BLOGSPOT atas

Tuesday, September 30, 2008

[Bagian 32 dari 100] New Wave Marketing: Mind of Strategist, Sense of Marketer

Selasa, 30 September 2008 | 00:39 WIB

JUDUL tulisan ini memang terinspirasi dari judul bukunya Kenichi Ohmae, The Mind of the Strategist. Karena bukunya ini, Ohmae kemudian dijuluki sebagai “Mr. Strategy”. Oleh suratkabar Financial Times ia disebut sebagai “Japan’s only management guru.” Majalah The Economist juga memilihnya sebagai salah satu dari lima management guru di dunia.

Saya sendiri merasa mendapat kehormatan yang besar bisa bersama-sama tokoh sekaliber Ohmae ini masuk dalam daftar “50 Gurus who Have Shaped the Future of Marketing” dari The Chartered Institute of Marketing – United Kingdom (CIM-UK). Hanya saya dan Ohmae yang berasal dari Asia dalam daftar yang dikeluarkan oleh institusi yang cukup konservatif tersebut.

Ohmae ini memang salah seorang pemikir yang saya kagumi dari dulu. Dia bukan cuma teoritisi dan peneliti, tapi juga menjadi konsultan di McKinsey selama 23 tahun. Pengalaman menangani ratusan perusahaan dari berbagai industri ini memberikannya pengetahuan yang dalam dan luas.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Monday, September 29, 2008

[Bagian 31 dari 100] New Wave Marketing: When Giants Learns to Dance: The IBM Story

Senin, 29 September 2008 | 00:26 WIB

Transformation of an enterprise begins with a sense of crisis or urgency”. Itulah yang dikatakan Lou Gerstner, orang yang berhasil melakukan corporate turnaround pada IBM ketika raksasa komputer ini sedang mengalami krisis.

Memang, ketika Gerstner diangkat sebagai CEO dan Chairman IBM pada April 1992, perusahaan ini sedang di ambang kehancuran. Pada Januari 1993, IBM mengumumkan kerugian sebesar 5 milyar dollar AS selama tahun 1992! Itulah kerugian terbesar dalam satu tahun yang pernah dialami oleh sebuah perusahaan sepanjang sejarah Amerika. Masalah yang menimpa IBM ini menjadi perhatian banyak kalangan. Betapa tidak, IBM sudah menjadi salah satu ikon bisnis Amerika dan dunia.

Sejarah panjang IBM dimulai saat perusahaan ini didirikan pada tahun 1896 di New York. IBM mulai tumbuh dengan pesat sejak tahun 1935 ketika mendapat kontrak dari pemerintah untuk mengelola data pekerjaan 26 juta orang. Pada tahun 1950-an, IBM mendapat kontrak yang cukup besar dari Angkatan Udara Amerika (USAF)

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Sunday, September 28, 2008

[Bagian 30 dari 100] New Wave Marketing: Control Your Destiny or Someone Else Will: The GE Way

Minggu, 28 September 2008 | 00:13 WIB

GENERAL Electric (GE) adalah salah satu perusahaan yang dikagumi banyak orang, termasuk saya. Banyak hal yang bisa dipelajari dari perusahaan ini. Berbagai buku tentang GE juga telah ditulis, termasuk karya Noel Tichy dan Stratford Sherman yang menginspirasi judul tulisan ini, Control Your Destiny or Someone Else Will.

Satu hal yang menarik diamati adalah perubahan yang terjadi di GE sejak era Jack Welch sampai Jeff Immelt sekarang. Begitu diangkat sebagai CEO dan Chairman GE pada tahun 1981, Welch bergerak cepat. Sepanjang dasawarsa 1980-an, Welch bekerja keras merampingkan GE dan membuatnya jadi lebih kompetitif. Welch dikenal sangat terobsesi dengan shareholder value. Pidatonya yang berjudul “Growing Fast in a Slow-Growth Economy” menunjukkan dengan jelas obsesi Welch ini.

Welch mendorong para manajernya untuk bekerja lebih produktif. Ia juga memangkas birokrasi untuk meningkatkan efisiensi. Welch juga tidak segan-segan memecat karyawan yang dianggap tidak memiliki kinerja yang bagus.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Saturday, September 27, 2008

[Bagian 29 dari 100] New Wave Marketing: Only the Paranoid Survive: The Intel Way

Sabtu, 27 September 2008 | 01:16 WIB

Most companies don’t die because they are wrong; most die because they don’t commit themselves... The greatest danger is in standing still”.

Itulah yang dikatakan Andy Grove dalam bukunya, Only the Paranoid Survive. Grove ingin menggambarkan bahwa hanya orang-orang yang paranoid-lah yang bisa bertahan di tengah pesatnya perubahan lanskap bisnis.

Walaupun buku ini tergolong cukup lama—ditulis Grove ketika ia masih menjadi CEO Intel pada tahun 1996—namun pelajaran yang bisa dipetik masih cukup relevan di era New Wave Marketing ini. Berbagai Change yang ada membuat sebuah perusahaan yang sebenarnya sudah cukup mapan seperti Intel mau tidak mau harus berubah juga.

Intel didirikan oleh Robert Noyce dan Gordon Moore pada tahun 1968 dan merupakan salah satu perintis Silicon Valley. Grove sendiri menjadi karyawan ketiga setelah kedua pendiri tersebut. Mereka bertiga ini sebelumnya sama-sama bekerja di Fairchild Semiconductor.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Friday, September 26, 2008

[Bagian 28 dari 100] New Wave Marketing: Star Wars: The Galaxy of New Wave Landscape

Jumat, 26 September 2008 | 00:34 WIB

FILM mahakarya George Lucas yang satu ini memang favorit saya dari dulu. Ketika seri terakhirnya, “Star Wars Episode III: Revenge of the Sith”, dirilis tahun 2005 lalu, saya sampai bela-belain menonton lagi kelima seri sebelumnya untuk mencermati ceritanya sekali lagi.

Film Star Wars memang bukan film biasa. Dari urutannya saja sudah terlihat unik. Film pertama yang diproduksi adalah seri film yang keempat. George Lucas bilang, hal ini karena pada pertengahan 1970-an sewaktu ia punya gagasan untuk membuat serial film ini, teknologi yang ada saat itu belum memungkinkan untuk mewujudkan secara visual seri pertamanya.

Jadinya, trilogi bagian akhir keseluruhan cerita Star Wars (Episode IV-VI), justru dibuat lebih dahulu pada pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an. Sedangkan cerita-cerita awalnya (Episode I-III) baru dibuatkan filmnya pada akhir 1990-an sampai pertengahan 2000-an lalu.

bersambung..

Hermawan Kartajaya

Kompas

Thursday, September 25, 2008

[Bagian 27 dari 100] New Wave Marketing: Lessons from Die Hard 4.0: Do Only Evil!

Kamis, 25 September 2008 | 00:04 WIB

SUDAH nonton film “Die Hard 4.0”? Saya sudah nonton film ini karena kebetulan disuruh oleh Dirjen Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), Cahyana Ahmadjayadi.

Cerita film ini memang sangat berkaitan dengan bidang pekerjaan Pak Cahyana. Di film ini, sang jagoan bernama John McClane yang diperankan aktor berkepala plontos Bruce Willis bertarung mati-matian melawan satu kelompok cyber terrorist.

Kelompok cyber terrorist ini meng-hack sistem jaringan komputer Amerika dan menguasai seluruh sistem infrastruktur nasional yang ada. Mereka berhasil melumpuhkan sistem transportasi nasional, membuat pasar saham jadi crash, memadamkan pembangkit listrik yang ada di wilayah Pantai Timur Amerika, dan juga menguasai saluran gas.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Wednesday, September 24, 2008

[Bagian 26 dari 100] New Wave Marketing: Sex and the City Meets Desperate Housewives

Rabu, 24 September 2008 | 00:05 WIB

FILM Sex and the City dan Desperate Housewives adalah dua contoh pentingnya penggunaan customer insight. Kedua serial TV itu berhasil menyajikan sebuah tontonan yang menarik secara komersial dan juga berkualitas tinggi. Karena itu, tidak heran jika keduanya punya banyak penggemar serta memenangkan sejumlah penghargaan bergengsi, seperti Emmy Award dan Golden Globe Award. Sex and the City malah sudah dirilis film bioskopnya pada akhir Mei 2008 lalu.

Lantas, kenapa kedua serial TV ini bisa begitu sukses? Mari kita lihat dulu Sex and the City. Serial TV ini mengisahkan kehidupan sehari-hari empat wanita yang merupakan bagian dari kaum elite di New York. Walaupun usia mereka sudah menginjak kepala tiga dan empat, mereka masih sangat fashionable, sering gonta-ganti busana.

Keempat sahabat wanita ini saling ngobrol secara jujur dan terbuka tentang kehidupan mereka, terutama dalam soal cinta. Tak jarang mereka menceritakan fantasi-fantasi seksualnya. Selain isu-isu yang menyangkut seks seperti soal penyakit seks menular, safe sex, atau seks bebas, serial ini juga banyak membahas bagaimana seharusnya peranan wanita di tengah masyarakat kota besar seperti di New York.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Tuesday, September 23, 2008

[Bagian 25 dari 100] New Wave Marketing: Life in the Fast Lane: Are You Into F1?

Selasa, 23 September 2008 | 00:29 WIB

“Life in the Fast Lane” adalah tema iklan satu halaman di koran The Straits Times dari Singapura. Huruf-huruf “Fast Lane”-nya dibuat dari karakter bendera start-nya lomba Formula One (F1) yang dikombinasikan dengan ikon “forward” (segitiga dengan ujung menghadap ke kanan) yang biasa terdapat pada produk-produk elektronik. Sementara model yang memeragakan adalah anak muda dengan jas eksekutif yang sedang memasang tuksedonya.

Anda bisa menebak, iklan apa ini? Ternyata, iklan ini merupakan promosi dari toko ritel ternama, TANGS, di Vivo City dan Orchard Road, dua kawasan belanja yang populer di Singapura. Nampaknya yang menjadi primary target market-nya adalah wanita, karena disebutkan adanya diskon sebesar 20% jika berbelanja perlengkapan wanita. Selain itu, ada juga program yang diberi nama “TANGS Pitstop” yang memberikan layanan manikur, pijat kepala dan bahu, serta penataan rambut secara cepat.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Monday, September 22, 2008

[Bagian 24 dari 100] New Wave Marketing: Evolution of Dance: Have You Seen It?

Senin, 22 September 2008 | 00:34 WIB

PERNAH lihat video klip yang judulnya “Evolution of Dance”? Kalau belum, coba sekarang juga Anda buka situs YouTube dan ketik judul video klip tadi di kotak pencarian.

Sudah ketemu? Ya, inilah video klip yang menjadi fenomena di YouTube. Video klip ini tercatat disaksikan sebanyak hampir 100 juta kali! Video klip ini menjadi video klip nomor dua paling populer di YouTube setelah video klip dari penyanyi Avril Lavigne.

Sebelumnya, selama lebih dari 2 tahun sejak di-upload di YouTube pada 6 April 2006, “Evolution of Dance” ini merupakan video klip nomor satu paling populer di YouTube. Pada masa-masa awal, video klip ini bahkan disaksikan sebanyak lebih dari 10 juta orang hanya dalam jangka waktu kurang dari dua minggu! Luar biasa, bukan?

Di video klip sepanjang sekitar 6 menit ini, komedian dari Amerika yang bernama Judson Laipply memperagakan kemahirannya menari sambil diiringi sejumlah lagu dari berbagai penyanyi dari berbagai era. Laipply dengan sangat persis menirukan gaya yang ditampilkan para penyanyi tersebut di video klip mereka.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Sunday, September 21, 2008

[Bagian 23 dari 100] New Wave Marketing: What Women (Really) Want?

Minggu, 21 September 2008 | 00:43 WIB

ANDA tahu film “What Women Want”? Ini salah satu film favorit saya. Ceritanya berkisar pada Nick Marshall, account executive sebuah biro iklan. Nick yang diperankan oleh Mel Gibson ini orangnya ganteng, gagah, punya karir yang bagus, dan masih bujangan. Pendeknya, tipe pria yang menjadi idaman para wanita.

Suatu hari, ketika sedang di kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan hairdryer, Nick terpeleset dan jatuh ke bathtub yang berisi air. Tak pelak, ia pun kesetrum dan jatuh pingsan. Ketika siuman, entah bagaimana, Nick bisa mendengar apa-apa yang ada di pikiran wanita. Semua wanita yang ditemuinya bisa didengar pikirannya. Kadang malah ada dua suara sekaligus yang didengarnya dari satu wanita yang sama; satu ucapan lisan yang keluar dari mulut si wanita, satu lagi “ucapan” dari pikiran si wanita.

Nick pun bingung dan mengira otaknya terganggu. Ketika Nick menemui seorang terapis, terapis ini malah ngomong supaya Nick tidak perlu risau. Terapis ini bilang kalau inilah anugerah terbaik yang pernah diberikan Tuhan kepada Nick. “If Men are from Mars and Women are from Venus, and you can speak Venusian, the world can be yours,” begitu kata terapis tadi.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Saturday, September 20, 2008

[Bagian 22 dari 100] New Wave Marketing: Why Men Lie and Women Cry?

Sabtu, 20 September 2008 | 00:06 WIB

MENGAPA pria berbohong dan wanita menangis? Itulah yang ditanyakan Allan Pease dan Barbara Pease, dan sekaligus menjadi judul salah satu buku laris mereka. Selain buku itu, keduanya juga menulis buku-buku laris lainnya yang judulnya “serupa tapi tak sama”, seperti: Why Men Don’t Have a Clue and Women Always Need More Shoes, Why Men Can Only Do One Thing at a Time and Women Never Stop Talking, dan Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read Maps.

Nah, dari judulnya saja sudah ketahuan kalau kedua penulis jelas-jelas ingin memperlihatkan adanya perbedaan mendasar antara pria dan wanita. Sebagai marketers, kita memang harus bisa memperhatikan dengan cermat karakter pria dan wanita ini. Merekalah pelanggan kita. Kalau sampai salah membacanya, akan sulit bagi kita untuk menjual produk kita kepada mereka.

Kembali ke judul di atas. Memang ada pernyataan yang bernada guyon, wanita itu sering menangis ketika mengetahui pasangan prianya bohong. Tapi sebaliknya, pria terpaksa bohong karena takut pasangan wanitanya malah menangis dan jadi emosional tidak karuan kalau diceritakan kenyataan yang sesungguhnya. Ruwet, kan?

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Friday, September 19, 2008

[Bagian 21 dari 100] New Wave Marketing: Customers Are Not Always Right, but They Are Still Important!

Jumat, 19 September 2008 | 00:22 WIB

PERNAH dengar slogan seperti ini?
Rule #1: The customer is always right.

Rule #2: If the customer is wrong, please re-read rule number one!

Itulah slogan yang sangat klasik di kalangan marketers. Slogan ini pun dipakai di mana-mana dan sudah menjadi semacam pelajaran pertama dalam “Customer 101”. Slogan tersebut mulai dipakai di toko-toko ritel sejak awal abad ke-20. Tidak terlalu jelas, siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.

Kalau di Amerika, yang pertama kali menggunakannya adalah toko serba ada atau toserba (department store) Marshall Field di Chicago yang didirikan pada akhir abad ke-19. Sementara kalau di Inggris, Harry Gordon Selfridge Sr.-lah yang mempopulerkannya. Ia memakainya untuk toserba Selfridge-nya yang ada di London yang dibuka pada tahun 1909.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Thursday, September 18, 2008

[Bagian 20 dari 100] New Wave Marketing: The Insight Challenge: How Deep Can You Go?

Kamis, 18 September 2008 | 00:28 WIB

INI jelas bukan tentang “How Low Can You Go”-nya A-Mild dulu ketika menantang merek lain soal kadar tar dan nikotin dalam rokok. Tapi, di zaman New Wave Marketing ini, tantangannya adalah, sedalam apa kita bisa mengerti pelanggan. Memang, dari dulu, upaya memahami pelanggan ini sangat sulit. Sekarang ini lebih susah lagi karena tiga hal berikut.

Pertama, customers want to look good. Mereka tidak ingin kelihatan jelek atau kekurangannya diketahui orang lain. Coba saja Anda tanyakan ke anak-anak muda, pernahkah mereka memakai viagra. Sebagian besar pasti mengaku belum pernah, walaupun kenyataannya belum tentu begitu.

Coba juga Anda tanya ke setiap laki-laki yang baru saja keluar dari toilet umum, apakah mereka sudah mencuci tangannya. Saya yakin hampir semua pasti bilang sudah, walaupun sebenarnya belum. Ini terjadi karena orang sudah dari sono-nya cenderung enggan mengungkapkan hal-hal yang bisa membuat malu mereka atau yang menunjukkan kekurangan mereka.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Wednesday, September 17, 2008

[Bagian 19 dari 100] New Wave Marketing: Manchester United: For the Fans, by the Fans

Rabu, 17 September 2008 | 00:05 WIB

“Manchester United is not always the Winner, but is still the Best.” Pernyataan tersebut mungkin terasa janggal. Tapi, inilah yang diyakini oleh lebih dari 330 juta orang di seluruh dunia!

Ya, itulah total jumlah para pendukung Manchester United (MU) di seluruh dunia. Dengan jumlah sedemikian besar itu, MU adalah klub sepakbola dengan jumlah pendukung terbanyak di dunia. Bisa Anda lihat sendiri bahwa jumlahnya bahkan jauh melebihi populasi Indonesia.

Saya sendiri pernah mengundang fans club MU Indonesia ini ke acara workshop MarkPlus di Jakarta. Mereka ini menamakan dirinya IndoManUtd. Saya bisa melihat langsung, bagaimana bangganya para die-hard supporters MU ini. Mereka datang pakai kaos dan segala macam atribut MU.

Samuel Rismana, yang memimpin IndoManUtd ketika itu, dengan sangat antusias bercerita tentang pengalamannya pergi ke stadiun Old Trafford. Bagaimana ia bertemu Sir Alex Ferguson, David Beckham, Roy Keane, dan pemain lainnya. Diceritakannya juga bagaimana ia sampai “kalap” memborong berbagai merchandise di Megastore MU.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

[Bagian 19 dari 100] New Wave Marketing: Manchester United: For the Fans, by the Fans

Rabu, 17 September 2008 | 00:05 WIB

“Manchester United is not always the Winner, but is still the Best.” Pernyataan tersebut mungkin terasa janggal. Tapi, inilah yang diyakini oleh lebih dari 330 juta orang di seluruh dunia!

Ya, itulah total jumlah para pendukung Manchester United (MU) di seluruh dunia. Dengan jumlah sedemikian besar itu, MU adalah klub sepakbola dengan jumlah pendukung terbanyak di dunia. Bisa Anda lihat sendiri bahwa jumlahnya bahkan jauh melebihi populasi Indonesia.

Saya sendiri pernah mengundang fans club MU Indonesia ini ke acara workshop MarkPlus di Jakarta. Mereka ini menamakan dirinya IndoManUtd. Saya bisa melihat langsung, bagaimana bangganya para die-hard supporters MU ini. Mereka datang pakai kaos dan segala macam atribut MU.

Samuel Rismana, yang memimpin IndoManUtd ketika itu, dengan sangat antusias bercerita tentang pengalamannya pergi ke stadiun Old Trafford. Bagaimana ia bertemu Sir Alex Ferguson, David Beckham, Roy Keane, dan pemain lainnya. Diceritakannya juga bagaimana ia sampai “kalap” memborong berbagai merchandise di Megastore MU.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Tuesday, September 16, 2008

[Bagian 18 dari 100] New Wave Marketing: The Man Who Has Eaten 23.000 Big Macs

Selasa, 16 September 2008 | 00:03 WIB

PERCAYA atau tidak, ini fakta, bukan sensasi belaka. Ada orang yang namanya Don Gorske yang tinggal di Wisconsin, Amerika. Sepanjang hidupnya, ia sudah makan lebih dari 23.000 hamburger Big Mac!

Gorske pertama kali makan Big Mac ketika berusia 17 tahun, tepatnya 17 Mei 1972. Waktu itu ia membeli tiga buah Big Mac saat makan siang di salah satu restoran McDonald’s. Kemudian ia kembali ke restoran tersebut dua kali lagi untuk memesan total sembilan Big Mac pada hari itu juga. Nah, sejak saat itulah Gorske jadi keranjingan Big Mac. Ia makan sembilan Big Mac sehari walaupun belakangan ia telah menguranginya menjadi dua buah per hari.

Gorske ini hampir-hampir tidak makan makanan lain selain Big Mac. Minumnya juga Coke terus. Ia bilang, selama 36 tahun ini ia hanya satu hari saja tidak makan Big Mac, yaitu ketika ibunya meninggal, untuk menghormati ibunya itu.

Big Mac-nya yang ke-23.000 dimakannya pada 17 Agustus lalu. Lantas, bagaimana ia bisa tahu jumlah Big Mac yang telah dimakannya selama ini? Gorske ternyata menyimpan setiap nota pembelian Big Mac-nya sejak tahun 1972. Diperkirakan, ia telah menghabiskan sekitar 50.000 dollar AS untuk Big Mac selama ini.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Monday, September 15, 2008

[Bagian 17 dari 100]

[Bagian 17 dari 100] New Wave Marketing: Long Live the Customers!

Senin, 15 September 2008 | 00:13 WIB

Long Live the King! Long Live the King! Adegan seperti inilah yang banyak terdapat dalam film-film silat Tiongkok. Ada seorang raja yang sedang duduk di tahta atau berdiri di panggung, sementara ratusan prajurit berdiri di depannya sambil mengacungkan tangan dan berteriak-teriak seperti itu.

Teriakan para prajurit itu mungkin saja tidak benar-benar berasal dari hati nuraninya. Bisa saja kebanyakan lip service belaka, karena raja di zaman dahulu sangat powerful. Raja bisa menghukum siapa saja. Perkataannya adalah hukum. Sampai-sampai ada istilah “the king can do no wrong.”

Nah, di era New Wave Marketing ini, para marketer harus meneriakkan “Long Live the Customers!”. Kenapa? Sama seperti raja zaman dulu, pelanggan saat ini sangat powerful. Mereka gampang gonta-ganti merek setiap saat. Mereka bisa ngomong apa saja. Semua ucapan pelanggan didengar, disurvei, dicoba untuk dimengerti, dan dituruti oleh semua pemain.

bersambung...


Sunday, September 14, 2008

Bermain Saham Saat Pasar Turun

Minggu, 14 September 2008 | 01:29 WIB

Adler Haymans Manurung praktisi Keuangan

Dalam seminggu terakhir, nilai IHSG drop dan sudah di bawah angka 2.000. Para pemain saham sangat bingung karena IHSG pernah mencapai 2.700 dan menjadi prestasi cukup gemilang. Saat itu, banyak pihak mengklaim kenaikan IHSG merupakan hasil kerjanya—walaupun sebenarnya tidak demikian—sementara turunnya bursa kemungkinan tidak mau diklaim sebagai tanggung jawabnya.

Lalu, bagaimana bermain saham pada pasar yang sedang turun?

Tindakan pertama yang bisa dilakukan adalah harus mengikuti pasar, bukan melawan. Pemain saham yang cukup andal adalah pemain yang mengikuti irama pasar. Bila pasar turun, investor mengikuti irama turun tersebut dan bila pasar naik, investor harus mengikuti irama kenaikan tersebut.

Apabila sekarang pasar sedang turun dan banyak terjadi penjualan, investor ikut menjual saham dan menunggu sampai tiba waktu yang tepat untuk membeli kembali.

Saham yang pertama sekali dijual harus saham yang dianggap berisiko tinggi atau saham yang mempunyai beta di atas satu (â$>1). Saham yang memiliki beta di atas 1 adalah harga saham tersebut akan drop lebih besar dari penurunan pasarnya.

Misalnya, sebuah saham mempunyai beta sebesar 1,36, maka pasar akan drop 36% lebih tinggi dari pasarnya. Bahasa lainnya, saham tersebut akan drop 1,36% bila pasar drop 1%.

Saham lain yang dimiliki dan mempunyai beta di bawah 1 (â$<1)>

Bila suatu saham memiliki beta sekitar 0,82 berarti kenaikan harga saham tersebut 0,18% lebih rendah dari kenaikan pasar. Artinya, investor masih bisa bertahan sebentar atas penurunan pasar dan ketika pasar turun lagi saham ini akan hampir sama dengan penurunan saham yang memiliki beta di atas 1 (satu).

Investor harus mendapatkan beta ini melalui broker tempat investor bertransaksi. Investor juga dapat berdiskusi dengan analis saham di perusahaan broker tempat investor bertransaksi.

Mengenai beta ini, investor juga harus bertanya kepada beberapa analis supaya angkanya lebih tepat dan pasti. Banyak juga analis tidak bisa menghitungnya karena belum mempelajari atau kebiasaan hanya mengambil data dari penyedia data. Beberapa lembaga riset juga menghitung beta ini dan dapat diperoleh gratis melalui internet. Bila investor tidak memahaminya bisa bertanya karena malu bertanya dapat sesat di jalan.

Membeli kembali

Tindakan lain yang dapat dilakukan investor adalah membeli kembali saham yang drop tersebut. Bila investor telah memiliki saham itu, maka harga saham yang dimiliki turun harganya. Tindakan ini dikenal dengan averaging cost down.

Pembelian saham kembali ini merupakan wujud adanya ekspektasi bahwa harga akan naik lagi pada masa mendatang. Tindakan ini juga menyatakan penurunan saham yang terjadi merupakan tindakan sesaat dan saham akan kembali meningkat.

Bila investor membeli saham ketika pasar sedang drop tajam, maka perlu memilih saham tersebut agar bisa mengalami keuntungan yang tajam ketika pasar naik.

Adapun saham yang pertama harus dibeli adalah saham dengan beta di atas 1. Bila saham ini dapat dibeli, investor bisa masuk ke saham lain yang betanya di bawah satu. Artinya, saham ini akan naik tajam bila pasar kembali naik dan investor menikmati keuntungan.

Investor juga dapat membeli saham yang betanya di bawah satu, tetapi industrinya sangat bagus. Biasanya kinerja industri tersebut sangat memengaruhi pergerakan harga sahamnya. Untuk saham ini, investor harus memilih teliti dan perlu diskusi agar yang diinginkan dapat diperoleh.

Bila investor tidak memiliki saham, sudah waktunya membeli saham saat ini karena angka IHSG telah drop tajam. Saat ini sudah di bawah 2.000, sementara tahun lalu pernah mencapai 2.800. Masih ingat sekali kita, pada awal tahun semua analis bernyanyi dengan yakin angka IHSG akan mencapai 3.200.

Estimasi nilai IHSG mencapai 3.200 karena menggunakan estimasi perhitungan laba bersih perusahaan tanpa memandang faktor lain, seperti runtuhnya beberapa sektor keuangan di Amerika. Pada sisi lain, harga komoditas terus turun serta spekulan juga memainkan pasar.

Risiko yang ditolerir

Tindakan membeli saham pada saat pasar turun dan menjualnya kemudian pada saat pasar naik dianggap mengikuti strategi kontrarian. Tindakan ini banyak dilakukan pemain saham yang sudah berpengalaman dan sudah makan asam-garam di bursa.

Akhirnya, bermain saham kembali pada persoalan risiko yang dapat ditolerir investor karena bermain saham sangat berisiko. Bila investor bisa menolerir saham yang naik-turunnya seperti bermain Tornado di Dunia Fantasi, maka sangat layak melakukan transaksi saham tersebut.

Jika hanya bisa menolerir risiko yang sangat kecil, investor tidak layak bermain saham. Bila risiko yang ditolerir rata-rata atau menengah, investor harus menggabungkan bermain saham dalam jumlah kecil dan lebih banyak pada instrumen investasi.

Akhirnya, dana yang dipergunakan pada investasi saham bukan dana yang dibutuhkan untuk keperluan esok hari dan biasanya dana tersebut tidak dipergunakan dalam jangka panjang.

Adler Haymans Manurung praktisi Keuangan

Kompas

Bisnis Membuka Gerai "Online"

Minggu, 14 September 2008 | 05:13 WIB

HARI Jumat adalah saat yang paling ditunggu anggota komunitas We R Mommies Indonesia. Pada hari itu moderator milis membolehkan para ibu muda yang punya bisnis mempromosikan dagangan atau usahanya di milis.

Milis pun ramai dengan bermacam dagangan. Ada yang jualan kue, ada pula yang menawarkan seprai dan bed cover. ”Selain hari Jumat milis terlarang untuk berjualan,” kata Wanda.

Komunitas Dapur Bunda juga membuka gerai online di situsnya. Produk yang dijual, antara lain kue, aneka biskuit, stoples lukis, tempat mainan, baki lukis, dan jam lukis.

Barang-barang yang ”dipajang” di gerai online Dapur Bunda adalah kreasi anggotanya sendiri. Meski begitu, pembeli tidak hanya anggota milis ini, tetapi juga terbuka bagi siapa saja yang berkunjung ke milis ini.

Selain membuka peluang bisnis di dunia maya, komunitas Funky Mom (FM) sesekali juga berjualan di dunia nyata. Ika Ardiana, salah satu anggota milis FM, mengadakan garage sale menjelang puasa di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang.

Berhenti kerja

Bisnis lewat internet ini boleh dibilang mengubah hidup sebagian anggotanya. Vita (37), misalnya, memutuskan berhenti bekerja dari perusahaan sekuritas Bahana dan memilih bekerja di rumah. Vita yang pandai membuat kue itu laris berjualan kue ulang tahun di milis. Ia lalu menawarkan kue itu ke milis-milis lain.

Dini (36) akhirnya menggeluti dunia bisnis online juga setelah bergabung dengan milis Dunia Ibu. Sebelumnya Dini sempat bekerja di sebuah perusahaan swasta. Setelah anak pertamanya lahir dan bergabung di milis Dunia Ibu, Dini memutuskan berhenti bekerja.

Dini lalu mendalami bidang piranti lunak sehingga ia bisa membuat buku elektronik, situs, dan membuat program-program komputer. Hasilnya lumayan. Selain sering dimintai bantuan teman-teman milis, Dini pun berhasil melebarkan sayap bisnisnya.

Sekarang ia punya klien di luar negeri. Dari bisnisnya ini ia pernah mendapatkan 11.000 dollar AS hanya dalam waktu dua minggu. Melihat sepak terjang Vita, Ika, dan Dini, siapa bilang kalau ibu-ibu hanya bisa ngerumpi kalau sedang kumpul.


IVV,IND

Kompas

[Bagian 16 dari 100] New Wave Marketing: The Never-Ending Cola War: Coke vs Pepsi

Minggu, 14 September 2008 | 00:10 WIB

PERANG antara Coca-Cola (Coke) dan Pepsi memang merupakan salah satu perang klasik dalam dunia pemasaran. Kedua merek ini di zaman Legacy Marketing dulu saling menyerang lewat iklan.

Salah satu iklan Pepsi pada era 1980-an ada yang berjudul “Earth: Sometime in the Future”. Digambarkan seolah-olah kondisi bumi di masa depan. Ada seorang guru yang membawa murid-muridnya berjalan-jalan ke sebuah situs arkeologi. Sambil berjalan-jalan, murid-murid tersebut minum Pepsi. Di sana mereka menemukan berbagai benda yang merupakan artifak dari masa lalu. Benda pertama adalah bola bisbol. Yang kedua adalah gitar.

Nah, benda ketiga yang ditemukan tidak jelas bentuknya karena sudah tertutup debu dan tanah. Sang guru lalu membersihkan benda tersebut, dan akhirnya benda tersebut menampakkan wujudnya yang asli. Murid-muridnya bertanya, benda apa itu? Dijawab oleh sang guru, “I have no idea.”Anda tahu benda apa itu? Ternyata itu adalah sebuah botol Coke! Iklan tersebut kemudian diakhiri dengan tulisan “Pepsi: The Choice of a New Generation.”

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Saturday, September 13, 2008

[Bagian 15 dari 100] New Wave Marketing: When David Kills Goliath: AirAsia Vs Malaysia Airlines

Sabtu, 13 September 2008 | 00:24 WIB

ANDA tahu legenda David vs Goliath? Kisah yang sangat terkenal ini terdapat baik pada Kitab Injil maupun dalam Al Quran. Kalau dalam Al Quran, nama tokohnya masing-masing adalah Daud dan Jalut.

Dikisahkan bahwa David, seorang pemuda penggembala yang bertubuh kecil serta hanya bersenjatakan ketapel dan batu, berhasil membunuh Goliath, seorang raja berbadan tinggi besar yang memakai baju besi serta bersenjata lengkap. Setelah berhasil mengalahkan Goliath, David pun kemudian dipilih menjadi raja oleh rakyatnya.

Kisah ini menunjukkan bahwa kecerdikan lebih penting daripada kekuatan fisik. Bagi saya, kisah ini mirip dengan apa yang terjadi antara AirAsia dan Malaysia Airlines (MAS). AirAsia layaknya David yang menantang sang Goliath, MAS.

Bagaimana tidak. Dibanding MAS yang didirikan tahun 1947, AirAsia tergolong maskapai penerbangan baru. Walaupun sebenarnya sudah didirikan sejak tahun 1993, AirAsia bisa dibilang baru benar-benar lahir sejak Desember 2001. Ketika itu, Tony Fernandes lewat perusahaan Tune Air Sdn Bhd-nya membeli AirAsia dari pemilik lama, DRB-Hicom, sebuah konglomerasi yang dimiliki oleh Pemerintah Malaysia, senilai hanya 1 ringgit Malaysia!

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Friday, September 12, 2008

[Bagian 14 dari 100]

[Bagian 14 dari 100] New Wave Marketing: Battling for Profit: Google vs Yahoo!

Jumat, 12 September 2008 | 00:09 WIB

MANA yang lebih penting: profit atau pangsa pasar (market share)?

Bagi saya, profit lebih penting, karena profitlah yang sebenarnya merupakan modal bagi perusahaan untuk bisa berkembang.

Namun, masih banyak orang yang menganggap bahwa pangsa pasarlah yang harus dikejar.

Ini terjadi karena dulu ada istilah yang namanya Profit Impact of Market Strategy (PIMS). Istilah ini sebenarnya merupakan judul laporan dari lembaga Strategic Planning Institute di Amerika. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa profitabilitas perusahaan akan meningkat seiring dengan meningkatnya pangsa pasar perusahaan tersebut.

Namun, laporan PIMS ini ternyata tidak seluruhnya benar.

Di Jepang, banyak perusahaan yang hancur karena mereka berebut pangsa pasar at any cost, dan berharap profit akan datang kemudian.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Thursday, September 11, 2008

[Bagian 13 dari 100] New Wave Marketing: The Seven Steps to Nirvana

Kamis, 11 September 2008 | 00:23 WIB

“A business does more than transact. It communicates. It collaborates. It innovates.”

Itulah yang dikatakan Mohan Sawhney dan Jeff Zabin dalam bukunya, The Seven Steps to Nirvana.

Buku ini judulnya memang bisa membingungkan. Mungkin ada yang mengira buku ini tentang spiritualisme.

Padahal sebenarnya, buku ini membahas tentang manfaat e-business (baca: teknologi) dalam sebuah perusahaan. Kata “nirvana” bermakna bahwa kalau sebuah perusahaan bisa menjalankan tujuh langkah yang ada dalam buku ini, niscaya perusahaan tersebut akan mampu mencapai puncak tertinggi dan jadi pemenang.

Kedua penulis mengatakan hal tersebut pasca meletusnya gelembung dotcom pada sekitar tahun 2000. Sawhney dan Zabin bilang, teknologi semahal dan secanggih apapun yang dipraktikkan dalam e-business tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak menjalankan langkah-langkah yang tepat.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Wednesday, September 10, 2008

Bagaimana Mengelola Keuangan Selama Ramadhan?

Rabu, 10 September 2008 | 18:55 WIB

DALAM situasi ekonomi seperti sekarang, bagaimana mengatasi persoalan keuangan keluarga? Penghasilan tetap namun pengeluaran bertambah, terutama menjelang Lebaran. Pakar keuangan dan investasi, Adler Haymans Manurung yang juga penulis buku best seller "Reksa Dana Investasiku dan "Financial Planner'' dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, Rabu (10/9), memberi sejumlah resep.

Pertama, buatlah skala prioritas mengenai pengeluaran untuk bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran. Kedua, rencanakan pengeluaran-pengeluaran setiap hari selama bulan Ramadhan dan Lebaran nanti. Ketiga, tahan diri untuk berbelanja yang tidak dibutuhkan. Keempat, diskusikanlah semua pengeluaran dengan istri dan anak.

Adler yang juga manajer investasi pengelola dana sebesar Rp 2 triliun dan sedang mengelola portal investasi www.finansialbisnis.com itu menambahkan, pengeluaran selama Ramadhan dan Lebaran harus direncanakan jauh hari sebelumnya.

Untuk itu, kita bisa merencanakan pengeluaran Lebaran tahun depan dengan angka pengeluaran tahun ini ditambah inflasi 10 persen. Untuk memenuhi pengeluaran Lebaran tahun depan, tabunglah uang setiap bulan. Kalau misalnya dibutuhkan uang Rp 12 juta untuk Lebaran tahun depan, maka tabunglah sejak sekarang Rp 1 juta per bulan.

Kompas

- Muhammad Idham Azhari

[Bagian 12 dari 100] New Wave Marketing: The Naked Truth of Competitor Intelligence

Rabu, 10 September 2008 | 00:07 WIB

ANDA sudah pernah nonton film Hong Kong yang berjudul Infernal Affairs?

Di film itu dikisahkan terjadi penyusupan pada pihak kepolisian dan pihak mafia yang saling bermusuhan. Karakter yang diperankan Andy Lau, yang sebenarnya adalah anak didik si bos mafia, berhasil menjadi petinggi kepolisian. Sebaliknya, karakter yang diperankan oleh Tony Leung yang sebenarnya adalah polisi, berhasil menjadi orang kepercayaan si bos mafia.

Film ini memang ceritanya sangat menarik, dan sangat laris di Hong Kong. Sampai-sampai kemudian dibuatkan versi Hollywood-nya oleh sutradara terkenal Martin Scorcese. Film yang diberi judul The Departed itu bahkan memenangkan Piala Oscar untuk film terbaik pada Februari 2007.

Itulah film yang menggambarkan pentingnya peranan competitor intelligence (CI).

CI ini bukan hanya ada pada masa modern seperti sekarang ini. Sejak dua ribu lima ratus tahun lalu, ahli strategi militer dari China, Sun Tzu, sudah mengatakan pentingnya mengenali musuh kita selain diri kita sendiri.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Tuesday, September 9, 2008

[Bagian 11 dari 100] New Wave Marketing: From Thai Boxing to American Wrestling

Selasa, 9 September 2008 | 00:26 WIB

DARI tinju ala Thailand sampai ke gulat gaya Amerika.

Adalah Pak I Nyoman G. Wiryanata, Direktur Konsumer PT Telkom Indonesia, yang mengatakan istilah itu kepada saya.

Beliau ingin menggambarkan betapa kacaunya persaingan di dunia marketing saat ini, khususnya di industri telekomunikasi di Indonesia.

Bagaimana tidak. Barangkali susah dicari suatu negara yang jumlah operatornya sebanyak Indonesia. Kalau saya tidak salah catat, saat ini ada 10 operator seluler di Indonesia, baik yang berbasis GSM maupun CDMA. Mereka adalah: Telkomsel, Indosat, XL, Telkom (Flexi), Bakrie Telecom (Esia), Mobile 8 (Fren), Smart, Sampoerna Telekomunikasi (Ceria), Hutchison CP (3/Three), dan Natrindo Telepon Seluler (Axis).

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Monday, September 8, 2008

[Bagian 10 dari 100] New Wave Marketing: Good Cop, Bad Cop and Ugly Cop

Senin, 8 September 2008 | 00:33 WIB

KALAU Anda nonton film-film Hollywood yang bertemakan action, hampir bisa dipastikan Anda akan selalu mendapatkan karakter good cop dan bad cop.

Orang-orang Hollywood memang paling suka mengkontraskan polisi yang baik dengan polisi yang jelek.

Polisi baik digambarkan selalu mematuhi aturan yang ada, jujur, dedikatif, dan bersikap profesional. Play by the book istilahnya.

Sementara, polisi jelek digambarkan suka menangkap orang tanpa alasan yang jelas atau suka menyiksa tahanan yang sedang diperiksa. Polisi jelek juga sering merasa sok berkuasa mentang-mentang dia punya power.

Tapi, teman-teman saya yang pernah ikut pelatihan di FBI Academy di Amerika bilang bahwa di sana ada istilah ugly cop juga.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Sunday, September 7, 2008

[Bagian 9 dari 100] New Wave Marketing: Country First vs People's President

Minggu, 7 September 2008 | 00:31 WIB

MENGIKUTI Republican National Convention (RNC) di Minneapolis-Saint Paul memang terasa bedanya dengan Democratic National Convention (DNC) di Denver.

John McCain bisa menyusul rating Barack Obama di polling dengan cara mengkontraskan dirinya.

Di DNC, Obama dan pembicara lain selalu menekankan bahwa Demokrat akan memberikan presiden yang merakyat. Sedangkan di RNC, John McCain dan pendukungnya justru terus-menerus menekankan bahwa negara dan patriotisme adalah segalanya.

Karena McCain adalah mantan tawanan perang di Vietnam, maka inilah modal terbesarnya yang bisa dikembangkan jadi tema kampanye.

Sedangkan George W. Bush yang sekarang lagi jadi ”lame duck president” mengingatkan bahwa McCain yang pahlawan perang inilah yang nantinya bisa menjaga Amerika dari terorisme.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Saturday, September 6, 2008

[Bagian 8 dari 100] New Wave Marketing: Learn from Obama: Change We Can Believe In

Sabtu, 6 September 2008 | 00:16 WIB

BARACK Obama memposisikan dirinya sebagai seorang Change Leader, bukan hanya seorang Change Manager atau Change Agent.

Kenapa?

Walaupun belum terpilih jadi Presiden AS, Obama telah menunjukkan pada semua orang bahwa Amerika Serikat (AS) perlu berubah.

Antara lain, dia menunjukkan bahwa “War on Terrorism” yang dilakukan Presiden George W. Bush adalah sebuah tindakan yang High-Budget Low-Impact.

Bayangkan saja, sudah berapa banyak prajurit terbaik AS mati di medan perang, entah itu di Afganistan ataupun di Irak. Hitung pula, berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai perang-perang tersebut. Sampai-sampai ada buku yang ditulis Joseph E. Stiglitz dan Linda J. Bilmes yang judulnya The Three Trillion Dollar War: The True Cost of the Iraq Conflict!

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Friday, September 5, 2008

[Bagian 7 dari 100] New Wave Marketing: Three Stages of Marketing: Pseudo, Legacy and New Wave

Jumat, 5 September 2008 | 00:55 WIB

BAGI saya, Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, telah dan sedang mengalami tiga era marketing.

Era yang pertama terjadi sebelum tahun 1998. Saya menyebutnya sebagai era Pseudo Marketing.

Pada era ini, orang sudah belajar marketing, tapi tidak banyak yang menerapkan dengan benar.

Kenapa? Ya karena lebih enak ber-”KKN ria”.

Lihat saja, berapa banyak konglomerat, bukan cuma di Indonesia, tapi juga di Malaysia, Thailand, Filipina dan bahkan Korea, yang masuk ke bisnis apapun. Mereka bisa berkembang dengan pesat terutama karena ”dekat” dengan pemerintahan saat itu.

Kompetensi tidak terlalu diperlukan, yang penting koneksi. Apalagi saat itu masih banyak monopoli dalam berbagai sektor bisnis.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Thursday, September 4, 2008

[Bagian 6 dari 100] New Wave Marketing: Borderless World, Seamless Market

Kamis, 4 September 2008 | 00:49 WIB

We will be number one or two in every business we’re in, or we will fix it, close it, or sell it.

Itulah ucapan terkenal dari Jack Welch yang menjadi kredo kepemimpinannya. Karena ucapannya ini, banyak orang Amerika marah pada Welch yang ketika itu baru saja diangkat jadi CEO General Electric (GE).

Maklum, orang Amerika, saking bangganya dengan GE, punya pendapat, “What is good for GE, is good for America.”

Mereka khawatir akan terjadinya lay-off besar-besaran di GE kalau Welch menganggap suatu divisi atau anak perusahaannya kalah bersaing, bukan hanya di tingkat Amerika, tapi juga di tingkat dunia.

Welch juga menyatakan bahwa GE bukan perusahaan Amerika lagi, tapi harus jadi perusahaan global. Karena itu, kultur perusahaan mesti diubah. Orang-orang GE harus bisa merasa nyaman ketika diminta bekerja di manapun di dunia. GE tak bisa lagi hanya menjadi raksasa di AS, tapi harus menjadi perusahaan kelas dunia.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Wednesday, September 3, 2008

[Bagian 5 dari 100] New Wave Marketing: Marketing Olympics: One Game, One Market

Rabu, 3 September 2008 | 00:12 WIB

ANDA nonton Olimpiade Beijing kemarin?

Luar biasa, bukan? Begitu Olimpiade ini ditutup dengan sukses, China sudah tidak bisa diabaikan lagi di peta dunia.

Bangsa ini sukses sebagai tuan rumah dan juara umum sekaligus. Acara pembukaan dan penutupannya yang sangat spektakuler bahkan dianggap sebagai salah satu show terbaik sepanjang sejarah.

Ucapan Confucius sekitar 2500 tahun lalu, “It is glorious to receive friends from afar”, adalah local wisdom yang dipakai sebagai universal message di Olimpiade terbesar itu.

Seolah China mau membuktikan pada dunia, walaupun sistem politik mereka masih Vertikal satu partai, Partai Komunis China, tapi secara sosial-budaya orang China sudah sangat Horisontal sejak dulu.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Tuesday, September 2, 2008

[Bagian 4 dari 100] New Wave Marketing: Ekonomi Horisontal yang Mirip Roller-Coaster

Selasa, 2 September 2008 | 00:59 WIB

TAHUN 2008 memang luar biasa!

Saya masih ada di Bangkok ketika terkejut melihat CNN pas tanggal 2 Januari 2008. Harga minyak telah menyentuh angka USD 100 per barel!

Suatu batas psikologis yang menakutkan banyak orang ketika itu.

Setelah itu harga minyak dunia terus meroket sampai USD 147 per barel pada tanggal 11 Juli 2008 ketika ada persoalan tentang uji coba misil Iran. Harga minyak dunia ini kemudian baru turun lagi sampai di tingkat USD 112 per barel pada tanggal 11 Agustus 2008.

Bayangkan, hanya dalam jangka waktu 1 bulan harga minyak sudah naik-turun drastis seperti ini. Harga minyak kembali diperkirakan akan naik karena adanya serangan topan Gustav yang melanda kawasan eksplorasi minyak di AS akhir Agustus ini.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas

Monday, September 1, 2008

[Bagian 3 dari 100] New Wave Marketing: Horisontalisasi Politik di Seluruh Dunia

Senin, 1 September 2008 | 00:15 WIB

PERTARUNGAN ketat antara Barack Obama dan Hillary Clinton di pemilihan pendahuluan Partai Demokrat di Amerika Serikat menunjukkan bahwa Politics go Horizontal!

Obama mewakili kaum kulit hitam dan Hillary Clinton mewakili kaum wanita. Kedua kelompok ini adalah etnik dan gender minoritas di sana.

Ini tanda-tanda horisontalisasi politik di negara demokrasi superpower tersebut.

Di Pemilu Presiden AS bulan November nanti, kita akan sama-sama menyaksikan pertarungan antara Obama yang sangat Horisontal dan John McCain yang sangat Vertikal.

Kedua belah pihak memang memposisikan diri secara kuat serta sekaligus mereposisi pesaingnya. Ketika Obama mengambil kata kunci “Change”, dia seolah mengatakan bahwa dirinya adalah Masa Depan Amerika.

bersambung...

Hermawan Kartajaya

Kompas