BLOGSPOT atas

Saturday, February 28, 2009

Pertumbuhan Iklan Online Bakal Naik 300 Persen

Sabtu, 28 Februari 2009 | 15:47 WIB

JAKARTA, SABTU — Pertumbuhan porsi iklan di media online tahun 2009 ini diperkirakan akan mencapai 300 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini disampaikan CEO Virtual Media Nusantara Nukman Luthfie di sela acara Fesival Enterpreneur Indonesia, di Gedung BPPT, Jakarta, Sabtu (28/2).

"Iklan online tahun ini tumbuh sekitar 300 persen," kata Nukman.

Bila dibandingkan tahun 2008 sebelumnya, porsi iklan online hanya tumbuh sekitar 40 persen dibandingkan tahun 2007. Total iklan tahun 2008 mencapai Rp 80 miliar.

"Namun, saat ini memang belum ada lembaga riset yang mengeluarkan tentang iklan online karena masih sulit. Bahkan AC Nielsen juga tidak mengeluarkan. Tapi diperkirakan naik 300 persen," ujarnya.

Menurutnya, pertumbuhan iklan di tahun ini akan meningkat tajam karena konsumsi pengguna media online semakin meningkat. Selain itu, Nukman menilai ajang pesta demokrasi Pemilu 2009 ini juga akan memicu pertumbuhan iklan online.

"Partai yang biasanya tidak pernah kampanye tahun ini mulai kampanye ke online juga," tutur Nukman.

Di samping itu, Nukman menyebut, saat ini sejumlah perusahaan mulai memasukkan daftar media online dalam media plan perusahaan.


ANI

Kompas

[Kompas 100]: Sentul City: "A Green Property Developer in Greater Jakarta"

Bagian 19 dari 100

Sabtu, 28 Februari 2009 | 05:26 WIB

Ternyata Valentino Rossi masih ingat Sentul. Dan itu benar-benar kata dia sendiri untuk menegaskan bahwa kunjungannya ke Indonesia pada tanggal 9 Februari kemarin bukanlah yang pertama. Sebagai pembalap tidak terkenal di kelas 125cc pada musim balap 1996-1997, Rossi memang pernah menjajal Sikuit Sentul yang sempat menjadi salah satu venue balapan MotoGP hingga akhir 1997.

Tidak jelas apakah kenangan Valentino Rossi tersebut karena hal-hal positif atau hal-hal negatif, yang jelas Sirkuit Sentul, yang sempat juga menjadi ajang balap Asian Formula 3 Super Series dan A1 Grand Prix ini, telah berhasil mengangkat nama Sentul di arena global. Ketenaran nama inilah mungkin salah satu alasan PT Sentul City Tbk (BKSL) mempertahankan brand Sentul saat mengubah namanya dari PT Bukit Sentul pada pertengahan tahun 2006.

Perumahan Sentul City yang dibangun oleh BKSL memang hanya terletak kurang lebih 5 km dari Sirkuit Sentul, meskipun dibangun oleh developer yang berbeda. Di lokasi itu, BKSL membangun kawasan perumahan kelas atas dengan konsep eco-friendly yang didukung oleh kondisi alam Sentul. Dengan pemandangan lima pegunungan, kedekatan dengan hutan lindung Gunung Pancar, dan 65 persen kawasan dialokasikan menjadi ruang terbuka hijau, Sentul City mungkin memang bisa dikatakan sebagai salah satu perumahan paling hijau di pinggiran Jakarta.

BKSL, yang berdiri sejak 1993 dan go-public tahun 1997, tampaknya kini sedang berupaya membangun kembali image-nya yang didera berbagai masalah beberapa tahun belakangan ini. Setelah sukses menyelesaikan secara damai beberapa gugatan hukum dari konsumen, pada tahun 2007 perusahaan akhirnya mampu memenuhi seluruh kewajiban dalam Perjanjian Perdamaian. Kedepannya, BKSL musti memperlihatkan bahwa dia dapat bangkit kembali dan menunjukkan bahwa perusahaan ini sebenarnya memiliki fundamental yang kuat.

Namun tampaknya manajemen baru yang dibentuk akhir 2006, dibawah pimpinan Antonius Hanifah Komala, kini juga harus menghadapi satu lagi masalah, yaitu krisis perekonomian global yang mempengaruhi Indonesia secara cukup signifikan.. Efek downturn ini pada BKSL terlihat dalam pembatalan pembangunan dua hotel berbintang dan sebuah fasilitas resort di kawasan Sentul City. Untungnya, Sentul City Convention Center bukan salah satu proyek yang dibatalkan. Gedung pertemuan yang dibangun di atas areal seluas 6 hektar dan menurut kabar akan memiliki kapasitas 12.000 ini konon akan menjadi convention center terbesar di Asia Tenggara dan dapat menjadi icon dari Sentul.

Dalam menghadapi downturn ini, yang diprediksi akan menyebabkan penurunan sales hingga 40 persen, BKSL memilih untuk mengalihkan resources yang sekiranya akan digunakan untuk pembangunan hotel dan resort tersebut diatas untuk pembangunan 1000 unit rumah yang menyasar segmen menengah ke atas. Dengan keputusan ini, BKSL sepertinya memilih untuk fokus pada pembangunan proyek yang menjadi kompetensi utamanya, yaitu residential. Dengan lahan sebesar 3.100 hektar yang dimilikinya, dimana hanya kurang dari setengahnya yang sudah digarap, sebenarnya BKSL memang masih memiliki ruang untuk bereksplorasi untuk meningkatkan keunikan dan nilai tambah di sektor residensial.

Akan tetapi, di lain pihak, BKSL mulai merambah kesempatan pembangunan di tengah kota Jakarta. Pada bulan April 2008, BKSL memenangkan tender untuk mengembangkan proyek Sarinah Square. Sebagai perusahaan yang dikenal mengembangkan salah satu wilayah paling hijau di pinggiran Jakarta, mesti diperhitungkan pengaruh pembangunan Sarinah Square terhadap positioning perusahaan. Bisa jadi terbentuk image bahwa BKSL sedang membangun perumahan hijau di tengah kota Jakarta.

Karena itu kami melihat bahwa keputusan BKSL mengembangkan Sarinah Square di pertengahan kota Jakarta dapat mengurangi konsentrasi dan resources BKSL untuk menjaga uniqueness dari brand “Sentul City”, yang selama ini dikenal sebagai a green property developer in Greater Jakarta.

"Philip Kotler's Executive Class: 88 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Friday, February 27, 2009

[Kompas 100]: United Tractors: "An Agile and Swift Heavy Equipment Business-Player"

Bagian 18 dari 100

Jumat, 27 Februari 2009 | 07:31 WIB

Bisa jadi tak banyak orang yang ingat buku Ross Kanter, “When Giants Learn to Dance

Ini adalah buku klasik manajemen yang banyak dilirik ketika bicara mengenai perlunya perusahaan mengambil sejumlah inisiatif meningkatkan daya saing dan responsif terhadap kebutuhan pasar di tengah-tengah perubahan drastis lingkungan usaha. Buku ini memang berbeda dengan buku klasik Lou Gerstner “Who Says Elephants Can’t Dance?” berupa cerita dari tangan pertama bagaimana sebuah perusahaan seraksasa IBM melakukan turnaround yang dramatis dan spektakuler. Tapi yang menarik dari buku Ross Kanter adalah dipaparkannya macam-macam studi kasus untuk pembelajaran bagi perusahaan lain.

Kalau ada yang menulis edisi Indonesia dari buku Ross Kanter, maka apa yang dilakukan PT United Tractor Tbk (UNTR) layak dijadikan salah satu kasusnya. UNTR memang belum bisa dikategorikan sebagai sebuah perusahaan raksasa, dalam kategori yang dipakai di buku Ross Kanter. UNTR bahkan hanyalah salah satu anak usaha dari konglomerasi terbesar yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), Astra International (ASII). Dan ASII adalah salah satu portfolio terpenting dari salah satu konglomerasi terbesar dan tertua di Asia, The Jardine Matheson Group.

Tapi ini tidak berarti kata raksasa tidak bisa melekat pada perusahaan yang didirikan di tahun 1972 ini. UNTR adalah perusahaan yang merupakan pemasar heavy equipment, yang salah satunya adalah truk raksasa yang dipakai di areal pertambangan yang diameter rodanya mencapai 7 meter. Dan di bisnis yang menjual peralatan yang serba besar ini, UNTR adalah pemain terbesar.

Di tahun 1995, UNTR adalah kasus menarik tentang sebuah perusahaan pemasaran yang sukses mengangkat suatu produk – yang sebenarnya kalah di pasar global – menjadi market leader di pasar Indonesia. Di heavy equipment, yang menjadi global market leader adalah Caterpillar. Tapi di Indonesia itu tidak berlaku, karena Komatsu-lah yang jadi market leader setelah UNTR, yang menjadi distributornya, berhasil berubah dari product driven company, yang hanya fokus pada sekedar distribusi heavy equipment, menjadi customer driven company, yang fokus pada menyediakan produk yang sesuai dengan kebutuhan customer.

Proses itu sendiri lebih banyak berkaitan dengan perubahan mindset, karena dalam aspek hardware, UNTR sebetulnya sudah siap untuk mendukung perubahan tersebut. Selain dulunya punya PT Komatsu Indonesia – berdiri 1992 – yang memproduksi heavy equipment di Indonesia dengan lisensi Komatsu, UNTR juga punya PT United Tractors Pandu Engineering (UTE) – berdiri 1983 – yang melakukan produksi peralatan yang berdasar lisensi maupun rancang bangun sendiri. UNTR juga memiliki PT Pamapersada Nusantara (Pama) – berdiri 1989 – yang bergerak dalam bidang kontraktor pertambangan dan bahkan sempat membeli perusahaan tambang batubara PT Berau Coal di tahun 1990, walaupun pada tahun 2004 UNTR melepas seluruh kepemilikannya pada perusahaan ini. Selain itu UNTR bahkan memiliki PT UTSG – berdiri 1992 – yang merupakan perusahaan patungan UNTR dan Semen Gresik. Dengan keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut, UNTR menjadi lebih paham bagaimana melayani kebutuhan pelanggannya dan bukan sekedar menjual produknya.


UNTR tidak hanya lincah dalam berubah dari product driven ke customer driven, tapi bahkan menjadi perusahaan publik pertama Indonesia yang siap menerapkan metode pengukuran performansi EVA. Tapi krisis 1997 - 1998 membuyarkan rencana tersebut terakhir dan tentu saja berpengaruh pada aktivitas bisnis UNTR maupun induknya ASII. Dan, sebagaimana diketahui, ASII beserta semua anak usahanya, dijual BPPN pada tahun 2000 ke Jardine Cycle and Carriage (JC&C), anak usaha dari Jardine Matheson selaku strategic investor.

Hanya saja, dampak krisis 1997 - 1998 tidak menghalangi upaya UNTR untuk menjadi customer driven company. Belakangan, seiring dengan terbukanya peluang baru di sektor pertambangan dan energy, dimana UNTR bahkan membeli PT Dasa Eka Jasatama dan PT Tuah Turangga Agung, yang keduanya adalah perusahaan pertambangan batu bara yang beroperasi di Kalimantan, UNTR semakin tajam dalam memahami kebutuhan pelanggan. Inilah yang membuat UNTR kemudian ingin menjadi solution driven company.

Terkait dengan perubahan terakhir itu, manajemen UNTR menempatkan direktorat service and spare part untuk heavy equipment sama pentingnya dengan direktorat sales. Tapi yang namanya solution driven tidak terbatas di heavy equipment, hal ini terlihat di jalan tol yang dibangun pada kawasan pertambangan Kalimantan, yang bukan hanya digunakan sendiri tapi juga oleh perusahaan tambang lainnya. Jadi perluasan bidang bisnis menjadi AHEME (Astra Heavy Equipment, Mining and Energy) mempengaruhi munculnya paradigma solution driven company.

"Philip Kotler's Executive Class 89 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Thursday, February 26, 2009

[Kompas 100]: Bank Pan Indonesia: "A Very Liquid but Low-profile bank"

Bagian 17 dari 100

Kamis, 26 Februari 2009 | 07:20 WIB

“All You Need is Love.” begitu kata the Beatles!

Oleh Majalah Economist kalimat tersebut kemudian diplesetkan menjadi “All You Need is Cash!” Majalah yang dikenal cermat dalam memprediksi dan mengantisipasi kejadian di masa depan itu memprediksi dampak krisis keuangan global pada dunia manajemen di masa depan. Menurutnya legacy dari krisis keuangan global akan terlihat pada perilaku para manajer dalam menyikapi uang kas.

Tidak jelas studi apa yang menjadi dasar majalah tersebut membuat prediksi semacam itu. Tapi yang jelas krisis yang melanda Indonesia di tahun 1997 – 1998 ternyata menciptakan trauma yang sulit dihapuskan dari pikiran para bankir Indonesia. Akibatnya mereka memilih punya Capital Adequacy Ratio (CAR) yang tinggi (double digit) dan Loan to Deposit Ratio (LDR) yang rendah (jauh di bawah 100 persen).

Dampaknya, seperti yang pernah dipaparkan Faisal Basri, secara rata-rata CAR – indicator likuiditas – perbankan Indonesia lebih tinggi dari perbankan regional. Bahkan untuk indikator kesehatan perbankan lainnya, seperti ROA, ROE dan NIM, perbankan Indonesia juga di atas perbankan regional. Hanya di LDR yang lebih rendah dan itu tidak terlalu dipusingkan benar oleh para bankir Indonesia, karena bagi mereka cash is the king.

Yang menarik, kalau sebagian bank besar di Indonesia begitu teguh dengan prinsip itu karena trauma dengan pelajaran mahal di tahun 1997 – 1998, maka PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN) memang selalu menggenggam paradigma serupa dari dulu hingga nanti. Paradigma itulah yang membuat bank swasta terbesar ke-4 dan bank nasional terbesar ke-7 ini bisa melewati krisis 1997 – 1998 tanpa membutuhkan dana rekapitalisasi pemerintah. Bukan hanya tidak butuh dana rekapitalasasi, tapi bank tersebut bahkan menjadi bank besar nasional yang siap mengakuisisi bank besar yang diprivatisasi yang antara lain untuk mengembalikan sebagian dana rekapitalisasi.

Tentu kemampuan PNBN seperti itu mengundang keingintahuan orang mengenai diferensiasi yang dimiliki bank ini, yang didirikan di tahun 1971 dan juga merupakan bank nasional pertama yang go public di tahun 1982. Soal bankir handal, bank besar nasional lainnya punya. Tapi yang membedakan PNBN adalah adanya orang yang sangat disiplin menjaga prinsip tersebut.

Pendiri PNBN, Mukmin Ali Gunawan, boleh dibilang adalah bankir yang mengkonsentrasikan seluruh pikiran dan resources pada perkembangan bank ini. Ini memang seperti menyia-nyiakan peluang yang ada, terutama kalau melihat bankir atau pebisnis yang muncul di panggung bisnis dalam waktu yang bersamaan bisa punya lingkup bisnis yang lebih luas dan secara total lebih besar dari bisnis yang dimiliki pendiri PNBN ini. Dan yang lebih menarik lagi, ditengah-tengah gegap gempita perbankan Indonesia pra krisis 1997 – 1998, PNBN memilih untuk low profile.

Bisa jadi karena kombinasi sebagai bank yang low profile, tidak neko-neko tapi likuid dan profitable membuat ANZ, yang di tahun 1993 mendirikan bank patungan dengan PNBN, tertarik untuk menjadi strategic partner-nya. Aliansi dengan ANZ, yang kemudian diikuti penguasaan saham PNBN hingga 30 persen, membuat posisinya semakin kuat. Dan ANZ tidak membuat keputusan yang salah kalau dilihat dari pesatnya perkembangan bisnis PNBN selanjutnya yang dicapai dengan indikator kesehatan perbankan yang tinggi.

Bukan hanya itu saja pencapaian PNBN. Di sejumlah kota yang dikenal sebagai pusat bisnis di pulau atau provinsi tertentu, PNBN ternyata menjadi market leader sekalipun di kota tersebut sudah hadir sejak lama bank-bank besar nasional lainnya. Selain itu, PNBN kini juga dikenal sebagai salah satu bank nasional dengan divisi treasury yang kuat.

Meskipun demikian, kami melihat bahwa pada suatu titik PNBN mesti mendefinisi ulang posisinya sebagai bank yang sangat likuid tapi low profile. Dengan bisnis yang semakin membesar dalam scope dan value, termasuk di mass market banking, sementara awareness di mata nasabah di segmen tersebut belum begitu tinggi, PNBN bisa kurang efektif dalam bergerak ketika hendak mendongkrak komposisi ritel dana pihak ketiga maupun menggarap potensi consumer lending yang terus membesar. Kalau menjaga prinsip stabilitas likuiditas yang tinggi bisa dilakukan dalam lingkungan yang usaha yang berubah, mestinya PNBN juga tidak akan mengalami kesulitan dalam menempatkan prinsip low profile di lingkungan bisnis yang berubah.

"Philip Kotler's Executive Class 90 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Wednesday, February 25, 2009

[Kompas 100]: Bhakti Investama: "A Catalyst to the Progression of Investment Companies in Indonesia"

Rabu, 25 Februari 2009 | 07:05 WIB

Perusahaan kecil mengakuisisi perusahaan besar seperti Porsche mengakuisisi VW tidak terjadi setiap hari. Yang lebih hebat lagi, proses itu terjadi ketika VW yang lebih besar itu tidak dalam kondisi sakit. Bagaimana ini bisa terjadi? Sebuah jendela yang terbuka satu kali di pasar modal Jerman.

Bagaimana tidak, soalnya tidak ada yang memperhatikan ketika pelan tapi pasti, Porsche, yang dari segi produksi jauh lebih kecil dibandingkan VW, tapi kaya uang, maklum merupakan perusahaan mobil dengan profit margin tinggi, mengumpulkan saham VW. Jangankan regulator, wartawan, fund manager, dan analis saham yang meng-cover sektor otomotif di bursa saham Frankfurt pun luput memperhatikan proses tersebut. Tahu-tahu seperti ada blitzkrieg dan Porsche ibarat mencetak gol di final terbaik Piala Dunia.

Memang yang terjadi pada Porsche-VW sungguh dramatis. Apalagi di balik proses tersebut ada romantisme hubungan antara kedua perusahaan ini, dimana pendiri Porsche adalah chief designer mobil Volkswagen Beetle yang melegenda hingga kini. Sehingga akusisi tersebut bagi keluarga pemilik Porsche seolah seperti mengembalikan VW ke tangan mereka.

Tapi tidak semua peristiwa perusahaan kecil yang mengakuisisi perusahaan besar terjadi dalam proses yang dramatis. Bahkan banyak orang malah tidak memperhatikan bahwa sebuah perusahaan diakuisisi perusahaan kecil. Apalagi kalau perusahaan kecil itu memang mampu menjelma menjadi sebuah perusahaan yang besarnya tidak berbeda jauh dengan perusahaan besar yang diakuisisi.

Inilah yang dilakukan oleh Bhakti Investama (BHIT). Didirikan di tahun 1989 sebagai sebuah perusahaan sekuritas di Surabaya, dalam kurun waktu lima tahun saja, BHIT dibawah kendali Harry Tanoesoedibyo telah menjelma menjadi salah satu perusahaan sekuritas utama Indonesia dengan aktivitas pasar modal yang luas. Hanya saja, krisis yang terjadi di tahun 1997-1998 mengancam kelangsungan usaha BHIT yang go public di tahun 1997.

Saat itu, tangan dingin Harry Tanoe bukan hanya sekedar menyelamatkan BHIT, tapi bahkan membuatnya menjadi lebih besar. BHIT yang semula adalah perusahaan sekuritas, diubahnya menjadi sebuah investment company dimana bisnis sekuritas hanyalah salah satu diantaranya. Yang menarik, proses ini terjadi ketika Indonesia sebetulnya berada di luar radar investasi global, yang tentu saja menciptakan tantangan tersendiri dalam mengumpulkan investor.

Dan Harry Tanoe tidak kekurangan akal. Memang kebanyakan investor global di antara 1997 – 1999 memilih menjauh dari Indonesia, karena dianggap masih dalam masa puncak transisi dari pemerintahan otoriter dan ke pemerintahan demokratis sehingga belum layak sebagai pilihan investasi. Meskipun demikian, tetap ada investor asing yang punya minat untuk masuk ke Indonesia, terutama yang tidak mau waiting for the dust to settle.

Jadi jangan kaget kalau saat anda browsing tentang peristiwa bisnis di akhir tahun 1990-an, anda akan menemukan informasi mengenai investor asing sekelas George Soros yang ingin masuk ke Indonesia. Yang menarik, nama mega investor ini bukan hanya dikaitkan dengan sejumlah perusahaan publik Indonesia yang digosipkan masuk dalam daftar belanjaannya, tapi juga dikabarkan dekat dengan pengendali BHIT, Harry Tanoe. Memang tidak jelas benar apakah yang kemudian dilakukan George Soros di Indonesia hanyalah gosip belaka atau bukan, tapi yang pasti, dengan ketelitian mengumpulkan dana investasi, Harry Tanoe berhasil membawa BHIT masuk Bimantara Citra di tahun 2001 dan kemudian menjadi pengendalinya setahun berikutnya.

BHIT bukan hanya sekedar masuk dan mengendalikan Bimantara Citra, tapi berperan seperti layaknya investment company. Di perusahaan ini, BHIT melakukan restrukturisasi dengan melakukan identifikasi core business assets dan melepas non-core business assets. Dana yang diperoleh dari penjualan non-core business assets ini kemudian digunakan untuk memperkuat core business assets dan membuatnya menjadi sebuah holding company yang kuat.

Apa yang dilakukan BHIT itu kemudian mengilhami banyak perusahaan Indonesia lainnya, baik yang awalnya adalah perusahaan di financial service industry maupun yang bukan, untuk memperdalam dan memperluas perkembangan investment companies di Indonesia. Singkat kata, BHIT adalah katalisator kemajuan investment companies di Indonesia.

"Philip Kotler's Executive Class: 91 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Tuesday, February 24, 2009

[Kompas 100]: Ciputra Development: "A National-level Leading Property Developer"

Bagian 15 dari 100

Selasa, 24 Februari 2009 | 09:12 WIB

Seorang pelopor bukan hanya sekedar yang pertama tapi meng-create milestone di sebuah industri.

Inilah yang misalnya bisa dilihat pada diri seorang Ciputra, yang bahkan dikenal bukan hanya sebagai legenda di industri properti tapi juga theme park Indonesia. Seperti sudah menjadi rahasia umum, tangan dingin Ciputra merubah kawasan rawa-rawa di Utara Jakarta menjadi salah satu dari sepuluh besar theme park di dunia. Uniknya, theme park tersebut bahkan bisa mengalahkan Disneyland di Hong Kong.

Mungkin banyak yang belum tahu kalau Disneyland dulu pernah didekati agar mau membangun salah satu theme park-nya di Jakarta. Tapi usaha tersebut tidak berhasil. Bahkan, namanya juga tidak boleh digunakan, sekalipun misalnya mereka tidak keluar uang sama sekali atas theme park yang dibangun di Jakarta.

Ini tidak membuat Ciputra patah arang. Dengan dukungan Gubernur Ali Sadikin yang juga dikenal sebagai gubernur legendaris Jakarta, dibuatlah apa yang kini dikenal sebagai Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) disebuah kawasan yang luas di tepi pantai Jakarta Utara. Selain merupakan integrated entertainment center, bahkan dulu pernah ada arena balap mobil di dalamnya, di sana juga ada areal perumahan. Dimana nilai perumahan tersebut terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan ramainya TIJA. Hebatnya, sebagai theme park, TIJA yang ide awal pembuatannya berasal dari Presiden Soekarno untuk diwujudkan Gubernur Soemarno, kini ternyata punya pengunjung lebih banyak dibandingkan pengunjung Disneyland Hong Kong.

Tapi sentuhan Ciputra tidak hanya berhenti di TIJA tapi juga di proyek properti yang juga menjadi icon Jakarta seperti kawasan Pondok Indah, Bintaro Jaya dan Bumi Serpong Damai. Dan masing-masing proyek properti yang kebetulan terletak di kawasan Selatan Jakarta bukan hanya sekedar icon, tapi punya karakteristik yang khas. Pondok Indah sebagai kawasan elit, Bintaro Jaya sebagai kawasan perumahan dan komersial menengah atas yang terpadu dan Bumi Serpong Damai sebagai sebuah kota mandiri.

Meskipun menghasilkan banyak icon, Ciputra ternyata tidak cepat puas. Kebetulan sampai saat ini, hampir semua perusahaan properti Indonesia bermain skala lokal. Ini bisa dimengerti karena untuk mewujudkan proyek properti dibutuhkan 2 kombinasi sekaligus, ketersediaan kawasan yang luas dan pesatnya potensi pengembangan kawasan. Untuk yang pertama, di luar Jakarta, apalagi luar Jawa masih tersedia areal yang luas. Tapi untuk yang kedua, meski banyak kawasan di berbagai daerah yang menawarkan hal tersebut, tapi tidak mudah bagi yang bukan pemain lokal untuk masuk di sana.

Tapi itu tidak menghalangi seorang Ciputra untuk menggarap berbagai proyek properti bukan hanya di Jakarta tapi juga luar Jakarta dan bahkan luar Jawa. Dan untuk keperluan tersebut didirikanlah PT Ciputra Development Tbk (CTRA). Berbeda dengan TIJA ataupun property icons Jakarta, dimana Ciputra punya strategic partner, maka di CTRA adalah sepenuhnya Ciputra. Produk-produknya antara lain Citra Garden City di Barat Jakarta pada tahun 1984, hingga berbagai proyek di luar Jawa, seperti di Bajarmasin dan Palembang yang juga berhasil menjadi icon di daerahnya. Selain itu CTRA juga berfungsi sebagai semacam holding company bagi beberapa perusahaan Ciputra Group dimana CTRA memiliki 51,06 persen PT Ciputra Property Tbk (CTRP) dan 39,92 persen PT Ciputra Surya Tbk (CTRS), dan kebetulan keduanya pernah kami di bahas dalam serial Kompas 100 Marketing Cases.

Sebagian besar proyek CTRA fokus pada pengembangan kawasan, tidak sekedar membangun perumahan. Inilah ciri khas CTRA sebagai developer yang membangun city atau township. Ini berlaku baik untuk kawasan kelas atas seperti CitraRaya Tangerang, yang sempat mendapat penghargaan Best City Planning dari Pacific Coast Builders Conference, San Francisco, USA, hingga kawasan menengah ke bawah, seperti CitraIndah Jonggol.

Dengan model pembangunan seperti ini, CTRA seperti ingin melestarikan ciri khas Ciputra yang merubah kawasan yang semula tidak berharga menjadi sebuah kawasan yang punya nilai tambah tinggi. Dan yang menarik, ini bukan hanya dilakukan di kawasan yang dekat kota besar Indonesia, tapi juga di kota-kota yang tergolong di luar kota utama Indonesia dan sebagian berada di luar Jawa. Langkah seperti membuat CTRA menjadi a national-level property developer.

Ini merupakan sebuah langkah baru, karena banyak perusahaan properti yang memilih untuk berkonsentrasi di kota atau pulau tertentu. Soalnya menciptakan nilai tambah sebuah kawasan bukanlah sebuah langkah yang mudah, apalagi kalau dilakukan di tempat-tempat dengan tingkat potensi pengembangan kawasan yang berbeda-beda, yang sesuai dengan pesatnya perkembangan sebuah kota atau properti. Dan hal tersebut terakhir inilah yang menurut kami akan menciptakan sebuah tantangan tersendiri bagi CTRA. Terutama untuk mendapatkan pihak-pihak yang punya visi yang sama dalam pengembangan suatu kawasan di kota atau propinsi yang berbeda. Kalau ini bisa dilakukan, maka CTRA bukan hanya sekedar property developer yang beroperasi nasional tapi bahkan juga menjadi yang terbanyak secara nasional dalam menciptakan kawasan baru bernilai tambah tinggi.

"Philip Kotler's Executive Class: 92 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Monday, February 23, 2009

Emas Semakin Mahal

Senin, 23 Februari 2009 | 10:16 WIB

JAKARTA, SENIN — Harga emas di pasar internasional semakin mengilap seiring situasi pasar modal yang tidak stabil. Emas menjadi safe haven (tempat aman) bagi para investor.

Di Hongkong, pada pembukaan perdaganan, Senin (23/2), seperti dikutip AFP, harga emas dibuka di kisaran 994,00 dollar-995,00 dollar AS per ounce, naik dari penutupan Jumat pada 976,00 dollar-977,00 dollar AS.

Sementara pada perdagangan di Comex, New York Mercantile Exchange, Jumat lalu, harga logam mulia ini sudah menembus 1.000 dollar AS per troy ounce.


EDJ

Kompas

Komentar: "Good News untuk pemegang emas....masih ada investasi yang menguntungkan pada saat situasi pasar saham yang volatile ini....kalau kita bermain investasi jangka pendek....untuk jangka panjang....tetap pegang emas untuk dana cadangan dan untuk dana yang akan digunakan untuk 10 tahun kedepan...seperti biaya masuk sekolah anak"

Saham Pekan Ini: Masih Didominasi Regional

Senin, 23 Februari 2009 | 07:43 WIB

Perdagangan saham, pekan ini diperkirakan masih akan didominasi sentimen dari eksternal. Setelah pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 3,12 persen menembus level minor support di 1.300. Penurunan indeks didorong oleh melemahnya bursa regional. "Faktor regional masih akan berpengaruh besar pada pergerakan indeks," sebut Analis Riset Panin Sekuritas Purwoko Sartono.

Pergerakan bursa global antara lain dipengaruhi oleh data produk domestik bruto Jepang dan Eropa yang melemah, serta berita paket stimulus di Amerika Serikat. Indeks Dow Jones juga terus bergerak melemah menembus level terendah dalam 6 tahun terakhir. Melemahnya perekonomian negara maju akan secara langsung berpengaruh pada kinerja ekspor Indonesia, yang juga terus menunjukkan trend melemah.

Tertembusnya level support 7.500 pada hari Kamis, membuat Dow Jones memasuki trend bearish untuk jangka pendek. Dari perbandingan chart antara Dow Jones dan IHSG terlihat penurunan Dow Jones terjadi lebih tajam pada pekan lalu. Pada Jumat, Wall Street kembali melorot, dengan indeks Dow Jones Industrial Average merosot 100,28 poin (1,34 persen) menjadi 7.365,67, kemudian indeks S&P 500 melemah 1,14 persen pada 770,05, serta indeks komposit Nasdaq turun 0,11 persen. Secara keseluruhan pekan lalu, Dow turn 6,2 persen, Nasdaq melorot 6,1 persen, serta S&P 500 anjlok 6,9 persen.

Sebagai perbandingan, pada November 2008 lalu ketika Dow Jones berada di level 7.500, IHSG berada di level 1.140-an. "Untuk pekan ini kami perkirakan IHSG berada pada support-resistance pekan ini berada 1.230-1.335," ujarnya.

Sementara dari dalam negeri, beberapa aksi korporasi oleh emiten tampak mewarnai pergerakan bursa pekan lalu, seperti tender offer ISAT, rencana akuisisi PTRO oleh INDY, dan juga perkembangan aksi korporasi BUMI terhadap 3 perusahaan batubara. Kamis pekan lalu Bapepam menyatakan akan menunjuk penilai independen terkait akuisisi perusahaan oleh BUMI.

Saham ISAT, TLKM, dan BBCA tercatat menjadi beberapa saham yang mendorong indeks turun pekan lalu. "Ditengah kondisi pasar yang belum kondusif, investor juga memilih untuk melakukan trading on news," ujarnya

Selain itu pergerakan pasar juga dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif dan beberapa kali menembus level Rp 12.000 per dollar AS. "Pekan ini kami perkirakan indeks masih akan bergerak melemah meski tekanan jual mulai mereda," sebutnya.

Purwoko merekomendasikan saham consumer goods seperti UNVR, KLBF, dan INDF tampaknya dapat menjadi pilihan investor ditengah tekanan pada saham perbankan dan pertambangan yang biasanya mendominasi pergerakan indeks.

EDJ

Kompas

[Kompas 100]: Tempo Scan: "The Down-to-Earth Specialist for Nonprescription Pharmaceutical Brands"

Bagian 14 dari 100

Senin, 23 Februari 2009 | 07:25 WIB

Siapa yang tidak tahu Bodrex, Hemaviton atau bahkan Neo Rheumacyl? Nama-nama ini akrab di telinga kita dan sering diingat orang karena terkait dengan nama-nama beken seperti Dede Yusuf, Komeng, atau Jaja Miharja yang kerap muncul di layar kaca. Bahkan boleh dibilang Bodrex turut menyumbang peranan cukup besar untuk mendongkrak image patriotistik Dede Yusuf, image kocak Komeng, dan image merakyat Jaja Miharja.

Tetapi mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC) adalah perusahaan di balik merek-merek farmasi ternama tersebut. TSPC boleh dibilang salah satu raksasa di industri consumer goods yang fokus di area health and beauty. Selain melahirkan sendiri health products seperti Bodrex, Hemaviton, dan Neo Rheumacyl tadi, TSPC masih menjadi licensee untuk beauty products yang cukup populer seperti Revlon dan Estee Lauder. Jika kita tidak terlalu mengenal TSPC, itu sah-sah aja karena biasanya perusahaan consumer goods lebih menonjolkan product brand dan tidak terlalu menonjolkan corporate brand.

Kunci sukses TSPC membangun merek-merek produk ini terletak di pendekatan komunikasi merek yang khas. Merek-merek TSPC yang terkenal di kalangan umum biasanya selalu menggunakan pendekatan down-to-earth. TSPC tidak mengkomunikasikan merek-mereknya dengan rumit. Masyarakat tidak perlu berpikir keras untuk mencerna pesan yang ingin disampaikan. Pemilihan brand ambassador yang mudah diterima masyarakat umum juga merupakan warna tersendiri yang menjadi kekuatan TSPC.

Selain komunikasi merek yang khas, marketing fundamental TSPC diperkuat oleh sistem distribusinya yang menjangkau ribuan outlet ritel di seluruh pelosok Indonesia. Hal ini tidak mengejutkan mengingat TSPC memang punya 5 perusahaan distribusi sendiri di bawah sayapnya. Jaringan distribusi ini pun sudah dibangun sejak tahun 1953. Sistem distribusi ini penting untuk perusahaan consumer goods. Maklum, dalam pemasaran, distribusi diibaratkan seperti sistem peredaran darah di tubuh manusia. Jika sistem peredaran darah ini lancar, maka produk dapat disalurkan sampai ke tangan konsumen, dan perusahaan akan sehat.

Akan tetapi, meskipun kuat dalam hal komunikasi merek dan sistem distribusi, TSPC akan menghadapi tantangan berat ke depan. Tuntutan untuk berkembang akan memaksa TSPC untuk memasuki area-area baru seperti prescription pharmaceutical dimana kunci sukses bukan lagi terletak di komunikasi merek dan sistem distribusi. TSPC harus membangun kompetensi baru yang sebelumnya tidak terlalu diperlukan di industri consumer goods. Kompetensi ini mungkin dibangun dari awal atau diakuisisi dari perusahaan lain yang sudah memiliki kompetensi tersebut.

Kami melihat bahwa daripada memasuki area-area baru untuk pengembangan bisnis, ada baiknya TSPC mencoba masuk ke pasar ASEAN dengan menduplikasi kekuatannya di Indonesia ke negara-negara tetangga. Semakin terintegrasinya ASEAN sendiri memang diakui oleh TSPC sebagai salah satu perubahan yang patut diwaspadai oleh perusahaan di Indonesia. Jika TSPC berhasil memasuki pasar ASEAN dengan fokus pada kompetensi yang dimilikinya sekarang, maka TSPC akan semakin memperkokoh positioning-nya sebagai the down-to-earth specialist for nonprescription pharmaceutical brands tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Asia Tenggara.

"Philip Kotler's Executive Class: 93 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Sunday, February 22, 2009

Jepang Ingin Rupiah Menguat

Minggu, 22 Februari 2009 | 09:31 WIB

Laporan wartawan Orin Basuki

PHUKET, MINGGU — Jepang pada dasarnya ingin nilai tukar rupiah terhadap yen menguat. Dengan demikian, Jepang bisa mendorong sektor ekspornya hingga pertumbuhan ekonomi negara itu meningkat.

Kepala Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)-Lembaga Keuangan Fuad Rahmany mengungkapkan hal tersebut di Phuket, Thailand, Minggu (22/2), saat menghadiri Pertemuan Tingkat Menteri Keuangan dari 10 Negara ASEAN plus Tiga Negara (Korea Selatan, Jepang, dan China) atau The Special AFMM ASEAN+3.

Menurut Fuad, Jepang menganggap Indonesia sebagai pasar yang sangat besar bagi produk-produk dalam negerinya. Dengan demikian, mereka tidak ingin rupiah melemah terhadap yen. Karena jika rupiah melemah, maka akan mengurangi dorongan impor produk Jepang ke Indonesia.

"Dengan demikian, Jepang berkepentingan mempertahankan Indonesia. Atas dasar ini, sangat masuk akal jika Jepang rela memberikan jaminan atas penerbitan Samurai Bond (obligasi yang diterbitkan di pasar modal Jepang dalam denominasi yen) senilai 1,5 miliar dollar AS. Ini bisa memasok yen ke Indonesia," ujar Fuad.

Di antara negara-negara Asia, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara ketiga dengan pertumbuhan ekonomi terbesar pada tahun 2009 meskipun ada tekanan krisis ekonomi global. Tiga negara Asia yang diperkirakan tetap akan tumbuh perekonomiannya dengan persentase tinggi adalah China, India, dan Indonesia.

Bandingkan dengan Malaysia yang ekonominya akan sangat turun dari sekitar 3 persen ke 1,5 persen tahun ini. Apalagi Singapura yang minus lima persen. "Di sini Indonesia beruntung tidak tergantung terlalu banyak pada ekspor sehingga masih bisa bertahan dari krisis," ujar Fuad.

Kompas

[Kompas 100]: Bukit Darmo Property: "A Five Star Developer in Surabaya"

Bagian 12 dari 100

Minggu, 22 Februari 2009 | 07:43 WIB

Ternyata Presiden Barack Obama masih ingat dengan baik tentang Menteng.

Begitulah kesan yang muncul ketika Presiden Obama berkunjung ke Deplu Amerika dan bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia dengan mantan diplomat Amerika yang pernah bertugas di Indonesia. Menteng, Jakarta atau Indonesia memang punya tempat khusus buat Presiden Amerika yang pernah menghabiskan masa kecil di Menteng tersebut. Sehingga anak-anak dari SD 01 Menteng dimana dulu Obama bersekolah, menjadi penyambut kedatangan Menlu Amerika Hillary Clinton yang minggu ini berkunjung ke Jakarta. Dan bagian yang menarik dari dialog singkat yang bisa dilihat di YouTube itu adalah ketika Obama masih ingat dengan baik wilayah Menteng-nya old rich family dan yang bukan.

Meski Jakarta kini punya Pondok Indah, tapi posisi Menteng sebagai tempat tinggal orang kaya Jakarta belum tergoyahkan. Tidak heran kalau kemudian hal ini menginspirasi sebuah kawasan perumahan di Selatan Jakarta untuk menciptakan yang namanya Menteng Bintaro. Bahkan Thamrin Boulevard yang ada di jantung kota Jakarta juga ada di kawasan perumahan tersebut.

Jauh sebelum Menteng Bintaro itu muncul, Surabaya sudah ada yang namanya Bukit Darmo Residence sebuah perumahan elit di Barat Surabaya. Kebetulan, orang Surabaya memang mengenal Jalan Darmo seperti orang Jakarta mengenal Menteng, alias tempat orang kaya. Bagi mereka yang menjadi bagian Old Boys Network Surabaya, ada banyak cerita unik tentang Jalan Darmo.

Di jalan tersebut ada sekolah Santa Maria yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masa muda mereka. Selain itu ada juga cerita tentang bagaimana bertelepon lokal di antara mereka, dengan cara yang kini tak terbayangkan bagi kebanyakan orang di jaman sekarang. Yaitu berbicara melalui operator untuk percakapan domestik persis kalau kita kini berbicara melalui extension number dari telepon PABX, dengan misalnya menyebut ”Selatan 117 mau bicara ke Darmo 234”.

Yang menarik, beda dengan Menteng Bintaro, kawasan Darmo di mana Bukit Darmo Residence itu berada merupakan suatu kawasan yang sangat luas. Bahkan disitu ada yang namanya Kota Satelit Darmo. Ini jelas merupakan tantangan tersendiri bagi PT Bukit Darmo Property Tbk (BKDP) yang sedang mengembangkan five star property project seperti apartemen The Adhiwangsa dan Lenmarc Mall di area dengan luas 5 hektar di kawasan tersebut.

BKDP yang didirikan oleh keluarga Sumampow dan kini dipimpin oleh Wim Gideon Gobel ini memang dikenal selalu mengeluarkan produk high quality dan high-end sebagai diferensiasinya. Ini bisa dilihat dari konsep, design maupun pengerjaannya. The Adhiwangsa misalnya, dibangun menggunakan material kelas satu dengan konsep single face, dimana seluruh unit menghadap satu sisi, dengan jarak pandang 2,5 km, berpemandangan Bukit Darmo Golf, satu satunya golf course di Surabaya yang didesign oleh Jack Nicklaus II. Dengan lift pribadi untuk tiap unit dan satu lobi khusus untuk tiap tower, The Adhiwangsa dapat disebut sebagai the highest class apartement di Surabaya.

Dengan fokus dan komiten 100 persen pada kualitas produk yang tinggi, tampaknya BKDP berhasil membangun brand The Adhiwangsa sebagai apartemen high-class terbaik di Surabaya. Tidak heran kalau saat launching, word of mouth yang tercipta cukup mengesankan. Sebagian besar orang kaya Surabaya saat itu tertarik untuk memiliki unit di situ.

Lenmarc Mall adalah pusat perbelanjaan premium yang tidak kalah inovatif dengan The Adhiwangsa yang terhubung satu sama lain. Semua dinding mall terbuat dari kaca, sehingga pengunjung mall bisa mendapatkan experience yang unik, dimana mereka dapat menikmati city view di satu sisi dan golf view di sisi lain. Calon tenant Lenmarc juga terdiri atas berbagai brand high-end dalam negeri maupun luar negeri. Semua ini mendukung visi BKDP untuk menjadikan Lenmarc sebagai the modern lifestyle shopping paradise dan mendukung visi Surabaya 2025 sebagai kota metropolitan.

Meskipun demikian kami melihat potensi BKDP untuk semakin sukses dalam penjualan, yaitu melalui peningkatan customer centricity. Eksplorasi lebih dalam akan kebutuhan customer akan memungkinkan BKDP menawarkan produk yang lebih customised serta memberikan servis yang lebih flexible dan tentu saja memperkuat posisi BKDP sebagai The Real Five Star Property Developer in Surabaya.

"Philip Kotler's Executive Class: 94 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Nilai Waktu Uang

Minggu, 22 Februari 2009 | 01:32 WIB

Elvyn G Masassya praktisi keuangan

Coba dengarkan para ibu tatkala mengobrol. Pasti ada yang mengeluh harga pangan naik terus. Dari hari ke hari, semuanya menjadi lebih mahal. Hampir tidak ada yang mengatakan harga barang turun, kecuali harga BBM yang naik-turun setahun belakangan.

Lalu apa masalahnya? Apakah itu terjadi karena pendapatan tidak meningkat?

Jika dicermati lebih jauh, para ibu itu sesungguhnya tidak mengalami penurunan pendapatan. Uang gaji yang diserahkan para suami untuk dikelola sebagai anggaran belanja rumah tangga umumnya tidak berkurang. Tetapi, daya beli uang itu yang menurun.

Ada yang mengatakan naiknya harga disebabkan pasokan barang mulai langka. Di sisi lain, permintaan terhadap barang relatif tetap sehingga harga pun meningkat. Inilah yang disebut inflasi berkategori demand pull, atau naiknya permintaan terhadap barang, sementara pasokan tetap.

Memang ada juga penyebab harga barang itu sendiri yang meningkat karena biaya produksi membesar. Ini disebut cost push inflation.

Masalahnya, bagaimana caranya agar daya beli masyarakat tetap ada, mampu membeli barang dan daya beli uang tidak merosot?

Sebagian kalangan mengatakan, dana yang belum dibelanjakan sebaiknya ditabung, jangan dipegang tunai, dan untuk berbelanja cukup membawa kartu debit yang otomatis akan mengurangi nilai tabungan di bank. Ini benar.

Apakah menempatkan uang sepenuhnya dalam bentuk tabungan merupakan jalan keluar? Tidak juga. Kalau tujuan penempatan dana tabungan di bank semata-mata untuk berjaga-jaga dan memudahkan pengelolaan likuiditas, pilihan itu benar. Tetapi, kalau penempatan dana dimaksudkan sebagai investasi, agaknya perlu direnungkan lagi karena uang Anda tidak akan bertambah.

Nilai uang yang ada dalam bentuk tabungan malah akan tergerus dimakan inflasi jika tingkat bunganya di bawah laju inflasi. Jadi, kalau tahun lalu dana yang ada di bank, katakanlah Rp 100 juta, lalu tabungan tersebut diberikan bunga 5% dan kemudian laju inflasi 8%, maka nilai riil uang di tabungan sebenarnya sudah turun 3%. Dengan kata lain, daya beli uang tersebut juga menurun sebesar itu.

Padahal, dana Anda tetap Rp 100 juta, bahkan ditambah bunga 5 persen, maka dana plus bunga menjadi Rp 105 juta, tetapi nilai riilnya sudah turun menjadi Rp 97 juta. Inilah yang disebut nilai waktu uang.

Konkretnya, jika pendapatan Anda tetap, tetapi ketika digunakan membeli barang harga barang terasa semakin mahal, maka itu bukanlah karena barangnya mahal, melainkan karena nilai uang Anda semakin menurun. Lantas bagaimana solusinya?

Menjadikan produktif

Mengatasi penurunan nilai uang karena tergerus inflasi dan dimakan waktu adalah dengan membuat uang tersebut produktif dan atau memberi imbal hasil melebihi laju inflasi.

Cara paling efektif adalah menginvestasikan dana tersebut agar menghasilkan imbal hasil di atas laju inflasi sehingga nilai uang Anda relatif tetap atau bahkan bisa bertambah.

Kalau semua dana dimasukkan dalam investasi yang memberi imbal hasil lebih besar dari laju inflasi, bagaimana dengan dana kebutuhan sehari-hari?

Tentu saja, kebutuhan dana sehari-hari bisa ditempatkan di bank yang besarnya sekadar untuk berjaga-jaga, sementara untuk belanja bulanan Anda bisa menggunakan kartu kredit yang ketika tagihannya jatuh tempo Anda bayar penuh sehingga tidak dibebani bunga kredit.

Dengan pola semacam ini, dana Anda bisa ditempatkan pada deposito berjangka 1 bulan yang bunganya lebih tinggi dari bunga tabungan. Dana Anda akan mendapat imbal hasil cukup tinggi dan bisa di atas laju inflasi. Di sisi lain, pengaturan uang tunai Anda juga akan bagus sebab belanja rumah tangga bisa dilakukan sekali sebulan, pakai kartu kredit, dan dibayar lunas pada awal bulan berikutnya.

Itu baru dalam konteks nilai waktu uang dikaitkan dengan belanja sehari-hari yang notabene bersifat jangka pendek.

Jangka panjang

Bagaimana jika nilai waktu uang dilihat dalam perspektif jangka panjang? Di sinilah makna nilai waktu uang akan sangat terasa. Umpamakan 10 tahun lalu Anda berinvestasi Rp 1 juta rupiah per bulan. Lalu teman Anda menginvestasikan Rp 1,1 juta rupiah per bulan. Perbedaan nilai uangnya hanya 10 persen, tetapi dampak terhadap hasil bisa sangat luar biasa. Tidak percaya? Lihat hitungan berikut.

Katakanlah uang Rp 1 juta itu ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dan mendapat bunga 10% per tahun. Maka, pada tahun kedua, total dana menjadi Rp 1,1 juta dan tahun berikutnya menjadi Rp 1,21 juta.

Sementara itu, teman Anda dengan dana awal Rp 1,1 juta, pada tahun kedua dananya menjadi Rp 1,21 juta dan tahun berikutnya menjadi Rp 1,33 juta.

Bayangkan jika pokok yang ditambah bunga tersebut kemudian diinvestasikan terus-menerus dalam waktu 10 tahun. Awalnya, perbedaan dana Anda dengan teman hanya Rp 100.000, tetapi dalam 10 tahun kemudian perbedaannya sudah sangat besar.

Ringkasnya, nilai waktu akan uang menjadi berarti jika Anda menginvestasikan dana Anda lebih besar dalam dalam kurun waktu panjang. Selamat mencoba.

Kompas

Saturday, February 21, 2009

[Kompas 100]: Ciputra Property: "An Executor of Ciputra's dream about Jakarta"

Bagian 11 dari 100

Sabtu, 21 Februari 2009 | 19:44 WIB

Bisakah Jakarta menjadi a friendly place buat semua orang dari seluruh penjuru dunia?

Bisa jadi pada saat ini banyak orang yang berpikir seperti itu. Maklum tingkat kemacetan semakin tinggi, sementara belum ada sistem transportasi massal yang handal. Repotnya, banyak orang yang masih bekerja di pusat kota tapi tinggal di pinggiran kota dan semakin lama menghabiskan waktu di jalan.

Sekitar 14 tahun yang lalu, pembangunan Indonesia, yang dikategorikan sebagai salah satu dari The Next Asian Tigers, berjalan cukup pesat. Dan Jakarta, meski sudah macet, belum parah seperti sekarang ini. Tapi itu tidak menghalangi seorang Ciputra untuk mengkampanyekan keberadaan superblock yang diharapkan bisa menjadi bagian dari solusi dalam mewujudkan Jakarta sebagai a friendly place.

Tapi Ciputra tidak hanya berhenti mempromosikan perlunya Jakarta memiliki superblock, yaitu suatu kawasan mixed-use, yang setidaknya terdiri dari apartemen sebagai tempat tinggal, office building sebagai tempat bekerja, dan mall sebagai tempat bersenang senang.

Sebagai a friendly place, Jakarta perlu memiliki area seperti Orchard di Singapura, dimana ada konsentrasi sejumlah mal di suatu wilayah yang dilengkapi dengan fasilitas pedestrian yang nyaman. Sayangnya, krisis yang melanda Indonesia di tahun 1997-1998 dan proses recovery yang berjalan hingga tahun 2003 menjadi penghalang terwujudnya rencana tersebut.

Setelah Indonesia mulai masuk lagi dalam radar investasi global sejak 2005, pembangunan beberapa superblock mulai bermunculan di Jakarta. Melalui PT Ciputra Property Tbk (CTRP), Ciputra pada tahun 2007 ingin mewujudkan kembali apa yang dulu pernah dikampanyekannya. Di kawasan yang dulu diimpikan sebagai Orchad-nya Jakarta, yaitu Jl Prof. Dr Satrio yang kini sudah dikelilingi superblock dan calon superblock, CTRP sedang mengembangkan kawasan superblock seluas 10 hektar yang diberi nama Ciputra World. Ini langkah besar CTRP setelah terakhir mendirikan Mall Ciputra di tahun 1991.

CTRP sendiri adalah anak perusahaan dari PT Ciputra Development Tbk (CTRA), yang mengelola proyek Ciputra Mall dan Hotel Jakarta, Ciputra Mall dan Hotel Semarang, Somerset Apartement, serta Ciputra World Jakarta. Di tahun 2007, CTRP melepas saham perdana dan berhasil menggalang dana sebesar Rp 2,1 Trilliun. Dana hasil IPO tersebut dialokasikan untuk pengembangan proyek Ciputra World Jakarta.

Mengingat persaingan ketat antar superblock, Ciputra World Jakarta, yang diharapkan bisa menjadi salah satu flagship product CTRP, berencana membentuk differensiasi dengan mengangkat tema fine art pada shopping center-nya. Dengan melakukan partnership bersama salah satu pelukis terkenal Indonesia, CTRP berhadap dapat membawa nuansa seni yang nyata dalam shopping center tersebut.

Upaya lain untuk membedakan Ciputra World dari kompetitornya adalah dengan mengupayakan tenant mix yang terdiri atas local brands, namun hanya yang berkelas ”bintang lima”. Manajemen CTRP bahkan mendorong berbagai merek lokal untuk menciptakan premium brand baru yang menawarkan produk yang lebih berkelas dibandingkan produk reguler-nya. Dengan ini diharapkan dapat dicapai pembedaan yang signifikan dibandingkan shopping center high-end lainnya yang akhir-akhir ini banyak berdiri di Jakarta.

Tapi karena Ciputra World adalah superblock, dan persaingan antar superblock yang ada di Jakarta memang ketat, maka diferensiasinya tidak boleh berhenti di shopping center saja. Dan harus diakui banyak orang yang menunggu differensiasi apa yang akan di-create Ciputra World di apartemen dan office building-nya. Jika CTRP berhasil mengembangkan Ciputra World sebagai superblock yang benar-benar unik dibandingkan superblok lainnya, maka CTRP layak dijuluki sebagai an executor of Ciputra’s dream about Jakarta.

"Philip Kotler's Executive Class: 95 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Friday, February 20, 2009

[Kompas 100]: Panorama: "A Builder of Integrated Travel and Tourism Business"

Bagian 10 dari 100

Jumat, 20 Februari 2009 | 07:18 WIB

Tahukah Anda banyak bisnis yang sukses dan berskala besar bermula dari hobi?
Anda mungkin familiar dengan sejumlah orang yang melukis untuk mengisi waktu luang, kemudian mulai menjual lukisannya.

Begitu juga dengan cerita orang-orang yang hobi masak-memasak dan sering mengundang orang menikmati hidangannya bisa berhasil mendirikan restoran yang laris. Lalu tentang orang-orang yang gemar jadi panitia berbagai event kemudian mendirikan perusahaan event organizer terkenal.

Tapi karena yang namanya hobi itu tidak terbatas, maka tidak terbatas pula skala bisnis yang bisa dibuat. Di Amerika ada orang yang hobi membuat model pesawat dan kemudian mendirikan perusahaan designer model pesawat yang dilengkapi dengan para insinyur penerbangan. Di Australia ada orang yang gemar meracik berbagai macam bir dan kemudian mendirikan perusahaan pembuat bir independen terbesar di Australia.

Kisah serupa ternyata juga terjadi di industri parawisata Indonesia, seperti yang dialami Adhi Tirtawisata, mantan lawyer yang pada saat ini dikenal sebagai salah satu icon di industri ini. Awalnya dimulai dengan kegemaran Adhi dalam membantu orang untuk berwisata. Dan karena sudah hobi, maka meski harus mengurus sendiri dari tiket hingga sopir, semua dijalankan dengan ringan.

Yang menjadi tantangan bagi Adhi adalah ketika ia menjalankan bisnis berbasis hobi ini di tahun 60-an, dimana alat komunikasi yang tersedia sangat terbatas. Ini berbeda dengan jaman sekarang, keberadaan Internet membuat orang yang ingin mengubah hobi yang digemarinya menjadi bisnis mampu menjangkau pasar global dengan relatif lebih mudah. Karena itu, setelah mengalami kegagalan dalam mengelola sendiri bisnisnya, Adhi akhirnya memutuskan untuk bekerja bagi orang lain, agar masih bisa berbisnis di bidang yang masih merupakan hobi-nya.

Karena memang sudah bertekad membangun bisnis dari hobi, Adhi menjadikan waktu bekerja di perusahaan lain sebagai kesempatan belajar mengelola sebuah bisnis travel. Dan ini bukan sekedar dalam hal urusan rutin operasional, tapi juga bagaimana mengembangkan bisnis travel. Sehingga, ketika akhirnya punya kesempatan lagi, Adhi tidak ragu untuk mendirikan cikal bakal PT Panorama Sentrawista Tbk (PANR) di tahun 1972.

Bermula dari sekedar menjual tiket pesawat terbang, saat ini bisnis PANR sudah berkembang pesat, lebih dari sekedar inbound dan outbound businesses. Inbound business-nya bukan hanya menjadi layanan end-to-end bagi turis mancanegara, namun pelan tapi pasti membuat PANR memiliki pilar bisnis tambahan, yaitu transportasi. Di bisnis transportasi ini PANR punya merek-merek bus wisata yang dikenal luas seperti White Horse atau Gray Line yang banyak membawa rombongan turis mancanegara.

Meski sudah berhasil mengembangkan pilar bisnis seperti transportasi dan belakangan ini MICE, tidak berarti langkah pengembangan PANR terhenti. Misalnya, dalam pengembangan jaringan pelayanan, selain melakukannya sendiri dibawah nama Panorama Tours, PANR juga membangun jaringan pelayanan dengan sistem franchise dengan nama Panorama World. Hal tersebut terakhir ini secara tidak langsung menunjukkan kekuatan merek Panorama.

Keberanian sejumlah investor untuk mengambil franchise Panorama World bisa jadi didasari oleh sejumlah alasan berikut: asosiasi PANR sebagai sebuah perusahaan terintegrasi dalam travel and tourism yang membidik segmen kelas atas baik inbound maupun outbound, punya track record bagus dalam hal jumlah turis dari luar yang berhasil didatangkan, serta punya layanan corporate travel management domestik dan internasional yang dijadikan pilihan banyak perusahaan yang rutin mengirimkan karyawan berprestasi untuk berwisata.

Belum lagi adanya aliansi dengan pemain bereputasi di pasar internasional seperti Carlson Wagonlit Travel Worldwide dan Chan Brothers Travel Singapore yang bisa menjadi indikator lain kekuatan merek PANR. Nama Adhi Tirtawisata yang tahun 2008 mendapatkan The Lifetime Entrepreneur of the Year dari Ernst & Young, dan juga dikenal sebagai pelopor inbound business sekaligus icon industri pariwisata Indonesia, juga bisa menjadi alasan yang kuat bagi para investor franchise Panorama World.

Meskipun demikian, kami mengidentifikasi potensi ancaman yang bisa menjadi penghambat langkah PANR di masa datang. Ekspansi yang dilakukan PANR untuk memastikan layanan terintegrasi berkualitas tinggi, terutama di bidang-bidang yang sebenaranya bisa dilakukan pihak lain dengan kualitas tinggi tapi lebih murah, akan mengurangi efektivitas layanan terintegrasi tersebut. Inilah yang menjadi tantangan bagi perusahaan yang memberikan layanan terintegrasi, bagaimana tahu kapan untuk make or buy.

Selain menjadi builder of integrated travel and tourism, PANR juga dikenal inovatif dalam memperluas pasar. Kalau produknya selama ini fit untuk segmen kelas atas, PANR kini mulai mengembangkan budget traveling products. Bila ini berjalan dengan baik, bukan tak mungkin kalau PANR akan dikenal sebagai an integrated and comprehensive travel and tourism company.

"Philip Kotler's Executive Class: 96 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Thursday, February 19, 2009

Indonesia Miliki Lembaga Keuangan Syariah Terbanyak Se-Dunia

Kamis, 19 Februari 2009 | 11:19 WIB

BANDUNG, KAMIS — Meski bergerak lambat dalam perkembangan ekonomi syariah, saat ini Indonesia menjadi negara dengan jumlah bank dan lembaga keuangan yang berlandaskan sistem syariah terbanyak di dunia.

"Hal ini terbukti dengan hadirnya 33 bank, 46 lembaga asuransi, dan 17 mutual fund yang menganut sistem syariah," kata pakar ekonomi syariah sekaligus Direktur Tazkia Institute Dr Syafi’i Antonio pada seminar "Rekonstruksi Pemikiran Ekonomi Syariah dan Implementasinya" di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Rabu, seperti ditulis situs web Unpad.

Dikatakan, lambatnya pergerakan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia disebabkan adanya dualisme antara kaum ulama dan para ekonom yang sibuk pada bidangnya masing-masing.

Ulama hanya bergaul pada masalah akidah, ibadah, munakalah, dan jinayah, sedangkan pengetahuan mengenai mualamah dan transaksi bisnis sangat minim. "Sementara para ekonom, ahli di bidang fiskal, moneter, dan masalah finansial lainnya minim mempelajari syariah," kata Dr. Syafi’i Antonio di hadapan Rektor Unpad Prof Dr Ir Ganjar Kurnia, DEA dan unsur pimpinan Unpad, para guru besar, dan mahasiswa.

Penulis 12 buku perbankan dan leadership dan komite ahli Bank Indonesia itu memaparkan materi berjudul "Islamic Finance, Global Development, Local Challenges, and HRD Opportunities".

Masalah tersebut, kata Syafi’i Antonio belum ditambah dengan kurangnya keberanian Indonesia mendirikan bank Islam. Padahal, Indonesia disebut-sebut sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. "Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Inggris. Negara dengan minoritas umat Muslim itu justru berani mendirikan Islamic Bank of Britain", ucapnya.

Inggris berani mencantumkan secara eksplisit kata "Islamic" sebagai representasi lembaga keuangan dengan sistem syariah yang mengharamkan riba di dalamnya.

Sementara Indonesia masih ketakutan mencantumkan kata tersebut dan hanya berani menggunakan kata "syariah". Meski Bank Indonesia telah memiliki Islamic Bank, tetapi kata itu masih diterjemahkan sebagai bank syariah.

Tantangan yang perlu dihadapi Indonesia ke depan adalah menggerakkan bank syariah menjadi bank Islam. Pergerakan inilah, menurut Syafi’i, menjadi faktor yang sangat penting agar Indonesia dapat keluar dari permasalahan besar, yaitu rendahnya penghasilan masyarakat.

"Jika pendapatan rendah, nutrisi masyarakat akan terganggu yang berakibat pada munculnya beragam penyakit. Jika masyarakat sudah rentan terhadap penyakit maka produktivitas menjadi rendah yang lagi-lagi berakibat pada minimnya pendapatan," katanya.

Diakuinya, meski banyak bank berlogo syariah, dalam kenyataannya belum mampu menghidupkan sektor perekonomian masyarakat kecil. "Dinamakan syariah, apabila rukun dan syarat Islam terpenuhi. Namun, apabila masih melupakan pengusaha kecil dan hanya membantu pengusaha kaya, bukan Islam namanya," kata Syafi’i Antonio.

EDJ
Sumber : Ant

Kompas

PELEMAHAN RUPIAH: Mahalnya Ongkos Menahan Rupiah

Kamis, 19 Februari 2009 | 09:45

JAKARTA. Sepanjang Februari 2009, rupiah benar-benar tak berdaya. Rabu (18/2) pukul 20.45 WIB, rupiah tumbang ke level Rp 12.075 per dolar Amerika Serikat (AS). Gerakan rupiah juga liar.

Kepala Tresuri BNI Rosady T. A. Montol bilang, bukan rupiah saja yang loyo, tapi hampir semua mata uang selain dolar AS. Mata uang hijau ini kian perkasa setelah Presiden Barack Obama menandatangani stimulus fiskal, Selasa (17/2). Ini akan mendorong investor berburu dolar dan membeli obligasi pemerintah AS.

Kepala Ekonom BNI Tony Prasetiantono menambahkan, faktor kedua penyebab lemahnya rupiah bulan ini adalah penurunan BI Rate sebesar 0,5%. "Penurunan itu bagus, cuma waktunya tidak tepat, karena rupiah sudah berada Rp 11.700," jelasnya, kemarin.

Kedua analis ini pun melihat angka Rp 12.000 sebagai batas psikologis baru rupiah. Artinya, dalam jangka pendek ini, rupiah masih akan tertekan di sekitar angka itu.

Biaya mengerem rupiah

Nasib rupiah di semester satu ini agaknya memang suram. Satu-satunya bekal rupiah menguat adalah bantuan Bank Indonesia (BI) untuk mengguyur dolar ke pasar.

Masalahnya, Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa melihat sikap BI yang kurang aktif mengintervensi pasar. "Mestinya dalam kondisi begini BI harus lebih banyak intervensi," sesal Purbaya.
Masalahnya, ongkos BI untuk meredam tekanan jual rupiah itu mahal. Cadangan devisa makin menipis. Per 30 Januari 2008, brankas devisa tersisa US$ 50,87 miliar. "BI beralasan dana segitu merupakan batas aman psikologis pasar," ujar Yudhi.

Tony juga melihat BI terlalu berhati-hati dalam mengamankan rupiah. Tapi ia sependapat dengan BI, cadangan devisa di bawah US$ 50 miliar akan berefek negatif bagi pasar. "Teorinya, cadangan devisa yang aman itu setara empat bulan impor. Saat ini, cadangan devisa cukup untuk 4,5 bulan impor," jelasnya.

Nilai cadangan devisa itu sudah turun banyak. Juli 2008, cadangan devisa masih sekitar US$ 57 miliar. Artinya, dalam enam bulan, devisa negara amblas US$ 6 miliar.

Kalau dirata-rata, ongkos menahan rupiah US$ 1 miliar per bulan. Cuma, di September 2008, cadangan devisa deras mengucur keluar untuk menutup minggatnya dana asing saat Lehman Brothers bangkrut. "Jumlahnya bisa US$ 3 miliar-US$ 4 miliar. Jadi, kemungkinan, intervensi BI di bulan-bulan kemarin hanya ratusan juta dolar saja," terang Tony.

Masalahnya, kita tak bisa berharap cadangan devisa bertambah subur tahun ini. Bukan cuma ekspor melorot, dana asing yang masuk pun terbatas akibat krisis.

Tony masih berharap rupiah menguat ke bawah Rp 11.000 di semester dua. "Dengan syarat ada capital inflow." Ia juga menyarankan pemerintah menambah fasilitas swap dengan negara lain atau mencari stand by loan bilateral untuk menambal dompet devisa itu.

Rika Theo, Badrut Tamam KONTAN

- Muhammad Idham Azhari

[Kompas 100]: Adhi Karya: "A Popular Construction Company"

Bagian 9 dari 100

Kamis, 19 Februari 2009 | 07:05 WIB

Usaha untuk tampil beda bagi yang memiliki nama [belakang] dan kemampuan yang kurang lebih sama, ada banyak bentuknya.

Meski dari namanya sudah jelas apa artinya, tetap saja banyak orang yang penasaran dengan asal mula nama group band Koes Plus. Kebetulan dalam band tersebut ada satu orang yang bukan bagian dari keluarga Koeswoyo, yaitu Murry yang menjadi drummer. Padahal ada anggota keluarga Koeswoyo yang sebenarnya drummer yang bagus, Nomo Koeswoyo. Nomo juga adalah ayah penyayi cilik jaman dulu Chicha Koeswoyo yang dikenal dengan lagunya “Heli” yang pertama kali dinyanyikan pertengahan tahun 70-an dan sampai sekarang masih terkenal.

Yang pasti penyebabnya bukan perselisihan di antara anggota keluarga, kalau melihat bahwa para anggota keluarga Koeswoyo dulu bahkan tinggal dalam satu komplek. Generasi kedua mereka, termasuk yang tidak masuk dalam Koes Plus ataupun Koes Bersaudara (dimana Murry sempat diganti Nomo) bahkan pernah membuat group band yang sempat popular. Bagi kami, langkah Nomo yang tidak bergabung dalam group band bersama saudara-saudaranya justru dilakukan untuk menunjukkan eksistensinya.

Kisah yang terjadi dengan keluarga Koeswoyo ini mirip dengan kondisi beberapa perusahaan konstruksi BUMN yang semuanya menggunakan nama “Karya”. Tapi berbeda dengan anggota keluarga Koeswoyo, mereka belum dibentuk dalam satu grup atau holding company. Mau tak mau, mereka akan bersaing satu sama lain, termasuk dalam brand equity.

Kalau Nomo Koeswoyo tampil beda dengan tidak masuk dalam Koes Plus, lain pula yang dilakukan PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI), salah satu BUMN konstruksi terbesar di Indonesia. Logo bundar berwarna merah dengan tulisan ADHI di tengahnya bisa ditemukan di depan proyek konstruksi skala besar di berbagai sudut kota Jakarta dan kota besar lainnya. Ini adalah langkah besar ADHI untuk menjadikan dirinya lebih populer dibandingkan dengan BUMN Karya lainnya.

Dengan cara seperti itu, bahkan mereka yang bukan target market langsung ADHI menjadi tahu logo dan namanya. Memang banyak yang penasaran mengapa perusahaan B2B seperti ADHI merasa perlu mendapatkan brand awareness dari konsumen kebanyakan.

Jawaban yang gampang adalah posisi ADHI sebagai sebuah perusahaan public -- pertama diantara BUMN konstruksi lainnya -- sejak 18 Maret 2004. Investor ritel, yang awam terhadap berbagai laporan perusahaan, menjadi gampang mengambil keputusan investasi di perusahaan yang mereka kenali, sekalipun itu perusahaan B2B. Apalagi setelah go-public perusahaan ini mendapatkan exposure di Infrastructure Summit I (2005) dan II (2006).

Dengan mengusung tagline “Beyond Construction”, ADHI berniat berkembang dari sekedar berbisnis di konstruksi, ke EPC (engineering procurement construction) dan investasi. Belakangan, ADHI bahkan sudah merambah bisnis di mancanegara, seperti di Oman, Qatar, India, dan bahkan membentuk anak perusahaan di Singapura. Singkat kata, logo dan tagline baru adalah simbolisasi dari proses pengembangan bisnis ADHI.

Namun kami melihat bahwa terlalu fokus pada growth dapat mengalihkan perhatian manajemen dari upaya memperkuat kapasitas perusahaan men-deliver pekerjaan dengan kualitas tinggi. Bagaimanapun juga, seperti terlihat pada model Besanko, growth tersebut harus diimbangi dengan upaya melakukan efisiensi, yang pada akhirnya akan mendukung kemampuan perusahaan menawarkan harga yang kompetitif bagi customer.

Tampaknya ini disadari betul oleh Bambang Triwibowo, Direktur Utama ADHI yang baru dilantik 19 Juni 2008. Dengan membentuk tim khusus peningkatan efisiensi,peningkatan kompetensi SDM,dan pengurangan biaya bunga, dg mengevaluasi cash flow system yg ada, mantan Direktur Operasi PT Pembangunan Perumahan ini hendak memfokuskan perusahaan pada peningkatan kinerja internal dan juga pada proyek yang sudah berjalan.

Di pihak lain, inovasi yang terus menerus juga menjadi perhatian utama bagi salah satu pemenang penghargaan “CEO Idaman 2008” versi majalah Warta Ekonomi ini. Langkah Bambang Triwibowo tersebut mulai terlihat pada implementasi beton Pre-cast Slab yang inovatif yang pertama kali dilakukan di Indonesia dalam proyek ADHI untuk membangun jalan tol Kanci–Pejagan, yang dimulai Oktober 2008. Selain itu, keberhasilan divisi Penelitian dan Pengembangan yang dibentuknya juga akan dilihat dari dihindarinya reinventing the wheel dalam perusahaan, terutama pada proyek-proyek baru ADHI.

Berbagai langkah penyempurnaan di perusahaan yang pernah mendapat penghargaan sebagai “The Most Admired Company” ini diharapkan bisa mentransformasikan ADHI dari a popular construction company menjadi the most reputable construction company in Indonesia.

"Philip Kotler's Executive Class: 97 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Wednesday, February 18, 2009

Hebat! Indonesia Tujuan Wisata Spa Terbaik di Dunia

Rabu, 18 Februari 2009 | 21:11 WIB

JAKARTA, RABU — Indonesia terpilih menjadi tujuan wisata spa terbaik di dunia melalui penghargaan yang akan dianugerahkan International Wellness Awards kepada Indonesia dalam International Travel Bourse di Berlin, Jerman.

"Mengapa Indonesia? Sebab Indonesia mampu mempertahankan warisan budaya leluhur dikombinasikan dengan hasil riset terbaru," kata Pimpinan Selected Hotel Promotion Inc. (Organisasi Pariwisata Internasional Ternama), Frank Pfaller, dalam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Rabu (18/2).

"Indonesia melalui Bali telah terpilih sebagai "The Best Spa Destination in The World," tambahnya.

Penghargaan tersebut akan diserahkan dalam rangka penyelenggaraan pameran pariwisata tahunan yang bergengsi, yaitu International Tourism Bourse (ITB) di Berlin, Jerman, awal Maret 2009.

"Rencananya, upacara penganugerahan akan dihadiri oleh para tokoh pariwisata terkemuka dari seluruh penjuru dunia," katanya.

Hal itu karena kegiatan ITB merupakan pameran terbesar yang melibatkan ribuan pelaku bisnis di dunia pariwisata internasional. Penghargaan tersebut rencananya akan diterima langsung oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang akan hadir dalam kegiatan ITB di Berlin.

Bali dinilai merupakan kawasan wisata spa terbaik karena mampu memelihara kebudayaan asli leluhur termasuk warisan raja-raja kuno. Bahkan, terminologi khas Bali dalam kaitannya dengan spa seperti boreh dan lulur telah diakui secara internasional.

Raja juga dapat penghargaan

Pada kesempatan yang sama, Raja Denpasar IX, Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pamecutan juga akan dianugerahi penghargaan Senses Wellness Award 2009 dari organisasi yang sama.

Raja Denpasar IX juga akan menerima "The Five-star-Diamond Lifetime Achievement Award" yang akan diberikan oleh Presiden American Academy of Hospitality Sciences Joe Cinque atas sumbangsih dan pengabdiannya dalam hal hubungan pertukaran dan perkembangan kebudayaan internasional.

"Kami mewakili masyarakat spa di Bali akan berangkat dalam acara tersebut di samping karena tahun ini Bali terpilih menjadi tujuan spa terbaik dunia," kata Raja Denpasar IX Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pamecutan.

Ia berharap, penerimaan penghargaan tersebut dapat lebih memperkenalkan pariwisata Indonesia kepada dunia internasional.

Raja Denpasar IX rencananya akan berangkat dan membawa rombongan misi kebudayaan yang terdiri dari 80 raja dan sultan seluruh Indonesia yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Keraton se-Nusantara.

"Kami juga akan membawa tim kesenian Bali klasik dan kesenian dari seluruh nusantara untuk mempromosikan adat tradisi budaya kita kepada dunia. Prinsipnya bukan Indonesia untuk pariwisata, tetapi pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia," katanya.

MSH
Sumber : Antara

Kompas

[Kompas 100]: AKR Corporindo: "A Distribution Master in the Indonesian Chemical Materials Business"

Bagian 8 dari 100

Rabu, 18 Februari 2009 | 07:26 WIB

Tidak ada yang namanya pendekar instan di film-film silat. Semuanya harus melalui tempaan yang panjang dan melelahkan, didukung oleh kesabaran, ketekunan serta kepintaran. Kalau tidak, bisa-bisa baru berhasil menjadi pendekar ketika sudah lanjut usia.

Analogi pendekar di film silat ini adalah gambaran perjalanan bisnis PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) yang dibangun Soegiarto Adikoesoema dari Surabaya pada tahun 1960 sebagai sebuah perusahaan dagang bahan-bahan kimia. Ini adalah dunia yang kecil. Orang gampang tahu siapa yang jual dan siapa yang beli, kualitas produk yang ada di pasar, serta apa saja kegunaan dari bahan-bahan kimia yang diperjualbelikan.

Bagi AKRA, hal ini kemudian dijadikan tantangan untuk pelan tapi pasti mengubah diri menjadi lebih dari sekedar perusahaan dagang bahan-bahan kimia biasa. Dengan mengenali rupa-rupa bahan kimia yang dibutuhkan di Indonesia pada saat itu dan siapa yang membutuhkannya, di tahun 1970-an AKRA kemudian masuk sebagai importir bagi Unilever, perusahaan global consumer goods yang produknya dipakai di banyak rumah tangga Indonesia dari generasi ke generasi. Setelah berhasil menjadi importir Unilever, AKRA lalu berusaha menjadikan diri sebagai importir andalan Unilever.

Untuk sebuah perusahaan dagang atau importir, menjadi pemasok andalan perusahaan global merupakan upaya branding yang efektif. Dengan ini, AKRA bukan hanya berusaha mempertahankan posisi tersebut tapi juga meningkatkan diri. Dengan brand yang mulai dikenal luas, AKRA pelan tapi pasti memposisikan diri sebagai perantara yang handal antara pabrikan global bahan-bahan kimia dan perusahaan global yang butuh bahan-bahan kimia kelas dunia sebagai bahan baku produknya.

Sampai pada tahapan tersebut, AKRA seolah seperti pendekar yang menguasai jurus silat andalan baru, yang sulit ditandingi. Hal ini jelas memperkuat kepercayaan diri untuk melangkah ke tahap kependekaran berikutnya. Inilah yang kemudian dilakukan oleh AKRA dengan mencoba berkembang dari sekadar perantara yang handal menjadi sebuah pabrikan bahan kimia kelas dunia.

Dalam melangkah menjadi pabrikan bahan kimia, AKRA berusaha memilih bukan hanya berdasarkan keberadaan bahan baku yang unik dan melimpah di Indonesia, tapi keluasan pasar yang bisa dibidik. Ini dilakukan AKRA agar punya bargaining position yang bagus ketika berhadapan dengan perusahaan yang akan membutuhkan produknya. Melalui anak perusahaan Sorini Agro Asia Corporindo (SOBI) yang didirikan di tahun 1983, AKRA bukan hanya menjadi pabrikan bahan kimia untuk perusahaan global tapi bahkan menjadi pemain terbesar kedua dan pesaing terkuat pemain nomor satu.

Tapi keberadaan SOBI tidak membuat AKRA melupakan posisinya sebagai perantara yang handal untuk produk-produk kimia. Untuk mendukung posisi ini, AKRA yang sejak tahun 1992 dipimpin Haryanto Adikoesoemo, yang tahun 2008 terpilih sebagai Entrepreneur of the Year versi Ernst & Young, membangun tangki dan gudang bahan kimia di berbagai pelabuhan utama Indonesia. Fasilitas tersebut kemudian ditambah dengan berbagai fasilitas pendukung lainnya di pelabuhan seperti harbour mobile cranes dan port handling dan armada truk milik sendiri yang memungkinkannya perusahaan menawarkan integrated logistics solutions untuk bahan-bahan kimia.

Kemampuan menawarkan solusi seperti tersebut di atas membuat AKRA semakin percaya diri untuk tidak hanya menjadi perantara dalam bahan-bahan kimia dasar tapi juga masuk ke bisnis hilir industri perminyakan Indonesia di tahun 2005, seiring dengan deregulasi yang memungkinkan perusahaan minyak non Pertamina menjual BBM non subsidi di Indonesia.

Langkah tersebut jelas merupakan peningkatan kemampuan AKRA sebagai sebuah perusahaan distribusi bahan-bahan kimia, karena sudah bisa masuk ke tahapan outsourcing proses logistik. Tidak berlebihan kalau AKRA kini merupakan pendekar distribusi bahan-bahan kimia di Indonesia.

"Philip Kotler's Executive Class: 98 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Tuesday, February 17, 2009

Dampak Krisis Global Mulai Mengancam

Selasa, 17 Februari 2009 | 18:33 WIB

JAKARTA, SELASA — Dampak krisis ekonomi global mulai mengancam Indonesia. Tanda-tandanya adalah adanya perlambatan ekonomi dan Tingkat Product Domestic Bruto (PDB) pada triwulan IV tahun 2008 turun minus 3,6 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.

"Kalau nanti pertumbuhan kuartal I minus juga, berarti Indonesia sudah resesi. Kan resesi itu pertumbuhan minus pada dua kuartal berturut-turut. Jadi kita tunggu saja," kata anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Drajad Haribowo, di gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/2).

Drajad mengakui, banyak kalangan yang menyatakan bahwa dampak krisis ini jauh lebih cepat masuk ke Indonesia karena cepatnya perlambatan harga-harga komoditas. Pasalnya, seluruh Indonesia mengandalkan sektor komoditas. "Faktor yang banyak mempengaruhi adalah ekspor yang kemudian terus berputar ke dalam," ujarnya.

Drajad mengatakan, pihaknya belum dapat memprediksi kondisi ekonomi pada triwulan I 2009. Namun, menurutnya, pelaku pasar perlu lebih berhati-hati dan waspada. Karena potensi-potensi kerugian di Singapura belum keluar semua. Padahal, banyak orang Indonesia yang memiliki aset di Singapura.

"Kalau nilai aset di sana anjlok dan sekarang sudah mulai artinya kekayaan orang Indonesia semakin ambruk. Padahal, kekayaan orang Indonesia di Singapura adalah salah satu penggerak daya beli dan pertumbuhan ekonomi," katanya.

ANI

Kompas

Komentar: "Siapkan diri Anda dengan dana darurat ditangan (cash tentunya) jikalau PHK masal terjadi. Minimal dana darurat adalah 3 kali gaji sebulan. Atau lebih bagus lagi investasikan uang Anda ke Emas yang memiliki likuiditas yang bagus"

[Kompas 100]: Ciputra Surya: "A Reputable Township Developer in Surabaya"

Selasa, 17 Februari 2009 | 07:25 WIB

Bisnis properti adalah bisnis yang menjual masa depan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana dari awal memilih jenis masa depan yang akan di jual dalam jangka panjang. Ini butuh “jam terbang” dan pemahaman unspoken customer needs.

Terus terang ini bukan suatu hal yang mudah bagi PT Ciputra Surya Tbk (CTRS), anak perusahaan dari PT Ciputra Development Tbk (CTRA), ketika mendirikan CitraRaya. CTRA adalah pengembang dengan fokus di Jawa Timur, spesifiknya di wilayah Surabaya dan sekitarnya, ditambah dengan sebuah proyek residential di Lampung. Sekalipun merupakan perusahaan yang dilahirkan oleh legenda di industri properti Indonesia, tapi Surabaya bisa dibilang pasar baru bagi CTRA dan CTRS.

Namun CTRS paham benar soal menjual masa depan. Melalui riset yang dilakukan, CTRS menangkap unspoken needs orang-orang Surabaya yang menjadikan Jakarta dan Singapura sebagai benchmark. Yang kemudian dipilih adalah Singapura. Maka dibangunlah kawasan township CitraRaya dengan asosiasi yang kuat pada Singapura.

Perumahan kelas atas di wilayah Surabaya Barat, yang yang dibangun sejak 1989 ini, secara konsisten menjaga image Singapura-nya sebagai positioning yang kuat. Namun positioning yang kuat ini tentunya juga didukung oleh diferensiasi yang nyata, yang ditunjukkan dengan memunculkan berbagai content dan context yang bisa langsung menciptakan impresi sebagai miniatur Singapura dan sekaligus alat brand communication yang ampuh. Dengan konsistensi itu, CitraRaya berhasil mendatangkan pembeli dan pengunjung dari seluruh wilayah Surabaya, meskipun terletak di pinggiran kota Surabaya.

Sebagai bagian dari Group Ciputra, CTRS mewarisi visi dan misi sang pendiri, Ir Ciputra yang sering di sebut pelopor bisnis properti modern di Indonesia. Sang pelopor ini selalu berprinsip: Kalau mendirikan kawasan, haruslah menguntungkan. Ini adalah janji terhadap pembeli. Dan “janji adalah hutang”. Oleh sebab itu, Group Ciputra selalu menunjukkan komitmen terhadap upaya meramaikan kawasan yang dikembangkannya.

Sehubungan dengan itu, keputusan CTRS untuk memisahkan pembangunan dan pemasaran sebuah kawasan affordable housing di sebelah utara CitraRaya, kami lihat sebagai keputusan yang tepat. Dengan langkah ini, dapat dihindari terjadinya pengaburan positioning dari CitraRaya sebagai perumahan yang modern dan elit, layaknya Singapura.

Adanya strategi marketing yang nyata ini berhasil menciptakan Marketing Value yang kuat bagi CTRS. Salah satu hasil nyata manfaat dari marketing value adalah kasus G-Walk. Pusat jajanan di dalam CitraRaya ini dulu cukup mengkhawatirkan karena sepi pengunjung pada awal pendiriannya. Namun CTRS berhasil mengubahnya menjadi pusat nongkrong yang trendi di kalangan anak muda Surabaya. G-Walk menjadi tempat bagi orang yang ingin “merasakan” Singapura tanpa harus meninggalkan Surabaya.

Pembentukan Marketing Strategy yang kuat seperti ini bisa menjadi kunci utama kemampuan CTRS untuk tetap kompetitif di masa mendatang. Hal ini diuji dalam proyek baru dan ambisius yang sedang dibangun di gerbang masuk Surabaya Barat, yaitu Ciputra World Surabaya. Proyek komersial CTRS yang pertama ini akan menjadi ujian dari kemampuan perusahaan dalam menciptakan Marketing Value yang kuat bagi pemegang saham dan para tenant.

Jika CTRS konsisten dalam menciptakan dan menjaga positioning yang relevan dan berarti (relevant and meaningful) terhadap target market-nya, didukung oleh diferensiasi yang nyata, serta aplikasi branding yang solid, kami melihat bahwa perusahaan ini akan dapat terus kompetitif dan unggul sebagai: A reputable township developer in Surabaya.

"Philip Kotler's Executive Class: 99 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas

Monday, February 16, 2009

[Kompas 100]: Charoen Pokphand Indonesia: "An Integrated Poultry-Related Company"

Senin, 16 Februari 2009 | 07:21 WIB

Ada satu menu makanan yang disenangi oleh semua kalangan di Indonesia. Daging Ayam. Selain karena berbagai alasan yang berhubungan dengan agama, seperti umat Muslim yang tidak mengonsumsi daging babi dan umat Hindu yang tidak mengonsumsi daging sapi, daging ayam adalah alternatif sumber protein yang harganya relatif paling murah. Hampir tiap warung makan di Indonesia menjual daging ayam dalam berbagai bentuk dan rasa.

Karena itu, bisnis yang berhubungan dengan ayam harusnya dapat berkembang dengan pesat di sini. Potensi berkembangnya pasar ini juga masih tinggi, kalau kita melihat tingkat konsumsi ayam per kapita di Indonesia yang hanya mencapai 4,5 kg. Ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 34 kg, mengingat pola makan antara kedua negara ini tidaklah terlalu berbeda.

Salah satu perusahaan yang bergantung pada konsumsi daging ayam di Indonesia adalah PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN). Perusahaan ini bergerak di bidang pakan ternak, bibit ayam (day-old-chicken/DOC), dan daging ayam olahan atau dapat disebut an integrated poultry related company. Secara tidak langsung, meningkatnya pertumbuhan konsumsi ayam di Indonesia akan semakin mendongkrak naik kinerja perusahaan yang menguasai 35 persen pangsa pasar pakan ternak dan DOC di Indonesia ini.

CPIN adalah bagian dari Charoen Pokphand Food (CPF), pemain regional di bidang agribisnis yang beroperasi di Thailand, Kamboja, China, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Singapura, Turki, Taiwan, dan Vietnam. CPF sendiri adalah bagian dari The Charoen Pokphand Group, konglomerasi bisnis terbesar di Thailand yang berdiri sejak 1921.

Bagi CPIN, beroperasi di Indonesia pada saat ini membawa tantangan tersendiri. Salah satunya adalah kasus flu burung yang hingga kini masih belum bisa terselesaikan secara tuntas. Dalam hal ini, flu burung berefek ganda. Selain ancaman bagi pemilik peternakan yang harus memusnahkan seluruh ternaknya jika ditemukan kasus flu burung di sekitar wilayahnya, kasus flu burung juga berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keamanan mengonsumsi daging ayam.

Karena itu, ada baiknya CPIN proaktif meminimalisasi tantangan tersebut di atas. Misalnya dengan melakukan edukasi masyarakat. Baik terhadap peternak ayam, agar tidak memelihara ayam di rumah dan membantu menghentikan penyebaran flu burung maupun terhadap masyarakat, untuk menjelaskan bahwa daging ayam yang diolah dengan benar akan tetap terjaga keamanannya.

Tantangan lainnya adalah kenyataan bahwa industri pakan ternak memang sudah menjadi industri komoditas. Dalam kondisi seperti ini, cost-leadership yang didukung oleh peningkatan efisiensi proses menjadi andalan. Terlebih lagi, dalam kondisi ekonomi yang sulit dan tidak menentu, pelanggan cenderung sangat reaktif terhadap perubahan harga. Brand loyalty sudah semakin menurun sehingga pembeli akan dengan mudah pindah ke produsen lain yang menawarkan harga lebih kompetitif.

Sebagai bagian dari konglomerasi yang memiliki pengalaman lebih dari 50 tahun di bidang pakan ternak, CPIN memiliki competitive advantage di sini. Didukung oleh sistem dan proses yang matang, disertai pembelajaran dari berbagai negara di Asia, CPIN berpotensi untuk lebih dapat menerapkan cost leadership dibandingkan kompetitornya. Cost leadership ini dapat dicapai dengan meningkatkan efisiensi dalam proses maupun dalam penggunaan bahan baku. Inilah Marketing Value yang kami lihat dimiliki oleh CPIN, yang bisa diandalkan untuk terus bersaing dan tetap survive melewati krisis ekonomi global.

"Philip Kotler's Executive Class: 100 Days To Go"

Hermawan Kartajaya,Taufik

Kompas