BLOGSPOT atas

Monday, May 11, 2009

[Kompas 100]: Elnusa: "An Integrated Upstream Oil and Gas Services Provider"

Bagian 88 dari 100

Senin, 11 Mei 2009 | 07:45 WIB

IBM ThinkPad, sekalipun dikenal sebagai laptop yang bagus, mesti hilang.

Bagi orang yang mendambakan laptop yang bandel, produk IBM itu seperti jawaban yang ditunggu-tunggu. Ini terutama terkait dengan pengguna laptop dengan mobilitas tinggi dan memang aktif menggunakannya sehingga punya probabilitas tinggi bakal mengalami crash. Di laptop itu, ada tombol yang entah bagaimana membuat proses recovery terhadap laptop tersebut bisa dilakukan dengan mudah.

Harus diakui kalau laptop ini termasuk laptop yang mahal. Tapi dengan kebandelan yang sudah dikenal buat orang-orang yang mengerti laptop yang bagus, itu adalah sesuatu hal yang wajar. Apalagi ternyata sulit sekali menemukan merek lain yang bisa menandingi kebandelannya.

Makanya Lenovo seperti mendapat durian runtuh ketika IBM akhirnya melepas unit bisnis PC-nya setelah bertahun-tahun sebelumnya menolak untuk menjualnya. Seperti kita tahu, menjelang masuknya Louis Gerstner sebagai CEO IBM di tahun 1993, banyak yang menganjurkan IBM dipecah atau paling tidak menjual unit bisnis tertentu, seperti PC. Gerstner yang percaya bahwa kekuatan IBM ada pada kelengkapan produk dan service-nya, begitu masuk menjadi CEO malah membuat keputusan untuk mempertahankan semua unit bisnis yang dimiliki IBM.

Tapi perubahan bisnis di IT yang mengarah ke solusi, dan ternyata memberikan margin yang jauh lebih tinggi, pada akhirnya membuat IBM tidak ragu lagi menjual unit bisnis PC di tahun 2005. Apalagi IBM yang bukan pemain terbesar di bisnis PC memang sudah sampai pada keseimpulan kalau bisnis PC adalah bisnis komoditi. Lenovo yang kemudian terpilih mengambil unit bisnis IBM, minta ijin agar mereka tetap bisa menggunakan merek ThinkPad sampai 5 tahun setelah akuisisi.

Kalau perusahaan komputer seperti IBM melepas bisnis PC karena tidak tahan lagi dengan tren komoditisasi, maka hal yang kurang lebih sama juga dihadapi oleh perusahaan-perusahaan minyak besar. Unit bisnis geophysical, drilling, dan oilfield services dinilai bukan lagi sebagai aktivitas yang worth doing, karena resikonya begitu tinggi tapi susah untuk men-charge harga yang mahal. Sehingga sejumlah perusahaan minyak akhirnya melepas unit bisnis tersebut. Padahal aktivitas tersebut merupakan bagian dari bisnis hulu minyak dan gas bumi (migas), yang akan menjadi penentu bagi bisnis perusahaan minyak dan gas di masa depan.

Akan tetapi, seperti ditunjukkan oleh Schlumberger, bisnis hulu tersebut ternyata menguntungkan. Dengan kemampuan terintegrasi dan teknologi tercanggih untuk mencari, mengekstrak, dan mengelola sumber minyak, Schlumberger mampu menawarkan jasanya dengan harga murah. Dan karena memang sulit ditandingi oleh para pesaing, Schlumberger akhirnya malah punya bargaining position yang kuat, bahkan terhadap perusahaan raksasa minyak dunia.

Keberhasilan perusahaan semacam Schlumberger ini dilihat oleh PT Pertamina, sebuah BUMN di bidang perminyakan. Perusahaan ini mempunyai anak perusahaan PT Elnusa Tbk (ELSA) dengan model bisnis seperti Schlumberger, meski dalam skala yang jauh lebih kecil. Ini bisa dilihat dari bisnis yang menjadi andalan utama ELSA yaitu memberikan jasa hulu migas terintegrasi seperti jasa geoscience terintegrasi, jasa pemboran terintegrasi dan jasa produksi terintegrasi.

Di ELSA, jasa hulu terintegrasi ini masuk dalam pilar jasa minyak dan gas bumi, bersama dengan jasa penunjang minyak dan gas seperti jasa penguliran dan perdagangan pipa OCTG untuk migas dan jasa hilir migas seperti pengelolaan SPBU dan transportasi BBM dan bahan kimia. ELSA itu sendiri punya dua pilar bisnis lainnya, yaitu asset based pillar yang meliputi pengelolaan ladang minyak dan gas dan pilar jasa penunjang dan berbasis kompetensi yang meliputi pengelolaan data migas, jasa informasi dan teknologi yang antara lain bergerak di penerbitan buku telepon Yellow Pages dan jasa telekomunikasi. Di luar Yellow Pages, portfolio bisnis ELSA menyerupai outsourcing provider global.

Di bisnis jasa hulu migas terintegrasi sendiri, yang menjadi andalan adalah bisnis jasa geoscience terintegrasi. Tidaklah mengherankan kalau pengembangannya berfokus di jasa ini. ELSA yang saat ini merupakan market leader di land seismic di Indonesia kini mulai memperkuat diri di transition zone dan marine seismic, yang antara lain dilakukan melalui joint operation dengan international company dan investasi peralatan seismic transition zone.

Karena tren ladang minyak yang berada di lautan memang semakin meningkat, maka unit bisnis yang ada di pilar jasa migas ELSA diperkuat kompetensinya. Misalnya untuk jasa pemboran, ELSA juga melakukan investasi peralatan untuk pemboran lepas pantai. Dan bisa jadi, ELSA akan punya kesempatan mendayagunakan alat yang baru dimiliki tersebut, karena sudah mendapat kontrak pekerjaan sampai 3 tahun.

Langkah tersebut terakhir ini sebetulnya terkait dengan kondisi bahwa ladang minyak dan gas yang bisa digarap semakin lama lebih banyak di lautan dibandingkan di daratan. Karena itu, kalau ELSA tidak memperkuat kompetensi bisnis di bidang itu, tentu akan susah mengambil peluang yang ada di sana.

Selain peralatan, yang mungkin bisa dijadikan andalan ELSA untuk mengambil peluang baru tersebut adalah portfolio pelanggan yang dimilikinya, yang bisa dipakai untuk membangun trust calon pelanggan-nya. Memang pelanggan utamanya adalah Pertamina, yang merupakan pemegang saham utama perusahaan. Tapi selain itu, ELSA juga punya pelanggan perusahaan minyak asing besar seperti Conoco Philips dan Chevron serta mulai merambah pasar internasional seperti Brunei.

Ini membuktikan bahwa kualitas kerja ELSA --dengan positioning sebagai an integrated upstream oil and gas services provider-- semakin diakui oleh pihak asing.


"Philip Kotler's Executive Class: 16 Days To Go"

Hermawan Kartajaya, Taufik

Kompas

No comments: