BLOGSPOT atas

Monday, August 31, 2009

Ketika Marketing 3.0 Tiba

Tulisan 4 dari 100

Senin, 31 Agustus 2009 | 08:18 WIB

Saat ini kita hidup di dunia yang baru di mana krisis dan chaos menjadi ‘menu makanan’ sehari-hari. Lingkungan bisnis semakin complex, penuh dengan kekacauan.
Di kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kita sudah melihat betapa hebatnya badai-badai dan kekacauan yang terjadi di lingkungan bisnis mulai dari krisis ekonomi di Asia, meledaknya balon dot-com, skandal pelaporan keuangan (contoh Enron dan Worldcom), gerakan teroris, gerakan anti-globalisasi, perubahan iklim, krisis energi, krisis pangan, skandal investasi, sampai resesi perekonomian global tahun 2008.

Di tengah berbagai macam badai dan munculnya Scumbag Millionaire mulai dari Jeffrey Skilling (Enron) sampai Bernard Madoff yang telah menghasilkan 50 triliun dollar AS dari investasi berskema Ponzi (atau skema piramid), langkah bisnis perusahaan terus menjadi sorotan publik. Tingkat kepercayaan diri di internal perusahaan terus menurun. Tingkat kepercayaan publik terhadap perusahaan juga terus menurun. Dan celakanya lagi, teknologi new-wave yang memperluas jaringan media informasi, menjadikan dunia semakin transparan, sehingga sudah semakin susah bagi perusahaan untuk memutup aib dirinya.

Publik membutuhkan aktivitas dan proses bisnis yang didasari oleh prinsip dan nilai-nilai yang lebih etis dan fair. Kini tidak cukup lagi bagi perusahaan untuk searching for excellence, karena di tengah perubahan lanskap seperti sekarang yang menjadi keharusan adalah searching for meaning.
Di tengah badai-badai krisis dan jatuhnya reputasi perusahaan, sudah saatnya bagi pemasar adalah meninjau ulang dan menjual nilai-nilai, prinsip, dan karakter yang dimiliki dan dijunjung-tinggi, agar dapat tampil stand-out dan terus berupaya senantiasa meninggalkan warisan bagi masyarakat.

Marketing 3.0

Di era sekarang, pemasaran saat ini tidak hanya diterjemahkan dalam pengertian positioning, diferensiasi dan merek yang dibungkus dalam identitas merek, integritas merek, dan menghasilkan citra merek. Dunia pemasaran perlu menunjukkan nilai-nilai (spiritual) dalam pemasaran.
Nilai-nilai yang ditebarkan itu diyakini tidak hanya mendongkrak profit tetapi juga menjamin kelanggenan dan penguatan karakter brand, sekaligus membentuk diferensiasi yang tidak tertandingi.

Di dalam buku ”Marketing 3.0: Values-Driven Marketing” Philip Kotler dan saya mengatakan, perusahaan seharusnya tidak hanya memasarkan produk dengan manfaat fungsional ataupun manfaat emosional, melainkan harus pula menonjolkan manfaat spiritual.

Pendekatan pemasaran berbasis nilai ini diyakini akan memperoleh hasil yang berbeda. Karena perusahaan atau pemilik merek tidak sekadar memberikan kepuasan atau mengincar profitabilitas, melainkan memiliki compassion, dan keberlanjutan. Model bisnis yang menyeimbangkan pencetakan profit dan tanggung jawab sosial seperti itu sungguh didambakan oleh banyak pemain bisnis.

Kita tahu bahwa, perjalanan waktu telah membuat model pemasaran berubah, dari Marketing 1.0 ke Marketing 2.0 - dari product centric ke customer-centric era. Dan sekarang marketing telah mentransformasi diri ke dalam human-centric era. Itulah yang dikatakan sebagai Marketing 3.0.

Perbandingan Antara Marketing 1.0, 2.0, dan 3.0

Marketing 1.0
Product-centric Marketing
Marketing 2.0
Customer-oriented Marketing
Marketing 3.0
Values-driven Marketing
Objektif Perusahaan
Menjual produk
Memuaskan dan membuat konsumen loyal
Membuat dunia yang lebih baik
Pemicu Arus Pergerakan
Industrial Revolution
Teknologi informasi dan komunikasi
Teknologi New Wave
Bagaimana Perusahaan Melihat Konsumen
Mass buyers dengan kebutuhan fisik
Konsumen yang memiliki rasional dan emosional
Konsumen yang secara holistic memiliki mind, heart, dan spirit.
Kunci Konsep Pemasaran
Pengembangan produk
Diferensiasi
Nilai-nilai (values)
Panduan Pemasaran Perusahaan
Spesifikasi produk
Positioning perusahaan dan produk
Visi, Misi, dan Values dari Perusahaan
Nilai yang Dijual Perusahaan
Fungsional
Fungsional dan emosional
Fungsional, emosional, dan spiritual, Emotional, and Spiritual
Interaksi Dengan Konsumen
Transaksional yang bersifat top-down (One-to-Many )
Hubungan intimasi yang bersifat one-to-one
Kolaborasi antar jejaring konsumen (many-to-many)
Marketing 1.0 mengandalkan rational intelligent: Produk bagus, harga terjangkau. Konsumen memilih produk berdasarkan tinggi-rendahnya harga yang ditawarkan produsen. Pada level ini konsumen sangat mudah berpindah.

Marketing 2.0 berbasiskan emotional intelligent: Sentuhlah hati customer. Meski suatu produk lebih mahal dibanding yang lain, tapi tetap dipilih konsumen, sebab ia sudah memiliki ikatan emosional dengan produknya.

Marketing 3.0 berdasarkan spiritual intelligent: Lakukan semua dengan Nilai-Nilai Universal seperti kasih dan ketulusan maka profit akan datang. Pada tahap ini, merek telah menjadi “reason for being.” Karena merek itu maka si konsumen diakui keberadaannya.

Values-driven marketing adalah model untuk Marketing 3.0, yang melekatkan nilai-nilai pada misi dan visi perusahaan. Gagasan ini akan memperbaiki persepsi publik terhadap marketing dan membimbing perusahaan dan pemasar untuk menginkorporasikan visi yang lebih manusiawi dalam memilih tujuan mereka.

Marketing 3.0 ini akan terlihat dari seberapa dalam hubungan hubungan produsen dengan konsumen atau stakeholder-nya. Wujud spiritualisme adalah bagaimana mencintai jejaring stateholder bisnis kita dengan modal dan menjunjung tinggi kejujuran. Jika sudah sampai tahap spiritual sedemikian itu, hubungan antara perusahaan dengan siapapun yang berkepentingan, apakah itu konsumen, karyawan, supplier, akan langgeng terus.

Marketing 3.0 inilah yang merupakan cikal bakal pemikiran bahwa pada akhirnya marketing menjadi horisontal, di mana sisi humanisme si pemasar membuat pasar menjadi datar. Artinya, tidak ada perbedaan status antara Marketer dan Customer. Marketer dan Customer sama rata. Marketer sudah berbaur dengan Customer-nya.

Bagaimana pendapat Anda?

Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Sunday, August 30, 2009

Mengelola Kekacauan di Era New Wave

Tulisan 3 dari 100

Minggu, 30 Agustus 2009 | 06:14 WIB

KOMPAS.com - Dari dulu kita memiliki kecenderungan untuk mendengar apa yang kita dengar, membicarakan apa yang kita dengar, dan melihat apa yang kita lihat. Di era New Wave ini, dengan segala media baru yang berkembang, wawasan kita dalam mendengar, berbicara, dan melihat menjadi semakin luas.

Dengan adanya handphone, aplikasi internet seperti Blog, Facebook, Twitter, dan lain sebagainya, informasi baik itu yang berdasarkan fakta maupun gosip terus diteruskan oleh orang lewat jejaringnya. Celakanya adalah apabila informasi yang disalurkan tersebut membuat kita semua jadi ragu untuk mengambil keputusan.

Seperti yang ditulis dalam kolom ini kemarin, ‘kekacauan’ dalam lingkungan kita sehari-hari sudah menjadi normalitas. Di dalam konteks ekonomi contohnya, normalitas baru tersebut mewujud dalam bentuk kombinasi antara perekonomian yang boom, turun, resesi, bahkan depresi dalam siklus yang kian-kian cepat. Normalitas baru yang mewujud dalam bentuk chaos itu tentu saja siap setiap saat memakan korbannya.

Di Amerika, kekacauan akibat krisis ekonomi seperti saat ini membuat banyak orang semakin kreatif. Semakin banyak orang di sana yang mempleseti nama-nama dari brand tersohor, sesuai dengan era krisis. Contohnya Dowjones menjadi Downjones. Slogan life’s good dari perusahaan elektronik LG dipleseti menjadi life’s tough. Perusahaan mobil Chrysler menjadi Crisisler. Merek ban Goodyear menjadi Badyear. Perusahaan Sony yang terkenal dengan slogannya “Like No Others” menjadi Sorry: Broke Like Others.

Philip Kotler dan John A. Caslione, dalam buku mereka, “Chaotic: The Business of Managing and Marketing in the Age of Turbulence” untuk menyiasati era turbulens ini diperlukan sebuah sistem yang kuat dalam mengelola kekacauan tersebut. Itu yang disebut oleh kedua penulis sebagai Chaotics Management.

Chaotics Management merupakan suatu pendekatan sistematis dalam mendeteksi, menganalisis, dan merespon kondisi turbulensi dan chaos yang terjadi. Secara umum, Chaotics Management ini terdiri atas tiga komponen utama, yaitu:

Pertama, mendeteksi sumber turbulensi. Terdapat sumber turbulensi yang dapat dideteksi oleh perusahaan (detectable turbulence) maupun yang tidak dapat dideteksi oleh perusahaan (undetectable turbulence). Terhadap sumber turbulensi yang dapat dideteksi oleh perusahaan (detectable turbulence), maka perusahaan perlu membangun suatu early warning system untuk mendeteksi sebanyak dan secepat mungkin turbulensi yang akan terjadi untuk meminimalisir risiko maupun menangkap peluang secara optimal. Sedangkan sumber turbulensi yang tidak dapat dideteksi oleh perusahaan akan menciptakan chaos bagi perusahaan.

Kedua, merespon chaos dengan membuat sejumlah skenario utama. Skenario utama ini sebagai sebuah perencanaan stratejik yang digunakan untuk membuat perencanaan jangka panjang. Seorang pemimpin harus mampu mendorong anak buahnya untuk dapat menginvestigasi dan menganalisis secara lebih mendalam berbagai skenario terburuk sekalipun. Skenario yang dibangun secara efektif akan dapat memberikan gambaran terhadap kondisi yang terjadi. Masing-masing skenario membutuhkan respon strategi yang berbeda.

Ketiga, memilih strategi berdasarkan prioritas skenario dan sikap dalam menghadapi risiko (risk attitude). Berdasarkan berbagai skenario yang telah disusun, seorang pemimpin perlu memilih respon strategi yang tepat dalam menghadapi skenario tersebut. Dengan adanya ketidakpastian, maka berbagai skenario beserta respon strategi yang ada perlu disikapi secara seksama termasuk berbagai kemungkinan respon yang mungkin berbeda disesuaikan dengan prioritas dan kondisi yang terjadi serta pertimbangan mengenai risk and opportunity yang dikehendaki.

Perusahaan yang hidup di dalam era turbulensi ini harus siap menghadapi gejolak tersebut. Karena pada dasarnya dalam kondisi lingkungan seturbulens apapun, selalu menyisakan peluang. Namun itu semua tergantung seberapa lihai kita dalam melakukan analisa mendalam terhadap tinjauan lanskap bisnis. Di sini yang menjadi sangat diperlukan adalah kemampuan kita mengubah noise menjadi data, informasi, knowledge, dan akhirnya wisdom. Pada akhirnya yang menjadi fundamental di dalam era turbulens ini adalah insting kita sendiri.

Bagaimana pendapat Anda?

Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Investasi & Keuangan: Bermain Saham "Medium Cap"

Minggu, 30 Agustus 2009 | 03:15 WIB

Adler Haymans Manurung - praktisi keuangan

Bermain saham berkapitalisasi besar telah diuraikan pada tulisan dua minggu lalu. Masih ada saham berikut, yaitu saham berkapitalisasi menengah yang dikenal sebagai saham medium cap atau saham lapis kedua. Saham ini merupakan saham yang mempunyai kapitalisasi pasar di bawah saham kapitalisasi saham besar dengan kapitalisasi pasar antara Rp 300 miliar dan Rp 750 miliar. Bila pasar membesar, besaran angka ini akan berubah.

Pergerakan harga saham di bursa dapat dianalogikan seperti kereta api yang menaiki perbukitan. Gerbongnya dikelompokkan menjadi tiga besar.

Gerbong pertama dimulai dengan kepala kereta api dan satu dua gerbong pembawa penumpang. Biasanya gerbong penumpang di bagian depan dianggap spesial sehingga dalam permainan saham dianggap saham berkapitalisasi besar. Gerbong berikutnya merupakan kelas yang sedikit lebih rendah, dikenal sebagai saham berkapitalisasi medium. Gerbong berikut kelasnya paling murah dan dianggap sebagai saham berkapitalisasi kecil.

Rangkaian kereta api akan diawali gerbong paling depan sehingga bila saham akan bergerak naik atau turun, akan dimulai dengan saham berkapitalisasi besar. Biasanya saat gerbong paling utama dan kepala kereta sudah sampai di puncak perbukitan, gerbong berikut baru mulai menaiki perbukitan. Ketika gerbong utama sudah menurun, gerbong tengah akan mencapai puncak dan gerbong paling belakang mulai menaiki perbukitan. Analogi inilah yang terjadi pada permainan saham.

Indikator

Saham lapis kedua mulai naik harganya bila harga saham berkapitalisasi besar sudah mencapai puncak. Besaran puncak kenaikan ini tidak ada satu ahli pun yang menyatakan angkat tepatnya. Bisa jadi 20 % atau bahkan di atas 100 %. Tetapi, pemain yang sangat pintar akan memiliki perhitungan. Angka yang digunakan tingkat bunga yang berlaku ditambah premium risiko bermain saham. Tingkat bunga bisa dianggap tingkat bunga bebas risiko yang paling tinggi, bukan bunga deposito bank.

Saat ini tingkat bunga wajar sekitar 6,5 %, maka premi risiko secara agregat sebesar 6 %-8 % (sesuai berbagai penelitian), dengan jumlah kedua hasil ini sekitar 12,5 % sampai 14,5 %. Artinya, bila terjadi kenaikan 14,5 % saham tersebut dalam jangka pendek, maka selayaknya keluar mencari saham lain yang belum naik. Patokan angka ini bisa juga dipergunakan investor karena saham yang sudah naik sekitar 15 % dalam jangka pendek akan menurun sementara waktu dan kemudian naik lagi sesuai informasi yang diperoleh.

Investor bisa melihat indeks saham berkapitalisasi besar yang dihitung berbagai lembaga di www.finansialbisnis.com. Kenaikan indeks saham berkapitalisasi besar bisa digunakan sebagai bahan masuk ke saham kelompok medium cap. Bila indeks saham berkapitalisasi besar mendatar atau tidak turun, maka sudah ada indikasi kenaikan saham medium cap. Investor sudah harus mulai masuk untuk membeli saham. Dana investor yang ditransaksikan dalam saham berkapitalisasi besar dikeluarkan dengan cara menjual saham tersebut lalu membeli saham berkapitalisasi medium.

Ada puluhan saham kelompok medium cap yang dapat dibeli sekaligus bersamaan atau beberapa saham lebih dulu lalu beberapa saham lagi setelah keluar. Biasanya, saham berprospek bagus akan mulai naik harga. Investor harus mencari informasi lebih detail dalam rangka mendapatkan saham terbaik untuk dibeli.

Dalam bermain saham, investor membeli prospek perusahaan. Karena adanya prospek, terjadi kenaikan harga dan investor mendapat keuntungan atas kenaikan harga tersebut. Bila perusahaan tidak memiliki prospek, kemungkinan harga saham tersebut tidak akan naik.

Informasi

Informasi mengenai saham sangat banyak berkeliaran di bursa, baik analisis mendalam analis pasar atas informasi perusahaan maupun rumor. Bahkan dapat beredar informasi untuk membujuk investor bermain saham walaupun tidak ada informasi sebenarnya. Adanya transaksi saham tersebut membuat pemain saham bisa menangguk keuntungan. Dengan demikian, informasi tersebut harus benar-benar diperhatikan investor dalam bermain saham di bursa terutama untuk saham kelompok ini.

Bila harga saham ini sudah tidak bergerak dan tidak ada informasi beredar untuk membuat saham naik, maka sebaiknya investor harus menjual dan mencari saham lain yang berprospek.

Bila strategi investasi investor untuk jangka panjang, maka informasi internal perusahaan sangat dibutuhkan agar tidak salah memilih saham medium cap. Bila sudah mendapat informasi internal sesuai uraian sebelumnya, maka likuiditas saham perlu diperhatikan.

Likuiditas kecil tidak perlu dibeli karena investor akan kerepotan untuk menjualnya kemudian. Bila investor mempunyai strategi trading, maka investor harus memilih saham yang paling likuid dan harga sahamnya berfluktuasi agar mendapat keuntungan. Investor juga memerhatikan rumor dalam perdagangan saham karena rumor membuat saham berfluktuasi. Investasi harus jangka pendek benar dengan memerhatikan bila kenaikan 3 %-5 %, maka investor sudah harus menjual.

Dalam bermain saham medium cap, investor juga menghadapi risiko rugi. Salah satu risiko terbesar adalah risiko likuiditas, yaitu tersedia likuiditas dalam jangka pendek, tetapi tiba-tiba tidak ada likuiditasnya. Kecermatan dan perhatian yang baik bisa membuat investor untung. Selamat berinvestasi.

KOMPAS

Saturday, August 29, 2009

Ketika Kekacauan Menjadi Normalitas Baru

Tulisan 2 dari 100

Sabtu, 29 Agustus 2009 | 08:51 WIB

KOMPAS.com — Bagi saya, nempel terusnya khaos ke dalam “menu” keseharian kita adalah satu karakteristik yang menggambarkan kerasnya bisnis lanskap di dunia New Wave ini.

Masih ingat tahun lalu ketika harga minyak menyentuh angka 100 dollar AS per barrel? Buat banyak orang, itu merupakan batas psikologis yang sangat mencekam, terutama untuk kalangan bisnis.

Saya masih ingat ketika itu kita baru saja masuk ke tahun baru 2008. Berselang tujuh bulan setelah itu, harga minyak sempat naik sampai 147 dollar AS per barrel pada tanggal 11 Juli 2008 gara-gara uji coba misil Iran. Tepat sebulan kemudian, minyak turun lagi sampai angka 112 dollar AS per barrel.

Licinnya minyak dengan harganya yang terus naik turun drastis ibarat roller coaster di tahun lalu membuat menteri keuangan dan gubernur bank sentral di seluruh dunia kebingungan. Kenapa? Karena mereka tidak tahu harus bagaimana.

Kini kita memasuki era yang disebut Alan Greenspan, mantan Kepala Bank Sentral Amerika, sebagai “the age of turbulence”. Coba saja lihat bagaimana GM atau Ford yang begitu perkasa dan menjadi langganan singgasana Fortune 500 kini tak berdaya minta pertolongan pemerintah agar tidak jatuh ke jurang kebangkrutan.

Surat kabar dan perusahaan-perusahaan iklan besar tiba-tiba berguguran ketika perusahaan-perusahaan mulai mengalihkan anggaran iklannya dari media massa koran dan televisi 30 detik ke media-media baru online, seperti blog, e-mail, situs-situs web, podcast, dan sebagainya. Bahkan, negara maju sekuat Islandia (Iceland) tiba-tiba saja “bangkrut” karena tak mampu menalangi kebangkrutan yang dialami bank-banknya yang serempak berguguran menyusul terjadinya krisis global tahun lalu.

Mengenai turbulensi lingkungan bisnis global ini, menarik sekali jawaban Gary Becker, salah satu ekonom kesohor Amerika Serikat pemenang Nobel, pada Oktober 2008 lalu ketika ditanya mengenai seberapa parah dan lama krisis ekonomi yang kita hadapi kini. Jawaban sang ekonom pendek saja, “Nobody knows, I certainly don’t know”. Pesannya: “Don’t trust economists who say they know”.

Karena kenyataan seperti ini, maha guru pemasaran, Philip Kotler, dalam buku terbarunya, Chaotic: The Business of Managing and Marketing in the Age of Turbulence (fortcoming, 2009, ditulis bersama John A Caslione) menyebutkan bahwa kini kita telah memasuki era “khaos” bahwa turbulensi lingkungan baru sudah menjelma menjadi kenormalan baru (turbulence is the new normality).

Sesungguhnya, Kotler bukanlah pakar pertama yang mengendus datangnya era ini. Peter Drucker di tahun 1990-an sudah memprediksikan datangnya era diskontinuitas melalui buku legendarisnya, The Age of Discontinuity.

Pendiri Intel, Andy Grove, dalam buku larisnya, Only The Paranoid Survive, menyebut datangnya era ini sebagai munculnya apa yang ia sebut “inflection point”, yaitu ketika industri berubah 180 derajat menuju keseimbangan baru.

Atau Clayton Christensen yang mengintroduksi munculnya “disruptive technologies” yang memicu tsunami lingkungan industri dan perekonomian secara keseluruhan.

New normality

Dengan adanya perkembangan baru ini, Kotler menyimpulkan bahwa saat ini kita memasuki sebuah era baru yang tak akan bakal balik lagi (irreversible), yang menunjukkan bahwa risiko bisnis menjadi kian besar dan ketidakmenentuan menjadi “menu” harian yang tak bisa dielakkan oleh setiap pelaku bisnis.

Dalam bahasa Kotler, dunia bisnis kini memasuki era ketika kita memasuki keseimbangan baru dengan “normalitas baru”(new normality) bahwa normalitas tersebut bukannya ditandai stabilitas dan certainty seperti terdapat pada era-era sebelumnya, tapi terbentuk dari ketidakmenentuan, diskontinuitas, dan khaos. Normalitas baru tersebut mewujud dalam bentuk kombinasi antara perekonomian yang boom, turun (downturn), resesi, bahkan depresi dalam siklus yang kian-kian cepat.

Normalitas baru yang mewujud dalam bentuk khaos itu tentu saja siap setiap saat memakan korbannya. Formatnya bisa di tingkat perekonomian dengan korban seperti negara sebesar Amerika atau negara sekecil Islandia.

Di tingkat industri, yang jadi korban adalah industri media konvensional (televisi dan surat kabar) dan industri periklanan yang ditinggal para pengiklan yang masuk media baru online, atau di tingkat perusahaan seperti GM dan Ford yang diterpa gelombang tsunami krisis global.

Dalam normalitas baru tersebut, perekonomian dunia menjadi semakin terkoneksi dan terindependensi satu sama lain. Tak ada satu pun negara di tiap jengkal dunia ini yang bisa luput dari gelombang khaos global, semuanya akan disapu habis tanpa ampun dan tanpa melihat besar kecil negara yang bersangkutan.

Kata Kotler, teknologi dan globalisasi yang menjadi forces of change utama telah menghasilkan apa yang disebutnya “interlocking fragility” dengan level yang tak terbayangkan dalam sejarah umat manusia.

Dalam kondisi rapuh tersebut, bencana di suatu negara akan dengan cepat berimbas dan menyebar ke negara lain, secepat virus flu babi. Dengan kenyataan baru ini maka para pelaku bisnis akan semakin sulit memprediksikan, apalagi menghitung risiko dan ketidakmenentuan yang terjadi dalam lingkungan bisnis.

Dalam situasi krisis seperti sekarang, harus diingat bahwa chaos is the new normality. Tidak ada yang bisa dipegang. Pembuatan keputusan semakin sulit karena informasi baik yang berdasarkan fakta atau sekadar gosip terus berkembang dan mengalir, diteruskan oleh orang-orang lewat berbagai macam konektor, baik itu di dunia offline maupun online.

Bagaimana pendapat Anda?

Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Friday, August 28, 2009

BlackBerry "Most Wanted" Siap Meluncur di Indonesia


Jumat, 28 Agustus 2009 | 21:04 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Menyusul terbukanya jalan terang bagi peredaran BlackBerry di Indonesia, sejumlah operator yang memegang hak impor dan distribusi BlackBerry dari Research In Motion (RIM) pun kini bersiap untuk melanjutkan bisnis smart phone ini di Indonesia.

PT Excelcomindo Pratama (XL) salah satunya. Operator yang menjual handset dan layanan berlangganan BlackBerry itu kini sedang ancang-ancang meluncurkan varian terbaru, yaitu BlackBerry Gemini. "Seri tersebut akan segera kami lempar ke pasaran setelah Lebaran ini," ujar Manajer Umum Penjualan XL Handono Warih.

Indosat pun kini juga tengah menyiapkan langkah serupa. "Kami sedang dalam proses persiapan peluncuran BlackBerry Gemini," ujar Fuad Fachroeddin, Group Head Integrated Marketing Indosat, Jumat (28/8).
Optimisme XL maupun Indosat tersebut tidaklah berlebihan. Pasalnya, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) beserta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Rabu (26/8) lalu, sudah memberi sinyal positif terhadap fasilitas reparasi dan layanan pelanggan BlackBerry yang dibangun RIM di sejumlah kota di Indonesia.

Sebelumnya, peluncuran varian yang memiliki nama asli BlackBerry Curve 8520 direncanakan bulan ini. Namun, apa mau dikata, RIM terganjal kewajiban mendirikan fasilitas layanan purnajual sebelum bisa melanjutkan aktivitas bisnisnya di Indonesia.

"Sekarang kami sudah siapkan pemesanan untuk 20.000 unit BlackBerry Gemini," ujar Handono. Itu sebabnya, ia baru berani menjanjikan peluncuran setelah Lebaran. "Soalnya memerlukan proses pengapalan dan pemeriksaan bea cukai dulu," ujarnya.

Jumlah tersebut, menurut Handono, hanyalah sebagai tahap awal. XL dengan cukup agresif menargetkan dalam dua bulan sesudah peluncuran seluruh handset tersebut telah terjual habis. "Soalnya ini termasuk most wanted," papar Handono.

Harga handset yang dipatok di bawah harga BlackBerry seri-seri sebelumnya membuat seri Gemini yang diluncurkan di Kanada akhir Juli lalu sangat populer. "Harganya di bawah Rp 4 juta-an," cetus Handono. (Nadia Citra Surya/Kontan)

KOMPAS

- Muhammad Idham Azhari

Era 'Matinya' Pemasaran Gaya Lama!

Tulisan 1 dari 100

Jumat, 28 Agustus 2009 | 09:57 WIB

Sekitar Mei 2008 lalu, salah seorang praktisi pemasaran di industri telekomunikasi menghampiri saya dengan mengatakan bahwa praktek pemasaran yang dijalani di perusahaannya sekarang sudah berubah, dari era legacy ke era new wave. Dari percakapan itu, saya langsung ‘meminjam’ istilah legacy dan new wave dari beliau untuk menjelaskan kepada dunia pemasaran bahwa langkah pemasaran gaya lama (legacy) memang semakin lama, semakin mati.

Ketika itu saya bersama tim di MarkPlus, Inc sudah menyadari bahwa lanskap dunia pemasaran terus berubah. Apa lagi “biang kerok”-nya kalau bukan produk-produk teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih dengan aplikasi web 2.0, yang membuat dunia ini semakin horisontal dan demokratis.

Seiring dengan masuknya kita ke dalam awal abad-21 ini, dunia teknologi semakin memberikan interaksi, partisipasi, dan peluang untuk berkolaborasi, membawa kita para pemasar untuk melakukan praktek pemasaran yang bertumpu pada jejaring saling terhubung dan berkembang biak.

Sejak itu saya bersama tim di MarkPlus, Inc semakin meneliti pergeseran perubahan lanskap dunia bisnis dan implikasinya terhadap praktek dan tata cara pemasaran di dunia yang baru ini. Beberapa hasil penelitian ini telah dimuat dalam berbagai kesempatan, mulai dari penulisan 100 artikel di Kompas tahun lalu yang kemudian dijadikan buku “New Wave Marketing: The World is Still Round, the Market is Already Flat.

Dari kolaborasi dengan Kompas tersebut, selama setahun belakangan saya keliling ke kampus-kampus, menghadiri seminar dan konferensi pemasaran, di dalam dan luar negeri dengan membawa tema pembicaraan “New Wave Marketing” sekaligus menyebarkan virus horisontalisasi pemasaran.

Kolom New Wave Marketing di rubrik ini akan memuat artikel-artikel yang berisikan percakapan (conversation) saya bersama pembaca kompas.com. Selama beberapa bulan ke depan, kolom ini akan memuat tiga pokok bahasan utama yang dibagi kedalam kerangka why, what is, dan how to dalam konteks New Wave Marketing.

Di bagian “why new wave”, kita akan sama-sama melihat trend terbaru di lanskap bisnis termasuk di antaranya 10 faktor utama kenapa bisnis telah menjadi horizontal. Di sini pula akan dibahas kenapa bentuk model pemasaran Anda harus dirubah ke dalam praktek new wave.
Bagian kedua ”what is new wave”, akan membahas pergeseran strategi, taktik, dan value pemasaran. Dari sisi strategi pemasaran, terjadi pergeseran dari yang namanya Segmentation menjadi Communitization, Targeting menjadi Confirmation, dan Positioning menjadi Clarification.

Penerapan elemen taktik pemasaran pun berubah karena terjadi pergeseran praktek Differentiation menjadi Codification, dari bauran pemasaran 4P (product, price, place, promotion) menjadi New Wave Marketing-Mix 4C (co-creation, currency, communal activation, dan conversation) dan juga dari Selling ke Commercialization.

Begitupula dengan Marketing Value yang bergeser dari Brand ke Character, dari Service menjadi Care, dan dari Process menjadi Collaboration.

Bagian ketiga akan membahas bagian ”how to” atau bagaimana mengaplikasikan pola new wave marketing. Ada beberapa sub-bagian yang akan dibahas di sini, di antaranya pembangunan tiga pilar utama new wave marketing: pengelolaan konsumen yang berbasiskan komunitas (community-based customer management), pengelolaan produk yang berbasiskan co-creation dengan komunitas (co-creation-based product management), dan juga pengelolaan brand yang berbasiskan karakter (character-based brand management).

Selain tiga pilar utama dalam praktek new wave marketing, lewat tulisan di bagian ketiga (”how-to”) pada kolom ini juga akan dibahas bahwa kalau Anda ingin melakukan pola pemasaran gaya baru ini, pada akhirnya Anda harus memiliki atau mungkin menunggangi tiga platform penghubung yaitu interaksi mobile, event experiential, dan social media yang ketiganya ada di dalam dunia online dan offline.

Beberapa studi kasus yang akan dibahas nantinya akan mengacu pada kerangka yang telah diurai di atas. Contoh perusahaan yang dimuat adalah mereka yang berlandaskan paradigma horisontal, masuk ke jejaring komunitas, dan menunggangi platform konektor yang ada di dunia online dan offline. Tidak sedikit dari mereka telah sadar bahwa pemasaran gaya lama semakin lama semakin tidak mumpuni, dibutuhkan pendekatan baru, New Wave Marketing, yang lebih relevan dengan perubahan lanksap seperti sekarang.

Bagaimana pendapat Anda?

Hermawan Kartajaya

KOMPAS

Sunday, August 23, 2009

Investasi & Keuangan: Seni Berinvestasi Saham

Minggu, 23 Agustus 2009 | 03:14 WIB

Elvyn G Masassya - praktisi keuangan

Bahasan tentang potensi untung ataupun potensi rugi di pasar modal yang dimuat di rubrik ini dua pekan silam hanyalah bagian kecil dari seni berinvestasi di pasar modal, khususnya saham.

Seni? Ya, sebab untuk menjadi pemain alias investor sukses di pasar modal, khususnya Bursa Efek Indonesia, tidak cukup hanya dengan kompentensi, pengetahuan, keterampilan, atau keberanian, tetapi juga seni. Kenapa? Karena di pasar modal kerap terjadi anomali yang tidak bisa diduga siapa pun, termasuk analis kondang. Misalnya, kondisi pasar saham dunia dan regional tengah turun, kondisi politik di dalam negeri, dan perekonomian tidak terlalu mendukung, tetapi ada saham-saham yang naik harga, dan bahkan indeks saham gabungan pun melonjak. Demikian juga sebaliknya. Anomali hanya bisa disikapi jika investor menggunakan rasa seni dalam bermain di pasar modal.

Seni berinvestasi di pasar modal tentu berbeda untuk investor institusi yang memiliki dana besar dari investor ritel yang dananya terbatas. Bahasan, dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada investor ritel yang tujuannya berinvestasi di pasar modal adalah mendapat tambahan pendapatan atau pendapatan sampingan dari investasinya. Artinya, kalaupun seluruh modal yang ditanamkan amblas, si investor tidak serta-merta jatuh miskin. Jika dana yang dimainkan bisa mereguk keuntungan, maka bukan tidak mungkin menjadi kaya raya. Lantas bagaimana melakukan semua itu?

Pertama, dana yang ditanamkan di pasar modal mestilah bukan dana yang diperuntukkan untuk uang belanja rumah tangga, melainkan sebagai bagian investasi yang memiliki risiko rendah dan moderat. Jadi, dana yang digunakan untuk jual-beli saham cukup 25 persen atau separuhnya, bergantung pada karakteristik personal Anda. Jika Anda cukup kuat menanggung risiko, dana yang ditempatkan bisa lebih besar.

Kedua, investasi di pasar modal bertujuan jangka pendek untuk mendapatkan hasil dari jual-beli saham dan atau mendapat dividen bersama dengan hasil potensial jika Anda memegang saham tersebut untuk jangka menengah-panjang. Nah, dalam hal ini, dana yang Anda alokasikan sebaiknya dipastikan peruntukannya, apakah untuk jual-beli saham sehari-hari atau beli saham lalu dipegang untuk kurun waktu cukup lama. Lazimnya, tujuan pembelian saham pun bisa dibagi, yang peruntukannya untuk ”perdagangan” sehari-hari maupun untuk jangka waktu di atas satu tahun.

Ketiga, bertransaksi untuk perdagangan dan untuk jangka panjang hakikatnya tetap sama, yakni memilih saham dengan fundamental bagus, dalam arti perusahaan emiten memiliki prospek usaha dan harga sahamnya di bawah nilai sebenarnya. Artinya, harga target saham tersebut untuk beberapa waktu ke depan berpotensi masih lebih tinggi daripada harga saat ini.

Dalam praktiknya, bukan tidak ada saham yang sebenarnya secara fundamental sudah mencapai ”harga wajar”, tetapi ketika ditransaksikan bisa saja harganya tetap meningkat. Nah, saham semacam ini hanya pantas masuk dalam portofolio perdagangan. Bisa beli hari ini jual besok, dua hari kemudian, atau malah pada hari yang sama. Dan Anda akan mengeruk keuntungan. Bagaimana mungkin? Di sinilah seninya.

Berbeda

Seni berjual-beli (trading) saham sedikit berbeda dari investasi saham untuk jangka menengah panjang kendati prinsip dasarnya sama, yakni mesti memiliki nilai fundamental yang bagus. Namun, dalam perdagangan, naik-turunnya harga saham tidak semata-mata karena faktor fundamental, tetapi juga ada unsur sentimen dan aspek yang sulit dianalisis secara matematika karena lebih mengedepankan persepsi dan ekspektasi.

Nah, untuk mendapat keuntungan dari transaksi jual-beli jangka pendek, bisa melihat pergerakan harga saham ketika pasar baru dibuka. Sebagai investor ritel, tentu Anda tidak memiliki dana cukup untuk menggerakkan harga saham. Namun, ibarat ikan teri, tentunya bisa nebeng di pergerakan ikan paus. Dengan kata lain, jika yakin saham Anda akan bergerak harganya karena saat pasar dibuka harga saham tersebut langsung bergerak yang berarti ada permintaan besar, Anda bisa ikut membeli saham itu.

Di sisi lain, Anda tentu tidak tahu apakah si investor besar akan memegang saham tersebut dalam jangka waktu lama atau kemudian menjualnya lagi setelah memperoleh keuntungan potensial dan melakukan aksi ambil untung. Di sinilah kerap terjadi musibah bagi investor ritel karena terlambat menjual.

Oleh karena itu, agar Anda tidak terjebak situasi itu, jika Anda bermain saham untuk dijual segera, tidak boleh serakah. Konkretnya, jika harga di pasar sudah lebih tinggi dari harga beli, maka sesegera mungkin saham itu dijual lagi. Tidak perlu kecewa kalau ternyata harga saham itu terus melambung. Ingat, Anda adalah investor ritel yang cuma mengikuti ”paus”. Tentu harus tahu kapan menyingkir agar tidak terimpit paus kalau tiba-tiba sang paus putar haluan.

Seni lain

Adakah seni yang lain? Ada. Anda mesti sangat hati-hati menggunakan dana yang terbatas. Caranya, belilah saham yang sektornya terdiversifikasi, pecah dana ke dalam beberapa saham. Dengan demikian, jika satu saham turun, saham lain bisa meningkat.

Kalau hasil transaksi dikonsolidasikan, Anda tetap akan memperoleh hasil, tetapi tidak sebesar investor institusi. Sisi baiknya, risiko Anda juga menjadi tidak terlalu besar.

Singkatnya, seni bermain saham sebenarnya perpaduan antara kelihaian dalam menentukan kapan masuk dan kapan keluar, dibarengi itikad memperoleh keuntungan secukupnya, tanpa serakah, serta mendiversifikasi saham yang dibeli. Selamat mencoba.

KOMPAS

Sunday, August 16, 2009

Investasi & Keuangan: Bermain Saham Kapitalisasi Pasar Besar

Minggu, 16 Agustus 2009 | 03:14 WIB

Adler Haymans Manurung, praktisi keuangan

Saham yang ditransaksikan di bursa dapat dikelompokkan menjadi berbagai kelompok, sesuai karakteristiknya. Salah satunya berdasarkan kapitalisasi pasar saham bersangkutan.

Kapitalisasi pasar saham merupakan indikator bursa yang diperoleh dari hasil perkalian jumlah saham dengan harga pasar saham bersangkutan.

Kapitalisasi pasar saham secara umum bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar: saham berkapitalisasi pasar besar (big cap), saham berkapitalisasi pasar medium (medium cap), dan saham berkapitalisasi pasar kecil (small cap).

Ada beberapa ukuran untuk menentukan big cap, medium cap, dan small cap. Untuk saham di bursa Indonesia, pertama yang dilakukan adalah mengurutkan saham berdasarkan kapitalisasi pasar saham yang paling tinggi sampai dengan yang terendah. Saham dengan kapitalisasi pasar di bawah dan sama dengan Rp 300 miliar dianggap kelompok small cap; Rp 300 miliar-Rp 750 miliar kelompok medium cap, dan yang di atas Rp 750 miliar kelompok big cap.

Bermain saham big cap masih dipengaruhi situasi pasar, yaitu pasar naik disebut bullish, situasi turun disebut bearish, dan pasar bergejolak atau fluktuatif. Saham big cap sangat berpengaruh ke pasar karena pasar yang meningkat diawali dari peningkatan harga saham big cap dan sebaliknya. Tulisan ini membahas bermain saham big cap pada situasi pasar tersebut.

Meramal pasar

Salah satu tindakan penting untuk bermain saham di bursa adalah meramal pergerakan pasar mendatang apakah naik, turun, atau berfluktuasi pada level tertentu.

Pasar yang meningkat ditandai dengan adanya kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi, seperti kebijakan moneter atau fiskal pemerintah. Pada sisi lain, kebijakan pemerintah juga dapat berakibat pada pertumbuhan perusahaan sehingga harga saham naik.

Salah satu indikator yang selalu harus diperhatikan investor adalah tingkat bunga karena sangat berhubungan dengan berbagai variabel. Kebanyakan pemerintah menggunakan variabel ini sebagai alat kebijakan utama. Tetapi, Jepang tidak menggunakannya, terlihat dari tingkat bunga yang rendah, bahkan investor harus membayar ke bank bila menabung.

Bila pasar diramalkan akan meningkat, maka investor harus masuk membeli saham big cap. Teknik yang digunakan harus melihat pola harga saham ini pada masa lalu karena pola harganya mungkin terjadi lagi.

Bila gaya investor dalam investasi dengan bertransaksi, maka tindakan melihat pola harga saham sangat penting. Bila investor tidak ingin bertransaksi dalam investasi tetapi membeli saham itu untuk waktu sangat lama, maka titik awal pembelian harus tepat supaya memperoleh tingkat pengembalian tinggi.

Bila investor membeli tidak tepat waktu (dan harga), maka ada kemungkinan tingkat pengembalian sama saja atau bahkan lebih rendah dari dengan investasi pada instrumen bebas risiko, seperti SBI dan obligasi pemerintah.

Investor sebaiknya tidak lupa memperdagangkan saham ini dengan melihat informasi perusahaan yang dikeluarkan perusahaan langsung atau melalui riset analis perusahaan sekuritas atau manajer investasi.

Tujuan mentransaksikan saham ini untuk mendapat jumlah capital gain cukup besar dibandingkan dengan hanya memegang saja. Bila tidak terjadi fluktuasi harga, maka investor tidak perlu memperdagangkan saham ini. Bila saham ini berfluktuasi, misalnya harga turun 5 persen dalam jangka pendek (harian) atau satu minggu sampai satu bulan dan kembali naik, maka investor perlu memperdagangkan saham ini.

Bila pasar diramalkan akan turun, maka investor harus menjual saham secepatnya supaya tidak merugi lebih dalam. Tanda pasar yang akan turun antara lain ketika ada kecendrungan pemerintah menaikkan tingkat bunga yang dapat diperhatikan dari tingkat bunga SBI atau yield bond pemerintah yang naik.

Faktor eksternal negara juga dapat membuat pasar turun, selain faktor internal perusahaan. Maka, investor harus tidak membeli atau menjual saham yang dimiliki saat ini. Bila penurunan harga di pasar berfluktuatif menuju penurunan, maka investor harus mengambil kesempatan dengan bertransaksi. Bila harga drop 10 persen, investor membeli. Bila naik kembali ke level 3 persen-5 persen. Investor tidak perlu memonitor saham setiap saat, cukup dengan memberi order kepada pemasar saham perusahaan sekuritas. Investor bisa mengecek pada akhir penutupan pasar.

Pasar fluktuatif

Selanjutnya, bila pasar cenderung fluktuatif pada periode berikut atau pasar hanya bergerak pada kisaran tertentu, maka investor bisa bertransakasi saham big cap. Investor harus mempunyai waktu untuk memonitor harga saham karena gejolaknya tidak bisa ditebak. Tetapi, bila harga saham tidak berubah pada kisaran tertentu, investor bisa membeli dengan harapan harga naik. Investor dapat mencari informasi ke analis perusahaan sekuritas atau langsung kepada sekretaris perusahaan untuk lebih yakin bertransaksi saham ini. Investor harus menggunakan perkiraan biaya transaksi maksimum 0,8 persen sehingga investor harus mendapatkan keuntungan sekitar 2,5 persen per bulan.

Jual-beli saham big cap sering harus lebih berhati-hati karena penurunannya tidak sebanding dengan yang diinginkan investor, tetapi untuk jangka panjang investasi saham ini lebih baik dibandingkan dengan saham lain. Perusahaan besar biasanya lebih diyakini karena keberlangsungan hidupnya lebih dapat dipercaya sebab dikelola dengan profesional.

KOMPAS

Monday, August 10, 2009

BlackBerry Gemini Akan Dijual Rp 3 Jutaan Tanpa Kontrak Langganan

Senin, 10 Agustus 2009 | 08:14 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — PT Excelcomindo Pratama (XL) akan menjadi salah satu distributor BlackBerry Gemini (Curve 8520) yang disebut-sebut sebagai BlackBerry termurah saat ini. Penjualannya kemungkinan akan dimulai sebelum Lebaran dengan harga sekitar Rp 3 juta tanpa kontrak langganan.

"Antara Rp 3 juta sampai Rp 4 juta," kata Dolly Surya Wisaka, Manager Operation Support Internet and Data Services XL di sela-sela network drive test Lampung-Madura, 7-9 Agustus 2009. Kalau di AS dan Kanada memang harganya lebih murah, yakni sekitar Rp 1,5 juta bahkan pusat belanja Walmart menjual mulai harga Rp 500.000. Namun, hal itu disertai kontrak langganan selama dua tahun.

Dolly mengatakan, Gemini pada dasarnya bisa disebut sebagai versi ekonomis dari BlackBerry Javelin (Curve 8900). Sekilas tampilannya sama, tetapi memiliki kamera lebih rendah, hanya 2 megapiksel, dan memori internal 128 MB. Namun, menurut Dolly, secara arsitektur, Gemini tidak kalah, bahkan lebih baik.
"Saya sudah coba untuk menerima 35.000 e-mail, tidak ada gangguan sama sekali," ujarnya. Selain itu, Gemini merupakan produk pertama BlackBerry yang dilengkapi touchpad optik dan media key di bagian atas untuk mengakses data video, foto, dan musik. Bahkan, cangkangnya lebih kuat dan tahan jatuh.

Menurut Dolly, tanpa kontrak langganan membuat konsumen bisa memilih alternatif semua akses BlackBerry, baik yang ditawarkan XL melalui skema harian, mingguan, maupun bulanan. Pelanggan juga bisa bebas menggunakan layanan, baik yang prabayar maupun pascabayar. Bahkan, pelanggan bisa saja mencoba layanan operator lain untuk membanding-bandingkan kualitas layanan.

Sejauh ini, XL belum memastikan, kapan barang tersedia, meski diharapkan awal September. Menurut Dolly, seharusnya BlackBerry Gemini sudah bisa masuk Indonesia bulan ini, bahkan Indonesia sebelumnya disiapkan sebagai negara kedua peluncurannya setelah AS dan Kanada.

Namun, hal tersebut urung akibat regulasi pemerintah yang menghentikan pengajuan lisensi produk baru BlackBerry sampai RIM membuka pusat servis resminya di Indonesia yang dijanjikan 26 Agustus mendatang.

WAH

KOMPAS

- Muhammad Idham Azhari

Sunday, August 9, 2009

Investasi & Keuangan: Potensi Untung Vs Potensi Rugi

Minggu, 9 Agustus 2009 | 03:08 WIB

Elvyn G Masassya - praktisi keuangan

Berbahagialah Anda jika sudah sejak lama melakukan investasi di pasar modal karena hari-hari ini indeks melaju, menembus angka yang hampir tidak diperkirakan sebelumnya.

Pada akhir Juli lalu, indeks harga saham gabungan menembus 2.200. Pada awal 2009, indeks masih pada kisaran 1.300-1.400. Pada saat itu, hampir semua analis hanya berani mematok angka paling tinggi 1.800 sebagai capaian indeks akhir tahun. Saya sendiri pada awal tahun superoptimistis dan memasang angka target 2.000 untuk akhir 2009.

Banyak analis kemudian merevisi ramalannya, ada yang memasukkan angka 2.500 sebagai target baru, tetapi ada juga yang memasang angka 2.800.

Tentu angka indeks harga saham gabungan (IHSG) tidak datang dari langit. IHSG merupakan implikasi transaksi saham di pasar modal. Harga saham sendiri merupakan implikasi berbagai faktor, antara lain ekonomi makro lokal, regional, dan internasional serta sosial politik yang berpengaruh pada kondisi mikro perusahaan. Hal itu ditambah hitung-hitungan teknis, di mana harga suatu saham bisa berubah terkait fenomena yang terjadi saat itu dan fenomena sejenis bisa berulang.

Naik turunnya indeks bisa memberikan pengaruh terhadap pelaku di pasar modal. Kalau investor sudah memegang saham, kenaikan indeks sebagai cerminan kenaikan harga saham akan memberikan potensi keuntungan (potential gain).

Misalnya, awal tahun ini Anda membeli saham ”X” seharga Rp 1.000 per lembar, indeks masih 1.400-an, dan saat ini Anda masih memegang saham tersebut. Kini, ketika indeks berada di angka 2.200, harga saham ”X” sudah berubah menjadi, katakanlah, Rp 1.500. Berarti Anda berpotensi untung 50 persen hanya dalam 6 bulan. Kalau saham ”X” tersebut Anda jual sekarang dan Anda memiliki 1 juta lembar, keuntungan Anda mencapai Rp 500 juta. Sangat luar biasa.

Hal sebaliknya bisa terjadi jika harga saham Anda merosot. Ini sudah terjadi tahun silam. Pada awal tahun indeks berada pada angka 2.800, merosot hingga sekitar 1.300 pada akhir tahun. Bisa jadi saham ”X” yang Anda beli seharga Rp 2.000 per lembar dan pada akhir tahun 2008 harganya Rp 1.000, berarti Anda berada dalam posisi potensi merugi (potential loss) Rp 1.000. Kalau Anda memiliki 500.000 lembar, berarti potensi kerugian Anda Rp 500 juta.

Dalam praktiknya, keuntungan potensial bisa membesar dan juga kerugian potensial bisa tidak terealisasi bila Anda yakin saham Anda suatu ketika akan naik harganya. Itulah yang belakangan ini banyak terjadi pada investor. Ketika tahun silam mengalami potensi kerugian besar, ia tidak serta-merta menjual semua saham (cut loss) karena yakin saham yang dia pegang akan kembali meningkat harganya.

Membalik posisi

Lalu, bagaimana membalik potensi merugi menjadi potensi untung? Tentu saja ada banyak hal yang mesti dianalisis, tetapi yang paling utama, saham yang Anda pegang memiliki nilai fundamental bagus. Artinya, kalaupun harganya turun, itu lebih disebabkan faktor psikologis pasar, bukan karena fundamental yang jelek. Itu bisa diukur dari berbagai rasio saham tersebut. Misalnya, price earning ratio, yang membandingkan antara harga dan laba perusahaan lalu dibandingkan dengan perusahaan sejenis. Artinya, bisa saja harga saham tersebut sebenarnya ”terlalu murah”. Jika itu yang terjadi, tidak perlu khawatir karena suatu ketika harganya pasti naik kembali.

Anda juga mesti melihat kapitalisasi pasar saham tersebut. Saham yang kapitalisasinya besar tentu tidak mudah ”digoreng”, jadi harganya akan bergerak seiring dengan perkembangan ekonomi makro, mikro perusahaan, dan ekspektasi pasar.

Apakah cara itu sudah cukup? Akan jauh lebih baik jika terhadap saham yang dalam posisi potensial merugi tetapi memiliki nilai fundamental bagus dilakukan lagi pembelian (disebut averaging down).

Artinya, bila Anda memiliki saham ”X” dengan harga beli Rp 2.000 sebanyak 100 lembar, lalu harganya turun menjadi Rp 1.000, Anda tidak perlu menjualnya. Beli lagi saham ”X” seharga Rp 1.000 sebanyak 100 lembar juga sehingga Anda memiliki 200 lembar saham ”X” yang jika dirata-ratakan harganya Rp 1.500 per lembar. Memang Anda masih berpotensi merugi, tetapi untuk mengalami pembalikan harga menuju Rp 1.500 tentu lebih cepat daripada menunggu harga kembali ke Rp 2.000. Seandainya harga kembali ke Rp 2.000, malah Anda sudah mengantongi potensi keuntungan Rp 500 per lembar.

Tentu saja strategi di atas hanya bisa Anda lakukan jika investasi Anda di pasar modal bersifat jangka menengah-panjang. Artinya, Anda ”bermain” saham tidak menggunakan dana untuk belanja rumah tangga.

Jika dana yang Anda pakai berinvestasi berasal dari dana sehari-hari, Anda sebenarnya melakukan perdagangan saham karena saham yang Anda beli tidak dimaksudkan untuk dipegang dalam kurun waktu lama. Maka, yang bisa Anda pertimbangkan adalah memasang batas berapa potensi kerugian atau potensi keuntungan yang bisa ”dipelihara”.

Bila 10 persen, maka jika harga saham Anda telah naik 10 persen, dalam sehari atau seminggu, segera jual. Anda tidak boleh serakah berharap harga terus meningkat sebab bisa juga terjadi sebaliknya. Demikian juga ketika dalam posisi potensial merugi. Kalau nilainya sudah 10 persen di bawah harga beli, juga dilepas dan hasil penjualannya masuk lagi ke saham lain.

Yang penting, dalam kurun waktu satu bulan atau enam bulan, sesuai dengan target Anda, secara konsolidasi seluruh transaksi bisa menghasilkan keuntungan 10 persen. Selamat mencoba.

KOMPAS

Friday, August 7, 2009

[Road to $100/day]: Keyword Research

1 Bulan kebelakang ini saya melakukan keyword research menuju $100/hari. Cukup melelahkan walaupun cukup mudah dilakukan dibandingkan dengan mencari ide untuk keyword yang akan dijadikan nama domain (tema) website atau blog. Mungkin ada sekitar 5 atau 6 website/blog yang akan saya buat.....cukup rakus memang...tapi kalau sudah terbiasa pasti menyenangkan....$100/hari dikali 5 website/blog = $500/hari doooonnnggggggg......Insya ALLAH...kalau ALLAH meridhai pekerjaan saya...pastilah akan saya dapatkan....Amien....

Pekerjaan melelahkan kedua adalah membuat content atau mencari content untuk dimasukkan ke dalam landing page. Dan selanjutnya yang saya pikir cukup melelahkan juga adalah mencari backlink sebanyak-banyaknya supaya website/blog saya dapat menduduki peringkat teratas di search engine Google (minimal muncul di halaman pertama).

Sekian dulu dari saya.....mulai mencari content di search engine.....

Salam Sukses
Idam

Wednesday, August 5, 2009

Google: Android akan Gempur BlackBerry

Rabu, 5 Agustus 2009 | 11:32 WIB

MOUNTAIN VIEW, KOMPAS.com - Nasib Android ke depan kemungkinan akan diarahkan menjadi pesaing langsung BlackBerry buatan Research In Motion (RIM). Google sebagai pengembang platform-nya menyatakan bahwa sistem operasi tersebut akan lebi difokuskan ke pasar bisnis bukan konsumer.

Hal itu seperti dilaporkan Reuters mengutip salah satu eksekutif puncak Google yang mengurusi Android, Andy Rubin. Dalam pernyataannya, Jumat lalu, Rubin mengatakan selain mengembangkan fitur-fitur konsumer seperti jaringan sosial dan game, Android akan dijadikan platform pengembangan solusi bisnis yang dapat mendukung pekerjaan.

"Hari ini, kami tidak mendukung banyak aplikasi enterprise, namun ke depan, saya kira enterprise akan menjadi fokus yang utama bagi kami," ujar Rubin, vice president of engineering Google itu.
Debut Android telah dimulai tahun ini dan diperkirakan akan hadir sekitar 20 varian handset dari berbagai vendor smartphone pada akhir tahun 2009. Rubin memperkirakan Android juga mulai dilirik pengguna kelas bisnis mulai tahun ini.

Jika Google masuk, persaingan di pasar handset bisnis ini akan semakin ketat karena Google memiliki layanan-layanan berbasisi online yang ditujukan di pasar ini seperti Google Apps. Sebelumnya Apple telah mendemonstasikan kombinasi antara perangkat dengan fitur tinggi, aplikasi, dan layanan online.

WAH

KOMPAS

- Muhammad Idham Azhari

Sunday, August 2, 2009

Investasi dan Keuangan: Memulai Transaksi Saham

Minggu, 2 Agustus 2009 | 03:04 WIB


Adler Haymans Manurung praktisi keuangan

Pertanyaan pemilik dana adalah bagaimana memulai transaksi saham? Bisakah langsung datang ke bursa untuk membeli saham?

Investor tidak bisa langsung datang ke bursa untuk membeli saham seperti membeli sayur ke pasar. Bursa merupakan lembaga bertransaksi saham melalui broker (perusahaan sekuritas) yang keberadaannya berdasar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Semua transaksi di bursa menggunakan teknologi informasi dan sistem pembayarannya melalui perbankan. Perusahaan sekuritas yang berlisensi sebagai pedagang perantara efek dan anggota bursa yang bisa melakukan transaksi saham.

Anggota bursa adalah perusahaan sekuritas yang memiliki saham di PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham dimiliki ketika bursa berdiri atau melalui lelang perusahaan lain yang tidak memenuhi syarat menjadi anggota. Perusahaan anggota bursa dapat dilihat di situs BEI dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Bila bertransaksi melalui perusahaan sekuritas yang bukan anggota bursa, investor harus mencari informasi mengenai aliansinya dengan anggota bursa. Artinya, investor mengetahui dan paham atas transaksi yang dilakukan.

Dengan kata lain, investor harus memilih perusahaan sekuritas dengan lebih cermat agar dana dan saham yang dimiliki jelas keberadaannya.

Perhatikan kriteria perusahaan sekuritas, yaitu pertama, modal setor perusahaan, apakah melebihi modal yang ditentukan Bapepam karena dapat menjadi ukuran likuiditas perusahaan.

Kedua, pemasaran perusahaan sekuritas. Banyaknya pemasar perusahaan juga menunjukkan layanannya kepada investor. Bila jumlahnya sangat sedikit, maka pelayanan akan tidak optimal.

Ketiga, apakah perusahaan mempunyai bagian riset yang bisa diandalkan karena investasi saham dilakukan dengan melihat prospek perusahaan. Untuk itu butuh riset dan perlu pertemuan antara riset analis dengan investor relation perusahaan.

Bila tidak ada bagian riset, investor bisa mendapat informasi gratis melalui www.finansialbisnis.com. Investor harus mencari hasil riset berdasarkan pendekatan fundamental dan teknis.

Keempat, sistem pembayaran transaksi saham antara perusahaan sekuritas dan investor. Saat ini, aturan transaksi saham adalah T+3. Artinya, bila investor membeli saham, maka pembayaran dilakukan tiga hari kemudian dan investor menyerahkan saham bila menjual saham dan mendapatkan dananya.

Perusahaan sekuritas dapat meminta investor membayar pada T+2 dan membayar pada T+4, karena penyelesaian transaksi saham pada T+3 dan perusahaan sekuritas membutuhkan proses. Sebaiknya regulator memecahkan persoalan ini agar investor tidak dirugikan. Sebaiknya, transaksi diselesaikan pada T+1 supaya efisien.

Kelima, kenali manajemen perusahaan sekuritas agar investor bisa berhubungan langsung dengan manajemen bila ada persoalan genting.

Keenam, adakan pertemuan rutin setiap hari atau beberapa kali dalam seminggu untuk menyebarkan informasi. Pertemuan rutin ini sangat penting untuk mengetahui perkembangan perusahaan sehingga keputusan bertransaksi dapat tepat dilakukan.

Ketujuh, apakah perusahaan mempunyai lisensi lain, seperti penjamin emisi atau manajer investasi atau hanya perantara pedagang efek. Adanya lisensi lain juga menunjukkan bonafiditas dan informasi yang dapat diperoleh investor, selain pelayanan akan meningkat.

Membuka rekening

Selanjutnya membuka rekening untuk transaksi saham di perusahaan sekuritas. Investor harus meminta agar rekening investor tercatat di bursa melalui PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia. Terdaftarnya rekening di kedua perusahaan itu memberi keuntungan, tidak perlu takut karena transaksi di bursa harus transparan.

Selanjutnya investor harus menunggu untuk mendapat persetujuan bertransaksi. Lama keluarnya persetujuan tergantung hasil penyelidikan terhadap investor karena perusahaan sekuritas harus mengenal investor, sesuai peraturan Bapepam. Umumnya, investor yang mempunyai teman dekat yang telah lama bertransaksi lebih cepat mendapat persetujuan karena ada pihak pemberi informasi bagi perusahaan sekuritas.

Investor lalu bertemu pemasar dan dapat bertanya jawab mengenai saham yang ditransaksikan. Ketika memulai transaksi, investor harus bertanya apakah investor setiap hari memerhatikan transaksi saham atau hanya beberapa saat karena ingin berinvestasi jangka panjang.

Investor dapat memulai dengan membeli satu lot saham (500 saham). Saham yang dibeli cukup dikonsentrasikan 5-10 jenis karena bila lebih akan terjadi kesemrawutan analisis. Tindakan ini untuk merasakan bermain saham dan bila terjadi kerugian jumlahnya tidak besar.

Transaksi satu lot itu dilakukan berkali-kali dalam seminggu untuk membuat denyut jantung terbiasa. Bila sudah yakin bisa mengikuti naik-turunnya harga saham, investor dapat menaikkan jumlah lot. Lompatan selanjutnya 5 lot saham sehingga investor mulai merasakan besarnya kerugian. Ini dapat dilihat sebagai ”biaya sekolah” dan jangan menjadi beban bagi investor. Sebaiknya, dana yang dipakai adalah uang lebih yang tidak dipakai dalam jangka panjang.

Investor harus terus mencari informasi melalui koran, analis, dan pihak yang memahami pasar. Investor jangan sekali-kali melawan pasar karena akan merugi. Selamat bermain saham.

KOMPAS

Bisnis Rezeki Dunia Digital

Minggu, 2 Agustus 2009 | 03:02 WIB

BUDI SUWARNA

Shinta W Dhanuwardoyo (39) yakin benar, media generasi mendatang adalah media digital. Keyakinan itu mendorong dia masuk ke bisnis ini. Kini, Shinta menuai hasilnya.

Awalnya, Shinta bersama beberapa teman mendirikan PT Bubu Kreasi Perdana (bubu.com) tahun 1996 yang memberikan layanan perancangan situs. Ketika itu belum ada perusahaan sejenis di Indonesia. Sumber daya manusia di bidang itu pun masih minim. Pasarnya belum terbentuk. Orang bahkan belum banyak yang melek internet, apalagi merasa perlu membikin situs.

Namun, Shinta tidak menyerah. Dia berusaha mengedukasi masyarakat agar melek situs internet. Salah satunya dengan menggelar Bubu Awards, semacam kompetisi pembuatan situs. Hingga 2009, kompetisi ini telah berlangsung enam kali.

”Responsnya bagus. Sekarang, Bubu Awards tidak hanya mengompetisikan web design, tetapi juga konsep digital advertising,” ujar Shinta, Chief Executive Officer bubu.com, Selasa (28/7).

Meski edukasi berjalan, bisnis ini awalnya berkembang lambat. Hingga tahun 2000, kata Shinta, baru segelintir perusahaan Indonesia memiliki situs. Baru dua tahun belakangan kebutuhan membuat situs bermunculan.

Fenomena ini, menurut Shinta, antara lain dipicu semakin meluasnya penggunaan telepon seluler, merebaknya situs Facebook, dan krisis ekonomi global. ”Krisis memaksa perusahaan membuat kampanye yang murah, tetapi efektif. Internet kemudian jadi pilihan utama.”

Sejak saat itu, berbagai perusahaan, besar atau kecil, berlomba membuat situs kreatif. Permintaan pembuatan situs yang datang ke bubu.com pun deras berdatangan. Shinta mengatakan, dua tahun terakhir omzet usahanya tumbuh rata-rata 100 persen setiap tahun, tetapi dia tidak bersedia menyebutkan jumlahnya.

Bukan hanya bubu.com, para perancang situs yang bekerja paruh waktu pun kebanjiran order dari dalam negeri dan juga mancanegara. ”Saya sampai sering kehabisan tenaga freelance karena mereka juga sibuk semua,” ujar Shinta.

Pemain baru di bisnis ini pun bermunculan, tetapi menurut Shinta persaingannya belum tajam karena bisnis ini tumbuh terus.

Seiring dengan itu, Shinta memperluas layanan bubu.com dari perancangan situs ke digital marketing. Perusahaan itu sekarang memberikan layanan terintegrasi mulai dari pembuatan strategi kampanye di internet, perancangan, pengelolaan, pemeliharaan, hingga pengembangan situs. Perusahaan itu pun menjelma menjadi semacam perusahaan periklanan digital.

Ini memang zaman digital, Bung!

KOMPAS

Kreativitas Era Digital

Minggu, 2 Agustus 2009 | 03:01 WIB

Penyelenggaraan Bubu Awards V.06 pada Jumat (31/7) di Balai Sidang Jakarta mengangkat tema ”The Rise of Digital Era”. Seperti disebutkan pendiri Bubu.com dan Bubu Awards, Shinta Dhanuwardoyo, era digital memberikan banyak peluang yang sebelumnya tak terbayangkan.

Era digital dalam sejarah manusia berbeda jauh dari era-era sebelumnya. Meskipun begitu, ada satu hal yang tidak pernah berubah dari setiap era tersebut yang membawa manusia pada keadaannya saat ini, yaitu ide kreatif. Ini adalah salah satu kelebihan yang melekat pada manusia dibandingkan dengan makhluk hidup lain.

Dalam keyakinan pelopor ekonomi kreatif, Richard Florida, kemampuan manusia memanfaatkan ide-ide kreatifnyalah yang akan menentukan masa depannya (The Rise of The Creative Class, Basics Book, 2002). Kreativitas, menurut Florida, adalah kemampuan manusia mengkreasikan bentuk-bentuk baru yang berguna dari pengetahuan yang telah ada dengan pengetahuan dan informasi sebagai alat dan materinya.

Sejak tahun 1990-an kita telah memasuki era digital yang terus berkembang ketika komputer menjadi semakin tersedia luas, jejaring internet menjadi bagian kehidupan sehari-hari, dan telepon seluler menjadi kebutuhan hingga ke desa-desa.

Meski demikian, perangkat tersebut tidaklah cukup. Diperlukan ide kreatif untuk mendayagunakan perangkat keras tersebut agar bermanfaat maksimum.

Karena itu, menarik mengikuti pemaparan Vice President/Creative Director Crispin Porter + Bogusky Alex ”Burnie” Burnard, salah satu agensi digital paling terkemuka di Amerika Serikat. Burnard menjelaskan pemanfaatan teknologi digital ke dalam strategi pemasaran yang di Amerika sudah berkembang jauh memanfaatkan era digital.

Jejaring internet mengubah cara manusia mengembangkan ide kreatifnya. Sarana komunikasi dan situs pergaulan sosial, seperti Twitter, Facebook, del.icio.us, dan Youtube memperlihatkan bagaimana masyarakat berbasis informasi-pengetahuan menggunakan teknologi digital untuk mengapitalisasi informasi sebesar-besarnya. Contoh paling sederhana adalah lahirnya toko virtual di jejaring seperti Myspace dan Facebook. Praktis satu hambatan untuk memulai usaha, yaitu promosi, telah diputus oleh jejaring ini.

Dalam pengembangan lebih lanjut, Burnard memperlihatkan yang dilakukan Crispin Porter + Bogusky untuk klien mereka, Burger King. Untuk menguji kekuatan Facebook, demikian jelas Burnard, Burger King menawari pengguna Facebook menghapus 10 teman mereka di Facebook untuk ditukar satu kupon Whopper. Iklan dengan slogan ”Friendship is strong, but the Whopper is stronger” itu diluncurkan 5 Januari 2009 dan segera disambut ribuan pengguna Facebook di Amerika. Iklan itu akhirnya dihentikan Burger King setelah muncul protes dari pengelola Facebook (blogs.wsj.com, 15/1).

Tidak berhenti hanya pada jejaring sosial, Crispin Porter + Bogusky juga menggunakan game di internet untuk mengiklankan Zero Cola. Dan tentu saja iklan itu ada di Youtube, seperti juga, misalnya, iklan Axe di Indonesia. Era digital telah hadir di sekitar kita, tinggal bagaimana menggunakannya secara kreatif supaya tidak tertinggal pada ”zaman batu” peradaban manusia. (Ninuk M Pambudy)

KOMPAS