulu tujuan dari keputusan finansial Anda. Membeli rumah misalnya, apa tujuannya? Untuk tempat tinggal yang baru atau sebagai alat investasi. Apa pun alasannya terserah Anda. Yang mesti dipahami adalah, perbedaan tujuan keuangan tersebut mestinya akan melahirkan keputusan keuangan yang berbeda. Dengan kata lain, keputusan keuangan untuk membeli suatu barang yang bersifat konsumtif akan sangat berbeda dengan keputusan keuangan yang tujuannya produktif. Dan Anda mesti memahami benar konsekuensi dari keputusan tersebut.

Kedua, menentukan berapa budget yang disediakan untuk suatu keputusan keuangan. Ini menjadi faktor penting sebab banyak kalangan membeli barang tanpa perencanaan jelas tentang biaya yang dialokasikan. Membeli barang konsumtif menggunakan kartu kredit, misalnya, maka setiap bulan, tagihan Anda akan membengkak. Atau kalau membeli rumah, penyesalan akan datang belakangan karena realitas yang diperoleh berbeda dengan harapan.

Atau ketika Anda membeli barang branded, demi ingin menaikkan status sosial. Anda sebenarnya merasa ”tidak kuat” mengeluarkan dana untuk membeli barang dimaksud, tetapi memaksakan diri agar kelihatan ”hebat” . Yang terjadi kemudian adalah penyesalan karena teman-teman Anda juga mampu membeli barang yang sama, atau malah lebih mahal ketimbang barang yang sudah Anda beli.

Membeli suatu barang branded dengan maksud meningkatkan gengsi bukanlah keputusan finansial. Itu lebih merupakan keputusan emosional yang hanya menimbulkan masalah di kemudian hari.

Purnajual dan dampak

Ketiga, aspek purnajual dari barang yang dibeli. Keputusan finansial yang tidak mempertimbangkan aspek purnajual dari suatu barang akan menimbulkan penyesalan. Perilaku finansial yang benar adalah ketika aset yang dimiliki lebih bersifat produktif ketimbang konsumtif. Demikian juga halnya dengan pembelian barang. Jika barang tersebut sudah tidak memiliki nilai produktif, termasuk ketika dijual kembali, barang tersebut tergolong biaya semata.

Dengan kata lain, barang apa pun yang dibeli sebaiknya masih memiliki nilai kalau hendak dijual kembali. Hal seperti ini berlaku buat seluruh barang yang Anda beli dan miliki.

Jika membeli suatu barang, pertimbangkan barang tersebut bisa dijual kembali pada suatu ketika dengan harga yang memadai.

Keempat, dampak keputusan terhadap kondisi keuangan secara menyeluruh. Setiap keputusan finansial pada dasarnya berdampak positif ataupun negatif. Kerap kali kita lupa bahwa suatu keputusan tidak berdiri sendiri. Ketika Anda membeli rumah secara kredit, misalnya, akan berpengaruh terhadap perilaku keuangan Anda dalam mengelola pengeluaran pada masa berikutnya, karena sebagian penghasilan akan dipakai untuk mencicil angsuran kredit.

Pernahkah Anda bayangkan pengaruhnya terhadap rencana pengeluaran Anda yang lain? Artinya, bisa saja Anda mesti menghentikan salah satu pengeluaran Anda agar cash flow tidak defisit. Nah, setiap keputusan keuangan sebaiknya dianalisa pengaruhnya terhadap pengeluaran secara menyeluruh.

Argumentasi rasional

Kelima, argumentasi rasional harus lebih tinggi dibandingkan dengan alasan emosional. Dalam istilah yang lebih lazim, bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Semua pembelian yang hanya berdasarkan keinginan umumnya adalah berdasarkan emosional. Sementara pembelian yang berbasis kebutuhan juga tidak selalu rasional. Termasuk dalam hal ini adalah pertimbangan harga, aspek purnajual, dan sebagainya.

Kendati keputusan finansial Anda sudah diyakini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan, belum tentu memenuhi kriteria logis rasional. Oleh karena itu, cek sekali lagi, berapa persen aspek emosional terkandung di dalamnya.

Masih banyak faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum membuat keputusan finansial. Untuk memudahkan Anda dalam membuat keputusan, tidak ada salahnya semua alasan dicatat dan dimasukkan dalam daftar pertimbangan. Dengan daftar tersebut, Anda bisa menimbang-nimbang apakah keputusan Anda dapat dipertanggungjawabkan secara logika atau sekadar emosional belaka. Yang jelas, keputusan berdasarkan emosional biasanya akan lebih makan biaya ketimbang keputusan berdasarkan rasional. Pilihan ada di tangan Anda.

KOMPAS

No comments: