BLOGSPOT atas

Friday, October 30, 2009

Bukan Sekedar Membuat Platform

Jumat, 30 Oktober 2009 | 07:57 WIB

KOMPAS.com - Pada tahun 2000, tiga pemain besar industri otomotif di Amerika, General Motors (GM), Chrysler, dan Ford melakukan eksperimen besar. Apa itu? Meluncurkan platform supply chain berbasis internet untuk para partisipan di industri. Platform tersebut dinamakan Covisint yang artinya Collaboration, Vision, dan Integration. Dari namanya memang sangat terlihat bahwa secara filosofis memang ia didesain sebagai platform untuk berkolaborasi, yang visioner, dan saling terintegrasi.

Visi awal dari platform ini adalah untuk membuat sebuah pasar online terbesar di dunia, dimana OEM (original equipment manufacturers), basis supply mereka (supplier dan sub-supplier) dan penyedia jasa logistik dapat melakukan segala proses mereka lewat online. Jadi dengan adanya platform ini, perusahaan otomotif terlayani lewat berbagai aplikasi yang akan memudahkan proses sourcing, lelang, logistik, dan hal lainnya terkait dengan pengelolaan supply chain. Di sana adalah gudangnya katalog untuk supplier, acara lelang yang terkait dengan industri, quote management untuk para partisipan di industri yang ingin menjual mesin lama, dan lain sebagainya.

Di rencana awalnya, platform ini diharapkan pula dapat menghemat biaya supply chain sebesar 1.064 dollar AS per kendaraan untuk industri otomotif. Maka tak heran kalau ketiga raksasa dunia otomotif ini kemudian diikuti oleh beberapa pemain lain dari luar Amerika seperti Renault dan Nissan yang masuk ke dalam Covisint. Selain penekanan biaya, jalur komunikasi antar partisipan di supply chain juga tentunya berpotensi untuk menurun dari segi keruwetannya.

Setelah sempat tertunda karena harus berurusan dengan Federal Trade Commission, Covisint akhirnya diluncurkan pada akhir Desember 2000 sebagai entitas komersial. Di tahun 2001, ia mencatat rekor sebagai tempat lelang terbesar di dunia online ketika sempat membukukan transaksi 4 miliar dollar AS dalam waktu kurang dari empat hari. Di tahun 2002, dibuat pula portal untuk sub-supplier, yang pada akhirnya diharapkan untuk dapat menarik 5000 sub-supplier yang akan mendapatkan lebih dari 80 aplikasi terkait dengan aktivitas supply chain.

Langkah kolaboratif yang berbasis konsorsium industri ini kemudian diikuti pula dengan industri lain. Contohnya di industri kesehatan, para pemain seperti Johnson & Johnson, General Electric (GE) Medical Systems, Baxter Healthcare, Abbott Laboratories, dan Medtronic juga melakukan hal yang sama dengan membuat GHX, sebuah platform online yang terbuka, netral untuk digunakan sebagai electronic trading exchange, guna memfasilitasi terwujudnya transfer informasi, uang, barang dan jasa secara real time di industri kesehatan. Dalam dua minggu setelah diluncurkan, pemain lain berbondong-bondong ikut masuk ke platform ini.

Seperti yang dikatakan oleh seorang petinggi di J&J, motivasi dari para pemain untuk berkolaborasi di dalam platform ini adalah karena mereka semua sedang menghadapi tekanan untuk memecahkan solusi terkait masalah efisiensi dan penekanan biaya. Karena dengan adanya platform seperti ini, proses supply chain dapat terkelola dengan baik dan secara dramatis dapat menurunkan biaya bisnis. Dan bukan itu saja, mereka pada akhirnya sadar bahwa platform untuk information sharing seperti ini dapat membuat para pemain di industri berkolaborasi untuk mendefiniskan standar baru terkait dunia kesehatan yang mana dapat menekan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan bagi pasien, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan.

Di hotel industri, pemain seperti Marriott, Hyatt, dan beberapa lainnya juga membuat konsorsium serupa untuk membuat platform yang dinamakan Avendra. Boeing juga melakukan platform e-marketplace serupa yang dinamakan Exostar. Di dunia FMCG, Procter & Gamble, dengan Sara Lee, Coca Cola dan beberapa yang lain juga membuat platform bernama 1SYNC Transora, yang diposisikan sebagai komunitas kolaboratif antar pemain dengan para basis supply di dunia online.

Lantas bagaimana ceritanya dengan platform-platform ini sekarang? Satu yang menarik untuk kita lihat adalah perbandingan antara Covisint dan GHX. Pada tahun 2004, investasi sebesar 500 juta dollar AS yang dilakukan oleh ketiga pemain industri otomotif ini belum juga menghasilkan uang. Ketika itu juga dikabarkan bahwa ketiga perusahaan yang mendirikannya telah mengabaikan langkahnya untuk melakukan e-supply chain lewat kolaborasi terbuka seperti ini. Hanya tiga sampai lima persen dari semua transaksi yang terkait dengan supply chain dilakukan lewat platform ini, sedangkan selebihnya dilakukan secara tradisional. Covisint lantas dijual ke Compuware dengan nilai jauh lebih murah dibanding yang diharapkan oleh ketiga perusahaan yang mendirikannya.

Beda halnya dengan GHX. Tidak perlu menunggu lama, platform ini berhasil untuk memberikan jalan bagi para pemain di industri untuk mengakses basis supply yang kalau ditotal lebih dari 90 persen dari volume transaksi di dalam industri kesehatan. GHX hanya perlu dua tahun untuk menjadi pasar industri kesehatan berbasis internet yang sangat dominan, bahkan satu-satunya konsorsium industri yang dimiliki langsung oleh partisipan yang merepresentasikan semua pemain besar, mulai dari rumah sakit, supplier, distributor, broker, sampai perusahaan logistik.

Pelajaran Berharga Bagi New Wave Marketer

Di era New Wave, process adalah kolaborasi. Proses yang terkait dengan penciptaan nilai dilakukan bukan lagi sekedar mengkoordinir segala sesuatu yang berhubungan dengan quality, cost, and delivery. Lebih dari itu, era New Wave adalah era yang horizontal di mana segala proses yang ada di internal (antar departemen) dan melibatkan pihak eksternal, harus dilakukan secara kolaborasi.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, teknologi memang memungkinkan bahwa kolaborasi yang sifatnya horizontal itu terjadi. Contohnya seperti lewat pembuatan platform-platform yang diceritakan di atas yang mengintegrasikan, mengkonek, dan mensinkronkan perusahaan-perusahaan yang berbeda, supplier, manufacturer, distributor, dan end-customer. Dengan masuknya perusahaan tersebut ke dalam platform seperti ini, pada akhirnya mereka dituntut untuk terbuka, saling berbagi informasi, dan menjalankan prinsip kemitraan.

Seperti yang dikatakan oleh Tom Stallkamp, bekas Purchasing Chief di Chrysler, di dalam bukunya “A Better Way To Do Business: Moving From Conflict To Collaboration,” kasus Covisint bisa dibilang gagal karena pada dasarnya tidak ada komitmen yang dalam dari para OEM untuk melakukan proses secara kolaboratif. Bagi para supplier dan sub-supplier yang tergabung, langkah dari para OEM dalam membuat platform seperti ini pada akhirnya hanyalah sesuatu yang semata bersifat adversarial commerce. Atmosfer yang diciptakan adalah bersifat sangat vertikal karena pada akhirnya yang memegang kendali tetap OEM.

Melakukan kolaborasi memang tidak mudah. Jangankan kolaborasi dengan perusahaan lain, membudayakan kolaborasi antar departemen di dalam internal perusahaan pun sering menjadi kendala yang memusingkan bagi para atasan di perusahaan. Patut sekali disayangkan padahal ketika praktek proses yang kolaboratif dapat terkelola secara baik, pastinya berbagai keuntungan akan didapati. Dan tentunya ini bukan saja konsep yang bagus secara teori, namun buktinya dipraktekkan oleh segenap perusahaan, bahkan di beberapa konsorsium industri seperti di dunia kesehatan lewat portal GHX di atas.

Apa yang dilakukan oleh pemain industri otomotif Amerika lewat Covisint memang sangat visioner, hanya saja praktek dan implementasi masih sangat vertikal, di mana mereka pula tidak ingin untuk melepaskan mental berkuasa sebagai raksasa industri. Mungkin itu pulalah salah satu alasan kenapa industri otomotif di sana barusan ini hancur


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Thursday, October 29, 2009

Process is Collaboration

Kamis, 29 Oktober 2009 | 08:03 WIB

KOMPAS.com - Proses merupakan salah satu faktor pemasaran terpenting. Di dunia pemasaran, proses pada hakekatnya menentukan kualitas (quality), biaya (cost), dan pengiriman produk (delivery) dari perusahaan kepada pelanggannya. Kualitas produk dan jasa merupakan buah hati proses yang baik, yang dimulai dari produksi sampai delivery kepada pelanggan secara tepat waktu, efektif, dan dengan biaya yang efisien.

Dalam konteks kualitas, proses adalah bagaimana perusahaan mampu menciptakan suatu sistem yang pada akhirnya dapat memberikan nilai lebih bagi pelanggan. Di dalam konteks cost, perusahaan perlu menciptakan suatu proses yang bisa meningkatkan efisiensi secara finansial dengan tetap mengedepankan kualitas yang terbaik bagi pelanggan. Sedangkan dalam konteks delivery adalah bagaimana melakukan suatu proses penyampaian produk atau jasa secara tepat dan benar sehingga mampu memuaskan pelanggan. Proses delivery yang tepat waktu jelas dapat membawa nilai lebih tinggi bagi para pelanggan.

Untuk terciptanya kualitas yang baik, biaya yang efisien, dan delivery yang tepat waktu, diperlukan sebuah proses value chain yang tertata dan dikelola secara baik. Maka dari itu, elemen proses di dalam pemasaran legacy terkait dengan berbagai aktivitas yang terkait dengan penciptaan value yang mengkonek sisi supply (bahan baku, logistik ke dalam, proses produksi) dan sisi demand (logistik keluar, dan langkah operasional pemasaran lainnya).

Penciptaan value pada dasarnya ditentukan oleh brand sebagai value indicator, service sebagai value enhancer, dan juga process sebagai value enabler. Dengan demikian, penciptaan nilai bagi pelanggan terwujud karena adanya proses yang baik. Berbagai hal yang mereduksi aktivitas pengikisan nilai dalam perusahaan dapat pula terwujud secara baik apabila ada proses yang baik pula.

Elemen proses di dalam pemasaran bukan saja sangat penting, namun juga sangat kompleks karena ia terkait dengan efisiensi dan efektivitas dari sisi supply dan demand. Selain itu, tentunya juga tidak mudah apabila dalam prakteknya yang dikelola bukan saja proses di internal di dalam perusahaan saja (antar departemen), namun juga melibatkan pihak luar (contohnya supplier, jaringan distribusi, konsumen, dan sebagainya).

Untungnya perkembangan teknologi semakin canggih dan berbagai alat mulai dari EDI, RFID, sistem CRM, sistem ERP dan sebagainya yang dipergunakan oleh perusahaan dalam rangka meningkatkan kinerja supply chain, sudah semakin cerdas.

Di era New Wave, aktivitas perusahaan dalam mendesain, membeli, membuat, dan mengirim sebuah barang atau jasa, tentunya akan lebih horizontal karena didukung oleh kekuatan connectivity dari teknologi informasi. Platform teknologi internet yang ada di Dell dengan inisiatifnya Direct2Dell , IdeaStorm, dan StudioDell adalah contoh bagaimana design bukan saja bisa dilakukan secara customized, tapi juga bisa dilakukan secara komunal.

Praktek yang sama juga dilakukan oleh banyak perusahaan mulai dari P&G, Starbucks, Nike, dan lain-lain. Proses membeli, membuat, dan mengirim barang pun sudah semakin terintegrasi dan transparan, di mana perusahaan tidak lagi melihat supplier sebagai supplier, distributor sebagai distributor, dealer sebagai dealer, customer sebagai customer, tapi mereka semua adalah mitra. Mitra di sini bukan sekedar mitra yang manis dimulut alias lip service saja, tapi betul-betul mitra yang memiliki prinsip dasar partnering, seperti vision, intimacy, dan impact yang selaras antar kedua belah pihak untuk menghasilkan proses yang kolaboratif.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Wednesday, October 28, 2009

Mengembalikan Pengalaman Starbucks Lewat "Caring"

Rabu, 28 Oktober 2009 | 21:27 WIB

KOMPAS.com - Artikel ini adalah kelanjutan dari tulisan kami sebelumnya mengenai bagaimana konsep-konsep service yang lama perlu ditinjau ulang untuk memasukkan unsur new-wave. Dalam tulisan sebelumnya kami menyebut unsur new-wave ini sebagai caring. Setelah memberikan contoh bagaimana Mayo Clinic menerapkan caring dalam pelaksanaan layanan kepada pasiennya, kali ini kami ingin melihat contoh kasus perusahaan lain. Dalam kasus ini, dapat dilihat bagaimana terjadi kegagalan dalam service dan upaya recovery dengan berbagai inisiatif yang kami lihat sudah menerapkan konsep caring. Perusahaan ini adalah Starbucks.

Starbucks adalah perusahaan yang berhasil berkembang secara fenomenal semenjak diambil alih oleh Howard Schultz dari pendiri aslinya tahun 1987. Dengan visi membentuk konsep cafĂ© yang dilihatnya pada saat berkunjung ke Itali, sang entrepreneur ini lalu membesarkannya menjadi brand global yang menjadi “tempat ketiga” menikmati kopi, setelah rumah dan kantor. Pada puncak kejayaannya, di tahun 2007, Starbucks adalah perusahaan bernilai 10 miliar dollar US yang melayani 50 juta pelanggan tiap minggunya.

Mungkin karena melihat kesuksesan yang besar ini, pada tahun 2000, Howard Schultz merasa nyaman mengundurkan diri sebagai CEO dan berperan sebagai Chairman yang tidak lagi berkecimpung dalam keputusan sehari-hari Starbucks. Peranan CEO diserahkan kepada Orin Smith yang lalu dilanjutkan oleh Jim Donald sejak tahun 2005.

Pada saat Schultz turun, Starbucks memang sudah sukses besar dan memilik cabang di seluruh dunia. Namun penerusnya tidak puas dengan kebesaran itu dan semakin agresif melakukan pertumbuhan, terutama di luar negeri. Bahkan ada saatnya dimana dalam suatu lokasi, terdapat 2 atau lebih Starbucks yang saling berdekatan. Starbucks juga melakukan berbagai diversifikasi usaha, hingga ke produk ice cream, minuman dalam kemasan, dan bahkan label rekaman. Dengan ini, memang pertumbuhan penjualan dan kinerja finansial Starbucks menunjukkan angka yang semakin cemerlang. Starbucks mulai menjadi global powerhouse.

Tetapi dalam transformasinya ini, tampaknya Starbucks melupakan bagian paling penting dari kesuksesannya, yaitu customer. Dengan fokus pada pertumbuhan, Starbuck seakan melupakan ikatan emosional antara para barrista dengan pelanggan. Tapi ini bukannya karena Starbucks lupa dengan standard service-nya ataupun karena lalai dalam memperhatikan RATER, tapi koneksi personal dan horizontal dengan pelanggan mulai memudar.

Hal ini menjadikan Starbucks kehilangan diferensiasinya dengan kompetitor lain. Beberapa media bahkan membandingkannya dengan McDonalds dan Dunkin Donuts. Kedua kompetitornya itu memang memberikan standar layanan yang prima, sehingga jika Starbucks sekedar memberikan excellent service, tidak ada pembeda lagi dengan kompetitornya. Starbucks sebenarnya, sebelum pertumbuhannya yang agresif, pernah menerapkan caring yang menjadikannya unik.

Pada bulan Januari 2008, Schultz memutuskan untuk kembali menjadi CEO dan melakukan transformasi besar pada perusahaan yang menurutnya telah menjadi ”korporasi tak berjiwa”. Dia bertekad mengembalikan ”the Starbucks experience” yang memiliki fokus yang tajam terhadap konsumen. Schultz ingin ”menyalakan kembali ikatan emosional dengan customer” yang menurutnya bisa didapatkan dengan bekerja keras tiap hari untuk mendapatkan kepercayaan customer dan menjadikannya perusahaan yang dicintai.

Salah satu inisiatif yang dijalankan Starbucks untuk meningkatkan kembali ikatan emosional itu adalah dengan meluncurkan program My Starbucks Idea. Di bulan Maret 2008 diluncurkan sebuah situs web dimana para penggemarnya dapat membantu Starbucks dalam memperbaiki customer experience dengan memberikan ide dan menanggapi ide pelanggan lain. Lebih dari 200.000 vote diberikan pada bulan pertama. Salah satu ide awal yang akhirnya direalisasikan adalah ”splash stick”, sebuah alat yang mencegah tumpahnya kopi saat dibawa berjalan atau di dalam mobil. Inisiatif ini berhasil membentuk koneksi yang erat, terutama dengan penggemar paling fanatik dari Starbucks. Penggemar inilah yang diharapkan dapat berbicara pada orang lain dan menyarankan produk Starbucks pada komunitasnya.

Selanjutnya, dalam ”Howard Schultz Transformation Agenda Communication”, sebuah pesan pribadi yang ditulis kepada seluruh pegawainya tiap beberapa minggu, Schultz menyatakan bahwa Starbucks experience hanya dapat dicapai jika tiap pegawai menunjukkan respect dan dignity bagi pelanggan. Ini menunjukkan bahwa Starbucks tidak menjadikan customer sebagai raja, tapi sebagai pihak yang setara. Ini salah satu karakter caring yang pernah kami sebutkan sebelumnya.

Meskipun Schultz selalu berbicara tentang menjadikan customer sebagai pusat dari segala aktifitas perusahaan, dia tidak percaya pada customer survey. Saat mendapatkan saran untuk melakukan lebih banyak survey, Schultz akan menjawab: ”Kita bukan P&G”. Jika Schultz ingin mengetahui lebih banyak tentang customer, dia akan mendatangi sebuah toko. Hingga kini, Schultz masih mengunjungi 25 lokasi tiap minggunya.

Ini berarti Starbucks tidak selalu mengikuti apa yang ”diminta” oleh konsumen secara eksplisit melalui survey, tapi lebih percaya pada observasi yang dapat mengungkap apa yang sebenarnya diperlukan oleh customer.

Pada akhir tahun 2008, Starbucks menghentikan penjualan sandwich sarapan yang dihangatkan tiap paginya. Meskipun sebagian besar customer menyatakan bahwa mereka senang dengan produk tersebut, Schultz merasa bahwa aroma dari sandwich menganggu dengan aroma kopi yang menjadi ciri khas Starbucks. Tidak semua yang diminta oleh konsumen itu harus dipenuhi oleh perusahaan.

Sebuah kalimat dalam pesan pribadi Schultz mungkin dapat merangkum bagaimana perusahaan ini menjiwai care dalam bisnisnya. ”We are not in the coffee business serving people. We are in the people business serving coffee”.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Pelajaran "Caring" dari Mayo Clinic

Rabu, 28 Oktober 2009 | 09:20 WIB

KOMPAS.com - Dalam tulisan sebelumnya kami sudah berbicara mengenai perlunya kita mengubah cara berpikir tentang service atau pelayanan yang umum saat ini. Bahwa tak cukup sekedar fokus pada lima elemen ServQual, yaitu Reliabiliy, Assurance, Tangibles, Empanthy, dan Responsiveness, atau yang lebih dikenal dengan model RATER. Di era new wave ini, dimana dunia semakin horizontal, diperlukan konsep baru tertang service yang kami sebut sebagai caring.

Pertanyaan selanjutnya tentu adalah tentang bagaimana sebenarnya konsep caring ini bisa diterapkan dalam kondisi nyata suatu perusahaan. Dan apakah dengan caring suatu perusahaan benar benar dapat lebih unggul dibandingkan dengan menerapkan konsep service biasa. Untuk itu, dalam artikel ini kami akan membahas lebih dalam mengenai Mayo Clinic. Institusi medis ini menurut kami sudah mengimplementasikan beberapa elemen caring dalam praktek bisnis sehari-harinya.

Nama Mayo Clinic tentu tidak asing lagi bagi para penyedia layanan medis atau healthcare di dunia. Institusi ini secara konsisten selalu mendapat pengakuan sebagai salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Majalah US News and World Report tahun 2009 meletakkan Mayo Clinic pada peringkat #2 dalam daftar “America’s best hospitals”. Dalam sebuah survey tahun 2003 yang menanyakan penduduk Amerika Serikat tentang rumah sakit yang akan dipilih untuk kondisi serius, 18 persen menyatakan akan memilih Mayo Clinic. Ini lebih dari tiga kali lipat lebih besar dibandingkan institusi nomor dua yang disebutkan.

Namun kesuksesan Mayo Clinic ini tidak saja berdasarkan faktor umum yang ditemui di perusahaan lainnya. Institusi yang dirintis oleh William Worral Mayo bersama kedua anaknya sejak tahun 1889 ini telah berkembang menjadi rumah sakit yang menerapkan berbagai sistem dan metode yang unik dalam pelayanan pasiennya. Hal ini antara lain adalah pembayaran dokter berdasarkan sistem gaji tetap, bukan berdasarkan volume pasied yang ditangani. Serta budaya kerjasama yang memungkinkan komunikasi setara antara dokter senior dan junior.

Inilah yang menarik Professor Leonard L. Berry, hingga meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai pengajar di the Mays Business School, Texas A&M University, selama 5 bulan dari tahun 2001 hingga 2002 untuk menjadi visiting scientist di Mayo Clinic. Pengalamannya inipun dilanjutkan dengan melakukan ribuan wawancara dan penelitian tambahan dari tahun 2002 sampai 2006, hingga akhirnya menghasilkan buku berjudul “Management Lessons from Mayo Clinic” yang ditulisnya bersama Kent D. Seltman, mantan direktur marketing Mayo Clinic.

Yang ditemukan oleh Professor Berry sungguh menarik. Salah satunya adalah bagaimana core values Mayo Clinic, yaitu “The needs of he patient come first” bisa dipertahankan selama hampir satu abad sejak pertama kali di artikulasikan oleh William J. Mayo di tahun 1910. Bahkan konsep ini tidak pernah lupa diangkat setiap kali rapat manajemen perlu mengambil keputusan sehubungan dengan layanan pasien.

Ini tentunya sangat beda dengan slogan-slogan “customer first” yang dipergunakan banyak perusahaan untuk menunjukkan adanya layanan fokus pada konsumen. Sering kali slogan ini hanya berhenti di bagian pemasaran, dan tidak menjadi budaya perusahaan yang dijiwai oleh seluruh staff, mulai dari manajemen tertinggi, hingga petugas administrasi. Jadi terlihat bahwa budaya perusahaan itu adalah elemen yang sangat penting dalam menerapkan konsep caring ini.

Mayo Clinic juga tidak pernah berhenti berinovasi dalam memberikan pelayanan. Tapi fokusnya selalu pada kebutuhan pasien, yang tidak selalu sejalan dengan apa yang secara eksplisit diminta oleh pasien. Ini terlihat pada program inovasi Mayo Clinic yang diberi nama SPARC. Program ini, yang dijalankannya bersama IDEO, perusahaan design ternama di dunia, adalah singkatan dari See, Plan, Act, React, Communicate ini adalah upaya ambisius dari Mayo Clinic untuk merombak bagaimana layanan healthcare diberikan kepada pasien.

Yang menarik dari SPARC, setidaknya dari sudut pandang service adalah bahwa fokus utama adalah meningkatkan komunikasi antara dokter dan pasien. Mayo Clinic menyadari betul bahwa semakin pasien mengerti apa yang dihadapinya, layanan yang diberikan akan semakin berhasil, dan hasil perawatan medis akan maksimal. Jadi disini fokusnya adalah memberikan sesuatu yang paling relevan bagi konsumen, bukan sekedar melebihi ekspektasi konsumen.

Hal ketiga yang menarik adalah bagaimana Mayo Clinic benar-benar sadar kekuatan word of mouth. Tumbuh di Rochester, Minnesota, sebuah kota kecil di Amerika Serikat, Mayo Clinic sering disebut sebagai “a big brand from a little town”. Dengan lokasi yang tidak terkenal ini, tentu tidak mudah menarik pasien dari seluruh Amerika Serikat bahkan seluruh dunia.

Dengan budget advertising yang sangat kecil, dan tim marketing yang sebelumnya hanya terdiri atas satu orang (hingga tahun 1991), institusi ini tidak bisa mengandalkan kekuatan above the line promotion di media massa. Oleh sebab itu, sejak lama institusi ini sadar bahwa mereka harus mengubah customer menjadi marketer. Sehingga, seluruh staff diarahkan untuk dapat memberikan layanan yang “worth talking about”.

Seberapa kuatkan word of mouth yang mereka ciptakan? Survey yang dilakukan secara internal menunjukkan bahwa 95 persen dari pasien Mayo Clinic menyatakan bahwa akan secara sukarela menyampaikan hal-hal baik kepada orang lain. Dan tiap pasien menyatakan mereka akan berbicara dengan sekitar 45 orang lain.

Mayo Clinic tidak pernah fokus pada berbagai mekanisme ”lock-in” yang mungkin dapat mempersulit pasien untuk pindah ke institusi kesehatan lainnya. Bahkan salah satu model of care yang diterapkan di sana menyatakan secara eksplisit bahwa Mayo Clinic harus bekerja sama dengan dokter lokal dimana pasien tersebut mungkin akan melanjutkan perawatannya. Jelas bahwa bagi Mayo Clinic, rekomendasi yang diberikan oleh tiap pasien jauh lebih penting daripada apakah pasien itu kembali lagi atau tidak.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Resesi AS Diperkirakan Akan Berakhir

Rabu, 28 Oktober 2009 | 06:46 WIB

WASHINGTON, KOMPAS.com - Pernyataan bahwa resesi di AS sudah secara resmi berakhir tinggal menunggu waktu. Walaupun pernyataan itu sudah di depan mata, dampak-dampak dari resesi masih terus terasa, terutama pada sektor tenaga kerja.

Pemerintah AS akan mengeluarkan data pertumbuhan ekonomi hari Selasa (27/10) waktu setempat atau Rabu dini hari WIB. Diperkirakan, perekonomian telah bertumbuh positif sehingga secara resmi AS telah keluar dari resesi.

Resesi berarti pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua kuartal berturut-turut. Jika pertumbuhan sudah positif, pertanda bahwa resesi usai. Banyak ekonom memperkirakan produk domestik bruto (PDB) tahunan AS akan bertumbuh sekitar 3 persen pada kuartal ketiga ini.

Sayangnya, tingkat pengangguran masih sangat tinggi, sekitar 10 persen. Sekitar 15 juta orang AS masih menganggur, bisnis usaha kecil dan konsumen belum mendapatkan kucuran kredit, dan masih banyak sekali orang yang nilai rumahnya lebih rendah dari kredit mereka.

Walaupun secara teknis resesi mungkin telah berakhir, keadaan ekonomi masih tetap lemah. Mantan Presiden Ronald Reagan pernah menyatakan bahwa sebuah resesi terjadi jika tetangga Anda kehilangan pekerjaan dan depresi terjadi jika Anda yang kehilangan pekerjaan.

Survei

Sebuah survei ekonomi yang dilakukan oleh Blue Chip Economic Indicators, sebuah lembaga riset, memperkirakan pertumbuhan PDB akan tetap positif pada setiap kuartal hingga akhir tahun 2010. Adapun survei yang dibuat oleh Asosiasi Nasional Ekonom Bisnis menyatakan, 34 dari 43 ekonom menyatakan bahwa resesi akan berakhir.

”Dari sudut pandang teknis, tampaknya resesi akan segera berakhir,” ujar Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke.

”Sebuah resesi yang memperlihatkan pertanda belum akan berakhir pada Januari lalu tampaknya sudah pasti memasuki periode pemulihan,” ujar Christina Romer, Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih. (AP/joe)


Editor: jimbon

Sumber : Kompas Cetak

Tuesday, October 27, 2009

Matinya RATER?

Selasa, 27 Oktober 2009 | 20:11 WIB

KOMPAS.com - Tidak mungkin berbicara mengenai teori service tanpa berbicara mengenai ServQual. Framework analisis kualitas service ini adalah pegangan utama yang sering menjadi rujukan saat melakukan perancangan atau perubahan service dalam suatu perusahaan. Dalam ServQual – yang dikembangkan oleh Zeithaml, Parasuraman, dan Berry – ada lima aspek service quality yang perlu diperhatikan, yaitu Reliability, Assurance, Tangibles, Empathy, dan Responsiveness. Model ini lalu lebih dikenal dengan nama RATER.

RATER juga sering kali digunakan untuk pengukuran tingkat kualitas layanan yang diberikan dalam upaya memenuhi layanan yang diharapkan oleh konsumen. Dimana selanjutnya ditemukan, melalui penelitian, bahwa elemen-elemen tersebut dapat diurutkan dari yang paling berpengaruh pada kepuasan pelanggan, yaitu pertama Reliability, Responsiveness, Assurance, Empathy, dan terakhir baru Tangibles. Model yang sederhana ini banyak mempermudah analisa kualitatif dari kualitas pelayanan, sehingga sangat populer digunakan di berbagai industri untuk mencapai service excellence.

Tapi konsep service ini sebenarnya dikembangkan dua dekade yang lalu, di pertengahan tahun 80-an. Dan, seperti kita ketahui, sudah banyak terjadi perubahan di dunia sejak itu, termasuk dunia bisnis. Perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi telah mendorong dunia menjadi semakin horizontal. Komunikasi antar konsumen tidak lagi dapat dibatasi dan berlangsung secara real-time. Sudah saatnya kita merevisi cara pandang terhadap service. Mungkin service excellence sudah tidak cukup lagi.

Pemberian layanan konvensional terfokus bagaimana perusahaan bisa meningkatkan kinerja dari tiap elemen RATER yang diberikan kepada konsumen. Dalam konsep ini, service bersifat vertikal, dengan perusahaan sebagai pemberi layanan, dan konsumen sebagai penerima layanan. Dengan pemikiran seperti ini, konsumen akan selalu dilihat sebagai obyek layanan.

Dalam dunia yang semakin horizontal ini, tidak cukup konsumen dijadikan obyek service. Tiap individu harus diperlakukan sebagai subyek yang turut menentukan jenis layanan yang diperlukannya. Di sini, suatu layanan yang menurut model RATER adalah yang terbaik, belum tentu sepenuhnya sesuai dengan keperluan konsumen. Sehingga elemen customer involvement menjadi salah satu komponen pelayanan yang sangat penting.

Sebagai contoh, Mayo Clinic, salah satu institusi medis paling dihargai di dunia, selalu fokus pada pemberian perawatan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan pasien. Dengan sistem remunerasi yang tidak memberikan insentif lebih untuk dokter yang lebih banyak melakukan tindakan medis, maka pasien terhindar dari pemberian obat atau perawatan yang tidak diperlukan. Dalam institusi ini, dokter juga tidak ragu untuk menyerahkan pasiennya kepada dokter lain jika hal itu adalah yang terbaik bagi pasiennya.

Tentunya, dalam hal ini, untuk dapat mengerti betul kebutuhan pasien, selain melalui diagnosa, komunikasi yang intens antara dokter dan pasien adalah syarat mutlak. Itulah sebabnya tiap pasien diberi alokasi waktu konsultasi dengan dokter yang lebih lama. Dan tiap dokter tidak akan ragu menjawab semua pertanyaan pasien. Di sini, pasien diperlakukan setara, tidak diremehkan oleh dokter, seperti sering terjadi di banyak institusi kesehatan.

The needs of he patient come first” itulah motto dari Mayo Clinic. Yang menarik di sini adalah penggunaan kata “need” bukannya “want”. Karena yang penting adalah apa yang dibutuhkan oleh pasien, bukan apa yang diminta. Dalam hal ini, konsumen tidak selalu adalah ”raja” seperti yang sering didengungkan perusahaan-perusahaan yang fokus pada pelanggan.

Inilah yang dalam new wave marketing disebut sebagai Caring. Ini bukan sekedar service dengan nama yang berbeda, tapi ada perbedaan fundamental antara keduanya. Yang pertama, seperti disebutkan sebelumnya, adalah fokusnya pada “kebutuhan” konsumen, bukan “permintaan” mereka.

Perbedaan kedua adalah mengenai bagaimana pelaksanaannya. Kalau dalam service, perusahaan diharapkan untuk melebihi ekspektasi pelanggan, dalam care fokusnya adalah memberikan layanan yang paling relevan dengan kebutuhan dan hasrat konsumen. Ini akan menciptakan efek “Wow”, yang menjadikan konsumen benar benar merasa terbantu oleh perusahaan.

Terakhir adalah mengenai pengukuran keberhasilan. Service sering kali dikaitkan dengan tingkat re-purchase. Sejauh mana konsumen akan tetap menjadi pelanggan, dan membeli lebih sering atau lebih banyak dari perusahaan. Caring lebih fokus pada memberikan yang terbaik bagi konsumen sehingga mereka menjadi konsumen yang antusias sehingga dengan sukarela merekomendasikan perusahaan tersebut ke orang lain. Di sini, rekomendasi jauh lebih penting dari repeat buying.

Ini tentunya tidak berarti bahwa RATER tidak lagi berguna. Model ini masih sangat baik digunakan untuk analisa umum terhadap kualitas layanan. Namun di era new wave, konsep ini tidaklah cukup. Perusahaan harus mulai menerapkan konsep caring, yang kami percayai sebagai salah satu faktor kunci dalam persaingan di lanskap bisnis yang semakin horizontal.

Apakah perusahaan anda siap?


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Membangun Karakter Petani Kopi

Selasa, 27 Oktober 2009 | 18:18 WIB

KOMPAS.com - Jika mendengar nama negara Kolombia, akan terlintas di dalam benak Anda mengenai banyak hal. Bisa tentang Pablo Escobar, bisa pula mengenai beberapa pemain sepakbola terkenal seperti Rene Higuita dan Faustino Asprilla. Selama ini image orang tentang Kolombia memang banyak terpusat di kedua hal tersebut; negaranya gembong kartel narkoba atau tim sepakbola yang lumayan dari kawasan Amerika Selatan. Untungnya mereka punya Shakira, penyanyi pop kelas dunia yang membawa nama negara tersebut menjadi harum belakangan ini.

Terlepas dari Escobar, Higuita, atau Shakira, ada satu ikon lagi dari Kolombia yang terkenal. Siapa dia? Juan Valdez. Karakter fiksional ini tentunya tak lagi asing bagi Anda yang suka kopi. Sejak tahun 1959, Juan Valdez sudah menjadi bintang iklannya Federasi Petani Kopi Nasional di Kolombia, yang merepresentasikan petani kopi asal negara tersebut.

Karakter ini muncul pertama kali lewat iklan yang dibuat oleh biro iklan DDB, yang mana konsep kreatifnya bertujuan untuk membedakan kopi asli 100 persen dari Kolumbia dengan kopi dari negara lain.

Selama beberapa dasawarsa belakangan, karakter Juan Valdez dilakonkan oleh beberapa petani kopi asli asal Kolumbia, mulai dari Jose F Duval, Carlos Sanzhez, sampai Carlos Castaneda.

Menjual karakter Juan Valdez menjadi langkah branding yang sangat cerdas buat Kolombia karena pada akhirnya ia dapat menjelaskan secara horisontal hal-hal apa saja yang membuat kopi dari negara tersebut menjadi otentik, apa yang membedakannya dengan kopi dari negara tetangga seperti Brazil, dan juga sekaligus untuk mengedukasi konsumen tentang kenapa harus minum kopi kolumbia.

Juan Valdez harus diakui sangat berperan dalam menjual label ”100 persen Colombia Coffee” sebagai global brand. Dan semua itu dilakukan oleh pendekatan yang sifatnya character-building ketimbang brand-building semata. Kalau langkahnya bertujuan untuk sekedar pembentukan branding, pasti yang dilakukan bukan malah lewat Juan Valdez melainkan artis pop atau selebritis terkenal lainnya. Namun dalam hal ini yang dilakukan adalah lewat pembentukan karakter, melalui orang yang otentik, memang petani betulan yang tidak dibuat-buat dan 100 persen asli.

Langkah Kolombia dalam menjual karakter ketimbang brand kopi-nya adalah langkah yang sangat cerdas. Bahkan sampai-sampai beberapa pemerhati pemasaran mengatakan bahwa ”Kalau ada satu hal yang dapat dibanggakan oleh Kolombia, maka itu adalah Juan Valdez.”

Juan Valdez membuat kopi Kolombia sukses karena karakternya yang rendah hati dan berdedikasi tinggi dalam bertani, menyentuh orang-orang secara emosional karena memang terasa sangat otentik. Dengan gayanya yang humanis, Juan Valdez juga dapat menyentuh dasar kebenaran seorang manusia yang paling dalam. Di saat orang-orang merasa malas dijejali oleh berbagai aksi promosi dari pemasar, langkah pembentukan karakter seperti ini menjadi lebih diterima karena ia terkesan membawa otentisitas yang jelas betul-betul unik dan beda.

Karakter yang selama ini kita lihat seperti Juan Valdez, Ronald McDonald, Michellin Man, Colonel Sanders, dan sebagainya, pada dasarnya tidak hanya berguna untuk menggambarkan sesuatu yang konsisten dan utuh, tapi mereka pula dapat mengkonek dan mengedukasi audiens lebih mudah. Sebuah brand yang disimbolkan oleh logo dan dibentuk lewat iklan yang vertikal pada dasarnya adalah langkah yang semakin superficial dan sifatnya seperti kosmetik semata. Beda halnya dengan karakter, yang lebih otentik dan lebih dalam dapat merasuk ke jiwa pelanggan.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Brand with Character

Selasa, 27 Oktober 2009 | 08:09 WIB

KOMPAS.com - Dulu istilah brand dianggap lebih suci dibanding marketing. Brand rasanya lebih abstrak, agung, dan magis. Tapi, belakangan istilah brand juga sudah mulai dianggap negatif. Ada yang berpikir branding adalah kegiatan menghias diri dan mengosmetikan sesuatu.

Konsep dasar dari peralihan segitiga PDB (brand-positioning-differentiation) menuju Tripple C (character-clarification-codification) mengacu pada pola pikir new wave di mana ’kebohongan; tidak dapat lagi dilakukan di era yang serba transparan dan saling terhubung. Pertama, Anda tidak lagi bisa bohong, karena informasi benar atau salah mudah didapat. Kedua, konsekuensi dari berbohong semakin parah, nila setitik rusak susu sebelangga.

Di era New Wave, Brand adalah Karakter. Karakter ini adalah isi sesungguhnya (‘the true self’) dari Anda sedangkan brand adalah ‘the cover’ atau bungkus. Contoh yang paling gampang, entitas dengan karakter yang playful dan free thinking seperti Google, MTV, Nickelodeon, W Hotels, Absolut, dan sebagainya tidak membatasi diri pada brand tertentu. Selama jiwa mereka tetap konsisten, brand atau bungkusnya itu bisa saja diubah-ubah. Toh logo-logo mereka terus berganti-ganti. Bahkan jika Anda ke goglogo.com, Anda bisa mengganti logo Google dengan (misalnya) Gogon, dan itu akan terlihat bukan seperti Gogon, tapi melainkan jiwanya Google.

Bahkan perubahan brand seperti ini sering dinantikan oleh para pelanggan mereka. Karena seperti yang dikatakan oleh Valentino Rossi dalam satu iklan “it’s exciting!” Tapi berubah seperti apapun, pelanggan tetap dapat merasakan seperti apa karakter sebenarnya. Itu dia kenapa di dalam bahasan Tripple C dikatakan bahwa brand harus menjelma menjadi karakter yang berkarisma, sebuah karakter yang konsisten akan menjadi karismatik dan memancarkan aura.

Di era New Wave, positioning adalah pengklarifikasian persona Anda. Pola pikir sebelumnya adalah di dalam positioning, kita didorong untuk mengucapkan janji. Karena positioning adalah bagaimana kita memposisikan diri kita kepada konsumen dan janji tersebut kelak akan ditagih oleh sang konsumen. Di dalam clarification, yang penting bukan janjinya, tapi siapa Anda sesungguhnya.

Diferensiasi menjadi kodifikasi dari DNA yang sangat otentik. Konsep diferensiasi biasanya berlandaskan pemikiran bahwa lebih baik jadi sedikit beda dari pada sedikit lebih baik. Dengan demikian harapannya adalah keunikan yang kita miliki akan membawa kita tampil beda diantara yang lain. Hal ini biasanya mendorong perilaku asal beda dari para pemasar, dan diferensiasi yang dijalankan terkadang bersifat tempelan semata.

Dalam konsep codification of DNA, perbedaan yang diharapkan harus bersifat lebih otentik. Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, harus berdasarkan orisinalitas. Kita adalah pencipta konsep perbedaan tersebut, bukan meniru keunikan yang dimiliki orang lain. Kedua, memiliki komitmen dan kontinuitas dalam menjalankannya, tidak setengah hati atau coba-coba. Ketiga, adalah benar-benar dipercaya dan diyakini oleh yang menjalankannya, bukan hanya berpura-pura.

Perbedaan yang otentik tersebut dapat diandaikan sebagai kode DNA. Tidak ada manusia yang pernah sama kode DNA-nya bukan? Kemungkinan hanya satu dibanding sekian miliar. Maka dari itu bagaikan kode DNA yang betul-betul unik, maka perbedaan yang relevan di dunia new wave adalah perbedaan yang benar-benar otentik. DNA harus dapat dikodifikasi atau ditata-ulang, asalkan sejalan dengan prinsip-prinsip keotentikan tadi.

Di era New Wave seperti sekarang, konsumen harus bisa mengetahui isi Anda yang sebenar-benarnya. The True You! Apa yang diterima di luar, harus sejalan dengan apa yang ada di dalam. Perusahaan-perusahaan yang sudah di bahas sebelumnya dalam artikel serial New Wave ini, mulai dari Google, Facebook, Harley Davidson, Body Shop, Ducati, sampai Nutella, adalah perusahaan yang ’walk the talk.’ Artinya langkah pemasaran mereka yang wah bukan saja karena brandingnya, tapi karena karakternya yang solid didukung oleh nilai-nilai otentisitas yang mengakar dari dalam ke luar.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Monday, October 26, 2009

Rekomendasi dalam Sepotong Pizza

Senin, 26 Oktober 2009 | 15:49 WIB

KOMPAS.com - Jika ada teman yang meminta Anda untuk membantunya mengangkat barang ke dalam mobil, imbalan mana yang lebih Anda sukai: satu loyang pizza atau uang senilai satu loyang pizza? Ini bukan pertanyaan iseng. Heyman dan Ariely, dua orang pakar perilaku, sengaja membahas hal tersebut dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh jurnal Psychological Science.

Ternyata, mereka yang “diupah” dengan pizza justru memberikan bantuan secara lebih sungguh-sungguh dibandingkan yang diberi imbalan uang. Meskipun secara nominal nilai pizza dan uang tersebut sama, tapi efeknya ternyata berbeda. Kenapa bisa seperti itu?

Dua barang tersebut, pizza dan uang, mewakili dua skenario yang berbeda. Jika Anda membantu teman dengan imbalan uang, maka transaksi yang terjadi berada dalam lingkaran “monetary market”. Sedangkan jika pizza yang dijadikan imbalan, inilah yang disebut “social market”.

Sederhananya, imbalan berupa uang menjadikan hubungan Anda dan teman Anda layaknya sebuah transaksi bisnis. Sebaliknya, imbalan berupa hadiah menjadikan bantuan yang diberikan tetap dalam spirit persahabatan. Dan ternyata, dalam kasus ini motif sosial justru bisa memberikan motivasi yang lebih besar dibandingkan motif ekonomi.

Barangkali tantangan terbesar bagi salesman dalam ”commercializing” the network adalah cara mendapatkan rekomendasi dari anggota network-nya. Bisa jadi kita kenal banyak orang, namun berapa persen yang mau merekomendasikan kita (dan produk yang kita jual) kepada kolega dan rekan-rekannya?

Topik mengenai referral (rekomendasi), word-of-mouth (obrolan dari mulut ke mulut), serta fenomena sejenisnya memang masih menjadi kajian hangat di kalangan marketer hingga saat ini. Hasil penelitian yang diungkap di awal tulisan ini kemudian menjadi dasar hipotesa bahwa word-of-mouth yang dilakukan secara sukarela akan berjalan lebih mulus dalam skenario “social market”.

Artinya, untuk mendorong pelanggan agar mau merekomendasikan produk kita, insentif tetap diperlukan. Namun pelanggan akan lebih antusias untuk memberikan rekomendasi jika imbalan, atau lebih tepatnya disebut “hadiah”, diberikan dalam konteks pertemanan, bukan bisnis.

Hadiah ini pun tidak semata-mata berwujud material. BzzAgents, sebuah konsultan marketing yang memiliki spesialisasi unik sebagai penyedia sukarelawan penyebar word-of-mouth menemukan bahwa hanya ¼ dari sukarelawannya yang bersedia menerima reward sebagai imbalan atas partisipasinya. Sisanya menganggap bahwa keterlibatan mereka dalam aktifitas gethok tular tersebut sudah merupakan reward tersendiri.

Ada yang merasa bahwa saat dia merekomendasikan suatu produk kepada teman atau kerabatnya, berarti dia sedang membantu mereka menemukan solusi atas permasalahannya. Mereka memang tidak asal-asalan dalam memberikan rekomendasi. Ya, karena memang sukarelawan-sukarelawan ini boleh menolak untuk merekomendasikan suatu produk yang menurut mereka tidak layak.

Di era New Wave, karakter menjadi asset yang penting karena ketika Anda terjun dalam network, yang Anda hadapi adalah komunitas sosial. Dan salah satu pilar karakter yang penting untuk dimiliki dalam ”pasar” semacam ini adalah kepercayaan (trust). Tak mungkin mereka akan memberikan rekomendasi agar orang lain mendatangi Anda untuk menemukan solusi atas kebutuhannya, jika kepercayaan itu tidak ada.

Kepercayaan sendiri akan terbangun jika Anda konsisten setidaknya dalam dua hal. Pertama, konsisten dalam menunjukkan kemampuan menyelesaikan permasalahan pelanggan. Dan kedua, konsisten menebarkan reward dalam network (social market) Anda. Tak selalu harus bermodalkan hadiah yang ”wah”. Barangkali, cukup dengan sepotong pizza rasa persahabatan.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Networking yang "Cerdas"

Senin, 26 Oktober 2009 | 09:20 WIB

KOMPAS.com - Salesman manapun pasti tahu bahwa networking penting dalam penjualan. “Semakin banyak orang yang kita kenal, semakin banyak prospek yang bisa kita dapatkan, dan akhirnya, semakin besar penjualan yang bisa dihasilkan“, demikian kurang lebih “kepercayaan” yang beredar di kalangan praktisi penjualan.

Hati-hatilah, karena “kepercayaan” di atas tidak selalu benar! Meskipun tidak sepenuhnya salah, paradigma “the more contacts you have, the more sales you’ll make” cenderung terlalu menyederhanakan masalah. Kenapa bisa seperti itu? Ya, karena network ada banyak ragamnya. Network yang berbeda seringkali memainkan “peran” yang berbeda pula dalam mendukung proses penjualan.

Dan ingat, mengelola network pun ada cost-nya, baik berupa uang, waktu, maupun tenaga. Di era new wave seperti sekarang, networking pun harus bisa low-budget high impact. Itu baru networking yang cerdas.

Tuba Ustuner dan David Godes dalam sebuah artikelnya di Harvard Business Review memetakan secara apik jenis-jenis network yang relevan dengan tiap tahapan proses penjualan.

Pertama, adalah market place network. Dalam tahapan awal penjualan, “pe el” (pekerjaan lapangan) utama para salesman adalah menemukan prospek yang potensial. Network yang pas untuk tahapan ini adalah yang bisa mendekatkan salesman dengan sebanyak mungkin calon pelanggan.

Salesman Arrow Electronic, sebuah perusahaan komponen elektronik yang masuk dalam daftar Fortune 500, punya cara unik untuk mendapatkan prospek lewat networking. Pelanggan di industri ini cenderung melakukan order saat mereka mulai melakukan pengembangan produk baru. Masalahnya, informasi semacam ini cenderung ditutup rapat agar tidak bocor ke kompetitor. Sehingga agak sulit untuk mengorek informasi langsung dari orang dalam.

Untunglah para salesman Arrow kreatif mencari informasi dari sumber ”non-tradisional”. Siapa mereka? Mereka adalah agen-agen real estate yang biasa berurusan dengan perusahaan-perusahaan yang ingin memperluas kantor atau menyewa lahan baru untuk proses produksi, dua aktifitas yang lazim dilakukan sebagai persiapan sebelum mulai pengembangan produk baru. Networking yang dijalin dengan agen-agen ini menjadikan salesman Arrow mendapatkan informasi prospek baru lebih update dibandingkan kompetitor.

Networking yang cerdas juga bisa dipraktekkan di antara tim penjualan dari dua produk yang saling melengkapi (komplementer) karena jenis pelanggan yang ditarget sama. Misalnya saja salesman produk semen dengan salesman produk cat yang sama-sama menyasar proyek-proyek properti. Dua salesman ini bisa menjalin ”simbiosis mutualisme” dengan tukar-menukar informasi prospek baru.

Jenis network yang kedua adalah prospect company network. Saat prospek sudah didapatkan, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan pendekatan untuk mendapatkan buy-in dari pelanggan. Jika Anda adalah salesman di industri B2B (business-to-business) maka tak cukup hanya mengenal bagian purchasing saja. Kenali dan bangun networking dengan orang-orang lain di dalam organisasi pelanggan.

Coba dekati user (pihak yang nanti akan memakai produk Anda), technical buyer (pihak yang mengawasi spesifikasi produk), dan tentu saja decision maker yang berwenang untuk “mengetok palu” penjualan. Semakin kuat networking yang Anda bangun, akan semakin mudah bagi Anda diterima pelanggan.

Ketiga adalah internal network. Ini adalah network di antara sesama rekan-rekan satu perusahaan. Jangan meremehkan network semacam ini, terutama jika produk/solusi yang Anda tawarkan cenderung kompleks. Untuk merumuskan solusi yang customized bagi pelanggan, tentu Anda tidak bisa bekerja sendiri. Butuh masukan dari tim teknis yang lebih paham dengan seluk-beluk produk.

Bukankah Anda pun akan lebih percaya diri saat presentasi di depan klien jika sebelumnya sudah mendapatkan briefing dari tim product specialist?

Perusahaan yang memahami pentingnya internal network semacam ini bahkan tak segan-segan untuk campur tangan. Tim salesman dimanjakan agar tidak perlu repot-repot mencari expert yang tepat saat menyusun proposal penjualan. Fasilitas diberikan oleh perusahaan, mulai dari yang sifatnya teknis (misalnya intranet yang memudahkan komunikasi internal) hingga struktural (misalnya tim ad hoc yang khusus dibentuk untuk mendukung sang salesman).

Keempat adalah customer network. Ini adalah network yang terdiri dari para pelanggan-pelanggan loyal kita. Bahasa lainnya adalah komunitas pelanggan. Contohnya adalah komunitas-komunitas otomotif yang banyak menjamur di ibu kota. Dengan inisiatif sendiri mereka saling berkumpul untuk tukar-menukar informasi atau sekedar berbagi perasaan.

Network yang terjalin di antara sesama pelanggan setia tadi tidak hanya berimbas secara positif pada loyalitas pelanggan lama. Kita pun bisa memanfaatkannya untuk membantu proses sales closing atas pelanggan baru.

Dengan mengundang hot prospect untuk hadir dalam gathering yang diselenggarakan komunitas ini, mereka bisa mendapatkan referensi langsung dari para pelanggan yang telah terpuaskan. Dan ujung-ujungnya, penjualan lebih mudah didapatkan.

Setelah memahami jenis-jenis network berikut peranannya dalam proses penjualan, Anda akan bisa mengalokasikan resource secara lebih efektif. Dan tentu saja, jangan lupa untuk terus mengoptimalkan connector yang tersedia, sehingga networking Anda bisa mobile, experiential, serta social!


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Sunday, October 25, 2009

Investasi & Keuangan: Tahapan Kemandirian Finansial

Minggu, 25 Oktober 2009 | 03:06 WIB


Elvyn G Masassya - praktisi keuangan

Sebagian besar orang beranggapan kemandirian finansial adalah situasi di mana yang bersangkutan tidak memiliki ketergantungan lagi dengan uang. Uang tidak perlu lagi dicari karena yang dimiliki sudah sangat banyak dan uang tersebut dalam keadaan ”mampu menciptakan uang”.

Untuk mencapai kondisi puncak di atas ada anak tangga yang mesti didaki. Ringkasnya, kemandirian finansial memiliki tahapan yang mesti dilewati untuk bisa mencapai puncak.

Tahapan pertama menuju kemandirian finansial ada pada diri sendiri, apakah mampu memandirikan logika di atas perasaan; mengatasi keinginan bersikap konsumtif, berinvestasi dengan harapan untung besar tanpa memikirkan risiko, atau berbelanja tanpa melihat kemampuan finansial. Konkretnya, jika belum bisa memandirikan logika dari pengaruh perasaan, maka relatif akan sangat sulit mandiri secara finansial.

Jadi, anak tangga pertama menuju kemandirian finansial tidak lain adalah membebaskan diri dari keinginan yang bersumber dari pengaruh perasaan dan pengaruh orang lain atau lingkungan. Contoh paling konkret adalah jika Anda bermain saham dan atau membeli berbagai produk investasi lain. Kalau keputusan Anda semata-mata didorong pengaruh bujukan penjual kepada Anda, maka Anda sebenarnya belum mampu melewati anak tangga pertama.

Tahap kedua, melepaskan diri dari ketergantungan finansial pada tahap paling mendasar. Artinya, Anda sudah memiliki penghasilan, bisa bersumber dari gaji jika Anda seorang karyawan atau pendapatan sebagai pengusaha maupun profesional.

Penghasilan tersebut bisa disebut anak tangga kedua jika nilainya lebih besar dari kebutuhan pengeluaran paling dasar, yakni sandang, papan, dan pangan. Meskipun mungkin ketergantungan Anda terhadap gaji maupun penghasilan lain sangat besar, tetapi yang lebih penting Anda tidak perlu pinjam sana-sini untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Jika Anda masih terjebak berbagai utang yang tidak jelas, termasuk penggunaan kartu kredit yang terus menimbulkan defisit dalam arus kas Anda, maka Anda belum melewati tahap kedua kemandirian finansial. Karena itu, PR Anda adalah bebaskan diri dulu dari semua jerat utang dan ketergantungan terhadap pihak lain, di luar penghasilan resmi Anda.

Tahapan ketiga, kemampuan membuat perencanaan keuangan yang kemudian dijalani disiplin dan konsisten. Umpamakan, Anda sudah tidak mudah lagi dipengaruhi perasaan atau pihak lain dalam tindakan finansial Anda. Semua itu belum berarti apa-apa jika Anda tidak tahu ke mana hendak menuju. Kemandirian finansial adalah tujuan sekaligus akibat kemampuan Anda mendaki. Karena ia berupa tujuan, tentunya tujuan tersebut mesti jelas arahnya. Dengan kata lain, Anda mesti tahu sejak dini, kemandirian finansial seperti apa yang Anda inginkan.

Usia pensiun

Sebutlah kemandirian finansial yang diinginkan adalah saat memasuki usia pensiun yang bisa Anda tentukan sendiri. Pengertian usia pensiun di sini adalah ketika Anda tak perlu lagi memikirkan soal uang sebagai dampak kegiatan Anda.

Bukan berarti Anda tidak perlu bekerja atau melakukan kegiatan yang Anda sukai. Anda bisa bekerja jika Anda mau atau melakukan kegiatan sosial. Yang terpenting motif Anda tidak lagi soal uang, melainkan lebih pada kesenangan, yang membuat Anda tetap merasa hidup atau ingin lebih menikmati hidup.

Nah, jika hal itu yang menjadi tujuan keuangan Anda, maka ketika usia tersebut tiba Anda mestinya tidak lagi memikirkan uang untuk membiayai hidup. Seperti dipaparkan di atas, uang Anda bisa sangat banyak (relatif) atau uang Anda sudah mampu menghasilkan uang. Karena itu, Anda sendiri yang mesti mendefinisikan berapa banyak uang yang pas untuk membiayai kegiatan Anda tanpa perlu dicari lagi uangnya.

Anak tangga terakhir menuju kemandirian finansial adalah anak tangga implementasi perencanaan keuangan. Pada tahap ini, semua yang Anda lakukan adalah agar Anda bisa berada pada puncak kemandirian finansial. Oleh karena itu, jangan sekali-kali kembali pada anak tangga kedua, apalagi pertama, di mana kegiatan Anda masih banyak dipengaruhi orang lain ataupun perasaan. Kata kuncinya, konsisten pada tujuan keuangan yang telah dirancang dan yakin Anda bisa mengimplementasikannya.

Beberapa contoh yang bisa Anda pertimbangkan pada fase ini adalah mengkaji kembali kondisi finansial Anda, lalu hitung berapa banyak uang atau aset Anda butuhkan, kemudian aset dan uang itu bekerja untuk Anda ketika memasuki usia pensiun.

Langkah berikut, jika Anda memiliki banyak aset tidak produktif, maka aset tersebut mesti dikonversi menjadi aset produktif. Ini menjadi penting sebab besarnya aset belum tentu mendukung Anda, tetapi malah bisa jadi beban karena jika tidak produktif hanya akan menimbulkan biaya. Tentang ini sudah banyak dibahas pada tulisan terdahulu.

Selamat mencoba.

KOMPAS

- Muhammad Idham Azhari

Wednesday, October 21, 2009

Selling is Commercialization

Rabu, 21 Oktober 2009 | 08:14 WIB

KOMPAS.com - Coba Anda amati iklan-iklan lowongan kerja untuk posisi salesman. Sebagian besar umumnya mencantumkan satu syarat standar: memiliki kendaraan sendiri. Ya, salesman memang dituntut untuk memiliki mobilitas tinggi secara fisik karena banyaknya "aktifitas lapangan" yang harus mereka lakukan. Mulai dari berburu prospek baru, melakukan presentasi kepada calon pelanggan, negosiasi untuk penentuan harga, hingga kunjungan rutin sekedar untuk menjaga hubungan.

Namun ada asset lain yang jauh lebih penting dibandingkan kendaraan, yang secara alamiah setiap salesman, bahkan setiap orang, sebenarnya sudah memilikinya. Tidak tanggung-tanggung, jika dihitung rata-rata kita bahkan memiliki 250 asset tersebut.

Apa itu? Asset yang kami maksud adalah orang-orang di sekitar kita (keluarga, teman, tetangga, dan sebagainya) yang secara emosional memiliki kedekatan dengan kita. Bagi salesman, mereka inilah sebenarnya orang-orang yang paling mungkin untuk didatangi pertama kali, dikirimi brosur, ditawari produk, hingga akhirnya menjadi pembeli.

Itulah yang dikenal dengan "Hukum Girard 250". Bagi Anda yang sudah lama mendalami dunia sales, terutama di industri otomotif, tentu tidak asing dengan nama Joe Girard. Laki-laki inilah yang mendapatkan gelar prestisius sebagai The World's Greatest Salesman dari Guinness Book of Record, sebuah rekor yang sampai sekarang belum ada yang berhasil memecahkan.

Prestasi penjualan Girard memang luar biasa. Saat menjadi salesman Chevrolet di Detroit dari tahun 1963-1978, Girard berhasil menjual tidak kurang dari 13.000 unit mobil. Artinya, dia bisa menjual sekitar 6 mobil perhari! Bandingkan dengan kolega-koleganya sesama salesman mobil yang rata-rata hanya bisa menjual 3 mobil per bulan!

Salah satu kunci kesuksesannya adalah kemampuannya dalam membangun network yang efektif. Dan menurutnya, network itu dibangun dari orang-orang yang paling dekat dengan kita, yang berjumlah 250 orang itu. Angka 250 ini didasari dari pengamatan Girard atas rata-rata jumlah pelayat yang menghantarkan jenazah seseorang dalam proses pemakaman. "Modal awal" 250 orang inilah yang selanjutnya perlu dikembangkan untuk membangun network yang lebih luas lagi.

Konsep serupa juga telah mulai diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sebagai contoh, sebuah perusahaan produk keuangan membagi target pelanggannya dalam beberapa ring. Ring level 1 adalah kerabat dan teman dari sang salesman. Mereka inilah target yang harus pertama didekati. Kerabat dan teman dari salesman ini tentu juga memiliki kerabat dan teman juga yang disebut ring 2. Salesman dapat mendekati target di ring 2 ini dengan bantuan dari kerabat dan temannya di ring 1. Demikian seterusnya hingga terbentuk network yang lebih luas.

Di era new wave, pemanfaatan network dalam proses penjualan menjadi semakin penting, sekaligus semakin mudah.

Kami katakan semakin penting karena di era ini peran rekomendasi menjadi semakin powerful. Iklan yang jor-joran terbukti tidak seampuh dulu lagi dalam mempengaruhi pilihan pelanggan. Rekomendasi dari pelanggan lain ternyata jauh lebih dipercaya dibandingkan iklan-iklan di berbagai media. Inilah salah satu temuan penting dari riset pelanggan yang dilakukan berbagai lembaga seperti Nielsen, Edelman, dan Forester. Dan rekomendasi akan lebih mudah mengalir melalui channel yang bernama network.

Kami katakan semakin mudah karena di era new wave ini segala sesuatu lebih terhubung satu sama lain (connected). Adanya connector yang bersifat mobile (misal handphone), experiential (beragam event yang disponsori oleh perusahaan ataupun inisiatif dari pelanggan sendiri), serta social (komunitas online maupun offline), memberikan banyak kemudahan bagi salesman untuk membangun network penjualan.

Joe Girard dikenal memiliki satu kebiasaan unik, yaitu mengirimkan surat ucapan secara rutin kepada seluruh pelanggannya setiap bulan. Dan isi suratnya pun berbeda-beda, tergantung "topik" yang relevan dengan pelanggan.

Jika dalam database Anda hanya ada puluhan nama pelanggan, mungkin aktifitas yang dilakukan Girard tidak terlalu merepotkan. Namun bayangkan jika Anda menjual produk retail dengan pelanggan yang mencapai angka ratusan, tentu menulis customized letter satu per satu tiap bulan bukan suatu hal yang mudah dilakukan secara konsisten. Belum lagi jika Anda juga harus membangun network dengan ring 2 di sekeliling pelanggan. Tentu sangat merepotkan.

Namun dengan adanya connector yang telah kami sebutkan di atas, apa yang dilakukan oleh Joe Girard menjadi lebih "masuk akal" untuk ditiru. Artinya, meski tetap menuntut konsistensi dan ketekunan, menjalin komunikasi rutin dengan pelanggan dan network di sekelilingnya jauh lebih mudah bagi kita sekarang, dibandingkan era tahun 70-an saat Girard mengukir karir emasnya sebagai salesman.

Jadi setidaknya ada dua kompetensi utama yang harus dimiliki oleh seorang salesman di era new wave ini. Pertama kemampuan untuk memetakan dan membangun network yang efektif dalam mendukung proses penjualan (mapping and building effective network). Dan yang kedua, mengoptimalkan network tersebut untuk mendapatkan penjualan melalui rekomendasi ("commercializing" the network). Dua hal ini akan coba kami jelaskan dalam dua tulisan berikutnya.

Untuk mempertegas pentingnya dua kompetensi tersebut, maka terminologi selling perlu kita ubah menjadi commercialization. Dan jika saat ini Anda sedang berpikir untuk mencari tenaga penjualan baru, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan saat memasang iklan. Pertama, jangan hanya mensyaratkan punya kendaraan, tapi tegaskan juga bahwa kandidat tersebut harus memiliki sekian network atau aktif di sekian komunitas. Dan yang kedua, mungkin Anda juga harus mengganti "judul" iklannya menjadi: Dicari, seorang commercial executive.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Tuesday, October 20, 2009

Berbincang Ketimbang Promosi

Selasa, 20 Oktober 2009 | 16:38 WIB

KOMPAS.com - Di dalam dunia Legacy, promosi secara garis besar bertujuan untuk menginformasikan, membujuk dan untuk mengingatkan pelanggan untuk membeli produk kita. Promosi bisa dipakai untuk menginformasikan produk baru, perubahan harga, dan sebagainya. Promosi juga bisa dipakai untuk membujuk pelanggan untuk membeli sekarang juga atau supaya pelanggan melakukan brand switching. Promosi sering juga digunakan untuk mempertahankan brand awareness, mengingatkan pelanggan di mana harus membeli produk, dan sebagainya.

Secara konsep, promosi terdiri dari lima elemen yang umum disebut sebagai marketing communications-mix, yang termasuk diantaranya iklan, public relations, personal selling, direct marketing dan sales promotion.

Di dalam era legacy, promosi didominasi oleh iklan di media konvensional seperti televisi yang memang dapat menjangkau masyarakat secara luas dalam waktu cepat. Tapi untuk beriklan di Televisi, tentunya Anda harus punya anggaran untuk marketing yang sangat besar.

Langkah promosi seperti ini tentunya tak lagi pas dengan semakin horisontal-nya dunia pemasaran. Promotion yang kita tahu sifatnya searah, top-down, dan one-to-many. Semua itu sifatnya vertikal. Cerita mengenai ineffectiveness dari praktek promosi sudah sering kita dengar, dan yang berbicara bukan saja para marketer yang selama ini getol berpromosi tapi juga para biro agensi yang membantu marketer untuk mendesain kampanye promosi. Pada dasarnya mereka tahu bahwa lanskap sudah berubah dan tidak bisa lagi bagi pemasar untuk menjalankan praktek yang sifatnya interuptif.

Majalah AdWeek beberapa waktu lalu pernah menguak hasil riset yang dikerjakan bersama biro iklan JWT yang mengatakan bahwa sekitar 72 persen orang mengakui bahwa mereka sudah tidak terlalu percaya dengan informasi yang bersifat promosi. Banyak pula yang muak dengan promosi yang kesannya “too good to be true” bahkan pula sampai kepada pesan-pesan yang kurang etis.

Konsumen tidak sendirian ketika mereka menghindari bentuk promosi dari pemasar. Kita pun sebagai pemasar ketika melepaskan ‘topi’ kita sebagai pemasar, dan pulang ke rumah setelah bekerja di kantor, sebisa mungkin untuk ‘meloloskan diri’ dari jebakan pemasar lain yang berpromosi lewat berbagai media.

Jim Stingel, Global Marketing Officer di perusahaan P&G, pernah mengatakan dalam satu kesempatan di hadapan ribuan anggota asosiasi biro iklan di Amerika, bahwa praktek lama yang sifatnya “telling and selling” sudah tidak bekerja lagi dengan baik dan dibutuhkan sebuah model pemasaran gaya baru. Apa yang ia katakan ketika itu bukan saja mengajak para pemasar untuk berubah, tapi juga sebuah pengakuan bahwa bahkan di P&G yang mana adalah advertiser terbesar di dunia melihat bahwa pemasaran gaya lama sudah mati.


Promotion is Conversation

Praktek promosi dari Legacy ke New Wave bukan berarti sekedar memindahkan diri dari media konvensional ke media digital. Karena ketika berbicara paham New Wave, yang signifikan dari langkahnya adalah paradigma pemasar yang tidak lagi vertikal tapi horisontal. Dengan demikian yang menjadi landasan utama yang harus dimiliki, ketika masuk ke era New Wave ini adalah bagaimana pemasar menghorisontalkan diri dan sadari diri bahwa posisi antara dirinya dengan konsumen sudah semakin sejajar.

Di era seperti sekarang, konsumen semakin memegang kendali dalam segi konteks dan juga konten. Mereka kini punya media. Mereka bisa bikin konten sendiri. Mereka bisa kasih input untuk pengembangan produk baru. Mereka bisa bikin iklan, yang mungkin lebih baik dari pada biro iklan. Mereka bisa jadi reporter. Mereka bisa jadi promoter. Konsumen juga semakin komunal, saling terhubung dijaringannya dan lebih sosialis.

Beberapa perusahaan sudah semakin sadar akan berbagai perubahan yang terjadi di lanskap bisnis ini. Perusahaan yang sudah pernah dibahas sebelumnya di dalam kolom ini, mulai dari Starbucks sampai Ducati, adalah contoh bahwa beberapa pemasar sudah semakin paham bahwa praktek promosi pemasaran yang sifatnya horisontal dan relasional akan lebih ampuh di tengah dunia yang berubah ini.

Pada dasarnya mereka juga paham bahwa langkah pemasaran akan menjadi lebih mudah apabila ia bisa masuk ke dalam media yang dikendalikan dan dimiliki oleh konsumen. Ataupun kalau tidak masuk ke media-nya konsumen, mereka juga bisa membuat connecting platform tersendiri di mana ia bisa menjadi penghubung antara masing-masing konsumen. Semua hal itu, dilandasi bukan atas orientasi untuk berpromosi yang sifatnya membujuki, namun untuk ‘berbincang-bincang’ dengan konsumen, untuk pula menjadikan brand-nya sebagai ide bahan perbincangan antar satu konsumen dengan yang lain.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Berbicara Tentang Michael Jackson

Selasa, 20 Oktober 2009 | 08:28 WIB

KOMPAS.com - Michael Jackson (MJ) adalah seorang ikon atau rajanya dunia pop yang kebesarannya melekat dan menginspirasi banyak orang lewat musik yang dia buat, talenta yang ia miliki, dan profesionalisme yang ia pegang teguh.

Berbicara tentang sosok MJ adalah sangat menarik. Di atas panggung dunia musik, kebesaran brand Michael Jackson sudah tidak perlu diragukan. Orang mengakui prestasinya, karena memang personal brand-nya memang sangat kuat. Tapi di sisi lain, di luar panggung, banyak orang yang seakan tercampur aduk feeling-nya ketika harus menilai karakter dari sebuah individu bernama Michael Jackson. Tentunya hal ini dikarenakan banyak hal, terutama karena berbagai masalah kontroversial yang menghantam karakter dirinya pribadi.

Terlepas dari itu semua, satu pelajaran bermakna dari seorang MJ yang menarik untuk dibahas adalah mengenai bagaimana dirinya di dalam dan di luar panggung selalu menjadi bahan percakapan orang.

Ketika ia masih hidup, banyak orang yang terwah-wah dengan hasil seni yang ia ciptakan, lihat saja gaya outfit-nya yang membuat orang berpikir bahwa pakaian bergaya militan adalah bagian dari dunia pop. Lihat pula berbagai praktek kolaborasi yang ia lakukan (di studio, di atas panggung, atau di dalam video klip) bersama artis lain baik itu penyanyi, gitaris, aktor dan artis film, sutradara, sampai simpanse dan panther sekalipun.

MJ bukan saja membantu MTV untuk menemukan jati diri dan legitimasinya sebagai sebuah bagian dari dunia pop marketing, tapi ia juga ikut mendefinisikan perang Cola lewat endorsementnya dengan Pepsi yang membuat standar baru pembuatan video iklan yang berkualitas dan sangat entertaining.

Berita tentang kematiannya belum lama ini didapati orang bukan lagi lewat Televisi atau bahkan omongan tetangga dan orang-orang di kantor. Kalau 10 tahun yang lalu, mungkin begitu adanya. Tapi sekarang di era New Wave yang serba terkoneksi, informasi bisa didapatkan di mana-mana, disebarluaskan oleh siapa saja, dan semuanya secara real-time. Tak heran kalau mungkin lebih banyak orang yang pertama kali mendengar berita MJ meninggal malah lewat situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook ketimbang TV.

Kematiannya memicu eksploitasi besar-besaran jejaring sosial. Dan ketika itu kita melihat betul bahwa dunia memang sudah semakin berubah, di mana dengan adanya Twitter, Facebook, dan lain sebagainya, ucapan bela sungkawa pun bisa dikoordinir secara komunal.

Google, salah satu simbol connector di planet New Wave, sempat ’mati’ selama 35 menit ketika jutaan orang yang mengetik nama Michael Jackson malah diberi respon ’error page.’ Menurut Google, ketika itu ada semacam gunung meletus di mana mayoritas dari peringkat 100 pencarian terbanyak ketika itu adalah tentang Michael Jackson. Di Facebook, fan page MJ dapat menarik sekitar 20 orang fans per detik. Belum lagi di Yahoo, di mana sebuah blog berjudul ”Losing Michael Jackson” mendapatkan traffic terbanyak sepanjang masa di mana ia dikunjungi 16.4 juta pengunjung, lebih banyak ketimbang isi blog mengenai pemilu di Amerika serikat yang mana dicatat oleh Yahoo mendapatkan pengunjung sebesar 15.1 juta orang.

MJ: The Man in the Conversation

Pada saat diwawancarai dengan Larry King di stasiun TV CNN setelah MJ meninggal, Jermaine Jackson mengatakan bahwa MJ selama ini pandai dalam menggunakan media. Memang betul. Kesuksesannya di dunia pop marketing terutama sepanjang karir solonya di dekade 80an hingga awal 90an, bisa dibilang dibentuk karena media yang ada.

Di era solo karirnya, MJ memang dibesarkan oleh media terutama network televisi berskala global seperti MTV. Karena MTV-lah, ratusan juta manusia dapat melihat bagaimana MJ menari ala zombie di video klip “Thriller,” menjadi preman di “Beat It”, menjadi gangster di ”Smooth Criminal,” dicari-cari Cleopatra di “Remember the Time” dan banyak video lainnya yang betul-betul breakthrough.

Sebelum ada MTV, orang-orang memang sudah melihat talenta yang dimiliki oleh MJ terutama ketika ia masih bersama-sama saudaranya di Jackson 5 dari akhir 1960an dan sepanjang dekade 1970an. Acara legendaris seperti Ed Sullivan Show, event di TV dengan Diana Ross, variety show seperti The Jacksons, sampai acara kartun yang diproduksi oleh Rankin dan Bass. Tapi itu semua hanya masih lokal sifatnya karena ditonton oleh orang-orang di Amerika.

Dengan adanya MTV yang dapat merangkul ratusan juta penonton di seluruh dunia lewat satelit, maka otomatis fans di luar Amerika yang tadinya hanya mendengar jadi bisa melihat langsung gerakan kaki MJ di setiap videonya.

Buat MJ, MTV bukan saja salah satu media untuk promosi album atau single baru, namun juga sarana untuk menyihir dan memvisualisasikan daya kreativitasnya dalam berkoreografi, menulis screenplay, memproduksi sebuah video berkelas, yang mana sama-sama diranking first-class dengan kemampuan dia dalam bernyanyi.

Boleh dikatakan bahwa MJ-lah yang ’mengajari’ artis-artis lain dalam pembuatan video musik. Sebagai seorang professional dan perfeksionis sejati, semua video klip yang dibuatnya memang tidak main-main dari segi biaya, desain visual, model, penyutradaraan, sampai durasi-nya yang kelewat standar yang berlaku pada saat itu.

Kesuksesan MJ di dalam marketing setidaknya bisa dilihat dari tiga aspek; brandnya yang sangat kuat, komunitas penggemar, dan produknya. Dari segi branding, tentunya tidak perlu lagi diragukan, sudah ada berbagai julukan yang diberikan kepadanya mulai dari ’entertainer paling sukses sepanjang masa’ sampai ”King of Pop.” MJ adalah ikon di dunia yang telah menjadi bagian dari budaya pop.

Fans-nya yang transendental, lintas generasi dan lintas ras di seluruh dunia. Ketika ia dibawa ke pengadilan untuk kasus pelecehan seksual, fans MJ tetap membelanya, sekalipun tahu bahwa ia menyuap keluarga penuntut untuk tutup mulut.

Produk yang dikeluarkan oleh MJ, apakah itu album studio, video klip, tur dan konser, buku dan alat marketing lainnya, selalu dibuat habis-habisan dengan menonjolkan sisi perfeksionisnya, karena ia tahu bahwa bukan saja media yang akan suka, tapi penggemarnya juga akan terkonek dengan dirinya. Maka tak heran kalau ia punya puluhan lagu yang hit nomor satu, 13 grammy, berhasil menjual 750 juta lebih kopi, dan memiliki album terlaris sepanjang masa.

Entah didesain atau secara tidak sengaja, hasil kreasi seni yang dikeluarkan oleh MJ selalu dibicarakan di mana-mana, sepanjang karirnya, ketika dikabarkan mati, bahkan hingga kini setelah mati (seperti yang ada di komunitas ”We miss Michael Jackson”). MJ seakan dengan mudah menjadi the man in the conversation.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Monday, October 19, 2009

"Trading Strategy" dengan Bollinger Bands







Senin, 19 Oktober 2009 | 07:59 WIB
KOMPAS.com - Anda pernah menggunakan Bollinger Bands dalam analisa trading? Tentunya anda sangat familiar dengan indikator ini. Bollinger Bands cukup popular di dunia finansial sebagai salah satu alat atau indikator untuk menganalisa pasar. John Bollinger, adalah penemu indikator ini, dia menciptakannya pada tahun 1980-an. Indikator ini digunakan untuk membantu memperkirakan range/kisaran pergerakan harga. Dalam tulisan ini kami akan membagi teknik trading dengan menggunakan Bollinger Bands untuk mengambil keputusan membuka posisi Buy atau Sell.

Kita seringkali menggunakan Bollinger Bands dengan cara membuka posisi Buy pada saat harga menembus Bands bawah atau membuka posisi Sell pada saat harga menembus Bands atas. Dan seringkali langkah di atas menjadi bumerang bagi kita. Pada saat kita membuka posisi Buy / Sell, saat harga menembus Bollinger Bands bawah / atas, harga tidak kembali rebound ke atas / terkoreksi ke bawah seperti yang kita harapkan, harga malah terus turun/ naik dan membuat kerugian pada posisi yang telah kita buat. (lihat grafik 1,2 dan 3)

Oleh karena itu, kita memerlukan indikator tambahan atau pola grafik sebagai konfirmasi untuk mengambil keputusan membuka posisi yang lebih akurat. Kita dapat menambahkan indikator Stochastic untuk mengkonfirmasi area overbought dan oversold. Untuk lebih memastikan apakah harga benar-benar akan naik atau turun setelah menyentuh Bands bawah atau atas, kita dapat gunakan level resisten dan support untuk mengkonfirmasinya. Mari kita lihat contoh grafik di samping:

Kita gunakan contoh grafik daily AUDUSD dari Platform Monex Trader. Kita lihat candle tanggal 8 Juli 2009. Candle tersebut menembus dan tutup di bawah Bollinger Bands bawah. Sebelum kita buka posisi Buy, ada baiknya kita menunggu konfirmasi dari beberapa indikator pendukung.

Kita lihat Stochastic (5, 3, 3) sudah mencapai level oversold yang artinya harga sudah siap untuk dibeli. Nah, kita sudah siap untuk buka posisi Buy. Tapi tunggu dulu…..! Untuk lebih memastikan lagi, kita tunggu hingga terbentuk resisten terdekat dan saat harga melewati level resisten tersebut, kita dapat membuka posisi Buy.

Target profit bisa kita pasang di Bands tengah atau di Bands atas, sementara stoploss bisa kita pasang di harga terbawah dari kisaran candle sebelumnya.

Demikian secara singkat, cara melakukan pembukaan posisi dengan menggunakan Bollinger Bands. Masih banyak kombinasi indikator yang bisa kita eksplorasi. Misalnya, kita bisa bisa mengkombinasikan Bollinger Bands dengan pola grafik seperti pola double top, double bottom, pola W atau pola M. (AT/Senior Research and Analyst)

KOMPAS

- Muhammad Idham Azhari

Sunday, October 18, 2009

Penipuan Terbesar di AS Diungkap

Minggu, 18 Oktober 2009 | 05:16 WIB

NEW YORK, KOMPAS.com - Penipuan terbesar di sektor keuangan Amerika Serikat diungkap, Jumat (16/10) di New York. Enam pelaku, termasuk warga terkaya AS keturunan Sri Lanka, ditangkap.

Tuduhan yang diajukan kepada mereka adalah praktik insider trading di bursa bergengsi dunia, Wall Street, New York.

Raj Rajaratnam, salah seorang warga terkaya AS keturunan Sri Lanka, orang yang termasuk ditangkap. Niatnya berangkat ke London, Inggris, sehari sebelum penangkapan sudah diketahui. Karena itu, kepadanya dikenakan larangan bepergian lebih dari 170 kilometer dari rumahnya di New York.

Keenam orang itu dituduh berkonspirasi, memanfaatkan informasi dari perusahaan-perusahaan yang sahamnya diperdagangkan, juga para analis dari perusahaan yang mempunyai data keuangan perusahaan.

Rajaratnam bekerja sebagai direktur investasi di Galleon Group, sebuah perusahaan pengelola dana investasi dengan nilai aset yang dikelola sebesar 7 miliar dollar AS. Perusahaan yang dia kelola meraup untung besar dan membuat Rajaratnam dikagumi sebagai ahli strategis investasi.

Menyumbang Obama

Seorang jaksa AS, Preet Bharara, mengatakan, kasus yang dia tangani adalah yang terbesar sejauh ini. Kasus ini diketahui melalui penggunaan orang-orang dalam yang terlibat penipuan. Saat melakukan investigasi, alat- alat perekam dan catatan lain disadap.

”Sikap rakus itu tidak baik,” kata Bharara. ”Kasus ini seharusnya menyadarkan para pelaku di Wall Street,” kata Bharara.

Joseph Demarest Jr, Kepala FBI cabang New York, mengatakan, ”Jelas, keuntungan Galleon Group tidak didapat dari kelihaian berinvestasi, tetapi dengan mengorbankan dana publik, yang turut melakukan aksi jual-beli saham di bursa.”

Hal ini, antara lain, dilakukan dengan menjual saham pada saat perusahaan diketahui akan merugi. Di sisi lain, keuntungan didapatkan dengan membeli saham perusahaan, yang diketahui akan meraih untung.

Kondisi perusahaan itu diketahui karena Rajaratnam mendapatkan informasi dari dalam. Saham-saham perusahaan yang turut dimainkan adalah milik Hotel Hilton, Google. Orang- orang yang terlibat permainan antara lain staf Moody’s Investor Services, IBM.

”Dia bukan master investasi. Dia master penipuan,” kata Robert Khuzami, Direktur Urusan Hukum Bursa Saham AS.

Rajaratnam bukan orang sembarangan. Dia menyumbang 87.000 dollar AS atau sekitar Rp 800 juta untuk pendanaan kampanye Presiden Barack Obama. Dia juga pernah menyumbang dana kampanye untuk Hillary Clinton, kini Menlu AS.

The Center for Responsive Politics, sebuah kelompok pemantau, mengatakan, sejak 2004 Rajaratnam memberi Partai Demokrat sebesar 118.000 dollar AS. (REUTERS/AP/AFP/MON)

KOMPAS

Investasi Bermain Kontrak Opsi Saham

Minggu, 18 Oktober 2009 | 03:12 WIB

Adler Haymans Manurung - praktisi keuangan

Belakangan ini investor banyak ditawari produk yang kelihatannya belum muncul di bursa, tetapi sebenarnya ada, yaitu Kontrak Opsi Saham atau KOS. Bahkan, produk ini banyak ditawarkan melalui iklan di surat kabar. Awalnya, ditawarkan pendidikan dan bisa online dengan bursa di Amerika. Banyak juga investor yang untung, tetapi ada juga yang rugi.

KOS merupakan produk opsi yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. Opsi adalah perjanjian jual atau beli aset pada periode tertentu dan pada harga tertentu. Di Amerika, opsi jual dikenal dengan call option dan opsi beli dengan put option. Bursa opsi di Amerika Serikat adalah Chicago Board Option Trading (CBOT). Opsi ini juga dikenal dengan American Style Option dan European Style Option.

Perbedaan keduanya adalah waktu eksekusi. American Style Option dieksekusi setiap saat selama periode opsi dan European Style Option hanya bisa dieksekusi pada akhir periode. Jadi, perbedaan bukan karena tempat transaksi, tetapi karena waktu eksekusi kontrak aset. Umumnya, investor lebih menyukai transaksi American Style Option daripada European Style Option dikarenakan kebebasan eksekusi dan tidak mungkin kehilangan kesempatan. Bila harga saham meningkat selama periode dan drop mendekati semula menjelang akhir periode, maka pemegang European Style kehilangan kesempatan mengeksekusi harga yang meningkat tadi. Bagi American Style Option, kesempatan selalu ada dan sangat menguntungkan.

Dalam bertransaksi saham opsi call, investor berpandangan pasar akan naik sehingga perlu membeli pada harga tertentu dan selebihnya merupakan keuntungan. Atas terjadinya kontrak tersebut investor harus membayar biaya premium.

Harga pembelian (penjualan) kontrak opsi call (put) saham dikenal dengan Strike Price atau Exercise Price. Misalkan, investor membeli KOS TLKM pada harga Rp 8.550 dengan premium Rp 100 per saham untuk periode tiga bulan Oktober-Desember, maka investor mempunyai biaya Rp 8.650 per saham. Artinya, investor akan dapat membeli saham TLKM dari lawan (disebut writer) pada harga Rp. 8.550 walaupun harganya melebihi atau di bawah harga strike tersebut.

Investor bisa mengeksekusi KOS bila harga melebihi Rp 8.650 agar untung. Bila tiba-tiba harga saham menjadi Rp 10.000 dan investor tetap membeli pada harga Rp 8.550, KOS akan selesai jika eksekusi atas kontrak opsi dilaksanakan.

Sebaliknya, bertransaksi opsi put. Investor melihat pasar mendatang akan turun sehingga perlu melakukan lindung nilai atas saham dan investor dapat menjual pada harga tertentu walaupun harganya drop tajam ke bawah. Artinya, investor tidak perlu merugi walaupun harga turun sehingga harga strike selalu ditentukan tidak jauh berbeda dari harga pembelian investor.

Misalkan, investor bertransaksi opsi put saham ISAT pada harga Rp 4.750 dengan harga put premium Rp 70 per saham. Artinya, harga pulang pokok (break-event) investor Rp 4.680. Bila harga saham ISAT drop sampai Rp 3.250, maka investor pembeli put opsi saham ISAT akan memperoleh harga Rp 4.750 per saham sehingga investor tidak akan merugi Rp. 1.500 per saham karena telah melakukan KOS untuk put pada harga Rp 4.750.

Harus ada gejolak

Salah satu faktor penting dalam transaksi opsi, saham harus punya likuiditas tinggi dan bergejolak sehingga investor ingin mendapat keuntungan dari pergerakan harga saham melalui transaksi opsi saham. Jadi, bukan karena ada opsi saham maka saham menjadi likuid karena filosofi opsi tidak seperti itu. Jangan ada pikiran pengelola bursa atau advis tenaga ahli agar likuiditas saham semakin tinggi, maka diciptakan opsi saham tersebut. Bila dilakukan, maka tidak akan terjadi transaksi karena sahamnya tidak likuid.

Pada sisi lain, investor juga bisa untung bila melakukan strategi lindung nilai pada aset. Misalkan, investor melakukan writer atas saham untuk transaksi call opsi saham. Dalam kasus ini, investor berkewajiban menyerahkan barang atau membayar selisih harga pasar saham dengan harga strike saham tersebut.

Untuk menutup kewajiban tersebut, investor juga bisa langsung membuat transaksi pembelian sahamnya sehingga investor tidak perlu takut atas transaksi penulisan call opsi saham. Adapun penggabungan penulisan call opsi saham dan membeli saham disebut covered call. Investor melakukan penulisan baru membeli saham, tetapi bisa juga sebaliknya, yaitu membeli saham dulu dan baru berani melakukan penulisan call opsi saham. Investor mengharapkan pasarnya naik sehingga mendapat untung besar.

Istilah lain yang berhubungan dengan put adalah protective put. Konsepnya, kombinasi opsi put saham dengan posisi panjang untuk aset tersebut. Posisi panjang adalah investor telah memiliki saham atau investor membeli saham.

Pembelian put mengakibatkan kewajiban investor menjual saham pada harga tertentu dan akibatnya investor harus memiliki saham itu. Artinya, bisa juga investor memiliki saham, tetapi karena yakin harga saham akan turun maka investor melakukan perlindungan dengan membeli opsi put. Investor akan mendapatkan keuntungan besar bila pasar meningkat.

Dalam bertransaksi opsi saham risiko paling kecil investor hanya pada biaya opsi yang dikenal dengan premium. Mudah-mudahan investor memahami dan bisa bertransaksi.

KOMPAS

Friday, October 16, 2009

Promotion is Conversation

Jumat, 16 Oktober 2009 | 10:19 WIB

KOMPAS.com - Stefan adalah seorang artis dari Stockholm. Suatu ketika, timbul ide darinya untuk melakukan kegiatan barter dengan teman-temannya di web. Di sini ia dan teman-temannya bisa saling menawarkan apa-apa saja yang mereka punya untuk saling dibarterkan. Barang-barangnya bisa dalam bentuk apa saja, mulai dari sendok, garpu, sikat gigi, TV, lemari dan sebagainya.

Dengan memanfaatkan kekuatan dari Facebook, YouTube, Twitter, Blog, dan sebagainya, Stefan mendapatkan atensi yang luar biasa dari penduduk di dunia maya ini. Dalam waktu singkat, 4 juta pengunjung mendatangi blog Stefan untuk melihat produk apa saja yang dapat dan akan dibarter. Dari 1.780 produk yang diusulkan untuk di barter, sekitar 187 barter terjadi setelah itu. Rata-rata pengunjung bertahan sekitar 15 menit di blog stefantheswopper.blogspot.com ini.

Percakapan di dunia online pindah ke dunia offline. Blog yang meliput kegiatan Stefan ini berjumlah ratusan sehingga berbagai media konvensional terkemuka di beberapa negara di dunia merasa tidak ingin ketinggalan sehingga harus pula meliput kegiatan Stefan ini. Bahkan perusahaan pos Swedia akhirnya menggunakan Stefan sebagai endorsement untuk meningkatkan jumlah pengiriman parcel melalui beberapa kegiatan sponsorship yang ditujukan. Stefan dalam waktu singkat menjadi tersohor di dunia maya berkat ide barter atau swop ini.

Di dalam dunia New Wave, Promotion is Conversation. Apa yang dilakukan oleh Stefan dengan ide bisnis barter-nya dilakukan atas dasar praktek percakapan yang horizontal dan dua arah dan pastinya lebih kuat ketimbang promosi dengan gaya vertikal dan satu arah. Konsumen di era New Wave seperti sekarang sudah semakin pintar, tidak mau lagi diperlakukan dibawah pemasar. Mereka semakin tidak mau untuk dijadikan objek untuk promosi, tapi pastinya mereka akan selalu bersedia untuk dijadikan lawan untuk bercakap-cakap.

Untuk dapat mencapai sebuah percakapan yang hot, diperlukan setidaknya sebuah ide-ide percakapan. Berdasarkan pemikiran dari Lois Kelly, ada sembilan elemen dari conversation ideas, yaitu aspirasi dan kepercayaan (aspiration), pertempuran kecil lawan besar (David vs Goliath), trend, kegelisahan (anxieties), contrarian, kepribadian dan cerita pribadi (personalities), cara dan nasehat untuk melakukan sesuatu (How-To), kisah glamor (Glitz and Glam), dan terakhir acara-acara yang sifatnya musiman (Seasonal Event). Menurut Kelly, kesembilan hal tersebutlah yang biasanya menyebabkan orang untuk memulai sebuah percakapan.

Stefan bisa dibilang menjadi perbincangan orang dimana-mana karena memiliki tiga aspek dari sembilan ide yang diusung oleh Kelly. Pertama adalah aspirasi dan kepercayaan (aspiration). Stefan the Swopper menjadi percakapan dimana-mana karena ia percaya bahwa kegiatan barter dapat mengurangi kegiatan ekonomi yang secara tidak sadar mengeksploitasi lingkungan.

Kedua adalah karena ia sesuai dengan Trend yang ada sekarang. Barter sejalan dengan tren ‘gratis’ yang semakin umum di dunia internet. Kegiatan di internet menjadi ajang untuk saling memberi dan saling menerima secara gratis. Oleh karena itu barter menjadi sangat relevan dengan trend ini.
Ketiga adalah karena ia memberikan cara dan nasehat untuk melakukan sesuatu (How-To). Stefan bukan sekedar pemimpi yang memiliki aspirasi seperti di atas. Karena lewat apa yang dipraktekannya, ia memberikan contoh bagaimana caranya untuk mengurangi dampak sosial dan lingkungan akibat ekonomi kapitalis dan konsumerisme yang menjadi andalan produsen.

Stefan the Swopper berhasil menjual idenya kepada publik di dunia online dan offline untuk meningkatkan kesadaran terhadap alam dan lingkungan yang semakin buruk akibat faktor-faktor ekonomi. Dan itu dilakukan bukan lewat promosi jor-joran kata-kata semata, namun lewat praktek conversation yang dua arah dan yang terwujud karena adanya connector di dunia New Wave yang membuat segala sesuatu lebih horisontal.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS