BLOGSPOT atas

Thursday, April 30, 2009

[Kompas 100]: Lippo Karawaci: "The Most Diverse Property Company"

Bagian 78 dari 100

Kamis, 30 April 2009 | 07:54 WIB

Mochtar Riady bisa jadi adalah pionir dalam building brand equity di Indonesia.

Ini bisa dilihat dari pilihan nama dan logo perusahaan yang didirikannya lebih dari 40 tahun yang lalu, yaitu Lippo Group. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa kata Lippo merupakan kependekan dari dua kata Li yang berarti energy dan Pao yang berarti treasure, yang merupakan inti dari filosofi bisnis dari pengusaha besar Indonesia generasi pertama yang dikenal filosofis ini, yaitu menemukan sinergi antara perjalanan hidup manusia dengan sumber-sumber keuangan. Dan logo Lippo sebetulnya merupakan gabungan antara huruf-huruf pertama dari dua kata pembentuk Lippo, L dan P, yang kemudian menjadi stilisasi dari infinity loop.

Apa yang dilakukan Mochtar Riady itu sungguh membedakannya dengan para pengusaha besar Indonesia generasi pertama lainnya yang boleh jadi tidak begitu peduli dengan brand equity. Ini bisa dilihat dari nama-nama perusahaan ciptaan mereka yang sulit mewadahi semua aktivitas bisnis yang dimilikinya pada saat ini. Sementara Mochtar Riady sudah membayangkan bahwa perusahaannya akan memiliki bisnis yang end-to-end sesuai dengan perjalanan manusia.

Tak mudah sebetulnya untuk menemukan wujud dari visi Mochtar Riady sebelum kita mengenal PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR). Didirikan di tahun 1990 dengan nama PT Tunggal Reksa Kencana, tiga tahun kemudian perusahaan ini menjadi pionir pengembangan kota satelit yang bernuansa urban dan berdiri secara mandiri karena berbentuk integrated township, melalui Lippo Karawaci sebagai lifestyle-based township dan Lippo Cikarang sebagai industrial-based township yang menjepit Jakarta dari arah Barat dan Timur. Ini merupakan langkah yang mengagetkan banyak orang pada saat itu karena jenis properti dan lokasi yang dipilih, apalagi setelah ia kemudian juga membangun Tanjung Bunga sebagai trading-based township untuk Kawasan Timur Indonesia empat tahun kemudian.

Dan Mochtar Riady bukan hanya sekedar township developer. Untuk meyakinkan orang akan pilihan jenis proyek dan lokasi, ia pun tidak ragu untuk memindahkan kantor pusat perusahaan-perusahaan besar Lippo Group ke Karawaci. Ia bahkan tidak ragu untuk membangun sendiri fasilitas yang mestinya ada dalam sebuah kota satelit, mulai dari pusat perbelanjaan, pendidikan hingga fasilitas kesehatan.

Pada mulanya semua perusahaan yang kini menjadi unit-unit bisnis LPKR, berdiri sebagai sebuah perusahaan tersendiri. Tapi di bulan Juli 2004, Lippo Group kemudian menggabungkan berbagai perusahan properti pemukiman, ritel/komersil, kesehatan, infrastruktur, dan hospitality ke dalam LPKR. Setelah merger, aktivitas bisnis LPKR kemudian terbagai menjadi tiga bagian besar: property, healthcare dan hospitality.

Entah itu karena terkait dengan filosofi bisnis atau karena business opportunities, langkah merger itu kemudian diikuti dengan membangun sinergi antara trade center/town-square/mall dengan anak perusahaan Lippo Group yang lain seperti Matahari Putra Prima sebagai anchor tenant, selain tentu saja dengan unit bisnis hospitality atau healthcare LPKR. Cara pengembangan semacam ini menurut kami punya aspek positif dan negatif. Positifnya, LPKR akan punya kesempatan mempercepat upaya menggenjot development revenue, sementara negatifnya bisa membuat LPKR tidak bisa mengoptimalkan recurring revenue, terutama yang akhirnya diandalkan jadi penyewa adalah unit bisnis sendiri.

Di pihak lain, yang namanya membuat langkah yang menarik perhatian terus dilakukan LPKR. Salah satunya adalah membangun pemakaman San Diego Hills Memorial Park & Funeral Homes. Langkah ini bahkan lebih fenomenal dibandingkan dengan langkahnya membangun berbagai major development seperti City of Tomorrow di Surabaya, Kemang Village Superblock serta yang paling fenomenal adalah pembangunan mega proyek The St Moritz Penthouses and Residences.

Keberadaan unit bisnis San Diego Hills tersebut menurut kami membuat LPKR bisa menghidupkan logo dan filosofi Lippo, mengikuti perjalanan hidup manusia dari awal kelahiran, yaitu womb (melalui Siloam Hospital), lalu rumah, sekolah, perbelanjaan hingga akhir perjalanan manusia yaitu tomb (melalui San Diego Hills). LPKR bukan hanya punya bisnis property yang end-to-end, tapi juga mempunyai sumber pendanaan yang beragam, mulai dari dana sendiri, investor saham biasa, hingga ke real estate fund. Dan hal yang tersebut terakhir ini bisa terwujud antara lain karena LPKR yang merupakan the most diverse property company punya development revenue dan recurring revenue yang variatif dan stabil.


"Philip Kotler's Executive Class: 27 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Wednesday, April 29, 2009

[Kompas 100]: Aneka Tambang: "A Leading Various Valuable Metals Producer"

Rabu, 29 April 2009 | 07:45 WIB

Mikhail Prokhorov memang tidak seterkenal Roman Abramovich.

Orang memang jadi lebih akrab dengan Abramovich hanya karena dia adalah pemilik klub sepakbola asal kota London, Inggris, yaitu Chelsea. Sejak dimilikinya, prestasi klub ini terus menjulang, terutama di Liga Inggris. Bahkan klub ini kemudian menjadi salah satu klub Inggris yang paling banyak diperhitungkan di Eropa.

Untuk mencapai prestasi itu, Abramovich boleh dibilang tidak sayang uang. Ia bahkan tidak ragu untuk memburu pelatih dan pemain terbaik di dunia yang money can buy dan tentu saja sedang on sale. Dengan cara seperti itu, ia berhasil menjadikan Chelsea sebagai klub yang disegani di lapangan dan di luar lapangan.

Di luar aktivitas dengan Chelsea, Abramovich sebetulnya tidak ada bedanya dengan Prokhorov. Mereka sama-sama billionaire yang masih berusia muda dan gemar berfoya-foya, yang susah ditandingi oleh orang kaya lainnya. Abramovich misalnya memiliki dua yatch besar yang bahkan harus dioperasikan oleh awak kapal yang cukup banyak, sementara Prokhorov membeli villa di Perancis Selatan seharga 400 juta Euro.

Ada kabar yang menyatakan ia kesulitan untuk melunasi pembelian tersebut. Kalau benar, ini mungkin lebih ke harga yang disadari kemahalan, dan bukan karena ia tidak punya uang. Maklum, ia adalah orang terkaya Rusia di tahun 2008 dan sekaligus punya uang tunai paling banyak berkat keputusan yang diambilnya untuk menjual kepemilikan sahamnya di perusahaan nikel terbesar di dunia, Norilsk, tepat sebelum ambruknya harga saham komoditas pertambangan di tahun 2008.

Bisnis pertambangan adalah bisnis yang sensitive terhadap siklus bisnis. Ada saatnya di mana logam tertentu harganya meroket gila-gilaan, dan di lain waktu harganya merosot tajam. Karena itu, kalau hanya bergantung pada satu komoditas logam tertentu, bisa-bisa sebuah perusahaan akan hidup seperti mengarungi roller coaster.

Itulah sebabnya perusahaan seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) bisa dibilang lebih beruntung dibandingkan perusahaan pertambangan lainnya, yang hanya bergantung pada satu komoditas logam. Perjalanan usaha perusahaan pertambangan hasil merger berbagai perusahaan tambang komoditas tunggal di tahun 1968 yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Republik Indonesia dan sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Australia ini dimulai dengan ditemukannya cadangan nikel di Pomaala Sulawesi Tenggara di tahun 1909, yang kemudian diikuti dengan cadangan bauxite di Bintan Riau pada tahun 1924. Setahun setelah mulai memproduksi bauxite di tahun 1935, ANTM menemukan cadangan emas di Cikotok, Jawa Barat.

Dengan pengalaman panjang melakukan eksplorasi, penambangan dan pengolahan serta menjual berbagai komoditas logam yang berharga mahal, ANTM paham benar akan arti penting dari tidak bergantung pada satu komoditas. Karena itu, meski mengelola berbagai macam tambang untuk komoditas logam yang berbeda itu tidak mudah, terutama jika dikaitkan dengan kesulitan menemukan dan memiliki berbagai macam cadangan logam mulia dalam jumlah yang besar dengan kualitas yang bagus, ANTM tetap mempertahankan bisnisnya sebagai perusahaan tambang untuk berbagai logam berharga. Salah satu contoh tantangan berat untuk menjaga positioning tersebut adalah ketika dampak otonomi daerah membuat sejumlah kabupaten yang memiliki cadangan untuk komoditas logam tertentu ternyata ingin mengubah ijin penambangan untuk suatu komoditas yang sebelumnya diperolehnya.

ANTM sendiri pada saat ini mempunyai portofolio penambangan logam mulia ferronickel, nickel ore, gold, bauxite, dan silver, dimana nickel adalah kontributor yang sangat besar. Meskipun demikian, tidak berarti ANTM bisa tenang-tenang saja karena sudah memiliki berbagai macam komoditas logam. Di setiap komoditas, ANTM mesti siap bersaing dengan pemain raksasa global yang punya tambang di berbagai negara, punya modal besar dan bisa beroperasi secara efisien.

Karena itu, mau tidak mau ANTM mesti bisa seperti mereka dalam skala yang lebih kecil. Untuk keperluan tersebut, ada beberapa hal yang mesti dilakukan ANTM. Pertama, mesti berfokus di kategori logam yang paling dikenal dan dikuasai, alias ANTM tidak bisa asal masuk ke berbagai jenis tambang, meskipun dari kata ”Aneka” yang ada pada nama perusahaan hal ini sepertinya bukan merupakan masalah. Kedua, ANTM mesti menjadi low cost producer dan tidak mempunyai utang besar. Dan ketiga adalah melakukan aliansi dengan pemain internasional yang akan memungkinkan peningkatan efisiensi operasional.

Keberhasilannya untuk menjadi pemain dengan efisiensi operasional berstandar tinggi di tingkat internasional akan membuat ANTM --yang bisa jadi bukan pemain besar dunia di setiap kategori logam yang digelutinya-- muncul bukan hanya sekedar sebagai producer bermacam-macam logam berharga, tapi menjadi a leading various valuable metal producer.


"Philip Kotler's Executive Class: 28 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Tuesday, April 28, 2009

[Kompas 100]: Gudang Garam: "A Giant Challenger"

Selasa, 28 April 2009 | 07:47 WIB

Di suatu masa, AT&T bisa jadi merupakan simbol perusahaan raksasa yang sangat kuat.

Begitu kuatnya perusahaan raksasa ini, sampai-sampai pemerintah Amerika Serikat pada awal dekade 80-an mengajukan kasus anti-trust terhadap AT&T ke pengadilan, yang kemudian berujung pada pemecahan perusahaan ini menjadi delapan bagian di tahun 1984, yaitu AT&T dan 7 perusahaan telepon regional. Padahal pada kurun-kurun waktu tersebut, yang namanya perusahaan raksasa Amerika dan nyaris tidak punya pesaing yang berarti bukan hanya AT&T. IBM pada saat yang bersamaan --dan berlanjut di akhir dekade 80-an-- bahkan bukan hanya sulit menemukan lawan sepadan di Amerika Serikat tapi bahkan di seluruh dunia.

Kalau ukurannya hanyalah perusahaan yang tidak punya pesaing yang signifikan, pemerintah Amerika Serikat pasti akan membidik perusahaan raksasa lainnya. Tapi yang jadi pertimbangan penting untuk mengajukan kasus anti-trust adalah lingkup operasional bisnis perusahaan yang begitu terintegrasi dan hampir semuanya punya posisi yang kuat. Dengan posisi semacam itu, sementara produknya banyak digunakan masyarakat luas, maka dikhawatirkan pelanggan tidak akan mendapatkan produk, layanan dan harga yang bagus.

Langkah yang diambil pemerintah tersebut bisa jadi akan susah diterima oleh mereka yang kenal dengan konsep value migration-nya Adrian Slywotski, yang kebetulan lahir dan populer lama setelah AT&T dipecah menjadi 8. Dimana perusahaan raksasa yang tampak begitu kuat, dimana-mana kalau tidak jeli dalam membaca value migration trend, akan terantuk juga. Boleh jadi, karena AT&T punya fasilitas R&D yang bagus, jaringan yang luas, serta produk dan layanan yang bagus, susah membayangkan kalau perusahaan ini tidak bisa mengantisipasi adanya value migration.

Tapi kenyataan menunjukkan bahwa pecahan terbesar AT&T lama --dan kebetulan memakai nama AT&T-- ternyata salah mengantisipasi value migration. Bahkan hidupnya akhirnya diselamatkan oleh salah satu perusahaan telepon regional pecahan AT&T, dengan cara diakuisisi tapi nama surviving entity-nya adalah AT&T. Dan AT&T yang baru meski tidak bisa mengembalikan posisi yang sulit dilawan seperti yang terjadi sampai dengan awal dekade 80-an, kembali muncul menjadi perusahaan telekomunikasi yang dihormati.

Di dunia bisnis, ada sejumlah kasus yang mirip dengan AT&T, dimana seolah-olah seperti tidak ada lawannya tapi ternyata di masa lain beralih posisi dari sang jagoan tak terkalahkan menjadi sang penantang. Inilah yang misalnya terjadi pada PT Gudang Garam Tbk (GGRM) yang pada suatu masa sangat kuat --karena pernah punya pangsa pasar sampai 50 persen dan mencatatkan laba yang besar-- tapi kini tidak ubahnya menjadi penantang bagi perusahaan rokok lain, baik untuk produk, angka penjualan dan laba. Tapi berbeda dengan AT&T, GGRM masih dalam posisi yang kuat, dan bahkan masih masuk dalam kategori raksasa untuk ukuran penjualan dan laba.

Dan GGRM memang punya perjalanan yang panjang untuk menjadi perusahaan raksasa yang kuat. Didirikan di tahun 1958 sebagai sebuah usaha keluarga oleh Suryo Wonowidjojo di Jalan Gudang Garam Kediri dan menjual rokok dengan merek Gudang Garam, perusahaan ini terus berkembang dan akhirnya menjelma menjadi pemain dominan di industri rokok Indonesia. Perusahaan ini, yang punya logo berdasarkan posisi gudang, yaitu di dekat stasiun KA dan tentu ada jalan kereta apinya, menjadi PT di tahun 1971 dan kemudian go public di tahun 1990.

Tidak menjadi nomor satu, sebetulnya pernah dialami GGRM, bahkan pada saat sang pendiri --yang saat itu sudah memutuskan untuk pensiun-- masih hidup, yaitu di tahun 1985-1986. Situasi tersebut memaksa sang pendiri untuk turun gunung dan memimpin serangan balik. Upaya itu berhasil dengan baik, hingga akhirnya, pelan tapi pasti GGRM jauh meninggalkan para pesaing terdekatnya.

Tapi entah kenapa, hal serupa tidak bisa terulang pada 9 tahun terakhir. Sejak sekitar 9 tahun yang lalu, banyak orang –yang melihat adanya perubahan jenis rokok yang dikonsumsi generasi perokok baru Indonesia, yang mulai terbiasa dengan rokok mild– dibuat penasaran dengan belum adanya rokok serupa dari GGRM. Meskipun sebenarnya, tanpa banyak gembar-gembor, GGRM sudah berencana mengulang kembali gerakan serangan balik yang mematikan melalui sebuah kerjasama dengan perusahaan rokok terbesar ke empat dunia asal Jerman, Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH, pemilik pabrik Davidoff sekitar tahun 2001.

Sayangnya kerjasama tersebut tidak berjalan dengan baik, sehingga akhirnya yang namanya ulangan serangan balik yang mematikan, urung terwujud, paling tidak sampai di tahun 2009. Bahkan meski akhirnya meluncurkan versi rokok mild, tapi hasilnya jauh dari memuaskan. Repotnya, di industri yang diatur ketat kegiatan komunikasi pemasarannya, GGRM ternyata hanya berhasil menarik perhatian publik saat menampilkan iklan korporat edisi lebaran ataupun hari kemerdekaan, sementara untuk produknya malah tidak semencorong para pesaingnya.

Tidaklah mengherankan kalau GGRM yang masih raksasa dalam penjualan dan laba, menjadi penantang bagi para pesaingnya yang sampai 9 tahun lalu berada di bawahnya, mulai dari produk hingga ke marketing communication.


"Philip Kotler's Executive Class: 29 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Monday, April 27, 2009

[Kompas 100]: PT Timah: "The World's Largest Integrated Tin Miner"

Bagian 75 dari 100

Senin, 27 April 2009 | 04:26 WIB

KOMPAS.com - Novel dan film Laskar Pelangi merupakan eye opener bagi kita. Sebagaimana ungkapan “anjing menggigit manusia bukan berita”, maka kasus sekolah dasar negeri atau swasta dengan fasilitas yang terbatas juga bukan merupakan berita.

Bahkan, kalaupun terjadi di kota Jakarta sekalipun, juga bukan sebuah berita. Tapi akan berbeda halnya kalau bicara bagaimana orang-orang yang berada di lingkungan dengan fasilitas sekolah dasar yang terbatas menyikapinya.

Inilah yang kemudian membedakan kasus sekolah dasar dengan fasilitas yang bukan lagi terbatas tapi bahkan tidak memenuhi syarat seperti yang digambarkan dalam novel dan film Laskar Pelangi dengan kasus sekolah dasar dengan fasilitas terbatas lainnya. Sudah jamak rasanya kalau orang yang berada di lingkungan dengan fasilitas yang terbatas akan mengeluh dan akhirnya menyerah. Tapi di novel dan film tersebut digambarkan bahwa kondisi yang kurang memenuhi syarat, tidak berarti jadi alasan untuk menyerah.

Di tangan ibu guru Muslimah, anak-anak sekolah yang jumlahnya terbatas dan lahir dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang kurang bagus serta berada di lingkungan dengan sekolah yang terbatas diajak bermimpi mengenai masa depan mereka dan sekaligus control their own destiny. Dan sebagai guru wanita yang cekatan, bahkan untuk memperbaiki atap yang bocor, ia seperti punya kredibilitas yang tinggi dalam menginspirasi. Melalui perjalanan waktu, beberapa lulusan sekolah dasar tersebut bahkan bisa melangkah jauh melebihi apa yang menjadi benchmark mereka, yaitu lingkungan di kawasan PT Timah Tbk (TINS), yang berada di propinsi Bangka Belitung.

Pada masa dimana anak-anak yang bergabung dalam Laskar Pelangi memang bersekolah di sekolah dasar yang serba kekurangan itu, TINS yang adalah BUMN, tak ubahnya sebuah institusi raksasa di propinsi tersebut yang menjadi impian bagi orang luar untuk bisa memasukinya. Apalagi, sebagai lazimnya pertambangan besar manapun di dunia, fasilitas yang ada di dalamnya, termasuk sekolah dasar, berada dalam kondisi yang bagus. Tentu dengan kondisi yang bagus, biasanya akan muncul output yang bagus pula, meski tidak jarang pula hal ini akan membuat orang menjadi kurang waspada mengantisipasi perubahan lingkungan yang kurang menguntungkan.

Inilah yang kemudian terjadi pada TINS di pertengahan tahun 1980-an, yang tiba-tiba menjadi perusahaan yang berjuang untuk mempertahankan kelangsungan usaha setelah ambruknya harga timah di pasar dunia seiring dengan bubarnya International Tin Council. Dalam kondisi semacam itu, biasanya perusahaan mesti mengambil langkah radikal. Seperti yang sudah banyak diketahui banyak orang, pemerintah akhirnya menunjuk Kuntoro Mangkusubroto –yang baru-baru ini telah menyelesaikan tugas sebagai Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh paska Tsunami- sebagai CEO TINS dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1994, tahun dimana ia dipromosikan pemerintah menjadi Dirjen di Departemen Pertambangan dan Energi.

Di bawah kepemimpinannya, TINS mulai melakukan restrukturisasi bukan hanya sekedar untuk menyelamatkan kelangsungan usaha, tapi juga membangun landasan agar TINS bisa menjadi perusahaan yang diperhitungkan di masa depan. Proses tersebut terakhir kemudian dilanjutkan dan dipimpin oleh para CEO berikutnya, mulai dari Erry Riyana Hardjapamekas, Thobrani Alwi –yang kebetulan putra daerah Bangka Belitung– hingga CEO sekarang Wachid Usman, yang kesemuanya adalah orang dalam TINS. Bisa jadi faktor tersebut, ditambah pengalaman masa sulit setelah ambruknya harga timah dan selama proses restrukturisasi, mereka menjadi selalu waspada menghadapi perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, mulai dari harga timah yang turun-naik hingga ke tindakan para penambang tradisional yang membuat TINS mengalami kesulitan mempengaruhi harga di pasar internasional.

Yang menarik, sampai akhir tahun 90-an, yang namanya menjadi perusahaan yang diperhitungkan di tingkat global merupakan sesuatu yang diimpikan oleh orang TINS, apalagi setelah berhasil menjadi contoh sukses perusahaan yang melakukan turn around. TINS sepertinya tidak membayangkan pencapaian pada saat ini sebagai the world’s largest integrated tin miner. Tapi kami percaya bahwa pencapaian ini memang sesuatu yang wajar kalau mengingat, seperti halnya dengan guru dan murid yang tergabung dalam Laskar Pelangi, TINS punya corporate DNA sebagai perusahaan yang ingin terus menerus bisa control its own destiny. Dan corporate DNA tersebut terus menguat dari waktu ke waktu seiring dengan munculnya berbagai tantangan baru.

Berbagai upaya TINS untuk control its own destiny adalah: pertama, mem-branding-kan produk timahnya, yang memang berkualitas tinggi, berdasarkan kualitas –seperti Banka Tin, Mentok Tin, Banka Low Lead dan Banka Four Nine (yang ramah lingkungan)– dan bentuk seperti –Banka Small Ingot, Banka Tin Shot, Banka Pyramid dan Banka Anoda– dimana kesemuanya itu dijamin dengan sertifikat dan memungkinkan diperjualbelikan di London Metal Exchange. Kedua menjadikan diri sebagai tin miner terpadu, dengan aktifitas mulai dari eksplorasi, penambangan, peleburan dengan pengolahan, serta pemasaran yang memungkinkannya untuk bisa mendapatkan manfaat optimal di bisnis timah. Ketiga adalah mengantisipasi pasar baru pengguna timah, seperti kaleng pelat timah, campuran tambal gigi pengganti raksa, pengganti tembaga untuk peralatan olahraga dan tutup botol anggur, penghambat api, timbal patri, bola lampu, patri gelombang, timah dalam lembaran dan timah dalam kimia dan memasuki bisnis downstream timah seperti Tin Solder dan Tin Chemical sebagai upaya meminimalisir volatilitas harga timah di pasaran internasional.

Dengan berbagai inisiatif semacam itu, maka TINS diharapkan bisa terus memperkuat posisi sebagai the world’s largest integrated tin miner.


"Philip Kotler's Executive Class: 30 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Sunday, April 26, 2009

[Kompas 100]: Kawasan Industri Jababeka: "A Transforming City Developer"

Minggu, 26 April 2009 | 08:16 WIB

Berhasil membuat Toyota Century belum membuat Toyota mudah masuk ke luxury car market.

Toyota Century adalah mobil yang harganya sangat mahal, sehingga cocok dijadikan simbol status atau pencapaian di Jepang. Yang banyak menggunakan adalah CEO dari perusahaan raksasa Jepang, Perdana Menteri dan anggota kabinet pemerintahan Jepang serta anggota keluarga kekaisaran Jepang. Bahkan untuk kelompok pengguna terakhir ini Toyota bahkan sampai perlu bikin seri produk khusus, Toyota Century Royal, yang bisa dibilang mirip dengan Bentley State Limousine yang digunakan anggota keluarga kerajaan Inggris.

Melalui mobil super mewah ini, Toyota ingin menunjukkan bahwa ia bisa naik ke kelas yang lebih tinggi dengan membuat limousine yang bisa setara dengan Austin Princess atau Rolls-Royce atau Maybach. Tapi seperti dikatakan Al Ries, perception is more important than reality and sometimes the perception is reality, sulit bagi Toyota menjual Toyota Century ke pasar internasional karena image Toyota adalah affordable good quality car. Dan seperti kita ketahui, Toyota, yang sadar dengan kuatnya persepsi semacam itu, akhirnya membuat nama baru untuk masuk di segmen luxury car di pasar internasional, yaitu Lexus.

Namun membuat nama baru bukan segampang membalikkan telapak tangan, karena harus diikuti dengan keberadaan resources khusus. Itulah sebabnya, banyak yang memilih tetap memakai nama yang sama sambil berusaha memperluas image yang dibentuk. Yang menjadi tantangan adalah kalau perluasan image ini seperti menggabungkan dua kelas yang berbeda.

Inilah challenge yang sedang dihadapi oleh PT Kawasan Industri Jababeka Tbk. (KIJA). KIJA kini sedang berusaha keras untuk mengubah posisinya dari pengembang kawasan industri menjadi pengembang kota mandiri. Sehingga kini dalam berbagai publikasi dan komunikasi publik, KIJA selalu memposisikan kawasannya sebagai ”Kota Mandiri Jababeka”, bahkan penggunaan kata ”kawasan industri” seperti dihindari.

KIJA memang bermula sebagai pengembang kawasan industri. Sejarah KIJA dimulai di tahun 1989 saat Pemda Propinsi Jawa Barat memberikan ijin kepada konsorsium 21 pengusaha untuk mengembangkan sebuah lahan bekas galian bata dan genteng, yang tidak lagi produktif, untuk menjadi kawasan industri. Karena lahan itu terletak di Bekasi, maka kawasan tersebut disebut sebagai Jababeka, singkatan dari Jawa Barat Bekasi. Saat itu luas lahan yang dibangun pada tahap pertama hanya seluas 500 Ha dan dimulai dengan pembangunan pabrik Unilever dan United Tractors.

Setelah mengalami berbagai perluasan di tahun-tahun berikutnya, kini pengembangan KIJA mencakup area seluas 5600 Hektar dengan populasi sekitar 1 juta penduduk. Selain 1.570 perusahaan di kawasan industrinya –seperti Samsung Electronic, ICI, Mattel, KAO, dan Nissin– Kota Jababeka juga memiliki 24.300 rumah yang didukung oleh fasilitas pendidikan, hiburan, dan belanja yang cukup lengkap. Bahkan penjualan properti perumahan sudah mencapai 21 persen dari total pendapatan perusahaan. Dengan income dari penjualan industrial estate yang hanya 31 persen dari pemasukan perusahaan di tahun 2007, sebenarnya kawasan ini memang sudah berkembang lebih dari sekedar kawasan industri.

Selain perumahan, KIJA juga mengembangkan berbagai jenis properti komersial diluar pabrik-pabrik besar. KIJA bahkan mengalokasikan lahan yang dikembangkan untuk keperluan yang spesifik. Misalnya Movieland yang dikhususkan untuk industri film dan televisi, atau Medical City untuk kawasan khusus healthcare. Lalu ada juga Education Park, yang menjadi lokasi President University. Yang tersebut terakhir itu bahkan menjadi salah satu kebanggaan Jababeka, dimana dalam berbagai promosi, sering muncul kata-kata: ”Kota Jababeka home of President University”

Namun mengubah image memang tak mudah dan harus siap untuk menunggu lama. Bertahun-tahun Jababeka identik dengan kawasan industri. Bahkan banyak yang masih melihat Jababeka sekedar sebagai kawasan ”pabrik”, dimana perumahan dan fasilitas pendukungnya adalah fasilitas untuk ”pekerja pabrik”. Image ini tentu menjadi hambatan untuk berkembang karena Jababeka belum dilihat sebagai alternatif kota mandiri. Ini ditambah dengan kondisi infrastruktur transportasi dari dan ke Cikarang yang belum memadai yang menyebabkan kawasan ini terus di-cap sebagai lokasi yang susah dijangkau.

Di sisi lain, keberhasilan KIJA mendapatkan kepercayaan Pemerintah Kota Palu untuk membangun kawasan industri di kota itu seluas 1520 Ha, mungkin tak lepas dari kemampuannya me-leverage imagenya sebagai pengembang kawasan industri. Sehingga melepaskan diri sepenuhnya dari image sebagai pengembang kawasan industri mungkin bukan pilihan terbaik.

Disinilah letak tantangan KIJA. Jika berhasil memperluas brand association Jababeka sehingga dipersepsi sebagai kota mandiri yang lengkap, maka KIJA dapat lebih leluasa dalam terus menumbuhkan kawasan tersebut. Ini tentunya didukung dengan perbaikan infrastruktur transportasi Cikarang, seperti sudah dirintis dengan penandatanganan nota kesepahaman untuk membangun dukungan infrastruktur di Cikarang, antara tujuh kawasan industri, pemerintah pusat, daerah, kabupaten, dan juga PT Jasa Marga Tbk, yang dilakukan di pertengahan tahun 2008.

Sehingga pada akhirnya, brand association KIJA juga akan terbentuk sebagai lebih dari sekedar pengembang kawasan industri dan dapat menjadi a respected city developer di Indonesia.

"Philip Kotler's Executive Class: 31 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Investasi & Keuangan

Minggu, 26 April 2009 | 04:41 WIB

Adler Haymans Manurung

Indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah naik 26,71% sejak akhir Februari. IHSG yang naik tajam sekitar dua bulan ini memunculkan argumentasi, kenaikannya sudah cukup besar. Investor yang berinvestasi sudah mendapat keuntungan setahun dan tidak perlu berinvestasi selama 8 bulan ke depan karena target satu tahun sudah melebihi. Apa yang harus dilakukan agar tidak buntung dalam investasi saham?

Angka-angka IHSG dan harga saham merupakan nilai yang belum direalisasikan investor bila tidak menjual sahamnya. Artinya, investor hanya mendapat keuntungan secara hitungan di atas kertas. Bila investor menjual seluruh saham yang dimiliki, investor akan untung rata-rata sebesar kenaikan IHSG tersebut, yaitu 26,71%. Tetapi, pasti ada investor yang memperoleh keuntungan melebih angka tersebut dan ada juga investor yang memperoleh keuntungan (bahkan kerugian) jauh di bawah angka kenaikan IHSG tersebut.

Bila kita perhatikan saham-saham lain yang memberi keuntungan cukup baik terdapat banyak di bursa saham. Salah satu yang sangat menarik adalah fenomena saham Bakri Group. Saham BUMI yang pernah turun di bawah Rp 500, sekarang sudah melebih harga Rp 1.400. Berarti investor yang pintar saat itu membeli dengan harga sekitar Rp 600 saja sudah untung sekitar 150%. Keuntungan sebesar ini tidak akan pernah ditemukan pada saham lain.

Saham lain di bawah kelompok Bakrie juga naik dan rata-rata di atas 100%, seperti UNSP sekarang di atas Rp 450 di mana dua bulan sebelumnya sekitar Rp 225, demikian pula saham ELTY, BTEL, dan BNBR. Bagi investor yang berinvestasi pada saham ini pasti menikmati enaknya berinvestasi di bursa saham.

Bila harga saham kelompok Bakrie terus naik, kekayaan kelompok ini juga naik sehingga posisi tawar untuk penyelesaian kasus repurchase agreement (repo) BUMI akan lebih baik dan anggota bursa akan tertolong. Momentum perkembangan di Amerika Serikat dan situasi dalam negeri cukup membantu kenaikan harga saham di Bursa Efek Indonesia.

Selanjutnya, bila penelitian empiris terhadap IHSG selama periode bursa ada, bulan April merupakan bulan yang kenaikan IHSG-nya kecil 1,99% untuk periode 1990 sampai dengan 2008 dan bila dimasukkan selama bulan April, tingkat pengembalian yang diberikan 2,57%.

Jika data yang digunakan hanya setelah krisis, tingkat pengembalian selama April rata-rata 6,7% sehingga selayaknya investor memikirkan investasinya.

Bila tingkat pengembalian pada April dibandingkan dengan bulan lain, tingkat pengembalian ini cukup bagus karena selama April telah memberi tingkat pengembalian 13,58% dan merupakan hasil investasi yang jauh lebih tinggi daripada deposito. Pada investasi saham pajak sudah bersih sebesar 0,1% dan deposito 20%.

Keluar dulu

Rekomendasi yang dapat diberikan sebaiknya investasi pada saham keluar dulu yang dikenal dengan aksi ambil untung (profit taking) untuk sesaat. Biarkan harga saham drop karena semua pihak berlomba menjual, tetapi investor sudah memastikan keluar lebih dulu. Kemudian investor berhenti sejenak memerhatikan saham-saham yang akan dibeli kembali untuk tujuan investasi lebih panjang.

Menjual saham yang dimiliki dapat dengan beberapa cara. Pertama, menjual sekaligus seluruh saham yang dimiliki sehingga ada saham yang sudah untung besar dan ada juga saham yang masih rugi sehingga secara rata-rata hasil yang diperoleh positif. Kedua, menjual saham-saham yang sudah memberi profit cukup besar dan menunggu waktu tepat untuk saham lain.

Investor harus memilah-milah saham yang harus dijual dengan catatan keuntungan bisa diperoleh kembali. Bila ada saham yang sudah untung melebihi 26%, saham tersebut dapat dijual. Tetapi, investor juga bisa memberi patokan angka 15% karena deposito selama ini ditawarkan sebesar itu.

Bila ada saham masih di bawah angka itu, maka ditahan sementara untuk menjual pada waktu tepat. Tetapi, investor juga harus memerhatikan saham itu secara saksama. Bila kelihatan tidak ada kemungkinan akan naik lagi, saham tersebut dijual saja walaupun ada kerugian dan lebih bagus investasi pada saham lain yang akan memberi keuntungan.

Bila investor telah memutuskan tindakan tersebut, investor tidak perlu berpikir, seharusnya saya untung. Investor harus sudah berpikir biarlah keuntungan selanjutnya untuk investor lain. Artinya, ketamakan dalam berinvestasi perlu dihindari supaya memperoleh keuntungan yang bagus dan enak dinikmati.

Investor tidak perlu memerhatikan ke belakang supaya jangan terjebak atas keputusan sendiri. Tindakan yang dapat dilakukan investor adalah melakukan diskusi dengan para analis saham.

Investor bertanya kepada beberapa analis mengenai saham yang mempunyai prospek pada masa datang. Investor membandingkan berbagai saham dan mencerna hasil analisis dari para analis pasar tersebut. Investor berhenti sejenak untuk berpikir dan mencari alternatif terbaik. Jangan lupa setiap ada keuntungan yang besar pasti ada risiko yang besar sedang datang menghadang investor.

Kompas

Saturday, April 25, 2009

[Kompas 100]: Bank Negara Indonesia: A Reviving Big Four Bank

Sabtu, 25 April 2009 | 20:24 WIB

Di film, umumnya kita menyaksikan pasangan muda usia yang jatuh cinta dan kadang-kadang mereka, seperti yang terjadi dengan Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet, bisa tampak begitu pas dan kemudian melegenda. Kemudian ada pasangan beda usia, dimana salah satunya lebih berumur namun tampil sebagai pasangan yang pas, seperti terlihat pada Sean Connery dan Catherine Zeta-Jones (yang dalam kehidupan nyata menikah dengan aktor Michael Douglas yang beda usianya juga cukup jauh) atau Richard Gere dan Julia Roberts di Pretty Woman. Tapi antara pasangan yang sama-sama senior seperti Jack Nicholson dan Diane Keaton sungguh tidak terbayangkan sebelumnya.

Untuk pasangan yang sama-sama muda usianya, itu memang dibuat untuk menampilkan kegairahan, vitalitas dan tidak banyak pertimbangan dalam bertindak. Untuk pasangan yang beda usia biasanya untuk menggambarkan kombinasi antara kegairahan dan vitalitas dari yang muda dengan pengalaman dan kematangan dari yang tua. Dan untuk yang sama-sama sudah berumur, maka bisa ditebak lebih banyak ke pengalaman dan kematangan di samping kegairahan.

Jack Nicholson dan Diane Keaton bukan hanya tua dari segi usia tapi juga punya pengalaman panjang dan telah mendapatkan pengakuan sebagai bintang film yang berprestasi. Tapi, meski sudah berumur mereka seolah bisa menghindarkan diri dari stereotype orang-orang seumuran mereka karena terlihat masih enak dan nyaman untuk bergerak ke sana kemari dan relatif tidak mengalami banyak perubahan fisik. Sehingga kalaupun mereka dipasangkan dengan yang jauh lebih muda, sekalipun wajah tidak bisa menipu, mereka tetap terlihat masih pas.

Inilah yang terjadi pada film Something’s Gotta Give yang dibintangi keduanya bersama dengan aktris dan aktor yang jauh lebih muda usianya, Amanda Peet dan Keanu Reeves. Film ini awalnya adalah kisah percintaan antara pasangan yang beda usianya jauh, yaitu antara Nicholson dan Peet, dan kemudian diikuti Reeves yang jatuh cinta pada Keaton. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya menjadi antara pasangan yang sudah sama-sama berumur tapi punya kegairahan dan vitalitas, dan ternyata sungguh menarik.

Kasus yang terjadi di Something’s Gotta Give juga bisa dijumpai di dunia bisnis, terutama di industri dengan persaingan yang begitu ketat dan masing-masing pemain seperti tiada henti menunjukkan kegairahan dan vitalitas untuk bersaing. Industri perbankan Indonesia adalah salah satu industri yang memenuhi kriteria tersebut. Dimana sejumlah pemain yang punya pengalaman begitu panjang, seperti punya kegairahan dan vitalitas yang tiada habisnya.

Inilah yang antara lain ditunjukkan oleh PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Meski ada beberapa bank yang jauh lebih tua usianya dibandingkan dengan BBNI, tapi bank ini punya tempat khusus di Indonesia terutama dikaitkan dengan kelahirannya. Inilah satu-satunya bank yang pada saat ini mencantumkan tahun kelahiran –1946– sebagai bagian tak terpisahkan dari corporate identity-nya.

Dan BBNI memutuskan untuk tetap mencantumkan tahun kelahirannya, karena bukan hanya sekedar menggambarkan bagian penting dalam perjalanan bisnisnya tapi juga karena terkait dengan perjalanan Republik Indonesia. BBNI adalah bank pertama yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah Indonesia yang masih muda sekali usianya pada 5 Juli 1946, dimana tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Bank Nasional. Faktor inilah yang membedakan BBNI dengan bank pemerintah lainnya seperti Bank Dagang Negara (BDN) dan Bank Bumi Daya (BBD) yang kini telah dimerger dengan Bank Pembangunan Indonesia menjadi Bank Mandiri, yang jauh lebih tua usianya tapi baru belakangan dimiliki pemerintah Indonesia.

Selain faktor penciptaannya, BBNI memang punya peranan dalam mewarnai perjalanan Republik Indonesia di bidang keuangan dan perbankan. Inilah bank pertama yang mengedarkan alat pembayaran yang pertama kali diciptakan oleh pemerintah Indonesia, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 30 Oktober 1946, dimana tanggal ini kini diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional. Setelah peranannya sebagai de facto bank sentral dialihkan ke De Javasche Bank –kini menjadi Bank Indonesia– di tahun 1949, pelan tapi pasti BBNI menjelma menjadi sebuah bank umum terkemuka di Indonesia dan menjadi bagian dari The Big Four Bank of Indonesia.

Tapi harus diakui, BBNI kini kalah mencorong sinarnya dibandingkan bank-bank Big Four lainnya. Bank yang pada suatu masa dikenal sebagai bank terbesar di Indonesia ini, sekarang berada di urutan keempat. Bukan hanya ukuran asetnya yang kalah berkembang dibandingkan The Big Four lainnya, tapi bank ini juga seperti tidak terlibat dalam perlombaan untuk mencatatkan laba terbesar.

Penyebab kurang bersinarnya BBNI adalah krisis 1997-1998 dan kemudian kerugian besar di tahun 2004 sebagai akibat dari kasus kredit ekspor fiktif. Kalau krisis 1997-1998 seolah seperti menempatkan kembali semua The Big Four dalam urutan start yang sama, maka kerugian besar yang terjadi di tahun 2004 seolah-olah membuat BBNI berhenti lama di salah satu pit stop karena mesti mencari dulu ban yang cocok, pada saat The Big Four lainnya sudah menemukan ban yang cocok dan melakukan pengisian bahan bakar yang memadai untuk terus melaju dalam balapan. Tapi, pelan tapi pasti BBNI bisa melakukan stabilisasi, kemudian restrukturisasi dan kini transformasi.

Dua proses tersebut terakhir sebetulnya mulai terlihat hasilnya dan akhirnya –seperti pada Nicholson dan Keaton– mendorong kembali kegairahan dan vitalitas untuk bersaing ketat dengan para pesaingnya, mulai dari consumer banking, commercial banking, corporate banking, international banking and treasury –dimana BBNI adalah satu-satunya bank nasional yang beroperasi penuh di luar negeri– dan Islamic banking. Pelan tapi pasti a reviving big four bank ini mulai kembali menarik perhatian orang seperti antara lain ditunjukkan dengan ketertarikan investor institusi internasional untuk ikut memiliki unit Islamic banking-nya. Kalau ini didukung dengan munculnya kembali unit-unit perbankan lainnya yang dulu sering dijadikan acuan para pesaingnya, maka a reviving big four bank ini akan kembali berada di jalur perebutan podium.

"Philip Kotler's Executive Class: 31 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Friday, April 24, 2009

[Kompas 100]: Astra Agro: "A Leading Palm Oil Producer"

Bagian 72 dari 100

Jumat, 24 April 2009 | 07:39 WIB

Tidak mudah melihat pembeda antara Salma Hayek dibandingkan aktris berdarah Latin lainnya.

Maklum, di Hollywood ada beberapa aktris berdarah Latin yang jelita yang juga dikenal luas seperti Eva Mendez, Jennifer Lopez dan Penelope Cruz. Dan mereka juga main di film yang laris atau menarik perhatian banyak orang seperti Eva Mendez di film Training Day, Jennifer Lopez di film Selena dan Shall We Dance, dan Penelope Cruz di film Vicky Christina Barcelona. Yang punya kekasih atau suami yang ganteng juga banyak seperti Eva Mendez dengan kekasih George Gargurevich, Jennifer Lopez dengan suami Marc Anthony, Penelope Cruz dengan kekasih Javier Bardem

Selain itu, mereka juga bukan hanya dikenal luas karena menjadi bintang film. Eva Mendez menjadi salah satu spokesperson Revlon, bintang iklan P.E.T.A dan salah satu juru kampanye Barack Obama; Penelope Cruz menjadi bintang iklan L’Oreal dan pernah kerja sukarela dua bulan di Uganda dan Jennifer Lopez yang juga penyanyi dan produsen pakaian, parfum dan pemilik production house. Singkat kata, mereka juga melakukan apa yang dilakukan Salma Hayek.

Salma Hayek memang adalah salah satu aktris berdarah Latin yang sukses, seperti terlihat dari film Desperado hingga Frida. Selain itu juga merupakan produser film, penyanyi dan bintang, serta menjadi aktivis untuk melawan kekerasan pada wanita dan perlindungan bagi para imigran. Tapi, tidak berarti ia tidak punya pembeda sama sekali.

Hayek kebetulan lebih tua dibandingkan dengan aktris berdarah Latin lain di atas. Dan di posisi ini ia bisa menunjukkan bahwa ia bisa tetap awet muda dan masih sexy. Bisa jadi, faktor inilah yang membuat ia akhirnya bisa mempunyai suami yang bukan berprofesi sebagai artis dan bukan keturunan Latin melainkan orang Perancis, yaitu Francois Henri Pinault yang dikenal sebagai CEO Pinault Printemps Redoute atau kini lebih dikenal sebagai PPR, yaitu perusahaan retail shop dan luxury brands.

Kalau Salma Hayek menghadapi tantangan untuk memperbanyak faktor pembeda dibandingkan dengan aktris berdarah Latin lainnya, maka PT Astra Agro Lestari (AALI) juga menghadapi tantangan yang sama di industri perkebunan Indonesia. Didirikan di tahun 1981 oleh keluarga pendiri dan sejumlah eksekutif puncak PT Astra International Tbk (ASII) serta individu lainnya, AALI telah berkembang pesat dan pada saat ini dikenal sebagai salah satu perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia. Sekalipun sudah memiliki areal perkebunan dan bank tanah yang tercatat sebagai salah satu yang terbesar di Indonesia, perusahaan ini terus berusaha menambah areal perkebunannya.

Pada mulanya, produk tanaman yang dikembangkan adalah ketela dan kemudian karet. Tapi di tahun 1984, AALI mulai masuk bisnis perkebunan kelapa sawit dengan mengakuisisi sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Setelah itu, AALI kemudian membuka sendiri perkebunan kelapa sawitnya dengan skema PIR Trans.

Di tahun 2004, AALI yang go public tahun 1997, melakukan divestasi unit-unit usaha non kelapa sawit agar bisa fokus pada bisnis kelapa sawit. Aktivitas bisnis kelapa sawitnya meliputi penanaman, pemanenan dan pemrosesan kelapa sawit menjadi minyak sawit mentah untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor dan juga mengolah minyak sawit mentah menjadi olein dan minyak goreng. Sekalipun luas lahannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan luas kebun kelapa sawitnya, AALI hingga kini masih memiliki kebun karet.

Seiring dengan potensi bisnis kelapa sawit yang sangat menjanjikan, AALI bukan hanya menambah luas lahan dan pabrik pengolahan kelapa sawit, tapi juga memperkuat fasilitas risetnya agar bisa meningkatkan produktivitas perkebunannnya. Sehingga di masa depan, besarnya volume penjualan kelapa sawit bukan hanya bergantung pada luas lahan yang dimiliki tapi juga produktivitasnya. Kebetulan, perkebunan kelapa sawit di Indonesia rata-rata punya produktivitas per lahan yang lebih rendah dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit di Malaysia.

AALI yang kini punya produk unggulan Golden CPO, terus berusaha mengembangkan unit pemrosesan benih dan budidaya pohon induk agar bisa meningkatkan kualitas produk CPO-nya. Sehingga AALI di masa depan bukan hanya sekedar punya volume produksi yang tinggi tapi juga berkualitas. Adanya produk berkualitas dalam jumlah besar bukan hanya memungkinkan dibentuknya branding untuk jenis-jenis CPO-nya tapi juga akan mengangkat brand equity AALI.

Kami melihat bahwa membangun brand equity, baik untuk berbagai jenis minyak sawit mentah maupun minyak goreng, akan menjadi prioritas AALI di masa depan. Apalagi memang ada arahan dari ASII untuk memperkuat merek-merek yang dimiliki unit-unit usahanya. Dengan cara ini, bukan tak mungkin AALI tidak hanya sekedar dikenal sebagai sebuah unit agribisnis ASII tapi bisa menjadi a leading palm oil producer di Indonesia.


"Philip Kotler's Executive Class: 33 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Thursday, April 23, 2009

[Kompas 100]: Adaro: "A Big Environmentally Friendly Coal Producer"

Kamis, 23 April 2009 | 07:47 WIB

Arnold Schwarzenegger sekilas tampak bukan orang yang pas sebagai guru TK.

Ini kalau bayangan kita tentang guru TK itu adalah orang yang lemah lembut dan sabar terhadap anak-anak kecil. Dengan kriteria semacam itu, yang cocok adalah para wanita, sekalipun tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang pria yang memang bisa lemah lembut dan sabar menghadapi anak-anak kecil tetap layak menjadi guru TK. Hanya saja, pria yang bisa menjadi guru TK biasanya juga mesti jago mendongeng.

Arnold seperti sulit memenuhi kriteria seperti tersebut di atas, terutama kalau melihat perannya di film seperti The Terminator yang melambungkan namanya dan melekat kuat pada dirinya. Padahal selain The Terminator, ia dulu pernah berperan dalam film Conan the Barbarian atau film-film sukses lain dimana dia berperan sebagai jagoan atau prajurit tinggi besar dan berotot serta dingin dalam bertindak. Begitu kuatnya asosiasi dirinya dengan Terminator, maka ia yang kini menjadi Gubernur Negara Bagian California dijuluki sebagai Governator yang merupakan gabungan antara Governor dan Terminator.

Tapi sekuat-kuatnya asosiasi pada Terminator, tidak berarti Arnold tidak bisa melepaskan diri dari stereotype jagoan tersebut. Maka ia pun kemudian tampil dalam film komedi yang unik yaitu Twins bersama dengan Danny de Vitto yang mengisahkan dua saudara kembar yang nyaris tidak ada kemiripan secara fisik. Dan karena film ini laris, maka Arnold punya opsi yang lebih luas untuk berperan sebagai seorang jagoan.

Yang kemudian muncul sungguh di luar dugaan, dimana Arnold berperan sebagai polisi yang menyamar menjadi guru TK. Awalnya, ia yang sebetulnya tidak diplot jadi guru TK, terlihat tidak begitu pas menjadi guru TK. Tapi dengan mengandalkan berang-berang piaraannya, ia mampu menarik perhatian anak-anak TK dan pada akhirnya malah memilih meninggalkan dinas kepolisian dan menjadi guru TK.

Arnold yang tinggi besar tapi lemah lembut dan sabar menghadapi anak-anak TK ini bisa menjadi personifikasi dari batubara yang ramah lingkungan. Selama ini, batubara –yang merupakan bahan baku pembangkit listrik yang paling banyak digunakan– punya dua sisi, positif dalam aspek harga yang murah dan negatif dalam kaitan dengan tingkat polusi yang dihasilkannya. Tentu akan bagus kalau jalan keluarnya adalah batubara yang murah tapi ramah lingkungan.

Inilah yang sudah lama dilakukan PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Tapi berbeda dengan kebanyakan perusahaan pertambangan batubara ataupun perusahaan pengguna batubara yang mencoba memenuhi kedua tujuan tersebut melalui proses baru pemanfaatan batubara, yang dilakukan ADRO boleh dikata hanya sekedar menjaga kualitas batubara yang ditambangnya. Soalnya, ADRO ini punya konsesi pertambangan dengan jenis batubara yang punya ciri khas, yaitu bersih, yang ditandai dengan 0,1% sulphur, 1,5% ash dan nitrogen yang rendah, yang kemudian dipasarkan dengan merek dagang Envirocoal.

ADRO berani menggunakan brand tersebut karena selama ini, pemanfaatan batubara untuk pembangkit listrik dituding banyak pihak meningkatkan emisi partikel Sox, Nox dan Cox, di samping abu terbang. Dan itu bukan hanya kekhawatiran, karena kota-kota yang menjadi lokasi pembangkit listrik tenaga batubara memang kotor udaranya. Itulah sebabnya, banyak produsen dan pengguna batubara yang mencoba membuat sistem pemanfaatan batubara yang ramah lingkungan dengan cara gasifikasi.

Melalui teknik tersebut maka emisi dari hasil pemanfaatan batubara tersebut bisa dihambat atau tidak terlepas ke atmosfir. Ini bisa terjadi karena di teknik tersebut digunakan apa yang disebut carbon capture atau penangkapan emisi karbon. Tapi teknologi pemanfaatan batubara sistem gasifikasi terbilang mahal dan canggih, dan sejauh ini belum banyak yang bisa melakukannya.

Karena masih mahalnya sistem gasifikasi, maka pilihannya adalah batubara padat yang ramah lingkungan sebagaimana ditunjukkan dengan keberhasilan Envirocoal yang mampu menembus dengan mudah pasar-pasar yang punya tuntutan standar lingkungan yang tinggi. Selain bisa digunakan secara langsung, produk batubara ADRO juga digunakan sebagai campuran untuk batubara yang punya kandungan sulphur dan ash yang tinggi dan hasilnya masih tetap ramah lingkungan. Karena itulah batubara ADRO menjadi produk batubara ramah lingkungan yang paling banyak dicari.

ADRO bukan hanya sekedar menunjukkan positioning yang seperti itu, tapi juga mampu menunjukkan diferensiasinya dalam teknis, lingkungan dan biaya. Di aspek teknis ada keuntungan dalam storage, combustion, ash, dan ash deposition, di lingkungan ada dalam bentuk penurunan emisi SO2 dan NOx, opacity dan limbah dan biaya ada dalam bentuk fuel cost, maintenance cost dan operating cost yang lebih murah. Dengan positioning dan diferensiasi yang seperti itu, serta didukung dengan jaringan logistik yang dimilikinya, maka Envirocoal punya pasar yang bagus, seperti lebih dari lima puluh pembangkit listrik utama di Eropa, Amerika dan Asia.

Di sisi lain, sebagai sebuah perusahaan batubara terbesar kedua di Indonesia, ADRO tidak hanya punya cadangan batubara yang besar, melainkan juga merupakan perusahaan batubara yang mengoperasikan tambang yang terbesar di Indonesia dan terpanjang di belahan selatan dunia. Keberadaan tambang semacam ini membuat ADRO mampu menjalankan operasi yang efisien dan mengontrol. Dengan kondisi ini dan ditambah dengan kelebihan yang dimiliki, ADRO bisa mengoptimalkan posisi sebagai a big environmentally friendly coal producer.


"Philip Kotler's Executive Class: 34 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Wednesday, April 22, 2009

[Kompas 100]: Intikeramik: "A High Quality Porcelain Maker"

Rabu, 22 April 2009 | 08:01 WIB

Mengapa orang Amerika sering menyebut suatu pot atau patung keramik sebagai China?

Penyebutan itu bukan merujuk kepada tempat dimana mereka membeli barang tersebut, akan tapi untuk bahan yang dipakai, yaitu porcelain. Porselen sendiri adalah sejenis keramik yang menggunakan bahan baku yang lebih murni dan melalui proses yang lebih panjang dibandingkan dengan keramik biasa. Ini menghasilkan jenis keramik yang lebih kuat, tidak mudah bernoda, dan tahan terhadap cuaca ekstrim. Hal inilah yang menjadikan bahan ini lebih disukai untuk menghasilkan obyek seni seperti pot atau patung fine art. Salah kaprah orang Amerika mungkin disebabkan oleh asal mula teknologi pembuatan porselen, yang memang ditemukan di China.

Salah kaprah tentang porselen juga terjadi di Indonesia. Namun bukan dalam hal penggunaan kata fine China, tapi dalam penyebutan semua ubin, baik yang terbuat dari porselen maupun keramik biasa, sebagai ubin keramik. Ini tentu tidak adil, karena ubin yang terbuat dari porselen, dengan bahan dan proses yang berbeda, pasti akan lebih mahal dibandingkan keramik biasa. Hal inilah yang ingin diluruskan oleh PT Intikeramik Alamasri Industry Tbk. (IKAI).

IKAI berdiri di tahun 1991 dan mulai melakukan produksi di tahun 1993 dengan 1 lini produksi berkapasitas 900.000 m2 per tahunnya. Selanjutnya, IKAI langsung agresif melakukan ekspansi usaha, seiring dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap produk ubin porselen. Secara konsisten, IKAI terus menambah lini produksinya setiap tahun hingga 1997. Bahkan di tahun 1995, IKAI melakukan akuisisi terhadap PT Internusa Keramik Alamasri yang memiliki 4 lini produksi.

Berbagai langkah tersebut berhasil menjadikan IKAI sebagai produsen ubin porselen terbesar di Indonesia, dan merek Essenza dan Inesa. Dengan kapasitas produksi maksimal hingga 6,6 juta m2 per tahun, IKAI bahkan mengklaim bahwa kemampuan produksinya ini 12 kali lebih besar dari kapasitas produksi kompetitor terdekatnya.

Essenza sendiri adalah market leader untuk ubin porselen. Merek ini sangat dikenal salah satunya karena kampanye “No Tile Like It” yang sangat gencar dilakukan beberapa tahun yang lalu, terutama saat pemutaran tayangan Liga Italia di televisi. Memang sepertinya IKAI ingin mengasosiasikan brand Essenza dengan negara Italia, yang menjadi acuan dunia internasional untuk ubin porselen kualitas tinggi.

Untuk mendukung terbangunnya asosiasi tersebut di atas, dimanfaatkan pula sumber daya manusia dari Italia dalam proses design dan produksi ubin IKAI. Kampanye “No Tile Like It” memang cukup berhasil, bahkan beberapa orang menyebut iklan ini sebagai salah satu iklan yang tak dapat dilupakan. Meskipun memang harus diakui tidak semua orang sadar bahwa iklan tersebut adalah tentang ubin porselen, karena memang tidak ada bahasa Indonesianya dan tidak ada gambaran ubin yang jelas.

Harus diakui bahwa krisis 1997-1998 punya dampak pada aktivitas bisnis IKAI. Perusahaan ini tidak hanya berhenti melakukan ekspansi lini produksi, IKAI bahkan terpaksa menghentikan 5 lini produksinya dan cukup mengoperasikan 2 lini, karena menurunnya perekonomian Indonesia, terutama sektor properti. Merasa bahwa pasar domestik tidak menjanjikan, IKAI lalu mulai memperluas pasar ekspor. Yang dilakukan antara lain dengan mengikuti berbagai pameran di luar negeri, dan mengembangkan jaringan pemasaran internasionalnya.

Kini IKAI memiliki titik pemasaran yang menjangkau hingga 30 negara, termasuk Italia yang menjadi inspirasi awal mereka. Dan langkah ini memang cukup berhasil membuat IKAI bisa tetap survive meski harus melakukan restrukturisasi beberapa utang perusahaan. Kontribusi pendapatan dari pasar ekspor bahkan sempat mencapai lebih dari 50 persen dari total pendapatan perusahaan.

Dengan mengandalkan pasar ekspor IKAI dapat dikatakan berhasil melakukan crisis recovery dengan cukup baik. Namun ternyata ketergantungan pada pasar ekspor ini membawa resiko baru pula bagi perusahaan. Seperti terlihat saat terjadi perlambatan ekonomi global, yang dipicu krisis perumahan di Amerika Serikat, pada akhir 2007. Dengan Amerika Serikat sebagai salah satu tujuan ekspor terbesar perusahaan, setelah Korea Selatan dan Thailand, IKAI mengalami penurunan ekspor yang cukup signifikan. Kekuatan perusahaan pada pasar ekspor, yang menyelamatkannya pada tahun 1998, justru menahan pertumbuhan perusahaan di tahun 2008. Laporan keuangan triwulan ketiga perusahaan bahkan menunjukkan penurunan laba bersih year-on-year sebesar 10 persen.

Untuk itu, saat ini perusahaan mulai menggenjot pasar domestik. Salah satunya dengan mengandalkan merk Inesa, yang merupakan produk yang ditujukan kalangan memengah, berbeda dengan Essenza yang ditujukan untuk kalangan atas. Langkah lain IKAI adalah dengan mengubah tagline “No Tile Like It” yang dulu begitu terkenal menjadi “The Essence of Quality”. Seolah perusahaan ingin meng-edukasi publik mengenai kualitas ubin porselen, khususnya Essenza, agar tidak lagi disamaratakan dengan ubin keramik biasa.

Disinilah letak tantangan utama IKAI, yaitu bagaimana melakukan edukasi pasar mengenai kelebihan ubin porselen, serta membentuk brand association yang tepat bagi Essenza sebagai produk kualitas tertinggi di bidangnya. Jika IKAI berhasil, seperti keberhasilannya dulu mengasosiasikan diri dengan negara Italia dengan kampanye iklan saat penyiaran tayangan Liga Italia, maka pasar domestik dapat kembali menjadi andalan pertumbuhan perusahaan. Sehingga, dengan kembali menunjukkan kemampuannya melakukan adaptasi terhadap kondisi bisnis yang berubah-ubah, kami melihat bahwa perusahaan ini dapat terus bertahan sebagai pemimpin pasar dan menjadi a respected porcelain tile manufacturer di Indonesia.


"Philip Kotler's Executive Class: 35 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Tuesday, April 21, 2009

[Kompas 100]: Bukopin: "An Aggressive Medium Sized bank"

Bagian 69 dari 100

Selasa, 21 April 2009 | 11:16 WIB

Doha tampak begitu all-out untuk menjadi salah satu kota terpenting Timur Tengah.

Ini sungguh suatu hal yang menarik. Berbeda dengan Dubai yang dari dulu sudah dikenal sebagai tempat persinggahan bagi kapal-kapal yang berlalu lalang di kawasan Teluk Persia, Doha awalnya adalah sebuah perkampungan nelayan dan sekaligus juga lokasi untuk budidaya mutiara. Doha, yang sampai awal abad 20 begitu bergantung pada hasil ikan dan mutiara, kemudian dibangun menjadi sebuah kota dan belakangan menjadi ibukota kesultanan Qatar.

Sebagaimana halnya dengan berbagai negara-negara di Teluk Persia, penemuan cadangan gas dan minyak yang besar di Qatar merubah nasib negara ini dari sebuah negeri yang relatif miskin dan bergantung pada hasil tangkapan ikan dan mutiara, menjadi negeri kaya. Tidak seperti Dubai yang cadangan minyaknya terbatas, Doha atau Qatar sungguh berlimpah dengan minyak dan gas. Bahkan untuk gas, kota dengan jumlah penduduk yang tidak sampai 500 ribu jiwa ini, dengan sebagian besar orang yang tinggal di Doha bukanlah warganegara Qatar, punya total cadangan gas terbukti yang dikenal sebagai salah satu yang terbesar di dunia.

Tapi belajar dari pengalaman ketika harga minyak berada di bawah USD 20 per barrel, negara-negara kaya minyak dan gas itu banyak yang tidak mau hanya bergantung pada minyak dan gas. Setelah Dubai, yang kebetulan tidak punya cadangan gas besar, mulai terlihat bisa mendiversifikan perekonomian yang semula tergantung pada gas, sejumlah kota utama di setiap negara Teluk berlomba-lomba mengikuti jejaknya. Apalagi mereka percaya bahwa dengan uang yang banyak mereka juga bisa cepat meniru Dubai.

Tidak hanya sekedar ingin mengikuti jejak Dubai yang mencoba menjadi berbagai hub di Timur Tengah, Doha bahkan melangkah lebih jauh. Kota ini menjadi tuan rumah dari pertemuan bersejarah para menteri anggota WTO di tahun 2001, yang membuat kota ini banyak disebut orang di seluruh dunia ketika bicara mengenai perdagangan internasional . Doha sekaligus juga merupakan tuan rumah Asian Games terbesar sepanjang sejarah di tahun 2006. Dan keberadaan stasiun televisi berbahasa Arab Al Jazeera yang muncul di tahun 1996, yang siarannya bisa dinikmati di seluruh negara Arab, dan seolah seperti menjadi corong warga Arab biasa di seluruh negara Arab, membuat Doha yang berasal dari negeri mini menjelma menjadi salah satu kota terpenting Timur Tengah.

Seperti Doha yang all-out menjadi salah satu kota terpenting Timur Tengah, PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) dikenal sebagai bank yang agresif dalam menjadikan diri sebagai bank papan tengah pilihan di Indonesia. Sekalipun bukan suatu hal yang gampang, karena penghuni papan tengah perbankan Indonesia merupakan campuran antara bank nasional, regional dan global, BBKP terlihat bergerak agresif dalam memperluas produk dan layanan. Demi mendukung tercapainya tujuan untuk meningkatkan kenyamanan bertransaksi para nasabah, BBKP tak segan-segan bukan hanya sekedar memperbaiki fasilitas e-delivery channel-nya, tapi juga tak ragu untuk agresif mendorong utilisasi ATM-nya dengan kampanye ”Kartunya satu, ATM-nya banyak” dan gratis biaya tarik tunai di jaringan ATM ALTO, ATM Bersama, ATM BCA dan Prima

Sementara untuk mendongkrak peningkatan dana murah, BBKP juga tidak segan untuk menggelar program undian berhadiah rutin dengan hadiah utama mobil mewah, sesuatu yang hanya sejumlah bank papan tengah yang melakukannya. Karena persaingan antar program undian berhadiah sangat ketat, BBKP juga agresif mengkampanyekan program undian berhadiahnya. Dan untuk keperluan terakhir ini BBKP tidak ragu-ragu untuk mempromosikan merek mobil hadiah utama.

Tidak hanya di mass market banking, BBKP juga agresif dalam membangun layanan untuk nasabah prioritas-nya. Untuk keperluan ini, BBKP bahkan sampai menggunakan seorang pengusaha muda dan investment banker yang sedang naik daun sebagai bintang iklannya. Ini jelas, upaya all out untuk membangun kredibilitas layanan prioritas-nya.

BBKP memang mesti melakukan langkah-langkah tersebut di atas, karena bukan hanya sekedar berada di papan tengah tapi juga karena masih berusaha mencapai rasio keuangan yang impresif. Dimana untuk mencapai tujuan tersebut mesti didukung dengan porsi dana murah yang semakin besar dan utilisasi yang tinggi atas berbagai layanan yang bisa menghasilkan fee based income. Karena hampir semua bank mengejar dua target tersebut, mau tak mau bank papan tengah seperti BBKP juga mesti kreatif -sekalipun mahal- dalam mengkomunikasikan berbagai produk dan programnya.

Berbagai langkah agresif yang sekarang dilakukan BBKP, termasuk membentuk unit usaha syariah bisa jadi merupakan suatu hal yang tak terbayangkan ketika BBKP didirikan 10 Juli 1970, sebagai badan hukum koperasi dengan nama BUKOPIN yang merupakan singkatan dari Bank Umum Koperasi Indonesia. Setelah namanya berubah menjadi Bank Bukopin di tahun 1989 dan badan hukumnya berubah menjadi perseroan terbatas, BBKP kian berkembang pesat. Dimana BBKP tidak hanya ingin menggantungkan diri pada bisnis yang terkait dengan aktivitas para pemegang saham terbesarnya, yang pada saat ini terdiri dari koperasi pegawai Bulog seluruh Indonesia, koperasi perkayuan APKINDO MPI dan yayasan sejahtera warga Bulog.

Hasil dari langkah agresif tersebut membuat BBKP kini menjadi salah satu bank papan tengah yang layak menjadi penghuni 10 besar bank dengan DPK terbesar di Indonesia.


"Philip Kotler's Executive Class: 36 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

Monday, April 20, 2009

[Kompas 100]: Bakrie Sumatera: "The Single Largest Latex Produces in Indonesia"

Bagian 68 dari 100

Senin, 20 April 2009 | 07:29 WIB

Kondom kontribusi penjualannya 10 persen, tapi untuk publisitas 90 persen.

Begitulah pernyataan dari managing director Pacific Dunlop asal Australia, ketika mengumumkan keputusan perusahaannya menjual berbagai unit bisnisnya di luar ban dan rubberware, seperti kondom dan sarung tangan, di tahun 1999. Cikal bakal perusahaan ini sendiri berasal The Dunlop Pneumatic Tyre Company Pacific Dunlop yang didirikan di tahun 1899 oleh penemu ban sepeda John Dunlop dan teman-temannya di Belfast Irlandia. Perusahaan ini kemudian punya perjalanan bisnis yang berwarna, berkembang ke berbagai bidang tapi kepemilikannya di sejumlah tempat kemudian jatuh ke berbagai tangan, termasuk yang berada di Australia, dan masing-masing perusahaan yang sudah berbeda kepemilikan itu berkembang ke berbagai bidang.

Ternyata langkah Pacific Dunlop tidak hanya berhenti di situ. Setelah mengubah nama menjadi Ansell Limited di tahun 2002 dan melakukan strategic repositioning, perusahaan kemudian berfokus ke rubber based protective products seperti kondom dan sarung tangan. Selain berfokus dari segi bisnis, Ansell sendiri juga berusaha menonjolkan product leadership dengan mengandalkan bahan baku sintetik, seperti polyurethane untuk kondom dan sarung tangan yang dibuatnya.

Untuk kondom, polyurethane memang mulai populer, karena dibandingkan dengan lateks lebih tahan panas dan tidak bau, tapi lebih mahal harganya. Hanya saja produk sintetik ini kalah elastis dibandingkan dengan lateks dan gampang slip. Dengan kondisi seperti itu, sekalipun inovasi untuk produk sintetik berkembang semakin bagus, lateks masih jadi pilihan, paling tidak untuk kondom.

Lateks itu sendiri selain digunakan untuk rubberware seperti kondom dan sarung tangan, kini juga digunakan untuk kasur. Kasur lateks semakin populer karena berkorelasi positif dengan kesehatan dan kenyamanan. Masih populernya lateks ini tentu merupakan kabar bahagia buat perusahaan-perusahaan yang menjual lateks seperti PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP).

UNSP yang didirikan dengan nama NV Hollandsch Amerikaanse Plantage Maatschappij di tahun 1911 membuka perkebunan karet di Kisaran Sumatera Utara di tahun yang sama. Di tahun 1986 perusahaan ini lalu berubah nama menjadi PT United Sumatera Plantations setelah diakuisisi oleh Group Bakrie. Pembelian UNSP menandai masuknya konglomerat ini ke dalam bisnis agro-industri. Bakrie Group memang memiliki banyak perusahaan yang tersebar di berbagai industri. Selain UNSP, ada lima perusahaan lain yang juga tercatat di Bursa Efek Indonesia, yaitu PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) di industri telekomunikasi, PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) di pengembangan properti, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) di pertambangan, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) di oil & gas, serta PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) sebagai perusahaan induk.

Sampai saat ini UNSP, yang punya tiga kebun karet di Sumatera, masih dikenal sebagai satu-satunya produsen lateks terbesar di Indonesia dengan punya keunikan dalam hal rangkaian produk karet alam yang lengkap, mulai dari lateks hingga Block Skim Rubber (BSR). Sebagai sebuah perusahaan perkebunan yang berusia panjang, UNSP sudah memasuki periode 25 tahun –yang merupakan batas usia dimana pohon karet mulai berkurang tingkat produktivitasnya– yang keempat.

Apa yang dilakukan oleh UNSP tersebut menunjukkan bahwa mereka memang sudah punya pengalaman dalam melakukan proses budidaya karet tanpa mesti menambah lahan. Dan kalau melihat peta pasar karet dunia, dimana tiga perusahaan ban terbesar punya posisi tawar yang kuat karena menjadi penyerap terbesar karet dunia, sementara jumlah negara penghasil karet cukup banyak, maka perusahaan penghasil karet mau tidak mau harus beroperasi efisien. Salah satunya adalah dengan meminimalisasi penambah lahan yang tinggi biayanya dan punya potensi berhadapan dengan isu lingkungan--yang antara lain dilakukan dengan melakukan penanaman ulang di lahan yang sama.

Selain efisiensi lahan, yang mesti diperhatikan pula adalah kualitas lateks yang dijual Indonesia. Soalnya, meski Indonesia adalah negara penghasil karet terbesar ketiga, dan karet merupakan penyumbang devisa terbesar untuk komoditas pertanian, tapi ternyata sejumlah perusahaan pembuat sarung tangan karet terpaksa mengimpor karet alam dari Thailand, negara penghasil karet terbesar di dunia, karena kualitas lateks dari negara itu secara umum tinggi. Di Thailand, produk lateksnya langsung dipak ke kapal dan dikirim ke negara tujuan, dan relatif terhindar dari banyak goncangan di jalan yang akan membuat lateks gampang menggumpal dan menjadi sangat buruk untuk diolah ke produk turunan seperti sarung tangan karet, seperti yang terjadi di Indonesia sebagai akibat buruknya transportasi dari kebun karet ke kota.

Tantangan lain yang juga mesti diperhatikan perusahaan-perusahaan perkebunan karet asal Indonesia seperti UNSP adalah bagaimana meningkatkan produktivitas per lahan. Di lihat dari luas lahan yang dijadikan kebun karet, yang sebesar 3.2 juta hektar, Indonesia adalah yang terbesar di dunia, dan bahkan lebih besar dari Thailand yang hanya sekitar 2 juta hektar. Tapi produktivitas karet Indonesia hanya 1 ton per hektar per tahunnya sementara Thailand 1,7 ton per hektar.

Karena itu kami melihat bahwa sebaiknya UNSP menjadikan penciptaan bibit-bibit tanaman karet yang bisa meningkatkan produktivitas per hektar sebagai salah satu prioritas utama. Akan lebih baik kalau hal ini bisa dilakukan sendiri melalui lembaga riset perusahaan. Dan di bisnis perkebunan moderen, lembaga riset milik sendiri merupakan salah satu sumber daya saing perusahaan

Pada saat ini, UNSP bukan hanya punya bisnis perkebunan karet tapi juga bisnis kelapa sawit yang dimasuki perusahaan di tahun 1993 dengan mengkonversi kebuh karet seluas 6200 hektar menjadi kebun kelapa sawit. Yang menarik, luas kebun kelapa sawitnya itu kini sudah lebih besar dibandingkan luas kebun karetnya. Tentu akan lebih menarik, kalau UNSP bukan hanya sekedar punya kebun kelapa sawit yang sudah lebih besar dibandingkan kebun karet, tapi punya produktivitas dan kualitas yang lebih tinggi sehingga punya harga jual yang lebih baik.

Kelihatanya, UNSP lebih tertarik menekuni bisnis kelapa sawit dibandingkan karet, sekalipun kebun karetnya punya keunikan, dan sebetulnya keunikannya masih bisa ditambah. Boleh jadi soal kontribusi penjualan karet menjadi pertimbangan di sini, sekalipun soal publisitas, seperti dalam kasus Ansell Limited, karet akan lebih besar.


"Philip Kotler's Executive Class: 37 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas