BLOGSPOT atas

Sunday, April 18, 2010

I N V E STAS I: Berusaha dalam Musik

Minggu, 18 April 2010 | 04:22 WIB

Elvyn G Masassya, praktisi keuangan

Jika Anda termasuk penggemar musik dan kerap membeli CD atau kaset atau pengguna RBT, boleh jadi Anda sering kebingungan menghafal nama-nama penyanyi atau grup band baru. Sejak beberapa tahun belakangan, industri musik Indonesia kebanjiran artis baru. Hampir setiap hari ada CD atau kaset yang beredar.

Industri musik telah membius banyak kaum muda sebagai wilayah profesi yang menjanjikan.

Seiring dengan perkembangan musik yang demikian dahsyat, bermunculan pula berbagai perusahaan rekaman indie.

Pertanyaannya, apakah perusahaan semacam itu bisa sukses? Apakah menanamkan dana dalam industri musik bisa dianggap sebagai investasi?

Industri musik pada dasarnya bisa dikategorikan menjadi dua area besar, yakni industri musik panggung dan industri musik rekaman. Untuk industri musik panggung, artis penyanyi mendapatkan kontrak untuk show. Dalam hal ini, yang mendapatkan kontrak bisa hanya si artis, bisa juga berikut band pengiring. Dan dewasa ini sudah cukup banyak kalangan yang menjalankan bisnis entertainment semacam ini, mulai dari menjadi agen artis atau sekaligus menyediakan segala sesuatu yang menyangkut industri musik panggung.

Untuk industri rekaman, prosesnya relatif lebih panjang. Seorang artis penyanyi yang akan membuat album rekaman harus menyiapkan lagu yang akan dinyanyikan. Untuk itu, produser sang artis mesti membeli lagu dari pencipta lagu. Kemudian, lagu yang terpilih mesti dibuatkan aransemen oleh penata musik. Bisa saja seluruh lagu diaransemen oleh penata musik yang sama, tetapi bisa juga satu lagu untuk satu penata musik.

Penata musik

Untuk mengaransemen lagu, penata musik membutuhkan pemain gitar, bas, keyboards, drum, dan lainnya. Ini tentu ada biayanya. Proses pembuatan aransemen lagu dilakukan di studio rekaman. Keseluruhan proses produksi album tersebut tentu memakan biaya dan waktu yang cukup panjang. Setelah lagu selesai diaransemen dan dinyanyikan, masih ada proses mixing dan mastering, yakni semacam sentuhan akhir agar musik bisa terdengar lebih halus, bersih, dan sesuai dengan karakter lagu. Semua proses tersebut disebut dengan pembuatan master rekaman.

Pada tahap berikutnya, produser mesti melakukan duplikasi atau memperbanyak rekaman itu menjadi CD dan kaset yang siap edar. Agar CD tersebut menarik perhatian, tentu mesti didesain, baik untuk informasi maupun penciptaan daya tarik visual bagi yang melihat CD tersebut. Setelah itu, barulah CD dicetak dan siap untuk didistribusikan.

Apakah ada jaminan bahwa CD tersebut akan laku di pasar? Sama sekali tidak ada. Kendati musik merupakan kebutuhan bagi semua orang, tapi kadar kebutuhannya bisa berbeda. Ada yang sekadar mendengar musik dari radio atau televisi, tetapi ada juga yang ingin memiliki CD/kaset dari penyanyi. Oleh karena itu, CD dan kaset dari penyanyi baru mesti dipromosikan agar dikenal oleh masyarakat.

Promosi bisa menggunakan jalur radio, televisi, surat kabar, majalah, dan pertunjukan dari si artis. Dalam praktiknya, biaya yang dikeluarkan produser untuk promosi bisa lebih besar ketimbang biaya pembuatan master rekaman.

Jadi, seorang produser musik rekaman mesti melakukan investasi untuk membayar artis, membayar pencipta lagu, membayar penata musik, menyewa studio rekaman, membayar biaya mixing dan mastering, membiayai proses reproduksi atau duplikasi dari CD dan kaset, serta menanggung biaya promosi artis.

Kembalinya investasi

Bagaimana investasi tersebut bisa kembali? Ada tiga sumber. Pertama, dari hasil penjualan CD/kaset. Pada masa lalu ada penyanyi yang CD atau kasetnya laku sampai jutaan keping. Tetapi, dewasa ini sangat sulit untuk bisa menjual CD/kaset sampai jutaan keping. Bisa laku ratusan ribu atau malah puluhan ribu saja sudah sangat hebat. Kenapa demikian? Karena saat ini banyak sekali artis bermunculan sehingga di antara mereka terjadi persaingan yang ketat. Lebih dari itu, lagu-lagu si artis diputar di berbagai radio sehingga para penikmat musik lebih suka mendengarkan lewat radio dan belum tentu mau membeli CD/kaset dari si artis.

Kedua, ring back tone (RBT). Inilah alternatif baru dalam industri musik yang berkembang pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Para pengguna telepon mengunduh lagu yang disukainya dan menjadikannya sebagai nada sambung pribadi.

Sebuah lagu yang disukai bisa diunduh oleh jutaan pengguna telepon seluler. Dan pendapatan yang diperoleh seorang produser serta artis dari bisnis RBT ini bisa jauh lebih tinggi dibandingkan hasil penjualan CD.

Ketiga, pertunjukan. Ketika artis mulai beranjak populer, biasanya akan ada permintaan untuk show yang dilakukan di daerah-daerah. Untuk show tersebut artis dan produser selaku manajemen pengelola artis akan memperoleh pendapatan. Bayangkan, jika dalam sebulan ada empat kali penampilan, dan honor sekali tampil adalah Rp 10 juta, maka akan diperoleh Rp 40 juta. Apalagi, jika sekali tampil dibayar sebesar Rp 30 juta-Rp 40 juta, maka perolehan honor show bisa di atas pendapatan hasil penjualan CD.

Apakah semua artis dan produser bisa meraup pendapatan sebagaimana dipaparkan di atas? Jelas tidak. Dalam realitasnya, bisa disebut, artis dan produser yang sukses dalam industri musik rekaman hanya 10 persen dari total pelaku. Kenapa demikian? Karena yang namanya seni musik sangat bergantung pada selera pasar. Album rekaman dan artis yang akan sukses adalah yang mampu memenuhi selera pasar.

KOMPAS

No comments: