BLOGSPOT atas

Wednesday, September 30, 2009

Ibu Saya Bukan Teman Facebook Saya

Rabu, 30 September 2009 | 09:43 WIB

KOMPAS.com - Kami tertarik dengan tanggapan Ibu Rani yang menulis komennya di www.kompas.com untuk tulisan “Digital Native vs Digital Immigrant” yang dimuat di kolom ini beberapa waktu lalu.

Di sana Ibu Rani mengatakan: “Anak saya umurnya 20 tahun dan adalah contoh digital native karena dia memang hidup 24 jam online….saya adalah digital immigrant, orang yang mencoba untuk bisa masuk ke dunia digitalnya anak saya… Dan yang menyedihkannya, ketika coba ikut Facebook dan add anak saya (lewat friend request), dia malah ignore bukannya malah confirm.”

Ibu Rani ternyata tidak sendirian ikut-ikutan Facebook. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, Facebook saat ini semakin dibanjiri oleh ibu-ibu. Menurut data yang dirilis oleh Facebook sendiri, pertumbuhan tercepat populasi di situs jejaring sosial ini adalah segmen 35 tahun ke atas. Dan menurut Erick Qualman dalam Socialnomics, segmen yang juga cukup pesat tumbuhnya adalah wanita umur 55-65 tahun.

Ibu Rani juga bukan satu-satunya yang diabaikan oleh anaknya ketika mengirim friend request di Facebook. Karena ibu-ibu lain pun juga banyak yang di-ignore oleh anak-anaknya. Dan fenomena “My Mom is My Friend, But Not My Facebook Friend” ternyata menjadi fenomena global.

Seorang kolumnis di New York Times, Michelle Slatalla, pernah menulis tentang hal ini di harian tersebut dengan judul “‘OMG My Mom Joined Facebook!!’ Di dalam artikel tersebut ditulis bahwa dinamika dunia Facebook adalah refleksi hubungan kita di dunia offline. Pengalaman yang didapatkan oleh seorang ibu di jaman sekarang ketika masuk ke dunia online lewat Facebook dan malah tidak dianggap oleh anaknya mungkin merefleksikan bahwa si ibu itu tidak menjadi bagian dari jejaring sosial anaknya di dunia offline (baca: nyata).

Lori Aratani menulis hal yang kurang lebih sama di Washington Post di dalam artikel berjudul “When Mom or Dad Asks To Be a Facebook Friend.” Di sana ditulis bahwa semakin banyak orang tua jaman sekarang yang ikut Facebook dan ternyata mereka tidak hanya add anaknya saja, tapi juga teman-teman anaknya. Banyak yang confirm friend request dari orang tua mereka. Tapi banyak pula yang ignore karena kurang sreg untuk memasuki orang tua mereka ke dalam komunitas jejaring mereka di dunia online. Bagi mereka itu “seperti mengajak orang tua ikut main bareng dengan teman-teman.”

Di dalam bukunya “Me, MySpace, and I: Parenting the Net Generation”, Larry Rosen mengatakan bahwa fenomena jejaring sosial dianggap oleh orang tua sebagai jendela yang transparan untuk melihat secara dekat gerak-gerik perilaku anak mereka. Makanya mereka berbondong-bondong masuk ke dunia online ini untuk seakan beraksi ibarat intel. Di sisi lain, anak-anak mereka menganggap dunia online adalah milik mereka, dan orang dewasa (terutama kaum digital immigrant) hanyalah penyusup.

Confirm or Ignore?

Internet membuat dunia semakin transparan. Di dalam situs jejaring sosial seperti Facebook, MySpace, Twitter, Plurk, dan lain sebagainya, kita bisa tahu banyak hal termasuk apa yang dilakukan, dirasakan, dikatakan oleh teman kita. Di situs tersebut, berbagai hal yang sifatnya pribadi bisa kita lihat di halaman profil mereka.

Ada yang sengaja membuka profilnya untuk umum. Ada juga yang membuka profilnya untuk dilihat oleh orang-orang yang telah ‘disetujui’ dan ‘dipastikan’ (confirmed) untuk jadi temannya. Lewat sistem seperti ini kita tidak perlu ragu menaruh data pribadi tentang diri kita. Di Facebook, contohnya, kita bisa buka-bukaan, tampil apa adanya dan merasa nyaman karena mereka yang kita konfirm adalah orang-orang yang ingin kita bawa masuk ke dunia komunitas kita.

Steve Jones, seorang professor ilmu komunikasi di Chicago, mengatakan bahwa selama ini ada pemikiran yang salah. Di dunia online terlihat betul bahwa orang-orang cenderung menjauhkan apa-apa yang sifatnya pribadi bukan ke mereka yang tak dikenal, tapi justru kepada orang yang mereka kenal dekat. Artinya mereka tidak peduli apakah yang mereka share di dunia online itu dilihat oleh orang-orang umum. Tapi mereka sangat peduli ketika hal-hal yang sifatnya private justru dilihat oleh orang yang mereka kenal dekat.

Apa yang dibilang oleh Steve Jones mungkin ada benarnya. Situs jejaring sosial yang bermunculan sampai sekarang yang pasti telah membuat kata "teman" jadi lebih blur. Di dunia online seperti ini, orang asing (strangers) kita anggap teman, sedangkan dengan teman yang notabenenya adalah teman kita sebenarnya atau orang yang kita kenal dekat, justru kita malah berinteraksi dengan canggung.

Pertanyaan confirm or ignore yang dilematis ini tidak hanya dirasakan oleh anak-anak ketika mendapat friend request dari para orang tua di rumah. Di kantor pun fenomena yang sama juga dirasakan oleh para karyawan ketika ingin ‘berteman’ dengan boss-nya. Jared Sandberg menulis hal ini di artikel berjudul “OMG -- My Boss Wants to 'Friend' Me On My Online Profile” yang dimuat di harian Wall Street Journal.

Seperti yang ditulis di sana, dengan adanya Facebook, hubungan yang hirarkis antara atasan dan bawahan di dunia offline, mendadak terlihat horizontal di dunia online. Dan pada akhirnya sisi pribadi sesungguhnya dari boss dan karyawan jadi terlihat betul. Meskipun demikian banyak karyawan yang tidak rela untuk berteman dengan boss-nya di Facebook, karena itu tandanya ia harus mengorbankan segala bentuk hal yang sifatnya personal. Begitu juga sebaliknya dengan si boss ketika di add sebagai teman di Facebook oleh anak buahnya.

Confirming the Community

Satu yang dapat dijadikan alasan kenapa fenomena yang diceritakan di atas terjadi adalah karena pada dasarnya karakter si ibu tidak relevan dengan tujuan, identitas, dan nilai-nilai yang miliki oleh komunitasnya si anak. Meskipun sama-sama ‘on’ di dunia Facebook, bukan berarti para orang tua bisa ‘in’ ke dunia komunitas jejaring sosial anaknya. Karena untuk masuk ke sana, diperlukan karakter yang sejalan dengan tujuan, identitas, dan nilai-nilai yang dijunjung tunggi oleh komunitas anaknya.

Dulu di era legacy, aktivitas targeting the segment menjadi langkah strategi yang menentukan gerak-gerik arah pemasaran suatu perusahaan. Di sana konsumen yang menjadi target pasar dieksploitasi oleh pemasar lewat 4P-nya (product, price, place, and promotion). Dan itu semua dilakukan tanpa peduli, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju, selama konsumen menjadi target market sebuah perusahaan, konsumen akan menerima bentuk eksploitasi tersebut.

Di era New Wave ini, praktek yang demikian menjadi tidak lagi relevan. Sejalan dengan apa yang dibahas kemarin, kita tidak lagi berbicara tentang targeting the segment namun confirming the community. Karena di era pemasaran seperti ini, orientasi pemasaran berbasiskan komunitas konsumen yang saling kenal bukan lagi segmen konsumen yang tidak kenal satu sama lain. Praktek yang dilakukan dalam rangka konfirmasi terhadap (dan oleh) komunitas ini sendiri bernuansakan horisontal, karena pada dasarnya langkah ini dijalankan dua arah.

Bukan saja perusahaan yang mengkonfirm sebuah komunitas karena kemiripannya dengan karakter merek perusahaan, namun juga si komunitas sendiri harus mengkonfirm bahwa perusahaan yang ingin masuk ke dalam komunitas tersebut adalah ‘teman’ yang baik.

Hal yang terpenting yang harus dilakukan oleh pemasar dalam hal ini adalah mencari relevansi antara komunitas dan perusahaan. Percuma saja kalau sebuah komunitas jumlah anggotanya banyak, pertumbuhan jumlah anggotanya juga terus meningkat. Namun, ternyata komunitas tersebut tidak punya relevansi yang sama dengan kita alias tidak punya identitas dan nilai-nilai yang sama.


Hermawan Kartajaya

KOMPAS

From Permission to Confirmation-Based Marketing

Rabu, 30 September 2009 | 09:17 WIB

KOMPAS.com - Di era New Wave ini, kita sudah menjelaskan sebelumnya bahwa prinsip dan praktek targeting sudah harus berubah menjadi confirmation. Pertama, karena pada dasarnya ia merupakan langkah yang top-down, tidak sesuai dengan New Wave yang horisontal. Kedua, karena bukan lagi segmen pasar yang dituju oleh pemasar, namun komunitas konsumen.

Proses yang dilakukan dalam hal komunitasi sendiri pada dasarnya ada tiga. Pertama, kita eksplor terlebih dahulu komunitas yang ada (by-default) atau yang potensi untuk dibentuk (by-design). Satu hal yang kita cari dan eksplor dengan dalam adalah kedekatan antar membernya satu sama lain yang memiliki kesamaan yang kentara dalam hal tujuan (purposes), nilai-nilai (values) dan ketertarikan (interest), atau yang biasa disebut dengan istilah PVI.

Komunitas yang ideal bagi pemasar untuk diajak kolaborasi adalah komunitas yang PVI-nya sesuai dengan karakter perusahaan. Dengan kata lain, pada dasarnya yang dicari adalah komunitas yang dapat membuat perusahaan seperti berkaca pada dirinya sendiri.

Hal kedua yang dilakukan adalah melakukan permission seperti yang dikatakan oleh Seth Godin itu tadi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perusahaan di era New Wave ini tidak lagi asal menarget atau membidik konsumen-konsumennya di dalam komunitas. Mereka sekiranya mengajukan kata ’permisi’ atau memohon izin terlebih dahulu dengan konsumen di komunitas untuk diajak saling kerjasama dan kolaborasi.

Hal ketiga adalah confirmation. Meminta izin menjadi teman komunitas tidak menjamin si pemasar secara otomatis diterima keberadaannya. Karena pada dasarnya pemasar bisa di-confirm dan juga bisa di-ignore. Langkah confirmation ini menjadi horisontal karena langkah ini dijalankan dua arah. Bukan saja perusahaan yang mengkonfirm sebuah komunitas karena kemiripannya dengan karakter merek perusahaan, namun juga si komunitas sendiri harus mengkonfirm bahwa perusahaan yang ingin masuk ke dalam komunitas tersebut adalah ‘teman’ yang baik.

Bagaimana Pendapat Anda?


Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Tuesday, September 29, 2009

Targeting is Confirmation

Selasa, 29 September 2009 | 10:26 WIB

KOMPAS.com - Seperti yang telah dibahas sebelumnya di kolom ini, di era ‘legacy’, praktek segmentasi yang biasa dilakukan oleh pemasar pada dasarnya merupakan upaya memetakan segmen-segmen pasar potensial dengan ciri-ciri perilaku yang sama. Setelah segmen-segmen in identifikasi, langkah selanjutnya adalah membuat evaluasi serta menentukan segmen mana yang mau dilayani. Ini yang disebut targeting atau proses memilih target market yang tepat bagi produk dan jasa Anda.

Targeting sesungguhnya adalah strategi mengalokasikan sumber daya perusahaan secara efektif. Karena sumber daya Anda selalu terbatas. Ini menyangkut bagaimana Anda melakukan ‘fitting’ perusahaan Anda ke dalam segmen target market yang Anda pilih.

Sekedar mengulas sekilas mengenai konsep targeting, biasanya ada tiga kriteria yang harus dipenuhi perusahaan mana pun pada saat mengevaluasi dan menentukan segmen mana yang mau dibidik. Yang pertama adalah memastikan bahwa segmen pasar yang Anda pilih itu cukup besar dan cukup menguntungkan bagi perusahaan. Selain itu pula dilihat betapa potensi pertumbuhan pasarnya. Mungkin sebuah pasar saat ini ada yang kecil dari segi ukurannya, namun ke pertumbuhannya pesat sehingga ke depannya berpotensi untuk menjadi pasar yang besar.

Kriteria kedua adalah strategi targeting ini harus didasarkan pada keunggulan kompetitif perusahaan yang bersangkutan. Keunggulan kompetitif merupakan cara untuk mengukur apakah perusahaan itu memiliki kekuatan dan keahlian yang memadai untuk mendominasi segmen pasar yang dipilih.

Kriteria ketiga adalah bahwa segmen pasar yang dibidik itu harus didasarkan pada situasi persaingannya. Anda harus mempertimbangkan situasi persaingan yang secara langsung atau tak langsung mempengaruhi daya tarik target segment Anda.

Dengan menggunakan beberapa kriteria utama ini Anda harus menemukan kesesuaian atau fit perusahaan dengan segmen pasar yang tepat. Itulah penjelasan singkat tentang targeting dalam legacy marketing.

Dari penjelasan di atas, sudah terlihat betul bahwa praktek targeting tidak lagi relevan di era New Wave ini. Kenapa? Pertama, alasan yang paling mendasar adalah karena prinsip targeting tidak sejalan dengan nilai horisontal. Targeting adalah langkah yang dilakukan oleh perusahaan. Jadi, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju, seseorang bisa menjadi target market sebuah perusahaan.

Karena dunia semakin horisontal, konsumen dan pemasar menjadi sejajar. Konsumen tidak (mau) lagi diperlakukan sebagai target untuk dibidik atau objek pemasaran, namun sebagai subjek, sebagai manusia yang sama dengan Anda, sebagai mahluk yang immuned alias kebal terhadap bidikan pemasar.

Kedua, langkah strategi awal yang dilakukan oleh perusahaan di era New Wave ini bukan lagi sekedar mensegmen atau memetakan kelompok konsumen (segmentation), namun melakukan praktek komunitisasi (communitization). Artinya kita melakukan eksplorasi dan meninjau lebih dalam komunitas konsumen yang sekiranya pas untuk diajak berhubungan secara horisontal dan strategis. Setelah terlihat komunitas-komunitas konsumen yang ada, langkah selanjutnya adalah melakukan confirming bukan targeting.

Kriteria dalam Confirming the Community

Seperti yang telah dijelaskan di atas, praktek targeting yang dilakukan pada era legacy bersandar pada tiga kriteria yaitu ukuran dan pertumbuhan pasar, situasi persaingan, dan keunggulan daya saing.

Kalau Targeting berubah menjadi Confirmation, dan praktek targeting the segment berubah menjadi confirming the community, kriteria apa yang lantas harus dilakukan oleh pemasar? Di sini ada tiga hal yang menjadi utama: relevance, active level, dan number of community network.

Relevance maksudnya adalah kesamaan tujuan (purposes), nilai-nilai (values), dan ketertarikan (interest) atau PVI yang ada di dalam komunitas tersebut dengan karakter perusahaan.

Active Level berarti seberapa besar tingkat keaktifan komunitas tersebut. Apakah di dalam komunitas tersebut anggotanya memang aktif, atau malah isinya cuma daftar nama saja. Kalau yang terakhir ini namanya bukan komunitas, namun database.

Number of Community Network maksudnya adalah berapa banyak jaringan yang dimiliki atau yang potensial bisa terjadi antara suatu komunitas dengan komunitas lainnya. Jadi bukan sekadar berapa banyak jumlah anggota komunitas tersebut.

Di lihat dari sana, relevansi apakah PVI suatu komunitas dengan karakter si perusahaan menjadi yang terpenting. Bukan berarti active level dan community network tidak penting. Keduanya tetap penting, hanya saja tidak dapat porsi bobot seberat relevansi PVI. Bisa saja sebuah komunitas jumlah anggotanya banyak, pertumbuhan jumlah anggotanya juga terus meningkat. Namun, jika ternyata komunitas tersebut tidak punya relevansi yang sama dengan kita alias tidak punya interest dan values yang sama, maka buat apa kita bergabung dengan komunitas tersebut. Kita juga akan sulit diterima anggota komunitas lainnya karena memang tidak ada kesamaan.

Ketiga kriteria tersebut pada dasarnya adalah langkah yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengeksplor komunitas yang telah berdiri. Jika tidak ditemukan komunitas yang relevan seperti ini, pada akhirnya perusahaan selalu dapat membentuk komunitasnya sendiri. Tentunya komunitas yang sifatnya ”by-design” seperti ini dari sejak awal dapat diarahkan untuk menjadi komunitas yang dapat merefleksikan karakter merek perusahaan, yang mana beranggotakan orang-orang yang memiliki PVI yang sama pula sejalan dengan PVI dan karakter perusahaan.


Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Monday, September 28, 2009

Segmentation Versus Communitization

Senin, 28 September 2009 | 16:42 WIB

KOMPAS.com - Di dalam artikel sebelumnya, kami juga mengatakan bahwa praktek segmentasi dan komunitisasi memang kedengarannya mirip karena pada dasarnya keduanya adalah praktek pengelompokan konsumen. Tapi banyak sekali perbedaan signifikan antar keduanya.

Pertama, keduanya berbeda dari segi motivasi, tujuan akhir, dan indikator yang digunakan. Dalam segmentasi, motivasi perusahaan adalah untuk memilah konsumen ke dalam satu kotak pasar di mana semua konsumen punya karakteristik yang sama dalam hal kenapa mereka membeli. Tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan gambaran langsung peta konsumen secara demografis, psikografis, perilakunya. Indikator yang digunakan adalah persamaan yang homogen dari segi preferensi dan kebutuhan dari si konsumen.

Beda halnya dalam komunitisasi, motivasi perusahaan adalah untuk menyatukan atau bersatu dengan konsumen yang terkelompok atau dikelompokan karena mereka semua memiliki tujuan, nilai-nilai, dan identitas yang sama antar satu sama lain. Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh perusahaan dalam hal ini adalah bagaimana komunitas yang diciptakan baik secara by-default atau by-design tersebut bisa menjadi relevan dengan karakter merek perusahaan. Indikator yang digunakan bukan lagi sekedar kesamaan yang homogen antar konsumen, tapi lebih dari itu, sejauh mana masing-masing anggota komunitas tersebut betul betul adesif, artinya saling lengket satu sama lain.

Hal kedua yang merupakan perbedaan signifikan antara segmentasi dan komunitisasi adalah paradigmanya. Mindset yang digunakan oleh pemasar pada saat mensegmen pasar adalah bagaimana menjadikan mereknya sebagai pusat gravitasi. Karena intensinya adalah bagaimana pemasar dapat memuaskan preferensi dan kebutuhan dari masing-masing segmen yang dibidik atau yang pas untuk dieksploitasi.

Di dalam komunitisasi, pemasar meletakan konsumen sebagai pusat gravitasinya, jadi bukan sekedar mereknya yang menjadi sentral. Karena pada dasarnya langkah komunitisasi adalah bagaimana konsumen di dalam komunitas ini diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dan berinteraksi dengan perusahaan yang berkarakterkan horisontal dan lebih humanis.

Perbedaan ketiga adalah dari segi proses yang digunakan. Dalam segmentasi, langkah yang digunakan adalah identifikasi, profiling, sebelum kita melakukan targeting atau pemilihan pasar mana yang mau kita tuju. Sedangkan dalam komunitisasi, prosesnya adalah bagaimana kita melakukan ekplorasi yang mendalam terhadap konsumen-konsumen yang ada atau berpotensi untuk dibentuk. Setelah itu, karena sifatnya horisontal, perusahaan tidak lagi asal menarget atau membidik konsumen-konsumennya di dalam komunitas, namun sekiranya’permisi’ atau memohon izin terlebih dahulu dengan mereka untuk diajak saling kerjasama dan kolaborasi. Kalau sudah dapat ’izin’ barulah bisa dikonfirm bahwa komunitas tersebut menjadi confirmed community, bukan lagi target segment.

Di dalam artikel sebelumnya, kami telah mengatakan bahwa segmentation is communitization. Keduanya memang merupakan langkah awal pemasar dalam mendesain strategi pemasarannya. Tapi seiring dengan masuknya kita ke era horisontal seperti sekarang, prakteknya menjadi berbeda. Kini di era New Wave, kita tidak lagi sekedar memetakan dan mengkotak-kotakan konsumen lewat praktek segmentasi. Satu yang menjadi bagian penting adalah bagaimana kita bisa meninjau lebih dalam komunitas konsumen yang sekiranya pas untuk diajak berhubungan secara horisontal dan strategis.


Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Komunitas 'Pencicip' Mobil

Senin, 28 September 2009 | 13:56 WIB

KOMPAS.com - Buat orang yang tidak punya kendaraan dan tinggal di kota besar, menjadi anggota di komunitas car sharing seperti Zipcar mungkin masuk akal. Di Indonesia, bentuk sederhana dari program car sharing ini sudah ada, contohnya adalah komunitas nebeng.com yang menjadi platform penghubung antara kaum penebeng dan pemberi tebengan.

Tren bisnis car sharing mewabah di seluruh dunia sejak lama. Konsep bisnis yang diadopsi dari paham sosialis ini pada awalnya dimulai di Eropa pada tahun 1987 ketika sebuah koperasi di negeri Swiss memulai layanan bagi anggotanya untuk saling berbagi mobil. Nilai yang ditawarkan adalah kemudahan dan hemat biaya.

Kehadiran beberapa perusahaan untuk komunitas pencicip mobil ini dianggap positif mengingat masyarakat urban di negara tersebut beberapa masalah seperti: (1) biaya untuk memiliki kendaraan dan mengendarainya semakin meningkat, (2) kesulitan mencari tempat parkir, (3) kemacetan dimana-mana (4) meskipun sistem transportasi masal sudah ada, namun beberapa wilayah tetap saja tidak terjamah, (5) polusi udara yang ikut disebabkan oleh asap kendaraan bermotor.

Zipcar

Perusahaan Zipcar saat ini dilabel sebagai perusahaan car sharing terbesar di dunia. Yang ia tawarkan bukan sekedar tebengan, tapi memberikan kesempatan bagi orang yang tidak punya mobil untuk ‘mencicipi’ atau mengendarai sebuah mobil.

Jadi ketimbang beli mobil baru dengan rentetan biaya ekstra lainnya seperti biaya cicilan per bulan, asuransi, dan perawatan, mending jadi ikut dalam program ini namun tetap bisa merasa memiliki. Dan bukan itu saja, biaya bensin pun juga bisa di-reimburse ke Zipcar.

Menurut riset, menjadi anggota di perusahan car sharing seperti Zipcar dapat menghemat sekitar $435 setiap bulannya ketimbang memiliki mobil. Melihat hal ini, apalagi di tengah resesi, maka tidak heran kalau 40 persen dari anggota telah menjual mobil pribadinya.

Keuntungan lain yang ditawarkan adalah untuk bergaya. Meskipun Anda punya kendaraan, menjadi anggota Zipcar tetap saja memberikan Anda peluang untuk sedikit bergaya dan mencicipi mobil kedua, ketiga, dan seterusnya, tentunya karena mobil yang Anda gunakan bisa berganti-ganti mulai dari Mini Cooper, VW Beatle, Toyota Prius, Toyota Scion, electric RAV4 dan banyak lagi.

Model bisnis dari car sharing seperti ini relatif sederhana; on-demand car usage. Dalam bahasa gampangnya adalah bedasarkan hitungan jam. Dengan demikian perusahaan seperti ini membedakan dirinya dengan layanan penyewaan mobil seperti Hertz, Avis dan lainnya yang umumnya bedasarkan hitungan hari. Dari sini dilihat pula bahwa yang membedakan antara car sharing dengan car rental ada pada hitungan jarak. Karena model bisnisnya yang on-demand, car sharing akan lebih masuk akal untuk jarak dekat di dalam kota ketimbang antar kota.

Bedasarkan riset, industri penyewaan mobil menghasilkan rata-rata $10,000 sampai dengan $12,000 dari setiap mobil yang disewakan setiap tahunnya. Zipcar dikabarkan dapat sekitar $18,000 dari setiap mobil pertahunnya. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya? Di sini ada tiga hal.

Pertama, ada pada sisi model pricing; (1) ongkos fixed pada saat menjadi anggota: biaya annual fee yaitu sekitar $50 ditambah dengan $25 untuk aplikasi dan (2) ongkos variable ketika mengendarai: yaitu sekitar $10 per jam (tergantung pada model dari mobil yang dipilih). Kesemuanya sudah termasuk bensin dan asuransi.

Kedua, adalah low-cost strategy. Dapat dilihat bahwa memang yang ditawarkan adalah low-price. Namun strategi low price tidak akan dapat sustainable kalau tidak didukung oleh low-cost strategy. Untuk terus mengelola biaya operasional memang sebuah tantangan buat mereka.

Contohnya, otomatis jumlah kendaraan harus terus bertambah ketika perusahaan terus membesar sehingga biaya leasing terus meningkat. Selain itu pula, harga bahan bakar yang naik turun membuat mereka terekspos pada resiko bisnis. Satu hal yang dapat mereka lakukan adalah terus memperbesar jumlah anggota sehingga mencapai skala ekonomis lebih solid.

Dari sisi operasional, dapat pula dilihat bahwa kesuksesan mereka didukung oleh digunakannya sistem IT yang canggih namun gampang digunakan. Contohnya, setiap anggota punya kartu yang dinamakan Zipcard. Kartu ini diinspirasi dari kartu ATM, tentunya bukan untuk menarik uang, namun untuk menarik gagang pintu 6000 kendaraan Zipcar. Tentu tidak bisa sembarangan karena si anggota harus terlebih dahulu melakukan reservasi lewat internet, telepon atau applikasi iPhone dan Blackberry. Setiap mobil juga dibekali navigasi GPS, sehingga ketika dicuri dapat dilacak kembali.

Satu hal yang mungkin memukau adalah prestasi mereka dalam hal menekan biaya marketing yang relatif rendah yaitu antara $1,000 sampai dengan $1,500 per bulan. Strategi pemasaran yang low-budget-high impact ini menurut riset dicapai 30% sampai 40% lewat word-of-mouth, 25% lewat publisitas di media, dan selebihnya lewat komunikasi gerilya yang dilakukan oleh tim pemasaran mereka.

Hal ketiga, yang dapat menjelaskan kesuksesan Zipcar yang kini merupakan perusahaan car sharing terbesar di dunia adalah orientasi pemasaran-nya yang berwujud komunitas. Satu hal yang membesarkan perusahaan ini dari segi bisnis pada akhirnya adalah anggotanya, yang disebut dengan Zipsters. Memang dari segi jumlah masih dapat terus digenjot dari angka sekarang yaitu sekitar 300,000 orang di 49 kota di Amerika, Vancouver, Toronto, dan London. Karena seperti yang dijelaskan diatas, bisnis seperti ini memerlukan skala ekonomis yang pas.

Connecting + Communitizing

Zipcar adalah salah satu contoh perusahaan di era New Wave. Kasusnya mengingatkan kita bahwa mungkin ada dua kata kunci utama untuk memenangkan persaingan di era New Wave. Pertama adalah ‘connector’ dan kedua adalah ‘community.’ Mereka yang menjadi connecting hub lewat platform yang disediakan untuk komunitas, bisa tampil lebih menawan di pesaingan. Dan betul-betul ia menjadi konektor lewat platform-platform yang ia miliki ditambah kemampuan perusahaan ini dalam communitizing konsumennya.

Tentunya ini semua didukung oleh filosofi perusahaannya yang memang horizontal dan sangat civilized. DNA dari Zipcari memang terlihat dari sejak awal yaitu sebagai projek untuk menciptakan sebuah kepemilikan kendaraan alternatif yang dapat meyakinkan jutaan masyarakat urban untuk give up kendaraan pribadi mereka untuk menciptakan green and sustainable planet. Dengan hal ini, dapat dilihat bahwa misi yang dibawa juga bernuansakan sosial, bukan hanya sekedar kenyamanan dan pengalaman menyenangkan anggota dalam memiliki dan menggunakan kendaraan.

Robin Chase, pendiri dari Zipcar, yang juga sama dengan Presiden SBY terdaftar dalam Time 100 Most Influential People, percaya bahwa inovasi model bisnis yang dilakukannya adalah produk dari cooperative capitalism atau social entrepreneurship. Pada akhirnya perusahaan yang didirikannya hanyalah platform untuk komunitas yang saling memiliki dan mempunyai DNA yang sama. Maka tak heran kalau dilihat banyaknya respon masyarakat urban yang sama-sama peduli terhadap visi dan misi dari projek Zipcar.

Dengan misi serupa, Zipcar juga terus aktif menggalang kalangan bisnis dan profesional untuk ikut serta dalam program car-sharing-nya, seperti dengan business offering Zipcar to Business (Z2B) yang menyediakan solusi alternatif untuk kendaraan perusahaan dengan model pay-as-you-go. Sama halnya dengan kerjasama yang dilakukannya pada universitas dan mahasiswa lewat program Zipcar to Universities (Z2U).


Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Community Modeling: From Pool, Hub, to Web

Senin, 28 September 2009 | 13:27 WIB

KOMPAS.com - Kami tertarik dengan apa yang dikatakan oleh seorang pakar bernama Susan Fournier, bahwa komunitas konsumen bisa Anda raih atau bentuk lewat tiga cara: Pools, Hubs, atau/dan Web.

Bentuk Pools adalah komunitas yang paling organik dan natural. Bisa dibilang, tidak usah dibentuk pun, mereka sudah jadi komunitas tersendiri. Karena mereka punya nilai-nilai, interest, dan aktivitas yang sama, dan tergabung karena ada pooling factor yang jelas dan kuat. Komunitas pengguna Apple Mac adalah contoh komunitas yang Pool seperti ini, karena pooling factor-nya jelas yaitu bersatu melawan Microsoft. Karena terbentuk sendirinya (by default), mereka yang memiliki komunitas seperti ini (contohnya L’Oreal yang ditulis dalam artikel sebelumnya) pada akhirnya merawat dan membentuk lebih jauh komunitasnya dengan masuk ke model tipe kedua (hubs) dan ketiga (web).

Komunitas tipe kedua adalah hubs. Komunitas seperti ini biasanya bersatu karena kekaguman anggotanya terhadap individual. Komunitas Oprah adalah contoh komunitas yang hubs seperti ini. Sayangnya komunitas seperti ini biasanya mengandalkan magnet atau ikon. Artinya keterikatan anggota komunitasnya pada daya magnetik dari ikon tersebut sangat kuat. Dengan demikian keterikatannya bisa jadi hanya bersifat temporer, begitu kekuatan magnetik dari Oprah meredup atau tidak lagi ada, maka mereka akan kembali ke komunitas mereka masing-masing yang sporadik seperti Pools tadi itu.

Contoh kasus lainnya dapat pula kita lihat di klub-klub sepakbola seperti Manchester United (MU), Real Madrid, atau AC Milan. Penggemarnya sudah jelas memiliki interest yang sama yaitu interest terhadap masing-masing klub yang mereka banggakan dan mereka bersatu melawan tim rival. Untuk menguatkan komunitasnya, mereka terus bermain di model hub dengan cara mendatangkan pemain bintang.

Komunitas ketiga adalah Webs yang mana adalah bentuk komunitas yang paling kuat dan stabil di mana para anggotanya punya hubungan yang cukup erat antar satu sama lain. Komunitas seperti ini terbentuk karena adanya hubungan antar anggota satu dengan yang lainnya. Komunitas seperti ini secara alamiah gampang terjadi di web. Terutama dengan adanya platform-platform jejaring seperti Facebook, Friendster, Linkedin, dan lain sebagainya.

Communitization Sebagai Bagian Dari Strategi

Dua artikel yang ditulis sebelumnya di kolom ini menggambarakan bahwa praktek segmentasi sudah tidak cukup lagi untuk menjalankan praktek pemasaran di era horizontal seperti ini. Satu hal yang menjadi tantangan bagi pemasar adalah bagaimana caranya untuk membentuk komunitas, bukan membentuk peta segmen pasar.

Banyak yang mungkin bertanya, segmentasi adalah kelompok dan begitu pula dengan komunitas, lantas apa bedanya? Bedanya jelas. Di dalam sebuah segmen, tidak terjadi kedekatan antar satu anggota kelompok (baca: konsumen) dengan yang lain. Beda halnya dengan komunitas, yang mana satu anggota dengan yang lain saling peduli satu sama lain, dan memiliki kesamaan nilai-nilai, interest, dan tujuan. Mereka bukan saja saling kenal dan dekat satu sama lain, tapi juga mereka berkomunikasi antar satu sama lain.

Komunitas bisa Anda susupi untuk diajak kolaborasi atau bisa juga Anda bentuk sendiri. Satu hal yang terpenting adalah bagaimana ia menjadi sentral dari strategi bisnis perusahaan, bukan sekedar salah satu aktivitas pemasaran atau PR semata. Makanya dengan ini kami menaruh Communitization sebagai strategi bukan sebagai taktik. Kalau dalam legacy marketing, langkah pertama untuk menyusun strategi marketing adalah dengan melakukan segmentasi. Di era New Wave ini, komunitisasi adalah langkah pertama untuk menyusun strategi marketing dan bisnis perusahaan.

Kalau komunitas konsumennya perusahaan sudah jelas, teridentifikasi atau terbentuk, tergambar secara jelas tujuan, interest, dan nilai-nilainya, cocok untuk kita ajak kolaborasi, maka langkah-langkah pemasaran yang lain tinggal mengikuti dan pembangunan karakter dapat terfokus pada hal-hal yang terkait dengan komunitas tersebut.

Filosofi dari hal ini pada dasarnya adalah perusahaan harus memberikan kesempatan supaya brand-nya dapat dimiliki dan dibesarkan oleh komunitasnya. Dengan demikian segala keputusan strategis untuk pemasaran harus, pada akhirnya, sejalan dengan ’kesejahteraan’ komunitas. Kalau komunitisasi ini tidak ditempatkan di level strategis alias hanya untuk taktikal marketing semata, maka langkah pembentukan komunitas bisa jadi akan gagal.


Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Memetakan Brand secara Horizontal

Senin, 28 September 2009 | 10:53 WIB

KOMPAS.com — L’Oreal merupakan salah satu dari sekian banyak perusahaan yang kini menjalankan aktivitas pemasarannya lewat pendekatan komunitas. Perusahaan kosmetik asal Perancis yang kini memiliki lebih dari 500 merek ini menjalankan pemetaan strategi pemasaran dan pengukuhan mereknya lewat pendekatan berbasis komunitas.

Pertama-tama ia memetakan semua merek yang ia miliki berdasarkan dua dimensi: brands of authority vs brands of conversation dan mainstream vs niche. Secara mudah, ia mengategorikan brand-nya menjadi empat kotak: (1) merek L’Oreal yang menjadi "otoritas" atau "ikon" di lini tertentu dan bermain di pasar mainstream, (2) merek L’Oreal yang menjadi otoritas dan bermain di pasar niche, (3) merek L’Oreal yang menjadi platform untuk conversation dan bermain di pasar mainstream, dan (4) merek L’Oreal yang menjadi platform untuk conversation dan bermain di pasar niche.

Dengan mengotakkan sendiri merek yang dimilikinya, ia kemudian mengidentifikasikan komunitas-komunitas apa yang sesuai untuk diajak kolaborasi.

Seiring dengan intensinya menjadi "otoritas" di industri kecantikan, L’Oreal menawarkan jasa konsultasi yang diberikan lewat jaringan afiliasi mereka dengan para ahli kecantikan yang tersebar di seluruh dunia. Untuk melakukan ini, mereka tidak hanya merekrut selebriti-selebriti untuk dijadikan endorser di iklan TV, tetapi juga melakukan berbagai aktivitas pemasaran yang sifatnya komunal.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh salah satu mereknya yang niche di lini kecantikan kulit, La Roche-Posay, ia mencoba menjadi platform untuk komunitas (untuk wanita yang memiliki atau ngidam) “kulit cantik” dengan cara menawarkan konsultasi online dan face-to-face dengan menampilkan dermatologis.

Merek yang terkenal dengan selebriti endorser-nya, mulai dari Eva Longoria sampai David Ginola, ini kini juga semakin menghorizontalkan diri, menjadi konektor, dan menyediakan platform supaya anggota komunitas dapat berinteraksi. Sebagai contoh, lewat merek L’Oreal Garnier, ia mengundang blogger-blogger ternama untuk berbagi ide dan inisiatif yang mereka miliki untuk komunitas sosial. Begitu juga dengan merek Kiehl yang aktif di berbagai event sponsorship untuk komunitas akar rumput.

Strategi community-building yang dilakukan oleh L’Oreal ini diimplementasikan lewat berbagai macam cara. Namun, yang menjadi sentral adalah intensinya untuk menjadi konektor yang dapat menghubungkan orang-orang, yang tadinya tidak kenal satu sama lain, menjadi kenal dan menjadi sebuah komunitas yang dapat ia rawat.

Contoh L’Oreal adalah gambaran nyata bagaimana sebuah perusahaan dapat bergerak dari vertikal ke horizontal. Yang diubah bukan hanya paradigma-nya, melainkan juga sampai strategi pemetaan mereknya, bahkan sampai ke aktivitasnya.

Pemetaan yang dilakukan oleh L’Oreal bukan sekadar segmentasi, melainkan communitization. Seperti yang dikatakan sebelumnya ”segmentation is communitization”, praktik segmentasi di era new wave ini bersifat horizontal, bukan lagi top-down. Artinya, praktik segmentasi bukan lagi mengotak-ngotakkan konsumennya berdasarkan atribut yang ada, melainkan praktiknya sekarang adalah memetakan merek yang kita miliki untuk ditawarkan kepada komunitas-komunitas yang cocok dan sesuai dengan karakter merek yang kita miliki pula.


Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Segmentation is Communitization

Senin, 28 September 2009 | 09:32 WIB

KOMPAS.com - Di dalam konsep pemasaran dengan gaya ‘legacy’ yang sifatnya vertikal, segmentasi adalah proses memanfaatkan peluang dengan membagi-bagi pasar menjadi beberapa segmen. Pasar dipetakan berdasarkan karakteristik yang Anda tentukan, sehingga perusahaan Anda bisa melihat lebih jelas pasar mana yang akan dimasuki. Segmentasi adalah sebuah seni mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada di pasar dengan melihat pasar secara kreatif.

Pemasar yang smart biasanya melakukan segmentasi dengan cara mengelompokan pasar berdasarkan atribut yang sifatnya statis ataupun dinamis. Atribut statis artinya variable yang digunakan tidak selalu mencerminkan perilaku pembelian atau penggunaan dan tidak secara langsung mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli.

Contoh jenis atribut semacam ini adalah segmentasi yang yang berdasarkan variable geografi dan demografi. Segmentasi yang seperti ini lebih mudah dilakukan, namun sayangnya sering kali tidak ’berbunyi’ karena tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana konsumen memilih dan membeli suatu produk.

Beda halnya dengan segmentasi berdasarkan atribut dinamis (segmentasi berdasarkan nilai-nilai psikografis, perilaku, atau juga behavioral), yang dapat secara dalam mencerminkan karakteristik sesungguhnya konsumen.

Dilihat secara konsepnya segmentasi memang penting, bukan saja karena mengingatkan bahwa pasar tidak bisa dipukul sama rata, namun juga karena segmentasi terkait dengan strategi pemasaran Anda.

Segmentasi adalah praktek ’legacy’ karena ia dilakukan secara top-down atas inisiatif perusahaan yang mengkotak-kotakan konsumennya berdasarkan atribut yang ada. Ia merupakan peta cakrawalanya pemasar untuk melihat kondisi pasar termasuk konsumennya yang berbeda, untuk kemudian ditembak untuk menjadi pelanggan.

Di zaman New Wave seperti sekarang, kita sendiri sudah melihat bahwa teknologi Web 2.0 membawa kita ke era horisontal, di mana konsumen ingin lebih dianggap sebagai manusia seutuhnya bukan sebagai sasaran tembak pemasar. Dengan demikian, praktek memetakan konsumen ke dalam kelompok berdasarkan atribut dinamis atau statis sudah menjadi kurang relevan lagi.

Berbagai alat Web 2.0 mulai dari blog, wiki, tags, RSS dan sebagainya, membawa kita pula ke jaman di mana konsumen menjadi lebih sosialis dan komunal berlandaskan persaudaraan. Maka dari itu, sudah seharusnya praktek segmentasi yang dilakukan oleh pemasar dirubah untuk mencoba merespons gelombang baru di dunia pemasaran ini.

Caranya adalah berubah dari vertikal ke horisontal. Kalau dulu kita melakukan praktek segmentasi yang vertikal yaitu melihat konsumen sebagai sekelompok orang yang memiliki karakteristik yang sama yang menyebabkan mereka untuk membeli sesuatu yang sama, di mana mereka tidak kenal sama lain, dan di mana mereka menjadi target pemasaran kita.

Di era New Wave seperti sekarang, kita melakukan praktek segmentasi yang lebih horisontal yaitu melihat konsumen sebagai sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain, dan memiliki kesamaan nilai-nilai, interest, dan tujuan.


Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Sunday, September 27, 2009

INVESTASI: "Tabungan" Lebaran

Minggu, 27 September 2009 | 03:05 WIB

Elvyn G Masassya - praktisi keuangan

Belum lama ini di Jawa Barat seseorang melakukan pengumpulan dana dari masyarakat. Ia menjanjikan hasil berlipat ganda. Hasil investasi akan dikembalikan kepada peserta menjelang Lebaran. Pengumpulan dana itu diistilahkan sebagai ”Tabungan Lebaran”. Ternyata dana yang telah dikumpulkan raib tak berbekas.

Kenapa hal semacam itu terus terjadi? Bagaimana sang pelaku bisa leluasa beroperasi? Dan mengapa kasus terkuak tatkala ”investasi” yang dilakukan gagal?

Pelaku sebenarnya beroperasi seperti bank. Ia mengumpulkan dana secara rutin dari masyarakat dalam jumlah tidak terlalu besar. Namun, karena pengumpulan dana dilakukan secara terus-menerus, maka dana terakumulasi. Ini persis seperti penghimpunan dana tabungan, tapi tentu saja ini ilegal karena yang diperkenankan menghimpun dana masyarakat hanya bank dan mesti mendapatkan izin dari Bank Indonesia.

Kenapa pelaku bisa menjalankan operasinya? Jelas, karena ia tidak menyebut diri sebagai bank. Dia bergerak seperti lembaga investasi atau fund manager. Boleh jadi juga pengumpulan dana tersebut disebut sebagai arisan investasi. Konkretnya, dia menawarkan imbal hasil tertentu dari dana yang dihimpun untuk kemudian dikembalikan menjelang Lebaran. Bagi ”orang kecil”, ide semacam itu bisa sangat menarik karena iming-iming yang diberikan adalah sejumlah uang untuk Lebaran.

Bagaimana pelaku bisa memutar dana yang dihimpun dan kemudian dikembalikan kepada peserta dalam jumlah yang menarik? Mudah ditebak. Dana yang dihimpun sebenarnya oleh si penghimpun dipakai sebagai modal kerja untuk kegiatan bisnis, apa pun jenis bisnisnya. Jika kondisi ekonomi sedang baik dan bisnis berkembang pesat, tentu bukan hal sulit untuk mendapatkan keuntungan.

Besar keuntungan

Berapa besar keuntungannya? Jika dalam beberapa tahun terakhir bunga kredit bank adalah sekitar 15 persen per tahun, tentu bisnis yang ia jalankan mestinya bisa memberikan keuntungan di atas 15 persen. Dengan hitungan sederhana seperti itu, tentu bukan hal sulit baginya untuk berbagi keuntungan dengan para pemilik dana yang telah ”meminjamkan” dana dalam bentuk tabungan Lebaran. Dengan kata lain, dia bisa saja memberikan imbal hasil di atas 10 persen per tahun kepada pemilik dana.

Pada tahun ini dia gagal karena kondisi ekonomi memang tengah buruk sehingga bisa jadi keuntungan dari bisnis yang dijalankan sangat rendah atau bahkan merugi. Dengan demikian, dia tidak memiliki dana cukup untuk bisa dibagikan sebagai kontra prestasi bagi para pemilik dana.

Itu adalah asumsi jika dana digunakan secara benar, yakni untuk menjalankan bisnis. Dan itu bisa diketahui dari persentase imbal hasil yang dibagikan kepada peserta, yakni sekitar 10 sampai 15 persen per tahun.

Bagaimana jika imbal hasil yang dijanjikan jauh di atas itu? Katakanlah sekitar 50 persen per tahun atau lebih besar. Jelas, tidak mudah mencari bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan sebesar itu. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin dana yang dikumpulkan dari peserta sebenarnya bukan untuk bisnis, tetapi dikelola dengan pola rantai. Dengan pola ini dana peserta baru digunakan untuk membayar peserta lama. Begitu seterusnya.

Pola ini akan menemui jalan buntu ketika peserta baru sudah tidak ada lagi sehingga dana yang tersedia tidak mencukupi untuk membayar peserta lama.

Melihat gelagatnya, hampir semua kasus penipuan penghimpunan dana untuk investasi ”bodong” menggunakan modus seperti itu.

Bukan sinterklas

Kasus tersebut menunjukkan, sepanjang masyarakat masih tergiur dengan iming-iming hasil investasi besar, maka kasus semacam itu akan terus ada. Upaya menghentikan investasi ”bohong” seperti ”tabungan” Lebaran itu sebenarnya ada di tangan masyarakat selaku pemilik dana.

Dalam investasi tidak ada ”makan siang gratis”. Tidak ada potensi imbal hasil besar yang tidak diikuti oleh risiko besar. Apalagi, jika pengelolaan dana tidak dilakukan secara transparan, bisa dipastikan ada sesuatu di balik pengelolaan dana tersebut. Oleh karena itu, jika mendapatkan tawaran semacam itu, ada beberapa hal yang mesti dicermati.

Pertama, cek aspek legalitas dari lembaga yang menawarkan. Apakah yang bersangkutan memiliki izin atau tidak. Kedua, cek mekanisme lembaga yang menawarkan produk investasi itu dalam ”memutar” dana Anda. Jika tidak ada transparansi dan tidak ada logika dalam penjelasannya, maka waspadalah, Anda sedang memasuki ”mulut singa”.

Ketiga, investasi sangat didasari kepercayaan dan rekam jejak dari penyelenggara investasi. Kalau Anda tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai sepak terjang si penyelenggara, sebaiknya jangan menempatkan dana.

Kelima, lembaga penyelenggara investasi bukanlah sinterklas atau pemberi sedekah, tetapi bisa jadi sebaliknya. Terlebih jika lembaga penyelenggara investasi itu hanya memberi janji, tapi tidak bisa menunjukkan prestasi.

KOMPAS

Tuesday, September 22, 2009

Islam "Harus" Kaya

Menarik sekali mendengarkan acara Today's Dialogue di Metro TV hari ini (22 Sep 2009) yang dimulai pukul 10 malam. Acara itu membahas tentang Kekayaan. Kita sebagai muslim diharuskan menjadi Kaya.

Salah satu faktor nya adalah pemberian Zakat yang bersifat wajib artinya bagaimana seseorang dapat memberikan Zakat (tangan diatas) kalau dia seseorang yang miskin. Orang miskin harus diberikan Zakat atau Sadaqah oleh orang2 Kaya.

Seorang nara sumber memberikan analogi sbb: Ketika seseorang memberikan berlian atau mobil yang mewah ke seseorang yang dicintainya mereka merasa bahagia sekali, tidak merasa kehilangan sama sekali, tidak merasa rugi. Karena merasa bahagia, dapat menimbulkan aura positif yang dapat mempengaruhi sekelilingnya sehingga alam ini dengan suka cita memberikan dia kesempatan untuk memperoleh harta yang berlimpah karena aura positif tersebut....Masya ALLAH!!!......

Marilah kita terapkan TANGAN DIATAS, supaya kita dibalas oleh ALLAH dengan harta yang berlimpah....Amin....

Sunday, September 20, 2009

From Legacy to New Wave

Minggu, 20 September 2009 | 22:13 WIB

KOMPAS.com - Di bagian “why new wave”, kita telah sama-sama melihat trend terbaru di lanskap bisnis termasuk di antaranya 10 faktor utama kenapa bisnis telah menjadi horizontal. Telah pula dijelaskan bahwa perubahan besar di dunia pemasaran sedang terjadi dan akan menjadi-jadi lagi kedepannya.

Teknologi informasi dan komunikasi yang didorong oleh dunia baru Web 2.0 yang telah merevolusi tatanan lanskap bisnis sehingga dunia semakin horizontal dan datar. Dengan perubahan lanskap ini, sudah seharusnya perusahaan ikut berubah dan bergerak menghorisontalkan diri dengan konsumen, kompetitor, dan agen-agen pembawa perubahan.

Marketing adalah ilmu yang pada dasarnya tidak susah. Selama ini kami sering katakan bahwa, marketing berkaitan dengan sembilan elemen yang terdiri dari: segmentasi, targeting, positioning, diferensiasi, marketing-mix, selling, brand, service, dan process.

Kesembilan elemen tersebut adalah arsitektur bisnis perusahaan yang telah diperkenalkan 13 tahun yang lalu. Dari sembilan itu akhirnya perumusan makna pemasaran yang sesungguhnya yaitu positioning-differentiation-brand (PDB). Ketiganya saling terkait dan harus dibangun secara seksama sebagai suatu kesatuan.

Sembilan elemen inti pemasaran tersebut sudah dikenal sejak lama, kami pun menyebutnya legacy, karena secara tradisional, praktek pemasaran yang dilakukan oleh pemasar dan perusahaan bolak-balik tersaring dalam kesembilannya.

Sembilan elemen tersebut lahir di jaman serba vertikal, karena ketika itu belum ada teknologi yang canggih, belum ada Web 2.0, bahkan belum ada Web 1.0. Ketika itu praktek pemasaran yang dilakukan oleh pemasar dilakukan dan dikendalikan secara top-down, sifatnya hirarkis, dari perusahaan ke konsumen.

Konsumen dilihat sebaagai objek tujuan dan target perusahaan yang harus diraih dan dikuasai oleh perusahaan. Semuanya dilakukan oleh pemasar di perusahaan secara terorganisasi dan sangat rapi, terstruktur lewat marketing plan yang komprehensif. Konsumen di pasar dipaksa menerima apa yang ditawarkan perusahaan.

Seiring dengan masuknya kita ke era yang horisontal yang didorong oleh kekuatan baru teknologi Web 2.0., kita seakan dihadapi oleh tuntutan untuk bergerak lebih horisontal dan duduk sejajar terutama dengan konsumen, kompetitor dan agen-agen pembawa perubahan. Artinya konsumen bukan lagi menjadi objek tapi subjek, karena penciptaan nilai pemasaran akan lebih bertambah kalau kita libatkan pelanggan dan melakukan inovasi secara bersama-sama.

Kompetitor bukan lagi menjadi ’musuh’ yang harus dimatikan dalam perang pemasaran, namun menjadi musuh yang harus ’dirangkul’ secara etikal. Agen-agen pembawa perubahan harus terus diawasi pergerakannya sebab karena merekalah lanskap berubah.
Model pemasaran yang sesuai dengan era New Wave ini memang harus berubah dari tidak lagi yang sifatnya vertikal, namun horisontal. Sembilan elemen yang selama ini sudah dikenal mungkin masih tetap berlaku, namun secara praktek kesembilannya harus dirubah ke yang lebih horisontal.

Maka dari itu di bagian kedua ”what is new wave” ini, kami akan membahas pergeseran strategi, taktik, dan value pemasaran dari yang sifatnya vertikal dan horisontal. Dari sisi strategi pemasaran, terjadi pergeseran dari yang namanya Segmentation menjadi Communitization, Targeting menjadi Confirmation, dan Positioning menjadi Clarification.

Penerapan elemen taktik pemasaran pun berubah karena terjadi pergeseran praktek Differentiation menjadi Codification, dari bauran pemasaran 4P (product, price, place, promotion) menjadi New Wave Marketing-Mix 4C (co-creation, currency, communal activation, dan conversation) dan juga dari Selling ke Commercialization.

Begitupula dengan Marketing Value yang bergeser dari Brand ke Character, dari Service menjadi Care, dan dari Process menjadi Collaboration.

Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Friday, September 18, 2009

Model Perusahaan yang "New Wave"

Jumat, 18 September 2009 | 07:41 WIB

KOMPAS.com - Di tengah perubahan dunia bisnis dan pemasaran yang bergerak ke arah yang lebih horizontal ini, banyak yang keluar dengan istilah baru untuk mendeskripsikan perusahaan zaman sekarang; ada yang menyebutnya “Networked Organization”, “Learning Organization”, “Relational Organization”, “intelligent enterprise” , “Cluster organization”, “Human networking”, dan ada juga yang menyebutnya “Crazy Organization.”

Istilah yang dikatakan oleh para pakar dan pemikir dunia bisnis tersebut−mulai dari Peter Drucker, Peter Senge, sampai Tom Peters−pada dasarnya merucut ke suatu hal yang sama. Intinya perusahaan pun menjadi horizontal.

Bagi mereka yang ingin membawa perusahaannya menjadi horizontal, tiga kata kunci Connected, Catalyzed, Civilized, menjadi sangat penting untuk diperhatikan.

Seperti yang dikatakan dalam kolom ini kemarin, di era New Wave seperti sekarang, perusahaan harus selalu melakukan Always-on connection. Dengan demikian perusahaan selalu punya akses dan selalu bisa memantau perkembangan terbaru yang bisa berubah dari detik ke detik.

Perusahaan harus terhubung lewat connector dan harus selalu get connected. Karena perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis bergerak sangat cepat, dan kita semakin ter-inform oleh itu semua karena berbagai platform yang ada di dunia online dan offline. Selain itu pula, connector yang berbasiskan open platform membuat kita semakin mudah untuk mendapatkan insights dari gerak-gerik kompetitor dan trend baru di dunia konsumen. Bahkan platform pencarian yang membantu pemasar membuat analisa SWOT secara otomatis dan real-time pun sudah ada, seperti dengan Thomson Reuters, Bloomberg, Lexis Nexis, dan sebagainya. Platform-platform tersebut, meski masih belum open, selama ini digunakan oleh kalangan analyst pasar dan akademis, yang membayar biaya akses dan langganannya dengan harga yang cukup mahal.

Untuk sekedar bertahan hidup, pemasar cukup sekedar terkoneksi. Namun itu tidak cukup untuk memenangkan persaingan. Di tengah perubahan dan lanskap yang penuh dengan kekacauan seperti sekarang, kita sebagai pemasar harus bisa merasakan perubahan, harus menjadi katalis dan harus dapat memahami lingkungan sekitarnya.

Selain untuk terkoneksi dan menjadi katalis perubahan lanskap, perusahaan yang ingin menang di era New Wave ini harus tampil civilized dan humanis. Di era internet, orang bisa melakukan apa pun, memakai nama samaran, melakukan fitnah, atau melontarkan komentar yang tidak berpendidikan dan tidak etis. Pada akhirnya, mereka yang beradab sajalah yang akan tetap terjaga reputasinya dan terus dipercaya orang. Pemasar seperti ini punya nilai-nilai moral yang tinggi.

Di era New Wave seperti sekarang, Perusahaan tidak hanya dituntut untuk menjadi pemasar yang hanya bisa menjalin relasi dengan orang lain, namun juga bisa mendeteksi perubahan yang terjadi dan tetap mampu melakukan segala aktivitas dengan cara-cara yeng etikal, bermoral dan beradab.

Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Thursday, September 17, 2009

From 4C to 5C

Kamis, 17 September 2009 | 17:26 WIB

KOMPAS.com - Dunia Internet saat ini dibanjiri oleh platform yang dapat menyerap dan mengumpulkan konten tersindikasi di web yang dipasok dari mana-mana.

Dengan adanya RSS (Really Simple Syndication), kita dengan mudah dapat seperti ber-‘langganan’ konten terbaru dari situs-situs penyedia konten yang ada di Internet. Tinggal masuk ke platform yang menyediakan layanan pengumpul ini, kita akan seolah oleh disuap update terbaru dari situs-situs konten yang telah kita pilih. Langganan RSS lewat layanan pengumpul ini, tidak diperlukan biaya alias gratis, hanya saja memang konten yang dikirim terkadang terbatas sehingga kita tetap harus masuk ke alamat situs terkait untuk membaca versi yang lebih lengkap.

Dengan RSS, Anda akan tergabung dengan orang-orang seperti Anda yang ingin disuapi oleh konten-konten terbaru di suatu situs blog tertentu. Artinya isi suapannya akan kurang lebih sama.

Google dengan Google Alert-nya juga memiliki platform penyerap, pengumpul, dan penyuap hal-hal terbaru di dunia web, mulai dari blog, berita, videocast, forum milist, dan lain sebagainya. Dengan fasilitas Google ini, kita tidak perlu mengubek-ngubek sendiri untuk menarik berita ke kita, tapi kita yang didatangi oleh berita tersebut. Anda tinggal ’pesan’ untuk disuapi oleh Google mengenai berita-berita terbaru mengenai apa saja, mulai dari berita mengenai aktivitas yang dilakukan oleh para agen perubahan (change agents), apa yang dilakukan kompetitor Anda, apa yang dilakukan konsumen Anda, sekaligus pemberitaan mengenai perusahaan Anda sendiri. Semuanya memungkinkan, asalkan tepat keyword yang Anda masukan ketika ’memesan suapan’ dari Google ini.

Dengan demikian, kita tidak saja jadi tahu tahu tentang apa yang terjadi di lingkungan sekitar, namun kita jadi bisa lebih alert dan dapat secara otomatis men-sensing perubahan lanskap. Informasi yang datang ke kita dapat diperoleh kapan kita mau dan dalam bentuk yang kita mau. Tentunya kalau kita terkonek ke internet.

Platform pencarian social media seperti ini kini semakin marak, contohnya dengan adanya platform seperti Friendfeed, Blogpulse, Technorati, Boardtracker, Socialmention, Whostalkin, Newsfit, Twitrratr, Tweetfeel, dan lain sebagainya, Anda dapat tahu percakapan-percakapan yang beredar belakangan di social media mulai dari blog-blog orang sampai apa yang ada di dunia Twitter.

Canggihnya lagi, situs-situs pencarian social media seperti ini sekarang ibarat penyedia jasa riset karena secara otomatis dapat memberikan feedback terhadap keyword yang Anda ingin lacak. Misalnya Anda memasukkan keyword "iPhone 3Gs", Anda akan secara otomatis dapat gambaran beberapa orang yang seminggu belakang menggosipkannya di dunia online, asosiasi terhadap keyword tersebut, dan juga sentiment (negative, positif, atau netral) mengenai konten pembicaraanya. Itu semua langsung secara otomatis dapat terlihat secara jelas dan dapat diakses oleh siapa saja, apakah itu oleh Anda sebagai pengguna, oleh Apple sendiri sebagai produsen, bahkan oleh para kompetitor dari Apple.

Seperti yang dijelaskan lewat kolom ini kemarin, di era serba canggih seperti sekarang, perusahaan terhubung oleh Connector seperti platform-platform yang diceritakan diatas yang membuat kita semakin mudah mengakses apa yang ingin tahu mengenai konsumen, kompetitor dan para change agents yang senantiasa mendorong tatanan lanskap makro.

Lewat Connector ini, hubungan yang lebih horisontal dengan elemen lingkungan bisnis menjadi lebih memungkinkan. Dengan adanya connector, pemasar di era New Wave dapat menerapkan apa yang dinamakan Always-on Connection, yang bukan lagi sifatnya 24/7 tapi 60/60/24/7. Karena setiap detik telah terjadi koneksi yang menghubungkan perusahaan (Company) dengan 3C lainnya dalam lainnnya; Change agents, Competitor, dan Customer. Inilah yang membuat kami merasa yakin bahwa pada dasarnya cara kita melihat dan menganalisa lanskap menjadi berubah dari 4C (Change, Competitor, Customer, Company) ke 5C (Change agents, competitor, customer, dan company).

Dari Landscape ke Globosphere

Selama ini model 4C (Change, Customer, Competitor, dan Company) adalah ibarat radar yang kita gunakan dalam menganalisa perubahan lanskap di dunia bisnis. Analisa dari keempat C tersebut memberikan kita sebuah gambaran tentang profil lingkungan bisnis serta kondisi internal perusahaan.

Sesuai dengan namanya, 4C terdiri dari empat faktor yang saling terkait satu sama lain: Change (Perubahan), Customer (Pelanggan), Competitor (Pesaing), dan Company (Perusahaan). Ketiga faktor pertama merupakan unsur-unsur utama lanskap bisnis, sementara faktor terakhir yaitu Company, adalah berbagai faktor internal perusahaan yang sangat kritikal posisinya dalam penyusunan strategi.

Observasi ini tidak hanya memberitahu kita tentang kondisi yang ada sekarang maupun sejumlah perkembangan mutakhir dari lanskap bisnis perusahaan, namun juga yang lebih penting lagi memberi kita gambaran tentang berbagi kondisi dan perkembangan di masa mendatang. Semangat yang digunakan pada saat kita menganalisa 4C ini adalah untuk berkompetisi untuk mendapatkan pasar saat ini dan berkompetisi untuk merebut pasar masa depan.

Studi-studi tentang lingkungan Change, Customer, dan Competitor menghasilkan suatu outlook tentang lanskap bisnis di masa depan. Tentu saja, tidak mudah meramalkan masa depan. Kalau saja kita bisa, pasti kita semua akan kaya raya. Namun yang penting adalah menciptakan suatu gambaran tentang lanskap bisnis dengan kerangka waktu sejauh mungkin, berdasarkan apa yang kita ketahui saat ini. Ini sejalan dengan definisi dari kata ’lanskap’ yakni suatu gambaran yang mewakili pemandangan yang merentang sejauh mata dapat memandang.

Seiring dengan masuknya kita ke era New Wave ini, semua serba horisontal dan pasar menjadi datar. Artinya antara Change, Customer, Competitor, dan Company menjadi sejajar dan mereka semua semua dapat berinteraksi secara real-time, memiliki akses ke satu dan yang lain, dan semua menjadi transparan karena adanya C ke lima yaitu Connector.

Dengan demikian cara kita menganalisa lanskap bukan lagi yang sifatnya vertikal-dari atas ke bawah-lewat model berbentuk ’wajik’ yang selama ini kami namai 4C Diamond . Namun kini sejajar karena lahirnya Connector tadi yang membuat lanskap bisnis menjadi seperti globe, di mana antara Change Agents, customer, competitor, dan company saling terhubung oleh berbagai macam platform Connector, mulai dari yang sifatnya mobile, experiential, dan social.

Para pemasar pada umumnya menganalisa lanskap secara step-by-step, pertama-tama dilihat dulu dari kekuatan-kekuatan perubahan yang terdiri dari lima unsur-perubahan teknologi, perubahan politik/legal, perubahan ekonomi, perubahan sosial/budaya, dan terakhir perubahan pasar, yang mana kelimanya mewakili ’C’ pertama yaitu Change. Dari situ kita lihat ’C’ yang kedua yaitu Competitor, di mana kita melihat bagaimana kekuatan-kekuatan tersebut mempengaruhi kondisi persaingan dan gerak-gerik kompetitor dan juga ’C’ yang ketiga yaitu Customer, di mana kita melihat bagaimana kekuatan Change mempengaruhi perilaku dan trend baru di dunia konsumen.

Ketiganya; (forces of) Change atau kekuatan perubahan, Competitor, dan Customer adalah faktor eksternal yang harus terus diamati karena sebagaimana yang terumus dalam filosofinya, marketing adalah pendekatan yang ’outside-in’ (dari luar ke dalam), bukannya ’inside-out’ (dari dalam ke luar).

Insight yang kita cari dari perubahan eksternal tersebut adalah hal-hal apa saja yang dapat mengancam (Threats) dan juga membawa peluang baru (Opportunities) bagi internal perusahaan kita. Setelah menganalisa ketiga ’C’ tersebut, barulah kita melihat ke internal sendiri, berbagai macam aspek yang terkait dengan kelemahan (Weaknesses) dan kekuatan (Strengths) yang kita miliki di tengah perubahan lanskap. Analisa tersebut selama ini dinamakan analisa TOWS (kebalikan dari SWOT analysis).

Dengan adanya connector, cara step-by-step seperti ini mungkin sudah tidak relevan lagi. Karena perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis bergerak sangat cepat, dan kita semakin ter-inform oleh itu semua karena berbagai platform yang ada di dunia online dan offline. Selain itu pula, connector yang berbasiskan open platform membuat kita semakin mudah untuk mendapatkan insights dari gerak-gerik kompetitor dan trend baru di dunia konsumen. Bahkan platform pencarian yang membantu pemasar membuat analisa SWOT secara otomatis dan real-time pun sudah ada, seperti dengan Thomson Reuters, Bloomberg, Lexis Nexis, dan sebagainya. Platform-platform tersebut, meski masih belum open, selama ini digunakan oleh kalangan analyst pasar dan akademis, yang membayar biaya akses dan langganannya dengan harga yang cukup mahal.

Dulu di zaman kita hidup di waktu yang sifatnya berjalan tiktok 24/7 mungkin cara analisa step-by-step seperti itu masih relevan. Tapi kini dengan gaya hidup yang Always-on Connection, kita hidup di zaman yang 60/60/24/7. Setiap detik telah terjadi koneksi yang menghubungkan perusahaan (Company) dengan 3C lainnya dalam lainnnya; Change agents, Competitor, dan Customer. Inilah yang membuat kami merasa yakin bahwa pada dasarnya cara kita melihat dan menganalisa lanskap menjadi berubah dari 4C (Change, Competitor, Customer, Company) ke 5C (Change agents, competitor, customer, dan company).

Bagaimana pendapat Anda?

Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

The Connector

Kamis, 17 September 2009 | 10:44 WIB

KOMPAS.com - Di era serba canggih seperti sekarang, perusahaan terhubung oleh Connector yang membuat kita semakin mudah mengakses konsumen, kompetitor dan para change agents yang senantiasa mendorong tatanan lanskap makro.

Lewat Connector ini, hubungan yang lebih horisontal antara elemen lingkungan bisnis menjadi lebih dimungkinkan.Ada tiga jenis Connector, yaitu mobile interaction, experiential events, dan social media. Di mana masing-masing dapat berada di belahan dunia online maupun offline. Dengan adanya Connector, pemasar di era New Wave dapat menerapkan apa yang dinamakan Always-on Connection, yang bukan lagi sekedar bersifat 24/7 tapi bahkan 60/60/24/7. Karena pada setiap detiknya dapat terjadi koneksi yang menghubungkan perusahaan (Company) dengan 3C lainnya; Change agents, Competitor, dan Customer.


Bisa dibilang, mereka yang sukses di era New Wave ini adalah mereka yang dapat menjadi Connector. Dengan kata lain, dapat menyediakan platform yang bisa berperan sebagai jembatan dan penghubung antara orang ke orang lainnya.

Mobile Connectors

Mobile Connector memberikan fasilitas penghubung yang sifatnya mobile, bukan lagi berdasarkan fixed connection di suatu lokasi yang statik. Mobile connector ini bentuknya bisa berupa telepon seluler, laptop, smartphone ataupun perangkat lainnya yang bisa membuat orang melakukan koneksi online tanpa terikat oleh metode koneksi yang fixed, yang pada umumnya dicapai melalui koneksi wireless.

Kemajuan teknologi membuat perangkat mobile connector semakin nyaman digunakan. Laptop, misalnya, semakin lama bobotnya semakin ringan dan daya hidup baterainya juga semakin lama. Termasuk di sini, populernya Netbook. Smartphone juga semakin mudah digunakan dan fitur-fiturnya semakin mendukung akses Internet. Mobile connectors seperti ini bersifat menjadi platform atau jembatan yang membuat orang dapat mengakses segala bentuk informasi secara realtime di mana saja, kapan saja.

Perkembangan teknologi yang bergerak dari broadcasting ke networking, membuat mobile connector ini sifatnya tak hanya fungsional untuk mengakses informasi, namun juga memudahkan kita untuk menyebarluaskan informasi sekaligus bersosialisasi dengan dunia luar. Hal ini juga menjadikan kita bisa semakin mudah mengakses perubahan-perubahan yang terjadi di lanskap bisnis.

Di Indonesia sendiri, meningkatnya popularitas Blackberry serta smartphone lainnya seperti N-Series Nokia dan Apple iPhone platform mobile ini ke masyarakat luas. Bahkan mereka yang sebelumnya tidak terpikir untuk selalu terhubung secara online, otomatis menjadi connected saat menggunakan layanan Blackberry, meskipun, misalnya, pada awalnya gadget itu hanya dibeli karena “ikut-ikutan”.

Sebagai contoh, saat gempa mengguncang Jakarta beberapa waktu yang lalu, bagi sebagian besar warga metropolitan ini, instict pertama adalah meraih ponsel. Mulai dari menelpon saudara dekat, atau mengirim sms menanyakan kabar kepada kerabat, hingga meng-update status Facebook dan Twitter. Saat itu, seolah semua orang haus akan connection dengan orang lain, dan ini dapat dipenuhi secara cepat dan praktis oleh berbagai gadget tersebut.

Experiential Connectors

Selain mobile connector, yang tidak kalah penting adalah experiential connectors yang dapat terjadi di dunia offline dan online. Connector ini memberikan keintiman yang lebih jauh antara perusahaan, konsumennya, kompetitornya, dan juga para change-agents yang terkait dengannya. Experiential connectors ini berbentuk kegiatan yang sifatnya komunal, baik yang ada di dunia online maupun offline.

Acara bertema “Rock & Roll” yang diselengarakan oleh Apple di tanggal 09 09 09 adalah bentuk konkrit dari sebuah experiential connector. Di acara yang luar biasa seperti itu, Apple tidak hanya mendatangkan konsumen dan pengguna produknya saja, namun juga kompetitornya yang ingin melihat what’s next dari Apple, dan juga kritikus dan para change agents di industri yang selama ini memperhatikan gerak-gerik Apple di industri.

Contoh lain dari experiential connector adalah bagaimana MTV membuat acara award tahunannya MTV Music Award. Acara penghargaan tahunan ini diselenggarakan bukan saja untuk menghargai pencapaian terbaik di dunia musik, tapi juga menciptakan suatu platform experiential bagi pencinta musik dan video clip.

Lewat MTV Music Award ini, MTV menciptakan sebuah experiential connector yang menghubungkan komunitasnya mulai dari penonton, kritikus di dunia musik (change agents), artis satu dengan para kompetitornya, pencipta satu musik video dengan para kompetitornya, pengiklan dengan para kompetitornya.

Untuk membuat acaranya tidak basi dari waktu ke waktu, selalu ada kehebohan baru di ajang penghargaan video musik tahunan ini, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Yang terakhir adalah ketika Kanye West tiba tiba naik ke atas panggung saat pidato dari pemenang video klip terbaik, hanya untuk menyatakan bahwa video oleh Beyonce, yang dinominasikan namun tidak menang, adalah salah satu video klip terbaik sepanjang masa.

Platform online seperti Flickr dan YouTube semakin memfasilitasi terjadinya pertukaran experience ini. Melalui situs tersebut, pengguna Internet dapat membagikan pengalaman dalam bentuk foto maupun video, dengan mengharapkan mendapatkan komentar dan saling berbagi pengalaman dengan siapa saja di seluruh dunia. Kini siapa saja dapat merasakan apa yang dialami oleh seseorang yang ada di belahan dunia yang lain. Situs yang memfasilitasi experience dari komunitas yang ekspresif seperti ini dapat memberikan insights tersendiri bagi perusahaan yang ingin melakukan pemahaman yang mendalam mengenai anxiety and desire dari konsumen mereka.

Contoh platform online seperti ini kini semakin banyak dan berbasiskan open platform, sehingga Anda dan kompetitor anda bisa melihat apa yang dilakukan konsumen Anda. Dan bukan itu saja, kompetitor bisa melihat Anda, dan sebaliknya, Anda pun bisa melihat apa yang dilakukan kompetitor.

Social Connectors

Connector ketiga yang menjadi sangat penting di era New Wave ini adalah Social Connector. Berbasiskan komunitas dan jejaring, Connector seperti ini semakin relevan di dunia New Wave karena ia dapat menghorisontalkan partisipan di lanskap bisnis dan menghubungkan perusahaan dengan konsumen, kompetitor, dan para change-agents-nya. Contohnya sudah banyak. Pada dasarnya mereka yang memberikan platform social media adalah contoh dari social connectors. Mereka yang memiliki platform komunitas berbasiskan offline dan online adalah contoh dari social connectors.

Di dunia online, situs seperti Facebook menyediakan suatu platform interaksi bagi suatu jejaring sosial. Melalui situs tersebut, kelompok sosial tersebut mendapatkan fasilitas untuk membangun dan menjaga hubungan many-to-many. Situs social media bisa menghubungkan kita dengan semua jejaring teman kuliah, sma, bahkan sampai teman SD. Konektor seperti ini benar-benar hebat.

Sedangkan komunitas offline seperti Harley Owners Group, juga merupakan konektor sosial yang ampuh. Bahkan beberapa pihak konektor seperti ini akan lebih efektif dari situs sosial manapun karena intimacy offline pasti akan lebih intens dibandingkan online. Sesuatu yang menarik terjadi pada komunitas seperti ini, apapun jabatan seorang anggota komunitas di kehidupan sehari-hari, statusnya dalam komunitas tersebut setara. Jadi bisa jadi seorang direktur bergaul tanpa batas dengan pekerja lapangan. Disinilah benar-benar terjadi horizontalisasi.

Menjadi Connector, Bagaimana Caranya?

Sudah jelas bahwa di era New Wave seperti sekarang, pilihannya hanya dua Connect atau mati suri. Connect menjadi kata kunci yang sakti bagi mereka yang ingin menang di pasar yang semakin horisontal seperti sekarang. Berbagai connecting platform yang tersedia saat ini membuat kita semua saling terhubung dengan satu sama lain.

Untuk menjadi connector, pada dasarnya ada dua cara yang dapat dipilih perusahaan, Pilihan pertama adalah ia dapat menggunakan platform yang ada. Berbagai platform yang sifatnya terbuka dan partisipatif sudah semakin banyak, mulai dari yang sifatnya mobile gadget, event, sampai platform yang berbentuk social networking.

Sedangkan pilihan kedua, yang pada dasarnya langkah yang lebih smart, adalah membuat connecting platform-nya sendiri seperti membuat aplikasi mobile, membuat event-event yang experiential di online dan offline, masuk ke jejaring sosial di dunia maya dan membuat komunitas offline yang kuat.

Persaingan di masa depan akan lebih ditentukan kepada siapa yang punya connecting platform sebagai wadah untuk komunitasnya. Platform seperti ini pada akhirnya ibarat sebuah ‘lapangan parkir,’ semakin banyak jumlah orang yang parkir dan semakin lama ia memarkir di platform tersebut, semakin banyak pula keuntungan yang diraih oleh pemiliknya.

Bagaimana pendapat Anda?

Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Wednesday, September 16, 2009

The "Rise" of the New Customer: The "New" Urban Woman

Rabu, 16 September 2009 | 08:52 WIB

KOMPAS.com - Seperti yang telah kami pernah kupas dalam Marketing in Venus, kaum wanita adalah konsumen paling kuat di dunia pemasaran. Kekuatan wanita terlihat dari segi ekonomi. Besar pasar kaum wanita urban secara global saat ini ditaksir sekitar 10,5 triliun dollar AS! Meskipun masih besaran pasar kaum pria (yang saat ini jumlah totalnya mencapai 23,4 triliun dollar AS), tapi gap diantara nilai pasar kaum pria dan wanita semakin menipis dari waktu ke waktu.

Majalah Newsweek belum lama ini mengatakan bahwa pasar wanita memang menggiurkan, sampai-sampai disebut sebagai “emerging market” yang sebenarnya, yang kalau dilihat dari besarannya melebihi kekuatan ekonomi Cina dan India digabung sekalipun.

Bahkan di saat krisis perekonomian melanda dunia seperti sekarang, recovery dapat tercapai apabila pemasar berani ‘mendekati’ kaum wanita yang ‘baru’ yang secara tren global, semakin affluent. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Boston Consulting Group (BCG), masa pemulihan perekonomian dunia selepas resesi akan didorong oleh pertumbuhan pasar kaum wanita urban yang ditaksir akan meningkat sebesar 5 triliun dollar AS dalam lima tahun ke depan.

Di seluruh dunia, pemasar semakin menyadari bahwa terdapat peluang yang begitu besar di pasar kaum wanita yang selama ini dipandang sebagai kurang diperhatikan dan kurang didalami. Patut disayangkan, karena sebetulnya kaum wanita merupakan kelompok konsumen yang sakti. Ada beberapa hal yang menyebabkannya kenapa kaum wanita begitu menggiurkan bagi pemasar.

Pertama, mereka adalah konsumen yang berpengaruh. 97 persen keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh kaum wanita. Apakah itu untuk keperluan belanja untuk personal, rumah tangga, bahkan sampai kantor pun, secara rata-rata dipengaruhi oleh kaum wanita.

Meskipun seorang pria membeli untuk dirinya sendiri, keputusan untuk membeli itu dipengaruhi oleh wanita. Kaum pria beli sabun, detergen, mentega, dan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya yang sama dengan apa yang ibunya dulu beli dan pakai. Kaum pria juga beli baju, celana, jam, sepatu dan produk fashion lainnya supaya tampil sempurna di depan temannya dari kaum wanita. Apa yang seorang pria beli, dan apa yang tidak jadi ia beli, itu karena wanita.

Kedua, kekuatan kaum wanita di lanskap bisnis semakin dominan. Dunia yang semakin horisontal telah merobohkan banyak barrier, termasuk gender barrier. Sudah merupakan trend global bahwa kaum wanita saat ini semakin mendapatkan peranan di segala aspek, mulai politik, ekonomi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat.

Krisis ekonomi seperti sekarang menyebabkan banyak orang kena PHK, di mana 80 persen diantara mereka adalah kaum pria, yang bekerja di sektor manufacturing dan finansial. Ini dapat diibaratkan sebagai creative destruction tersendiri, yang membuka peluang lebih besar untuk menarik pool tenaga kerja wanita yang lebih luas. Seperti yang ditemukan dalam survey global yang dilakukan BCG, saat ini ada satu milliar wanita berkerja. Di dalam lima tahun ke depan, angka ini diprediksikan akan naik menjadi 1,2 miliar orang.

Ketiga, mereka konsumtif, tapi teliti. Memang kaum wanita pada umumnya konsumtif, tapi seperti apa yang dikatakan oleh Goldman Sachs, secara umum kaum wanita membelanjakan uangnya ke hal-hal yang sifatnya lebih berguna dan penting, ketimbang kaum pria. Fokus mereka dalam spending ditujukan bagi hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan dan pendidikan. Juga terkuak bahwa kaum wanita pada umumnya lebih senang menyimpan uangnya ketimbang kaum pria, dan lebih mengambil hal-hal yang resiko finansialnya rendah.

Di dalam laporannya berjudul ”The Power of Purse”, Goldman Sachs juga mengatakan bahwa kekuatan ekonomi global ke depannya akan didorong oleh kaum wanita yang saat ini semakin mendapatkan critical mass-nya dalam hal kesuksesan dan kekuatan di kehidupan sosial dan bermasyarakat.

New Wave, New Women Power

Kaum wanita sangat unik, mereka sangat kompeten dalam multitasking. Secara umum wanita memang memiliki lebih banyak serat penghubung otak kiri dan kanan. Sehingga wanita cenderung lebih mudah berkomunikasi dan sering kali mencampur-adukan beberapa hal sekaligus.

Mereka punya insting yang lebih kuat ketimbang kaum pria. Wanita mampu sekaligus menganalisis dan menilai berbagai hal, terkadang apa yang dilakukan tidak berdasarkan pemikiran. Sesungguhnya tindakan wanita terlihat emosional didorong oleh pengamatan yang dilakukannya secara simultan.

Kaum wanita secara alami dapat dipandang sebagai pembawa gerakan horisontal dan hubungan yang humanis. Maka tak heran kalau temuan hasil survey yang dilakukan BCG menemukan bahwa seiring dengan semakin sibuknya kaum wanita urban, mereka mengharapkan cinta dan hubungan yang lebih dan berkesinambungan, baik itu dengan pasangan mereka, teman, rekan sekantor, dan tetangga.

Di era yang serba horisontal seperti sekarang, kaum wanita bukan saja merupakan konsumen yang “New Wave-ready”, tapi mereka juga dapat ‘mengajarkan’ para pemasar untuk bagaimana bisa menjalin hubungan yang dekat antara satu sama lain yang didorong oleh kekuatan emosional dan humanisme. Pada dasarnya kaum wanita ini paling suka berinteraksi satu sama lain dan membentuk komunitas. Mulai dari komunitas memasak sampai komunitas arisan. Mereka harus dilihat sebagai kluster komunitas bukan kelompok individu-individu yang berbeda. Artinya,dalam kelompok tersebut terdapat kemiripan karakter, sifat, dan minat di antara masing-masing anggotanya.

Faith Popcorn, seorang pemerhati di dunia pemasaran untuk kaum wanita, pernah mengatakan bahwa karakter perilaku wanita memang sangat unik, karena mereka suka berinteraksi dan berhubungan di dalam sebuah komunitas yang merupakan fondasi bagi para pemasar yang ingin memasarkan merek dan produk pada wanita. Jika Anda berhasil menghubungkan wanita ke wanita yang lain, maka hasil yang didapatkan adalah mereka akan ter-connect pula ke merek Anda. Tentunya kesuksesan para pemasar ini pada akhirnya akan ditentukan dari seberapa dalam mereka memahami dan merespon kaum wanita yang semakin menginginkan waktu, nilai-nilai, dan hubungan sosial.

Women still and will always rule! Kaum wanita tetap membawa gerakan horisontal di era New Wave ini. Dengan kecanggihan alat teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang, kekuatan mereka dalam melakukan mempengaruhi keputusan dalam belanja menjadi lebih besar. Merekalah contoh kaum yang horisontal. Merekalah yang dapat mengajari para New Wave Marketer untuk bagaimana menjadi pemasar yang lebih menunjukan sisi emosional dan humanisme.

Bagaimana pendapat Anda?

Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Monday, September 14, 2009

The "Rise" of the New Customer: The "New" Active Youth

Senin, 14 September 2009 | 10:53 WIB

KOMPAS.com - Di tahun 1966, Majalah Time memberikan penghargaan “Person of the Year” yang seperti biasa diberikan kepada apa saja yang berpengaruh (baik dan buruk) terhadap kejadian yang berlangsung pada tahun tersebut. Di tahun 1966 tersebut, “Person of the Year” diberikan kepada “The Generation 25 and Under.”

Ketika itu, mereka yang berumur di bawah 25 tahun digolongkan sebagai generasi baby boom. Seperti yang kita tahu, setelah Perang Dunia II usai hingga awal dekade 1960an terjadi ledakan kelahiran bayi yang meningkat dari 2,5 juta hingga 4,5 juta per tahunnya.

Seperti yang dikatakan oleh Time, generasinya mereka yang berumur 25 tahun ke bawah tersebut nantinya akan menjadi kekuatan besar di dunia ekonomi, lapangan pekerjaan, dan menjadi bagian kehidupan sosial masyarakat pada umumnya.

Memang betul, seperempat abad lebih kemudian, generasi ini sekarang berusia 45-63 tahun, menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi dan perusahaan, sebagian menduduki posisi puncak, sebagian pula pensiun.

Empat puluh tahun kemudian, Time memilih “Person of the Year” kepada sebuah generasi baru yang menjadi bagian dari world wide web. Di tahun 2006 itu, Time dengan sederhana mengatakan bahwa “Person of the Year” adalah You alias Anda sekalian yang telah menjadi kontributor untuk user-generated content yang ada di internet, mulai dari Wikipedia, YouTube, MySpace, Facebook, Second Life, perangkat sistem operasi Linux, dan banyak lagi lainnya.

Kita sendiri sadar bahwa ‘You’ yang dimaksud oleh Time lebih cocok untuk didedikasikan kepada generasi baru anak muda berusia 30 tahun ke bawah yang merupakan bagian dari Digital Native di ‘planet’ New Wave dengan world wide web-nya.

Merekalah yang membesarkan dunia yang serba baru ini. Merekalah yang akan membentuk dunia masa depan. Mereka pula yang membawa kekuatan demografik baru, purchasing power yang baru, kekuatan politik baru, setelah ‘punahnya’ generasi baby-boomer dan semakin menuanya generasi X.

Beranjak dewasa dengan berbagai macam alat teknologi informasi dan komunikasi, secara otomatis paradigma, gaya hidup, perilaku, dan nilai-nilai mereka menjadi sangat New Wave yang serba horisontal.

Seperti yang dikatakan oleh Don Tapscott yang telah melakukan survey global terhadap 11.000 anak muda umur 11-30, banyak hal yang harus kita pahami dari anak muda generasi baru ini. Mereka bisa multitasking, mengerjakan lima hal dalam bersamaan; mulai dari SMS dan ngetwit temannya, download musik, upload video, nonton film di YouTube, dan melihat apa yang temannya sedang kerjakan di Facebook.

Generasi baru ini adalah generasi pertama penduduk dunia yang merupakan Digital Native dan mereka terus membentuk fenomena budaya baru yang meng-global karena dunia yang telah datar dan saling terkoneksi.

Mereka hidup di dunia online dan offline dengan memiliki cara baru yang revolusioner dalam hal berpikir, interaksi, bekerja, dan sosialisasi. Mereka melihat kehidupan online sebagai offline, dan offline sebagai online.


Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Sunday, September 13, 2009

The Digital Native vs Digital Immigrant

Minggu, 13 September 2009 | 15:49 WIB

Mark Prensky, seorang pemerhati dunia pendidikan, pada tahun 2001, mengeluarkan tulisannya mengenai seberapa jauhnya perbedaan antara pelajar generasi millennium dengan generasi sebelumnya ketika para pengajarnya masih duduk dibangku sekolah.

Menurutnya, pelajar siswa sekolah di era sekarang adalah penduduk asli dunia digital sedangkan guru pengajarnya keteteran karena mereka baru saja pindah ke dunia digital.

Prensky mungkin ada benarnya. Tidak hanya di dunia pendidikan, di dunia pemasaran juga terjadi gejala yang sama. Konsumen yang baru, terutama mereka yang berasal dari generasi millennium, lahir dan beranjak dewasa dengan segala macam kecanggihan teknologi digital.

Otak mereka dibentuk oleh dunia digital, dan mengenai hal ini berbagai riset mengenai neurobiology pun sudah mengkonfirmasiikan bahwa secara fisik otak mereka berbeda dengan orang yang non-digital karena digital input yang mereka terima ketika beranjak dewasa, ketika main games, nonton TV digital, berkomunikasi lewat handphone.

Garry Small, seorang neuroscientist dari UCLA mengatakan, konsumen yang otaknya terbentuk secara digital ini memiliki kemampuan kognitif yang superior terutama dalam hal membuat keputusan yang cepat dan didukung oleh banyaknya sumber untuk sensory input.

Konsumen seperti ini beda dengan mereka yang melihat perkembangan digital teknologi dari nol, karena otak mereka lebih kompeten untuk membaca ekspresi muka secara langsung ketimbang bernavigasi di dunia maya.

Melihat dari latar belakang tersebut, bisa dikatakan bahwa penduduk dunia New Wave memang pada dasarnya terbagi menjadi dua. Pertama adalah Digital Native atau 'kaum pribumi', penduduk asli yang dari sejak lahir fasih menuturkan 'bahasa digital'.

Dan yang kedua adalah Digital Immigrant atau 'kaum non-pribumi' pendatang baru yang melihat perkembangan digital teknologi dari nol dan ingin pindah ke era digital.

John Palfrey dari Harvard Law School mengatakan dalam buku "Born Digital: Understanding the First Generation of Digital Natives" bahwa konsekuensi dari dunia yang serba digital berubahnya hal-hal mengenai konsep identitas, privasi, penciptaan konten, aktivisme, dan pembajakan.

Mereka yang lahir setelah tahun 1981 (kohort Gen Y atau generasi millennium) merupakan generasi pertama penduduk dunia yang merupakan Digital Native.

Mereka yang pertama kali memakai avatar sebagai identitas, mereka yang pertama kali merasakan nikmatnya SMS atau Chatting ketimbang berbicara langsung, mereka yang pertama kali merasakan enaknya bisa jadi jurnalisnya media besar, dan mereka juga adalah generasi pertama yang membajak lagu-lagu ke dalam bentuk MP3.

Saat ini, memang seperti ada jurang diantara keduanya mengingat cara mereka melakukan sosialisasi dan mempelajari sesuatu sangatlah berbeda. Kaum pribumi di era New Wave, belajar dari apa yang mereka lihat di screen dan bersosialisasi lewat komunitas online.

Mereka berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Maka dari itu, implikasinya adalah pemasar harus melakukan pendekatan yang sesuai dan dapat dimengerti. Bumi sebagai Legacy Planet sudah bertransformasi jadi New Wave Planet.

Kalau di Planet Legacy ada Negara-negara yang menimbulkan Silo yang sifatnya vertikal yang namanya negara, sekarang batas-batas negara itu makin kabur di Planet New Wave ini. Definisi Pri dan Non-Pri pun berubah.

Di Planet New Wave, yang disebut pribumi adalah mereka yang Digital Native. Sedangkan Non-Pri adalah Digital Immigrant. Jadi tidak lagi tergantung Bangsa dan Negara lagi. Dan di Planet New Wave yang sangat Horizontal, para Pribumi-nya sudah semakin tidak peduli pada isu Suku, Agama, Ras dan Aliran atau SARA ! karena mereka dipersatukan oleh teknologi Web 2.0 yang bersifat Networking bukan Broadcasting.

Maka dari itu, di era New Wave ini, semakin banyak konsumen yang fasih berbicara dengan bahasa digital. Memang kalau dilihat sudah banyak dari mereka para marketer yang sudah fasih berbicara 'bahasa digital,' namun banyak pula yang saja datang ke dunia digital dan masih beradaptasi dengan lingkungan baru ini.

Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin

KOMPAS

Investasi & Keuangan: Kontrak Pengelolaan Dana

Minggu, 13 September 2009 | 02:44 WIB

Adler Haymans Manurung
Praktisi Keuangan

Baru-baru ini di surat kabar banyak dibahas mengenai Kontrak Pengelolaan Dana (KPD).

Sebuah manajer investasi yang mempunyai izin usaha akan memulai dengan produk ini.

KPD adalah produk investasi yang timbul karena perjanjian (kontrak) dua pihak, yaitu antara manajer investasi dan investor. Manajer investasi bekerja atas isi kontrak tersebut. Investor memerhatikan kinerja pengelolaan berdasarkan kontrak yang sudah ditandatangani. Oleh karenanya, kedua belah pihak selalu berpijak pada kontrak tersebut.

Kontrak ini merupakan produk hukum. Terjadinya kontrak merupakan proses kesepakatan, dan proses ini harus tertuang dalam kontrak. Bila ada kesepakatan yang tidak tertuang dalam kontrak, maka salah satu pihak tidak bisa menuntut atas kesepakatan tersebut di kemudian hari.

Salah satu ciri KPD adalah investor yang melakukan atau menginvestasikan dana dalam produk ini dianggap telah pintar melakukan investasi. Artinya, investor telah memahami risiko sehingga tidak perlu mendapat perlindungan hukum melalui peraturan atau undang-undang.

Dalam KPD harus dituang berbagai hal mengenai kewajiban dan hak masing-masing pihak yang menandatangani kontrak. Untuk kasus pengelolaan investasi, ada dua bentuk pengelolaan yang tertuang dalam kontrak.

Pertama, dalam kontrak disebutkan ke mana saja dana investor diinvestasikan. Misalkan, investor memiliki dana Rp 3 miliar diinvestasikan pada saham yang tercatat di bursa. Artinya, manajer investasi hanya bisa menginvestasikan dana investor ke saham. Dia tidak bisa melakukan investasi ke tempat lain, seperti obligasi dan properti, terkecuali dalam bentuk tunai dengan jumlah sangat kecil.

Kedua, dalam kontrak tidak disebutkan ke mana manajer investasi melakukan investasi. Dalam kasus ini, kebebasan manajer investasi sangat tinggi. Biasanya kewajiban manajer investasi dibatasi pada tingkat pengembalian atau dana yang dimiliki investor tidak hilang. Kebebasan ini menjadikan manajer investasi leluasa memilih instrumen investasi dan risiko ditanggung investor.

Syarat investasi

KPD yang dilegalkan melalui peraturan ataupun undang-undang serta mengikat semua pihak yang ikut serta dalam investasi KPD tersebut dikenal dengan Reksa Dana.

Biasanya, investor dalam bentuk ini tidak sepintar investor yang melakukan investasi dalam bentuk KPD sehingga dibutuhkan peraturan untuk melindungi investor.

Produk yang pantas dilakukan investor untuk membeli produk ini sebaiknya memenuhi beberapa syarat agar dana investor tidak hilang begitu saja. Pertama, manajer investasi yang mengelola investasi harus dikenal investor. Investor harus mencari latar belakang manajer investasi dan bisa dipercaya.

Kedua, investor harus mengetahui rekam jejak manajer investasi yang mengelola dana investor. Sebaiknya manajer investasi yang telah terdaftar di lembaga pengawas dalam bidang tersebut. Reputasi manajer investasi tersebut perlu juga dipahami investor agar lebih merasa yakin melakukan investasi.

Ketiga, rekam jejak pengelola manajer investasi perlu mendapat perhatian. Eksposur pengelola manajer investasi perlu dicari agar kelihatan karakter pengelolaannya. Misalnya, apakah janji yang dilakukan selama ini dipenuhi.

Keempat, isian investasi dari KPD. Investor harus mendapatkan secara jelas ke mana dana investor diinvestasikan.

Kelima, tingkat pengembalian investasi KPD tersebut wajar. Investor tidak bisa berpegang pada tingkat pengembalian yang tinggi saja. Biasanya, produk yang menawarkan tingkat pengembalian tinggi memiliki risiko tinggi pula.

Untuk melihat tingkat pengembalian yang wajar, investor dapat menggunakan hasil jumlah tingkat bunga bebas risiko dan risiko premium.

Risiko premium adalah tingkat pengembalian yang diharapkan investor sebagai kompensasi risiko atas investasi pada instrumen tersebut. Umumnya, tingkat risiko premium ini berkisar dari 4 persen hingga 8 persen.

Keenam, investasi yang dilakukan waktunya tidak terlalu panjang. Maksimum waktu investasi berbentuk KPD ini dua tahun. Bahkan, investor dapat memperpanjang kontrak bila dilihat ada peluang lebih baik. Untuk KPD saham, sebaiknya investor melakukan jangka waktu satu atau dua tahun dan investor meminta dalam perjanjian keputusan keluar dari saham ada di tangan investor.

Dalam kasus ini, investor bisa memutuskan menjual saham dalam situasi harga sangat tinggi dan memperpanjangnya bila saham masih dalam situasi rendah.

Ketujuh, investor dan manajer investasi harus mengundang pihak lain, yaitu kustodian, sebagai pihak ketiga yang bisa memberi masukan dan mengawasi instrumen yang diinvestasikan sesuai kontrak. Bank kustodian menyimpan dan menghitung aset KPD tersebut. Adanya pihak ketiga ini akan membantu investor mengawasi penyimpan instrumen sesuai dengan kontrak dan undang-undang yang berlaku.

Risiko investasi KPD selalu pada investor, bukan pada pihak pengelola dan kontrak sebagai acuan untuk bertindak. Investor tidak bisa menuntut pengelola bila tidak ada dalam kontrak. Janji sebelum dan sesudah kontrak harus tertuang dalam kontrak agar risiko investor kecil. Kehati-hatian investor diperlukan dan investor harus memegang kontrak tersebut.

KOMPAS